Nyawa Titipan 2 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni - TopicsExpress



          

Nyawa Titipan 2 WIRO SABLENG Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Karya: Bastian Tito EP : PETAKA PATUNG KAMASUTRA... EMPAT AKU melihat cahaya putih aneh di tubuh sebelah depan pemuda berambut gondrong Itu. Hemmm… ” Sang Resi bergumam. ”Dia menyimpan satu senjata sakti mandraguna di dekat relung jantung dan hati di dalam tubuhnya. Luar biasa! Kalau kekuatan tongkat Kuntala Biru masuk ke dalam tubuhnya, bergabung dengan kekuatan senjata yang dimilikinya, langit bisa diruntuhkan, samudera bisa dibendung. Tujuh Tonggak Kekuasaan, Keadilan dan Kebenaran bisa dikuasainya. Pemuda itu siapa dia gerangan. Sebelum kembali ke Gurun Thar aku perlu menemui dirinya. Sekarang aku harus mencari gadis berbaju biru yang aku lihat dalam samadiku…” Sementara tubuhnya terus melayang turun Resi Khandawa Abitar tukikkan pandangan ke bawah. Mendadak di arah depan dia melihat satu pemandangan yang membuat wajah tuanya yang klimis bersemu merah namun kemudian tertawa geli sendirian. Gerangan apa yang telah dilihat dan membuat Resi sakti dari India ini sampai tertawa demikian rupa? Seperti diceritakan sebelumnya ketika topan prahara membadai di Gurun Pasir Tengger, Naga Kuning telah merubah diri ke dalam ujud aslinya yakni seorang kakek sakti bernama Kiai Paus Samudera Biru. Sambil menindih tubuh Gondoruwo Patah Hati kakek ini berusaha merayu kekasihnya itu. Dia berbisik ke telinga si nenek. ”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua seperti Ini. Sekarang baru ada kesempatan…” ”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang ajar! Lekas turun! Kalau tidak….” ”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega membiarkan diriku seperti ini?” Si nenek agak tergagap. Tapi kemudian membentak memaki. ”Kiai edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh jahat Cakra Mentari!” Si nenek susupkan tangan kirinya ke balik jubah si kakek. Kiai Paus Samudera Biru mesem-mesem menikmati sentuhan tangan yang menjalar itu. Ah, ini yang diharapkan. Dia menunggu usapan terakhir di bagian bawah perutnya di tempat yang tak bisa dibayangkan! Namun mendadak sang Kiai menjerit keras. Bukan mendapat usapan, bukan pula merasa kenikmatan tapi kantong menyan perabotannya amblas dipencet si nenek. Sosok si kakek langsung melintir dan terguling ke tanah. Dua kaki melejanglejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan sakit. ”Rasakan! Makan pencarianmu!” Maki Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan tawa dan unjukkan muka kawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus Samudera Biru kini tergeletak di pasir tidak bergerak tidak bersuara! Ketika dia memperhatikan muka si kakek kelihatan sepasang mata yang terbuka mendelik tak berkesip! ”Astaga! Jangan-jangan…” Si nenek ketakutan lalu jatuhkan diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi wajah Kiai Paus Samudera Biru berulang kali. ”Gunung, apakah tadi aku terlalu keras memencet anumu?” Gunung adalah nama asli Naga Kuning. Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki di pinggul si nenek bocah berambut jabrik ini tertawa terpingkalpingkal. ”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek. Semua apa yang terjadi itulah yang telah disaksikan oleh Resi Khandawa Abitar dari atas gurun pasir dan membuat dia tertawa geli. ”Hidup di muka bumi di luar alamku ternyata banyak keluguan dan kelucuan. Para Dewa sungguh adil. Membagi kebahagiaan pada ummat manusia. Dalam susah maupun senang…” Sang Resi kemudian memperhatikan ke beberapa jurusan lain sambil tangan kiri yang memegang patahan gompalan tongkat emas di acungkan di depan dada. Agak jauh di sebetah selatan Rasi Khandawa Abitar melihat satu bangunan. Dari bentuknya dia tahu kalau bangunan itu adalah sebuah Kuil Hindu. Kembali dia mengerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Bangunan kuil yang tadinya kecil berubah jadi besar. Begitu melihat Kuil yang masih berada dalam keadaan utuh tanpa kerusakan sedikitpun sang Resi segera rundukkan kepala memanjatkan doa dan puji-pujian. ”Dewa Pelindung Agung.Topan badai begitu besar namun kerusakan tidak sampai menyentuh Kuil suci itu. BerkahMu sangat besar wahai Para Dewa di Swargaloka. Terima kasih Dewa. Terima kasih….” Masih dalam menerapkan ilmu kesaktiannya, tidak jauh dari bangunan Kuil tampak seorang tua berselempang kain putih, melangkah terseok-seok menuju Kuil. Pakaian putih dan sekujur tubuhnya kotor penuh debu dan pasir gurun. Beberapa bagian lengan dan bahu dalam keadaan luka akibat ditembus pasir. Orang tua yang dilihat Resi Khandawa Abitar ini adalah Resi Jantika Lamantara yang dengan susah payah berusaha mencapai Kuil. Walau dua kaki goyah, sekujur tubuh sakit bukan kepalang namun melihat keadaan Kuil yang masih utuh memberi semangat padanya untuk meneruskan langkah. Sambil berjalan mulutnya tiada henti mengucap doa puji syukur. Pada saat Resi Khandawa Abitar akhirnya menjejakkan dua kaki di Gurun PasirTengger sudut mata sang Resi tiba-tiba menangkap kilatan cahaya di arah kiri. Ketika berpaling ke kanan, di kejauhan dia melihat seorang gadis cantik memegang sebuah cermin bulat lengah berusaha bangkit berdiri. ”Bukan gadis yang kucari…” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Gadis berjubah kelabu, seperti tiga orang tadi agaknya dia juga bukan orang sambarangan. Cermin bulat di tangannya pasti sebuah senjata sakti. Aku melihat cahaya biru di balik dadanya. Heran, bagaimana banyak orang berkepandaian tinggi bertebaran di gurun pasir yang baru dilanda topan ini? Apakah mereka semua punya sangkut paut dengan kejahatan Resi Mirpur Patel? Agaknya aku bakal mendapat banyak sahabat di negeri ini.” Sambil terus berpikir-pikir Resi Khandawa Abitar memandang berkeliling sampai pandangannya membentur satu sosok berpakaian biru, berambut panjang lepas riap-riapan tertiup angin, terbaring menelungkup. Dada sang Resi berdebar. ”Ada cahaya kuning bersinar di bagian bawah tubuhnya yang menelungkup. Aku harus melihat wajah perempuan ini…” Resi Khandawa kembali kerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Begitu sosok orang menjadi besar dan sewaktu dia melihat sebagian wajah yang tertelungkup darahnya berdesir. ”Walau wajahnya cuma terlihat sebagian tapi aku yakin ini gadis yang kulihat dalam samadi. Benda bercahaya di bagian bawah tubuhnya pasti potongan gompalan tongkat emas…” Tidak menunggu lebih lama Resi Khandawa Abitar segera melesat mendekati sosok tubuh yang tertelungkup di pasir. ”Aneh, topan sudah reda. Mengapa perempuan muda Ini masih berbaring menelungkup? Apakah dia masih hidup. Jangan-jangan telah tewas dilanda topan. Tapi tubuhnya terlihat utuh…” Resi Khandawa maju lagi dua langkah, lebih mendekat. Sambil pandangi sosok perempuan berpakaian biru di depannya dia menarik nafas dan menghirup udara dalam-dalam. Tongkat Kuntala Biru disapukan di punggung perempuan yang terbaring menelungkup. Mendadak saja Resi ini tersurut satu langkah. ”Sosok perempuan ini dalam keadaan kosong. Berarti…..” Sang Resi memandang berkeliling. Dia tidak dapat melihat tapi dia mampu merasakan. Maka segera saja dia keluarkan ucapan. ”Mahluk pandai dari alam roh, kau punya tubuh bagus dan wajah cantik. Mengapa ditinggal disia-siakan?” Roh Purnama yang ada di dekat situ yang tadi sebenarnya memang hendak kembali masuk ke dalam jazadnya namun membatalkan niat karena kedatangan sang Resi, kini setelah mendengar ucapan Resi itu langsung saja dia masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Kejap itu pula dia bergerak bangkit, berdiri dua langkah di hadapan sang Resi. ”Ah, kini aku melihat wajahmu dengan jelas. Kau memang orang yang ada dalam samadiku. Terima kasih Dewa telah mempertemukan aku denganmu.” Resi Khandawa Abitar melintangkan tongkat Kuntala Biru lalu membungkuk memberi hormat pada gadis cantik hadapannya. Purnama perhatikan orang tua di depannya sesaat lalu berkata. ”Orang tua, dari dandananmu saya tahu kau adalah orang asing. Kau pandai bahasa negeri ini.” ”Dewa memberi berkah padaku,” jawab Resi Khandawa Abitar. ”Logat bicaramu seperti seorang yang pernah aku kenal. Namanya Deewana Khan.” ”Dewa Maha Besar!” Resi Khandawa Abitar mengucap menyebut nama Dewa. ”Kau kenal Deewana Khan. Aku akan bertanya banyak tentang dirinya. Namun saat ini ada satu hal penting yang harus didahulukan.” ”Tunggu dulu,” kata Purnama pula. ”Ada satu mahluk tanpa wajah yang juga punya logat bicara sepertimu. Orang tua apa hubunganmu dengan mahluk itu? Kalian agaknya datang dari negeri yang sama.” Resi Khandawa Abitar tersenyum. Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia berkata. ”Kedatanganku kesini justru ada sangkut pautnya dengan semua apa yang kau ketahui. Gadis berbaju biru, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Khandawa Abitar. Aku Resi Ketua dari Gurun Thar di India. Kalau aku boleh bertanya, siapakah namamu? ”Purnama…” ”Dewa Maha Agung. Purnama. Bukankah itu juga berarti rembulan? Nama yang sangat bagus. Sahabatku muda, apakah kau mengenali benda ini? Resi Khandawa Abitar perlihatkan keping gompalan tongkat emas yang sejak tadi digenggamnya. ”Kau mengenali benda ini?” Purnama memperhatikan dan tampak terkejut. Dia meraba ke balik baju biru yang dikenakannya. Resi Khandawa Abitar berkata. ”Kau sudah maklum. Kepingan emas ini adalah gompalan dari tongkat milik mahiuk tanpa wajah….” ”Saya tidak mengerti. Kepingan itu ada pada saya. Beberapa saat lalu patah secara aneh…” ”Aku yang mematahkan. Keluarkanlah bagian patahan yang ada padamu…” Purnama keluarkan patahan gompalan tongkat emas yang dimilikinya. Resi Khandawa melangkah mendekat. Dia mengambil patahan kepingan tongkat yang dipegang Purnama. Ketika dua patahan gompalan tongkat emas saling ditempelkan satu sama lain ternyata dua patahan bersambung menyatu sangat tepat. ”Aku benar-benar telah menemui gadis yang aku lihat dalam semadiku. Dewa sungguh Agung. Purnama, aku akan melakukan sesuatu. Harap kau tetap berdiri tenang di tempatmu…” Selesai berucap Resi Khandawa letakkan dua keping patahan gompalan tongkat di telapak tangan kiri. Lalu dia angkat tongkat Kuntala Biru. Sambil merapal doa Resi ini kemudian tekankan ujung tongkat sakti pada dua patahan gompalan tongkat emas. Satu sinar biru yang amat terang membersit keluar dari tongkat sakti. ”Wusss!” Saat itu juga dua patahan gompalan tongkat emas tunggelam dalam kobaran api berwarna biru. Satu kekuatan yang tak kelihatan muncul secara aneh, melabrak Khandawa Abitar hingga Resi dari Gurun Thar ini jatuh terduduk. Wajahnya tampak merah. Purnama cepat mendatangi. Maksudnya hendak menolong sang Resi berdiri. Namun Resi Khandawa Abitar cepat mencegah. ”Jangan sentuh!” ”Wusss” *** LIMA SATU kobaran api berwarna biru menggebubu ke udara setinggi hampir dua tombak, membuat tubuh Resi Khandawa Abitar lenyap tak kelihatan lagi. Purnama terpekik. Kalau dia tidak cepat melompat mundur niscaya ikut tersulut api dahsyat Itu. Di saat yang bersamaan di kejauhan di arah selatan terdengar raungan manusia luar biasa keras hingga menggema sampai di permukaan pedataran pasir. Dari dalam kobaran api biru tiba-tiba terdengar suara Resi Khandawa Abitar. ”Resi Mirpur Patel. Saatnya kau datang ke hadapanku untuk meminta maaf dan meminta ampun pada Para Dewa atas semua dosa kesalahan yang telah kau perbuat.” Di selatan kembali terdengar suara raungan namun kali ini disertai suara ucapan bergumam yang tidak jelas. Di dalam kobaran api biru terdengar lagi suara Resi Khandawa Abitar. ”Apa? Kau menolak datang. Sayang sekali. Apakah kau sudah berpikir baik-baik Resi Mirpur Patel?” Kembali menggelegar suara raungan dan ucapan bergumam dari arah selatan. Lalu menyusul suara sang Resi yang masih tenggelam dalam kobaran api biru setinggi dua tombak. ”Jika kau mau datang, aku berjanji meminta keringanan hukuman pada Para Dewa Apa… ? Ah, sayang sekali. Kau tetap tak mau datang malah menantang tak takut mati. Resi Mirpur Patel, nyawamu bukan di tanganku. Aku tidak punya kewenangan untuk membunuhmu. Namun jika Para Dewa memberi kuasa bagiku untuk melakukan sesuatu, aku masih tetap ingin kau minta ampun dan bertobat atas semua kesalahanmu. Kita para Resi, apakah tidak ingin melihat dunia ini dan semua ummat di dalamnya hidup dalam bahagia ketenteraman?” DI selatan menggelegar raungan dahsyat dan gumam aneh. ”Ah, sayang sekali. Benar-benar sayang sekali! Apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau begitu keras kepala? Hanya karena ingin mendapatkan ilmu sesat dari kitab palsu yang aku mengira kau sendiri yang membuatnya? Sayang sekali! Kau tak mau datang dengan ikhlas, aku terpaksa menyedotmu datang kemari!” kata Resi Khandawa Abitar. Dia acungkan tongkat Kuntala Biru ke depan setinggi dada. Lalu tongkat disentakkan kebelakang. ”Wuutttt!” Terdengar suara bergemuruh disertai hawa aneh menarik kuat sekali ke arah sang Resi. Purnama cepat-cepat jatuhkan diri ke gurun pasir lalu berguling menjauh. Selagi dia hendak mencoba berdiri tiba-tiba blukk! Satu sosok putih jatuh bergedebuk di atas pasir di depannya lalu menggelundung dan berhenti tiga langkah di hadapan Resi Khandawa Abitar. Sosok putih ini seorang tua berambut dan berjanggut putih panjang dengan wajah licin rata tidak berupa. Dalam kepitan tangan kiri ada sebuah tongkat emas besar berbentuk bulat salah satu ujungnya. ”Mahluk tanpa wajah!” ucap Purnama setengah berseru. ”Wusss!” Api biru setinggi dua tombak yang sejak tadi menyelubungi Resi Khandawa Abitar tiba-tiba lenyap. Tak kurang suatu apa Resi ini melangkah mendekati sosok orang tua tanpa wajah yang masih tergeletak di pasir. Agaknya dia memang tak mampu bergerak ataupun bicara. Dari mulutnya hanya keluar suara desah meracau. Resi Khandawa sapukan tongkat sakti Kuntala Biru di wajah licin pada arah letak mulut yang tidak kelihatan dari mahluk tanpa wajah. ”Resi Mirpur Patel, aku sudah membuka jalan suaramu. Sekarang bicaralah.” Wajah licin tanpa mulut itu secara aneh mengeluarkan suara parau menjawab. ”Resi Khandawa, kau lebih baik membunuhku saat Ini juga. Aku tidak akan pemah mau bicara!” ”Begitu.. .?” Resi Khandawa tersenyum. ”Memang tidak sopan bicara kalau wajahmu tidak kelihatan.” Resi Khandawa Abitar kembali sapukan tongkat saktinya. Kini ke kepala dan seluruh wajah Resi Mirpur Patel. Tiba-tiba tiga cahaya berwana merah, biru dan hijau memancar terang dari kepala Resi Mirpur Patel, menyambar ke arah Resi Khandawa Abitar. Dengan cepat Resi ini melompat mundur seraya sapukan tongkat Kuntala Biru.Tiga letusan keras menggeledek di tempat itu. Resi Mirpur Patel mengerang keras. Tubuhnya melesak masuk ke dalam tanah, setengah terkubur di dalam pasir! Masih tidak punya kemampuan begerak. Tongkat emasnya menancap ke dalam pasir sampai setengahnya. Pada saat itu kepalanya yang tadi polos licin tanpa wajah kini berubah menunjukkan wajah seorang kakek berambut, kumis dan janggut putih. Tampangnya tampak angker memandang penuh geram pada Resi Khandawa Abitar. Sepasang mata Resi Khandawa Abitar tatap sosok dan wajah Resi Mirpur Patel tak berkesip. Dalam hati dia berkata. ”Resi ini agaknya sudah memiliki ilmu kesaktian jahat dari buku sesat. Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika dia berhasil menyedot ilmu yang di dapat pemuda yang jadi budaknya itu, kekuatan ilmu pukulan bisa berubah dahsyat sepuluh kali lipat! Jangankan bumi, Swargalokapun bisa tergoncang!” ”Resi Mirpur Patel, apakah kau masih tidak mau bicara?” Dua pipi Resi Mirpur Patel menggembung, pelipisnya begerakgerak. Tiba-tiba dia meludah. ”Puuhhh!” Dihina seperti itu Resi Khandawa Abitar hanya tersenyum. ”Hatimu sekeras batu di Gurun Thar. Perasaanmu sebeku salju di puncak Pegunungan Vindhya dan pikiranmu seperti terselubung lumut setebal lumut di dasar sungai Chambal. Resi Mirpur Patel, aku akan memohon pengampunan bagi dirimu pada Para Dewa di Swargaloka. Asal kau mau mengembalikan padaku Patung Kamasutra yang kau curi di Goa Binaker.” ”Patung itu tidak ada padaku.” ”Kalau begitu kau pasti tahu dimana beradanya dan siapa yang memegangnya.” ”Tanyakan saja pada Para Dewa di Swargaloka,” jawab Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah dengan nada mengejek. Mendengar ucapan Mirpur Patei itu marahlah Resi Khandawa Abitar. Orang boleh menghina dirinya.Tapi jika orang berani menghina Dewa di hadapannya maka dia akan turun tangan lebih dulu! Resi yang biasa bicara lembut ini sekarang berucap dengan suara keras dan bergetar menahan marah. ”Resi Mirpur Patel! Kau tahu tidak ada dosa paling besar selain menghina dan mempermalukan Para Dewa! Aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dirimu hidup gentayangan seenaknya di muka bumi ini. Hukum harus diberlakukan atas dirimu! Dewa memutuskan! Aku melaksanakan!” ”Resi pengecut! Jangan meminjam nama Dewa! Akui saja kau tidak berani membunuhku!” Sebagai jawab atas ucapan Resi Mirpur Patel, Resi Khandawa Abitar tancapkan tongkat Kuntala Biru ke tanah. Dari balik pakaian birunya dia keluarkan Pedang Bulan Sabit yang didapatnya dari tujuh orang katai yang mengaku sebagai utusan Sang Kebenaran. Perlahan-lahan dia pergunakan tangan kanan untuk menarik gagang pedang. Meskipun saat itu matahari bersinar cerah namun kilau cahaya putih terang dan indah dari Pedang Bulan Sabit yang dicabut dari sarungnya tidak menjadi redup. Sementara Resi Khandawa Abitar merapal doa di dalam hati, sosok Resi Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah yang tergeletak di tanah berusaha memusnahkan kekuatan yang membuat sekujur tubuhnya kaku. Dia sadar sesuatu akan terjadi atas dirinya. Karena itu dia harus bisa melarikan diri. Namun jangankan membebaskan diri, begerak sedikitpun dia tidak bisa. ”Kurang ajar! Resi itu telah melumpuhkan sekujur auratku dengan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya? Resi Mirpur Patel menyumpah geram. ”Khandawa Abitar! Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau melakukan sesuatu atas diriku!” Resi Mirpur Patel keluarkan ancaman. Sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan senjata di tangan Resi Khandawa Abitar. Resi Khandawa sendiri tidak perdulikan ancaman orang. Sambil memegang Pedang Bulan Sabit di tangan kanan dia melangkah mendekati Resi Mirpur Patel. ”Kau mau melakukan apa?!” teriak Mirpur Patel. ”Kebenaran harus ditegakkan. Hukum harus dilaksanakan. Dewa menyampaikan pesan melalui Pedang Bulan Sabit ini! Selesai berucap Resi Khandawa Abitar tekankan ujung runcing Pedang Bulan Sabit ke kening Resi Mirpur Patel. Gerakannya perlahan saja, tidak sampai membuat kening Mirpur Patel terluka. Satu kilatan cahaya putih melesat masuk menembus batok kapala Resi Mirpur Patel, menjalar ke seluruh tubuhnya yang kemudian terjengkang di tanah gurun. Bersamaan dengan itu terjadilah hal aneh. Kegelapan mendadak menyungkup gurun pasir dimana orang-orang itu berada. Ketika kegelapan lenyap dan udara terang benderang kembali sekujur tubuh Resi Mirpur Patel yang kurus jangkung tergelatak berubah menjadi sosok tanpa daging, nyaris menyerupai jerangkong. Sosok itu mengepulkan asap luar biasa panas hingga Purnama menjauh sampai lima langkah. Dari mata, telinga, mulut dan hidung mengucur cairan hitam. ”Mirpur Patel. Darahmu hitam bukan merah. Pertanda Para Dewa telah memperlihatkan kehitaman hatimu. Hari ini riwayatmu telah tamat. Sekarang pergilah untuk selama-lamanya dari muka bumi ini.” Resi Mirpur Patel keluarkan suara menggembor keras. Cairan hitam bermuncratan dari mulut, mata, hidung dan telinga. Begitu suara menggembor putus, dari mulutnya keluar jeritan keras berkepanjangan. Resi Mirpur Patel yang dalam keadaan hidup tidak matipun tidak merasa sekujur tubuhnya dilanda panas luar biasa. ”Rasi jahanam Itu tidak membunuhku! Dia mau menyiksa diriku dengan hawa panas memanggang seumur hidup! Dari mana dia dapatkan ilmu itu? Dari pedang celaka berbentuk bulan sabit Ku? Kurang ajar !. Dari mana dia dapatkan pedang keparat itu?” Resi Mirpur Patel menyumpah habis-habisan. Lalu dia merapal segala macam mantera untuk menolak dan memusnahkan hawa panas dalam tubuhnya. Namun sia-sia saja. Resi Khandawa Abitar masukkan Pedang Bulan Sabit ke dalam sarung. Pedang sakti dipegang dengan tangan kanan. Lalu dengan tangan kiri dia cabut tongkat Kuntala Biru dari tanah gurun. Tongkat disapukan ke arah Resi Mirpur Patel. ”Dess! Dess! Desss!” Tubuh Resi Mirpur Patel keluarkan letupan sampai tiga kali Resi Khandawa Abitar berucap setengah membentak seraya kaki kanan dihentakkan ke tanah gurun. ”Pergilah!” Pedataran Pasir Gurun Tengger bergetar oleh hentakan kaki Resi Khandawa Abitar. Resi Mirpur Patel maklum apa yang akan terjadi. Dia berusaha meronta dan menerjang. Namun tak mampu bergerak. ”Resi Khandawa Abitar! Aku tidak akan mati! Tidak pernah! Aku akan tetap hidup sejuta tahun! Aku akan membalas semua perbuatanmu ini !” ”Resi Mirpur Patel. Kau tidak punya daya, tidak punya kekuatan. Saatnya kau pergi.” Resi Khandawa Abitar goyang dan putar ujung tongkat biru lalu disentakkan ke atas. Saat itu juga tubuh Resi Mirpur Patel yang setengah terpendam di tanah berpasir melesat ke udara, lenyap seolah menembus langit. Setelah sosoknya hilang dari pemandangan suara jeritannya masih terdengar mengumandang. Resi Khandawa Abitar tarik nafas panjang dan dalam lalu bekata. ”Semua sahabat yang ada disini. Resi jahat itu akan terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hiduppun tidak. Sekujur tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari selamat sementara, itupun kalau dia tahu caranya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari yang telah diperbudaknya dengan ilmu setan.” Resi Khandawa mendongak menatap ke langit. ”Tujuh manusia katai utusan Sang Kebenaran. Tugasku sudah selesai. Apakah para sahabat bermaksud mengambil kembali Pedang Bulan Sabit?” Baru saja ucapan berakhir di langit arah barat kelihatan tujuh titik begemerlap, melayang ke arah Gurun Pasir Tengger dimana Resi Khandawa Abitar berada. Tak selang berapa lama tujuh titik berubah membesar dan sesaat kemudian tujuh manusia katai bersorban yang mengeluarkan cahaya putih sejuk telah berada di tempat itu. Mereka berdiri berjejer di hadapan Resi Khandawa Abitar. Tujuh pasang kaki mereka sama sekali tidak menginjak pasir gurun. Tergantung di udara seujung kuku jari dari tanah. Ketujuh manusia katai membuka sorban masing-masing. Sorban diletakkan di atas pasir gurun lalu mereka sama-sama membungkuk memberi hormat. Resi Khandawa Abitar membalas hormat kamudian melangkah mendekati manusia katai di sebetah tengah. ”Bukankah sudah saatnya aku harus mengembalikan Pedang Bulan Sabit? Dan kau serta kawan-kawan sudah datang menjemput.” ”Resi Yang Mulia. Apa yang kau katakan tidak keliru. Sebenarnya Sang Kebenaran juga mempunyai pesan. Pedang itu kami ambil lantas kami serahkan pada seseorang yang ada di tempat ini….” Resi Khandawa Abitar berpaling ke arah Purnama yang tegak di sampingnya. ”Maksud kalian pedang akan diserahkan pada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri di sampingku ini?” ”Resi Yang Mulia. Kami mahluk-mahluk yang punya keterbatasan. Di alam lain selain alam kami, kami tidak bisa melihat sosok seorang perempuan…” Sepasang alis mata Purnama mengerenyit naik ke atas. Resi Khandawa Abitar tersenyum. ”Sayang sekali,” katanya. ”Gadis yang ada di sebelahku bertubuh elok dan berparas sangat cantik. Kalian benaran tidak mau melihatnya?” Tujuh manusia katai termesem-mesem dan saling sikutsikutan satu sama lain. Lalu adalah seorang dari mereka menjawab. ”Kalau hal itu kami lakukan, Sang Kebenaran akan murka dan kami tidak bisa kembali lagi ke alam kami.” ”Aku mengerti.” jawab Resi Khandawa Abitar pula. ”Jadi bagaimana dengan Pedang Bulan Sabit ini?” ”Kami akan mengambilnya. Jika Sang Kebenaran kemudian memberikan perintah baru, ResiYang Mulia pasti akan mengetahui. Paling tidak akan mendapat petunjuk di dalam samadi” Jawab manusia katai di sebelah tengah lalu dia maju mendekat dan ambil Pedang Bulan Sabit dari tangan kanan Resi Khandawa Abitar. Setelah mengenakan sorban kembali dan membungkuk memberi hormat pada Resi Khandawa Abitar di hadapan tujuh manusia katai keluar tabir asap. Ketika tabir ini lenyap tujuh manusia katai sudah melayang ke langit dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Purnama datang mendekati Resi Khandawa Abitar. ”Gadis baju biru, aku masih ada satu pekerjaan yang harus dilakukan. Menjauhlah dulu.” Purnama terpaksa bersurut kembali. Sang Resi masukkan ujung tongkat Kuntala Biru ke bagian tongkat emas yang berbentuk bulat milik Resi Mirpur Patel yang saat itu masih menancap di tanah. ”Tombak emas Pusaka Langit Ketiga. Kembalilah ke tempat asalmu di Lembah Godavari! Resi Khandawa Abitar sentakkan ke atas tongkat Kuntala Biru di tangan kanan. ”Tring!” Terdengar suara berdering ketika dua tongkat sakti saling beradu disertai memerciknya bunga api berwarna kuning dan biru. ”Wuttt!” Tongkat emas milik Resi Mirpur Patei tercabut dari tanah, melesat Ke udara dengan kecepatan luar biasa hingga hanya terlihat berupa satu cahaya kuning terang. Cahaya ini berputar tiga kali di atas Gunung Bromo lalu menderu ke langit dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Resi Khandawa Abitar usap wajahnya sampai tiga kali. Ketika dia berpaling ke arah Purnama ternyata sigadis tidak hanya sendirian di tempat itu. Ada empat orang lain bersamanya. Sang Resi ingat ke empat orang ini adalah orang-orang yang tadi dilihatnya sewaktu melayang turun ke Gurun Pasir Tengger. *** ENAM YANG pertama sekali diperhatikan Resi Khandawa Abitar adalah si bocah berambut jabrik Naga Kuning dan nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Sang Resi senyum mesem-mesem melihat kedua orang ini terutama Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada Ratu Duyung, melirik sekilas pada Purnama seolah ingin membandingkan kecantikan dua gadis ini. Terakhir sekali matanya dialihkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Berdiri cukup dekat begitu rupa kini Resi sakti ini dapat melihat keadaan Wiro lebih jelas. Seperti yang sudah dilihatnya sebelumnya lewat ilmu Mengulur Matai Menjerat Pandang dia mampu mengetahui keberadaan satu senjata sakti di dalam tubuh murid Sinto Gendeng. Berhadapan begitu dekat Resi Khandawa dapat melihat bentuk senjata yang ada dalam tubuh Wiro. ”Kapak bermata dua….” ucap sang Resi dalam hati. Lebih dan itu dia juga melihat adanya benda-benda sakti lainnya didalam kantung celana sang pendekar. Lalu dia juga melihat keberadaan dua buah kitab dibalik pakaian Wiro. Bahkan Resi sakti ini juga melihati tanda putih di bawah pusar sang pendekar. ”Dua kitab sakti mandraguna. Satu salinan, satu lagi yang sudah terbakar hangus. Ah kasihan pemuda ini, dia mengindap satu penyakit sangat menakutkan. Siapa yang punya pekerjaan. Resi Mirpur Patel? Apakah aku bisa menolong pemuda ini? Mudahmudahan Dewa memberi petunjuk.” Sadar kalau dia terlalu lama memperhatikan orang-orang itu Resi Khandawa Abitar buru-buru membungkuk menghatur hormat. ”Semua sahabat yang ada di sini, maafkan aku sammpai terkesima melihat orang-orang gagah seperti kalian. Terima salam hormatku. Aku Resi Khandawa Abitar dari Gurun Thar di negeri India.” Resi Khandawa perkenalkan diri dan lagi-lagi unjukkan senyum ketika melihat ke arah Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Si bocah karena merasa, mulutnya yang jahil langsung saja bertanya polos. ”Kek, dari tadi kau mesem-mesem saja melihat diriku. Apakah ada yang lucu?” Resi Khandawa Abitar batuk-batuk beberapa kali. Dia menjawab. ”Sahabatku kecil. Kau tak pantas memanggil diriku Kakek. Karena kalau tidak salah aku menduga, usiamu lebih tua dari diriku.” Naga Kuning jadi melongo. Gondoruwo Patah Hati cubit pinggang si bocah lalu berbisik. ”Anak konyol! Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa? Kalau bukan Resi ini yang menolong, kita semua termasuk kau sudah ditimbun pasir topan!” ”Aku tahu,” menyahuti Naga Kuning. ”Tapi aku juga tahu satu hal lain! Dia pasti melihat waktu kita saling tindihan dan kau mengusap ke bawah perutku. Itu sebabnya dia mesem-mesem terus melihat kita! Hik…hik!” Ucapan Naga Kuning membuat Gondruwo Patah Hati jadi terdiam. Wiro maju mendekati dan membungkuk di hadapan Resi Khandawa Abitar. ”Resi Khandawa, terima salam hormatku. Namaku Wiro. Gadis di sebelah kanan ini Purnama…” ”Aku sudah kenal,” menerangkan Resi Khandawa Abitar. Wiro meneruskan sambil menunjuk pada Naga Kuning. ”Anak ini Naga Kuning, nenek di sebelahnya Gondoruwo Patah Hati dan gadis bermata biru ini Ratu Duyung.” ”Aku maklum, kalian semua adalah orang-orang gagah rimba persilatan negeri ini, berhati baja berkepandaian tinggi.” ”Resi Khandawa, kami semua di sini mengucapkan terimakasih. Kau telah menolong kami hingga selamat dari bencana topan gurun pasirTengger.” ”Semua itu atas kuasa dan kehendak Para Dewa. Harap….” Saat itu tiba-tiba ada seseorang mendatangi dan begitu sampai di hadapan Resi Khandawa Abitar dia langsung jatuhkan diri. Orang ini ternyata adalah Resi Jantika Lamantara. ”Resi Yang Mulia, apa yang barusan diucapkan pemuda ini benar adanya. Saya Resi Jantika Lamantara dari Kuil Bromo Agung menghaturkan puji syukur dan berterima kasih padamu. Kau telah diutus untuk menyelamatkan kami. Kuil tidak sedikitpun mengalami kerusakan. Semua barang sesajian yang disiapkan penduduk untuk upacara Kasada besok juga berada dalam keadaan utuh….” Resi Khandawa Abitar pegang bahu Resi Jantika Lamantara dan menolongnya berdiri. ”Semua adalah atas kehendak dan kuasa Para Dewa. Perlindungan itu datang dari Yang Maha Kuasa. Aku sama dan tiada beda dengan dirimu. Kita adaah orang-orang yang hidup untuk mengabdi pada ummat manusia.” ”Resi Khandawa dan para sahabat semua. Kalau saja saya boleh mengundang rasanya lebih baik kita meneruskan pembicaraan di Kuil Bromo Agung tempat kediaman saya…” ”Dengan senang hati aku menerima undanganmu Resi Jantika. Apa aku akan mendapat suguhan teh harum. Aku mendengar kabar teh di sini ini lebih sedap dari teh di daerahku. Apalagi jika dicampur pemanis gula merah.” Resi Jantika berjalan paling depan mendampingi Resi Khandawa. Wiro dan yang lain-lain mengikuti di belakang. Sang surya yang bersinar cukup terik tidak terasa panas karena hawa gunung yang sangat sejuk mampu membendung keterikan itu. Sampai di Kuil Bromo Agung tempat kediaman Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang, para tamu disuguhi teh manis bergula merah serta singkong dan ubi rebus hangat. ”Buah putih panjang dan merah bulat yang direbus ini.” kata Resi Khandawa Abitar sambil menunjuk pada singkong dan ubi rebus, ”Tak ada di negeriku. Sungguh sedap… Sang Resi menyeka bibirnya lalu meneruskan ucapan. ”Kailan semua disini tadi menyaksikan bagaimana aku telah mempecundangi Resi Mirpur Patel, yang kalian kenal sebagal insan tanpa wajah Itu. Namun karena dia tidak mati, aku yakin dia akan melakukan pembalasan. Karena itu aku mengingatkan agar kalian semua terus berhati-hati. Sekarang, kalau boleh aku ingin menanyakan beberapa hal pada kalian. Aku mulai dengan sahabat berbaju biru. Purnama, waktu di gurun tadi kau menyebut nama Deewana Khan. Dia salah satu orang kepercayaanku. Tapi aku punya firasat dia sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Bagaimana kejadiannya kau mengenal Deewana Khan?” Purnama lalu menuturkan peristiwa sewaktu Deewana Khan menemuinya dan menyerahkan dua kitab bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Satu kitab asli tapi dalam keadaan hangus, satunya salinan yang tidak dapat dibaca karena semua halamannya kosong melompong. ”Deewana Khan keadaannya sangat mengerikan. Mukanya berlumuran darah. Mata kanan hanya merupakan rongga besar menggidikkan…” ”Itu pasti pekerjaan Resi Mirpur Patel, kata Resi Khandawa Abitar pula. ”Kau menerangkan Deewana Khan menyerahkan dua buah kitab. Dimana kau simpan dua kitab itu sekarang?” Sebenarnya dari penglihatannya Resi Khandawa Abitar sudah tahu kalau dua kitab itu berada pada pemuda gondrong yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia bertanya sekedar untuk menguji kejujuran sahabat-sahabat barunya itu. Purnama menjawab. ”Deewana Khan berpesan agar dua buah kitab diserahkan pada sahabat Wiro. Karena katanya hanya Wiro yang sanggup memecahkan rahasia yang ada dalam kitab.” ”Benar Resi, dua buah kitab itu ada padaku. Karena aku yakin dua kitab adalah milikmu maka aku akan menyerahkan padamu.” Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan dua buah kitab dimaksud lalu menyerahkan pada Resi Khandawa Abitar. Sang Resi meletakkan dua buah kitab di atas dadanya. Wiro menjelaskan. ”Berdasarkan petunjuk dalam kitab yang hangus aku dan Purnama mendatangi Gunung Bromo dan bertemu dengan seorang manusia dari alam gaib mengaku bernama Suma Mahendra. Dia banyak membantu memberi penjelasan. Menurut Suma Mahendra ratusan tahun silam dia menitis masuk ke dalam tubuh seorang bayi bernama Cakra Mentari…” Belum selesai Wiro menutur, Resi Khandawa Abitar mengangkat tangan kanan. ”Cakra Mentari! Itulah pemuda yang menjadi budak ilmu sesat Resi Mirpur Patel. Bukankah dia yang telah mencelakai dirimu?” Wiro mengangguk. ”Bukankah dia juga yang memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis tak berdosa?” Wiro mengangguk lagi. ”Jika kelak kau berhadapan dengan dirinya kuraslah tiga ratus lima bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya. Niscaya dia tidak akan berdaya.” ”Suma Mahendra juga mengatakan hal itu,” berucap Purnama. ”Namun sayang dia tidak menerangkan bagaimana cara menguras bunga tanjung yang ada dalam tubuh Cakra Mentari. Apakah Resi Khandawa mengetahui sesuatu?” Resi Khandawa Abitar yang duduk bersila di lantai kuil letakkan dua kitab di pangkuan lalu mengambil Tongkat Kuntala Biru. Dia minta Wiro mengembangkan telapak tangan kanan lalu ujung tongkat ditempelkan ke telapak yang terkembang. Sesaat kemudian tongkat biru tampak bergetar. Satu aliran cahaya biru menjalar dari ujung yang berkeluk ke ujung yang menempel di telapak tangan Wiro. Ketika cahaya biru menyentuh telapak tangan itu ujung tongkat Kuntala Biru mengepul dan terpental ke atas setinggi setengah jengkal. Wiro sendiri merasakan tubuhnya seperti dihenyak dibenamkan ke lantai kuil, keringat membanjir, pakaiannya sampai kuyup. Pada bagian bawah pusarnya dimana terdapat tanda putih bekas tempelan bunga tanjung terasa mendenyut sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sampai-sampai rahangnya menggembung menahan sakit. Resi Khandawa Abitar kerenyitkan kening. Dia membungkuk memperhatikan telapak tangan Wiro. Samar-samar dia melihat ada tulisan tiga angka di telapak tangan itu. Angka 212. Seperti yang diriwayatkan, ketika Eyang Sinto Gendeng mewariskan ilmu kesaktian pada Pendekar 212 di puncak Gunung Gede, nenek sakti itu telah membuat jarahan angka 212 dengan jarum di dada sang murid. Angka ini kemudian dilenyapkan oleh Ki Gede Tapa Pamungkas karena menurut guru Sinto Gendeng ini tanda jarahan tiga angka itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudarat ketidakbaikan dari pada manfaat kebaikan. Musuh secara mudah mengenali Wiro. Selain angka 212 di dada, Eyang Sinto juga memasukkan angka 212 ke dalam telapak tangan Wiro. Telapak tangan yang mengandung racun itu bisa membunuh lawan dengan sekali hantam saja. Ketika pertama kali turun gunung Wiro memang sering mempergunakan ilmu kesaktian ini. Semua orang jahat yang dihajarnya tewas dengan tanda angka 212 hitam gosong di keningnya. Kalaupun orang yang dipukul tidak sampai mati namun seumur hidup angka 212 di keningnya tidak bisa dilenyapkan. Rimba persilatan di tanah Jawa geger. Banyak yang berpendapat bahwa mati dengan tanda angka 212 di keningnya bagi para penjahat sudah cukup pantas. Namun banyak pula yang menganggap hal itu sebagai tindakan kekejaman. Selanjutnya Wiro jarang mempergunakan ilmu pukulan ini karena selain tidak mau meninggalkan tanda pamer diri, dia juga tidak mau dicap sebagai pendekar muda yang sombong. Melihat apa yang terjadi Resi Khandawa Abitar berkata. ”Ah … maafkan aku yang tidak tahu. Pintu masuk rupanya sudah ada yang menjaga. Anak muda, mohon ganti tangan kananmu dengan tangan kiri.” ***
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 12:54:32 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015