OBSESSION >Mizuira kumiko Ch.9 . . Telepon dari siapa, - TopicsExpress



          

OBSESSION >Mizuira kumiko Ch.9 . . Telepon dari siapa, Sai? tanya gadis berambut merah muda dengan sebelas alis terangkat pada sosok pria berambut hitam yang tengah menyetir mobil di sampingnya. Sai tidak menjawab langsung dan mengembalikan handphone miliknya ke saku jasnya. Dirinya menghela nafas berat dan memandang wajah Sakura dengan pandangan tak enak. Dari Kakekku… Apa yang dikatakannya? tanya Sakura lagi. Nggg~dia menyuruhku datang ke kantornya untuk ikut menghadiri rapat mengenai proyek terbaru… sekarang juga aku harus ke sana. Sakura langsung menampakan raut wajah sedih. Berarti kita tak bisa pergi ke panti asuhan itu, ya? Iya. Tidak sekarang… tapi, aku janji padamu. Aku pasti akan mengajakmu pergi ke sana, ucap Sai dan mengusap pelan puncuk kepala merah muda Sakura. Sakura hanya menganggukan kepala dan menghela nafas. Baiklah. Aku mengerti. Kuantar kau pulang sekarang, ucap Sai lagi dan langsung membelokan arah mobilnya ke kanan. Kembali berbalik ke arah rumah Sakura dengan perasaan yang tak enak karena sudah tak bisa mengajak Sakura pergi ke panti asuhan sesuai dengan apa yang dikatakannya beberapa menit yang lalu. Tak butuh waktu yang lama untuk Sai mengantarkan Sakura kembali ke rumahnya. Karena mereka berdua memang baru saja berangkat dari 10 menit yang lalu dan jarak yang ditempuh pun tak terlalu jauh, baru sampai keluar dari pemukiman perumahan Winter Blossom. Ketika mobil yang ditumpangi oleh Sakura sudah sepenuhnya berhenti di depan rumah, Sakura berinisiatif untuk turun dari mobil sendiri. Karena dia tak mau merepotkan Sai yang memang sedang dikejar waktu sekarang ini. Hati-hati di jalan! nasihat Sakura dengan seulas senyum tulus yang terlukis di bibir mungilnya. Kau juga… hubungi aku jika kau butuh bantuan, ucap Sai,aku pergi. Mobil yang dikemudikan oleh Sai mulai meninggalkan halaman depan rumah Sakura. Sebelah tangan Sai sempat keluar dari jendela mobil dan melambaikan tangannya pada Sakura sebelum mobilnya menghilang dibelokan dari blok rumahnya. Tak ingin berlama-lama di luar rumah akhirnya Sakura mulai menggerakan kakinya yang sudah lumayan pulih untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Sepi. Tentu saja. Ibunya pasti juga sudah meninggalkan rumah untuk berbisnis. Di rumah sebesar ini hanya dirinya dan juga para pembantu yang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sejak dua tahun lalu Sakura memang merasa kesepian. Ayah dan ibu angkatnya selalu pulang larut malam, yang selalu menemani dirinya setiap waktu hanyalah kakak angkatnya saja, Naruto. Baginya kehadiran Naruto adalah sebuah obat yang selalu harus dia konsumsi, jika tidak dia pasti akan mati karena kesepian. Mengingat soal kakaknya dia jadi rindu. Dan dengan pemikiran seperti itu akhirnya dia melangkah naik menuju lantai dua. Lebih tepatnya dia pergi ke kamar kakaknya, mudah-mudahan saja dengan mengunjungi kamar Naruto bisa mengurangi sedikit rasa rindunya, begitulah menurut pemikirannya. . . . . Sakura berdiri di ambang pintu kamar Naruto yang tertutup rapat. Di dalam hatinya ini adalah kali kedua setelah 10 tahun terakhir dia masuk ke dalam kamar ini. Sendiri. Dengan alasan ingin melihat-lihat bukan untuk membangunkan kakaknya untuk pergi ke sekolah. Setelah menghembuskan nafasnya perlahan, tangan kanan Sakura memegang knop pintu dan mendorongnya ke dalam. Seketika bau kamar khas laki-laki tercium dan membuatnya sangat nyaman. Sakura menutup kembali pintunya ketika dirinya sudah sepenuhnya berada di dalam. Dia menyenderkan kedua kruknya di dinding dekat pintu masuk. Dan dengan perlahan kedua kakinya melangkah mendekati tepi tempat tidur dan duduk di atasnya. Sebelah tangannya meraba-raba seprai tempat tidur yang terasa sangat nyaman. Brukk! Sakura menjatuhkan setengah tubuhnya ke atas tempat tidur—kedua kakinya menggantung di atas lantai—dan menghirup dalam-dalam aroma parfum yang sering dipakai oleh Naruto yang baunya masih menempel di seprai tempat tidur. Mencium baunya membuat dirinya membayangkan jika sosok Naruto berada di ruangan ini sekarang. Sakura memejamkan kedua matanya selama beberapa detik dan setelahnya bangkit berdiri. Dia duduk ditepian tempat tidur dan memandang ke sekeliling ruangan dari sudut ke sudut yang lain. Pandangan kedua mata emerald itu berhenti di sebuah rak buku yang isinya terlihat sangat berantakan. Sakura tersenyum maklum melihatnya, karena Naruto mana mungkin mempunyai waktu untuk membereskan kumpulan buku-bukunya yang sudah mencapai puluhan, baik buku ilmu pengetahuan, umum maupun novel dan komik. Sedikit penasaran akhirnya Sakura berjalan mendekat pada rak buku itu dan mengambil sebuah novel yang terlihat baru dari sampulnya. Namun, karena ketidak hati-hatiannya beberapa buku jadi terjatuh. Sedikit menggerutu kesal Sakura berjongkok untuk memungut buku-buku itu, sedangkan novel yang tadi diambilnya ditaruh sementara di atas meja belajar di samping rak buku berada. Pada buku terakhir yang Sakura lihat sebelah alisnya langsung terangkat dan dahinya sedikit terlipat. Sakura menaruh buku-buku yang sudah diambilnya ke dalam rak, dan buku terakhir yang dia lihat segera dibukanya tepat dibagian tengah-tengah yang diberi pembatas sebuah amlop yang sama sekali tidak asing dalam ingatannya. Tangan Sakura bergetar hebat ketika menarik amplop dari dalam buku itu. Kedua mata emeraldnya mulai berkaca-kaca dan pandangannya sedikit menjadi mengabur. Dirinya mulai terisak pelan dalam diam. Jantungnya berdegup dengan cepat membuat dadanya juga sesak; sakit. Ti-tidak mungkin Naruto, ucapnya disela isakannya. Sakura membaca dengan jelas tulisan apa yang ada dibagian bawah. Tulisan dengan huruf sambung bahwa amplop itu memang ditujukan untuk Sakura. Tak ingin berlama-lama di kamar Naruto akhirnya Sakura segera keluar setelah sebelumya menaruh kembali buku itu beserta amplopnya. ##Obsession## Konoha High School 12.00 p.m. Kantin Bagaimana keadaanmu, Ino? tanya Hinata dengan nada cemas. Kedua mata lavendernya memandangi wajah seorang gadis bermata aquamarine dengan khawatir dan juga bingung. Sedangkan gadis yang ditanya itu tidak langsung menjawab dan malah sibuk memakan es krim strawberry yang baru saja dipesannya lima menit yang lalu di konter makanan. Kedua mata aquamarinenya mengerling sebentar pada wajah gadis yang tadi menanyakan keadaannya. Baik. Kenapa? Bletakk! Kepala gadis berambut aquamarine itu di jitak oleh seorang gadis bercepol dua dari belakang. Wajah gadis berambut coklat itu menunjukan wajah garang dan dengan gusar duduk di samping Ino. Mudah sekali kau menjawab seperti itu, Ino! ucapnya lumayan keras dan langsung mengambil mangkuk es krim di hadapan Ino sedangkan gadis yang sudah terkena jitakannya hanya mengaduh kesakitan. Aaa…. Es krimku~ ucap Ino dan menatap mangkuk es krimnya dengan tatapan nanar. Apa kepalamu terbentur sesuatu? tanya Tenten dan mulai menyendok penuh es krim milik Ino dari mangkuknya. Hah? Dua jam yang lalu kau baru saja mengalami sebuah peristiwa yang membahayakan nyawamu. Dan sekarang kau di sini malah makan es krim. Juga menjawab pertanyaan Hinata dengan wajah datar dan malah balik bertanya kenapa. Lalu apa masalahnya? Aku berada di sini berarti aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Jadi, aku mencoba untuk tidak menyia-nyiakannya. Dengan makan es krim sebanyak-banyaknya? tanya Hinata juga ikut bertanya heran dan kedua mata lavendernya yang memandang banyaknya mangkuk es krim yang sudah menumpuk di depannya. Ino yang mendengarnya hanya nyengir dan menjulurkan lidahnya keluar. Ya, begitulah.. Lumayan, ucap Tenten setelah memasukan satu sendok penuh es krim ke dalam mulutnya. Sedangkan Ino yang melihatnya segera berusaha untuk merebut mangkuk es krimnya kembali. Ino… boleh ku bertanya sesuatu? Hinata menatap wajah Ino dengan wajah sangat, sangat serius. Ino yang mendengar hal itu langsung menghentikan aktivitas merebut es krimnya dari Tenten dan memandang wajah Hinata dihadapannya dengan penasaran. Apa? Bagaimana bisa Gaara ada bersamamu saat di atap itu? Ino yang mendengarnya sedikit tegang dan memaksakan untuk tersenyum. A-aku memang sedang mengobrol dengan Gaara di atap waktu itu. Dan karena ketidak hati-hatian aku jadi terjatuh. Bukan karena dia yang mencoba untuk membuatmu jatuh? tanya Hinata. Tenten yang mendengar Hinata mengatakan hal itu langsung berhenti memakan es krim dan memandangnya dengan pandangan tidak percaya. Bagaiaman bisa kau mengatakan hal mengerikan seperti itu? tanyanya. Memangnya kenapa? Aku hanya sedikit merasa aneh saja dengan sikap Ino dan Gaara akhir-akhir ini. Makanya aku bertanya seperti itu, jawab Hinata dengan volume suara yang sedikit membentak. Kau ini kenapa, Hinata? tanya Tenten tak percaya bahwa ini pertama kalinya dirinya mendengar sahabat baiknya yang selalu bersikap lembut dalam hal tutur kata bisa berbicara sedikit keras dan membentak seperti ini. Aku? Hinata balik bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Tidak kenapa-kenapa. Sudah diam! Kenapa jadi kalian yang bertengkar? tanya Ino dengan gusar bangkit berdiri dan brakk dia memukul meja dengan keras membuat semua murid yang ada di kantin itu menengok semua ke mejanya. Kami tidak bertengkar! sanggah Tenten yang juga ikut memukul meja. Kalian berdua tadi sudah saling berteriak, ucap Ino. Tenanglah sedikit, Ino! ucap Hinata yang juga bangkit berdiri. Aku sudah tenang dari tadi, Hinata! teriak Ino. Tidak! Kau sama sekali tidak dalam keadaan tenang, ucap Hinata sengit. Bukankah hal ini yang kau mau? Apa maksudmu? tanya Hinata yang mulai tidak mengerti arah dari pembicaraan Ino. Kau ingin aku menangis dan berteriak-teriak histeris seperti orang gila karena dua jam yang lalu aku baru saja di ambang kematian. Begitu? teriak Ino yang kedua matanya mulai berkaca-kaca. B-bukan seperti itu, Ino. Kau salah mengartikan perkataan Hinata, Ino! ucap Tenten dan merangkul bahunya. Kau juga sama saja, Tenten! … A-apa? Kalian… tidak tahu bagaiamana perasaanku waktu itu. Kami tahu, Ino, ucap Hinata nyaris terdengar seperti sebuah bisikan pelan. Aku takut. Aku pikir aku akan mati tadi..hiks.. hiks.. ucap Ino dan mulai menangis terisak dengan kedua bahu yang bergetar. Kalian seharusnya mengerti apa yang aku mau saat ini. Bukannya malah saling bertengkar. Ino menundukan kepalanya dan memandang kedua ujung sepatunya dengan pandangan yang mengabur karena air mata yang sudah banyak berjatuhan. Sebelah tangan Ino dengan kasar menghapus kedua pipinya dan secepat kilat langsung berjalan keluar dari kantin. Menabrak banyak siswa yang sudah banyak berkerumun melihatnya bersama teman-temannya. Tenten dan Hinata yang melihat Ino pergi dengan cepat meninggalkan kantin juga ikut pergi dengan arah yang berbeda. Mereka merasa jika kali ini masalah yang mereka hadapi tidak mudah. Jujur di dalam hati ketiga gadis itu membutuhkan sosok seorang gadis berambut merah muda sekarang. Kami membutuhkanmu sekarang, Sakura, batin ketiganya yang sama-sama mengeluarkan air mata. Keadaan kantin sesudah kejadian tadi mulai kembali seperti biasa. Semua siswa maupun siswi mulai duduk kembali di bangku kantin namun masih tak ada yang berbicara. Keadaan kantin saat ini sangat sunyi dan sepi, yang terdengar hanya suara dentingan sendok maupun garpu di atas piring. Mungkin mereka semua juga ikut shock melihat pertengkaran Ino dan teman-temannya yang mereka pikir tidak akan pernah terjadi. Kupikir ini adalah kesempatan yang bagus,batin seseorang,untuk melenyapkanmu, Yamanaka Ino. ##Obsession## Sunagakure - Kantor Kepolisian Pusat Ruang Penelitian 14.00 pm Ruangan yang cukup luas dengan cat dinding berwarna putih gading itu nampak sangat bersih, rapi dan juga steril. Lantainya yang memakai keramik berwarna coklat nampak mengkilat dan juga nyaman. Beberapa ranjang beroda nampak terpajang di setiap sisi dinding tak jauh dari pintu masuk. Dan tiga buah lemari kaca berukuran sedang—terisi berbagai macam obat-obatan dan berbagai alat bedah. Lampu yang besar nampak menggantung tepat di tengah-tengahnya yang langsung menyorot sebuah ranjang yang di atasnya tergeletak satu tubuh kaku seorang gadis. Pintu masuk ruangan tersebut terbuka lebar dan menampakan tiga orang pemuda yang satunya memakai jas dokter dan berkaca mata. Sepasang mata onyx itu melirik sepasang mata onyx lain di sampingnya. Dari tubuhnya yang sudah mulai membiru dan kaku, di perkirakan waktu kematiannya adalah 6 jam yang lalu, ucap seorang pria berambut perak berkaca mata. Dia mendahului berjalan memimpin di depan dan mendekat ke ranjang di mana ada satu mayat yang tertidur di atasnya. Pria berkaca mata itu menyingkap sehelai kain yang menutupi wajahnya sebatas dada. Kedua mata onyx milik Uchiha Itachi itu melihat sebuah wajah yang sudah memucat karena tidak ada darah lagi yang mengalir dalam wajah itu. Jika manusia mati maka semua aliran darah yang berada di dalam tubuhnya akan berhenti untuk mengalir dan kemudian membeku. Apa sudah diketahui identitas dari mayat ini? tanya Sasuke sambil memakai sebuah sarung tangan karet di kedua tangannya. Dia berjalan mendekat pada Itachi yang tanpa berkedip melihat jasad di hadapannya. Gadis ini tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya, jawab Kabuto yang sedang memakai sarung tangan juga. Seragam sebuah sekolah maksudmu? tanya Itachi yang kali ini bersuara. Benar. Gadis ini memakai sebuah seragam ternama di Sunagakure. Dan dari sana polisi mulai mencari identitasnya. Itachi lihatlah bagian ini! perintah Sasuke dan menunjuk sebelah mata yang berlubang dengan hanya tatapan mata. Sebelah tangan Sasuke bergerak menuju samping kepala mayat itu dan sedikit menggerakannya ke kiri. Lubang di matanya tembus sampai samping belakang kepalanya, gumam Itachi. Apa disengaja oleh pembunuhnya? Aku rasa tidak… lubang di matanya ini adalah murni sebuah kecelakaan, sanggah Sasuke. Ukuran lubang bagian depan sedikit berbeda dengan bagian belakang. Menurutku luka di kepalanya inilah yang menyebabkan kematiannya, ucap Sasuke dan tangannya bergerak menuju bagian leher yang terdapat luka yang tidak kalah mengerikan dengan sebelah mata yang berlubang itu. Lehernya dijerat oleh sebuah tali terlebih dahulu, ucap Itachi dan meneliti bagian leher mayat itu yang terdapat bekas lilitan tali yang besar dan juga kuat sehingga membuatnya meninggalkan bekas keunguan yang parah. Kalian… coba lihat bagian ini! perintah Kabuto dan mundur satu langkah untuk memberikan ruang bagi Sasuke supaya mendekat padanya. Sasuke mengerutkan keningnya dan kedua mata onyxnya melihat ada sebuah kejanggalan di jari kanan korban. Kuku jari telunjuknya terlepas, gumamnya dan nampak berfikir. Apakah mungkin korban melakukan perlawanan pada pembunuhnya? Hal itu sudah pasti karena terdapat banyak luka memar di bagian bahu kanan, pipi, perut dan punggung, ucap Kabuto. Tangan sebelah kanannya mengepal… apa benda yang di genggamnya? Kau memang sangat cermat, Itachi, ucap Kabuto dan berjalan mendekat pada sebuah meja yang tak jauh dari Itachi, membuka salah satu laci dari meja tersebut dan mengambil sesuatu di dalamnya. Tangan Kabuto terangkat dan terlihat sebuah benda dalam plastik. Berikan benda itu pada tim penyelidik agar mencari jejak pembunuhnya, perintah Itachi tegas dan di balas anggukan oleh Kabuto. Tanpa banyak bicara dan berkomentar lagi sosok Kabuto sudah lenyap dari ruangan itu karena sudah pergi secepat kilat sambil membawa sebuah petunjuk yang penting untuk dijadikan langkah pertama bagi tim penyelidik. Bagian mata kirinya utuh dan mata kanannya hilang karena kecelakaan. Bukan pola pembunuhan yang sama yang menimpa kak Konan. Dengan kata lain… orang yang membunuh gadis ini bukanlah yang Kakak cari, ucap Sasuke dan menghela nafas lelah. Aku tahu. Kita pergi, Sasuke! ucap Itachi dan langsung membuka sarung tangannya lantas keluar dari ruangan itu. Sasuke yang melihatnya hanya mengerang frustasi karena kembali gagal menemukan Sang Pembunuh tunangan kakaknya. Kedua mata onyxnya melirik wajah gadis berambut coklat pendek yang terbujur kaku di hadapannya. Cara kematianmu sangatlah tragis, gadis manis, ucapnya dan menutup kembali wajahnya dengan kain. Setelah itu Sasuke juga ikut keluar setelah melepas sarung tangannya. . . . . Aku akan tetap tinggal di Suna. Kau pulanglah, Sasuke. Sudah cukup sampai di sini saja, ucap Itachi tiba-tiba sambil tetap berkonsentrasi menatap ke depan jalanan yang lurus. Sasuke yang mendengarnya segera mengalihkan pandangannya dari layar laptop pada Itachi dengan kedua alis berkedut satu sama lain. Bukannya kau memintaku sampai menemukan pembunuh itu? Kemarin aku memang bilang seperti itu. Tapi, sekarang aku berpikir jika ini bukanlah duniamu, Sasuke. Tch! Bilang saja kau tidak percaya dengan kemampuanku, cerca Sasuke dan kembali menatap layar laptop di depannya. Itachi membelokan stir kemudinya ke arah kanan untuk menuju jalan tol keluar dari Kota Suna. Menghela nafas berat dia melirik Sasuke sekilas. Kau yang bilang bukan aku. Tapi, ini adalah keputusanku… kau akan kuantar pulang hari ini juga. Terserah kau sajalah, dasar plin-plan! Jangan berwajah murung seperti itu! ucap Itachi dan mencoba menahan tawanya untuk tidak meledak. Aku tidak berwajah murung. Aku sedang berpikir, sanggah Sasuke sengit. O, ya? Berpikir mengenai apa? Mengenai pembunuh yang membunuh gadis tadi. Tidak perlu dipikirkan lagi, Sasuke! Menurutku pembunuhnya adalah seorang pria, komentar Sasuke. Tapi benda yang digenggam oleh gadis malang itu adalah sebuah kalung, ucap Itachi yang agak tidak setuju dengan pendapat Sasuke. Memangnya kau pikir hanya perempuan saja yang memakai perhiasan sebuah kalung? Itachi mengangkat bahu dan membuka sedikit jendela mobilnya agar ada udara malam masuk biar menyejukan dan menenangkan hatinya. Coba buka emailku! Mungkin saja data identitas mengenai korban itu sudah dikirimkan padaku, ucap Itachi santai. Dengan cekatan Sasuke membuka email kakaknya dan memasukan pasword yang sudah diketahuinya— karena memang Itachi yang memberitahukannya dulu. Beberapa detik kemudian muncullah photo gadis itu sebelum mati dengan memakai seragam Suna setelah Sasuke mengklik email yang masuk. Gadis itu tersenyum manis dan mengingatkannya pada Sakura. Karena jujur saja, Sasuke melihat bayangan Sakura dalam gadis itu. Gadis yang manis, komentar Itachi,tapi, sayang, kematiannya sangat tragis. Hn. Kedua mata onyx Sasuke menelusuri cetakan angka dan huruf di layar laptop di bawah photo sang gadis. Nama : Matsuri Umur : 17 Th Golongan darah : AB Jenis kelamin : Perempuan Tinggi badan : 163,3 cm Berat badan : 48 kg Asal : Sunagakure Status : Siswi Sunagakure High School Ciri fisik : Rambut coklat pendek lurus, warna mata coklat, kulit putih, berwajah oval dan terdapat bekas jahitan kecil di sekitar dagu bawah N. B : Dikabarkan hilang oleh pihak keluarga satu minggu yang lalu tanpa membawa apapun dari rumah. Pakaian yang dikenakan terakhir adalah seragam sekolah Sunagakure. Sasuke kembali menautkan kedua alisnya setelah membaca profil dan tambahan komentar dibagian akhirnya. Satu minggu yang lalu? Jika tak salah… Ada yang janggal? tanya Itachi dan melirik sekilas wajah sedang berpikir Sasuke. Sedikit. Sekitar satu minggu yang lalu sekolahku kedatangan murid baru yang berasal dari Sunagakure. Benarkah? Tidak tahu kenapa ini sangatlah kebetulan. Apa kau sudah memeriksa orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan gadis bernama Matsuri ini? tanya Sasuke. Belum. Mungkin penyeledikan akan diteruskan besok pagi. Sabaku Gaara… aku merasakan pirasat buruk mengenai dirinya, batin Sasuke. Bisakah kau beritahu aku siapa saja orang yang mempuyai hubungan khusus dengan gadis ini besok? pinta Sasuke tanpa melepaskan pandangannya pada layar laptop. T-tentu saja jika itu yang kau mau, ucap Itachi sedikit terkejut karena baru pertama kali ini Sasuke berwajah serius mengenai sebuah kasus pembunuhan. Hn. Sasuke kembali memfokuskan pandangannya pada photo di layar laptop yang memperlihatkan satu petunjuk penting. Sebuah kalung berantai putih dengan bandul berbentuk segitiga. Kedua tangan Sasuke bergerak lincah di atas keyboard sehingga photo itu lama kelamaan membesar. Sasuke menggerakan arah panah itu pada bandul tersebut dan kedua matanya langsung menyipit. Di bandul kalung itu terdapat huruf S kecil, ucap Sasuke. Inisial nama pembunuhnya? Kemungkinan besar seperti apa katamu, ucap Sasuke. Terlalu banyak kemungkinan dan dugaan. Kasus ini lebih rumit dari yang kubayangkan, komentar Itachi. Aa.. Sasuke mengiyakan ucapan Itachi. ##Obsession## Gadis bermata aquamarine itu melangkahkan kedua kakinya meninggalkan gerbang sekolah dengan langkah gontai. Helaian poninya bergerak pelan karena terhembus oleh angin sore dan beberapa kali juga membuatnya sebal karena menghalangi pandangannya untuk melangkah. Sebelah tangannya terulur untuk mengambil telephon genggam miliknya di saku roknya ketika dirasanya bergetar. Kedua mata aquamarinenya memandang lekat layar handphone yang dari tadi berkedip menandakan ada telephon yang masuk. Sai. Ino mendesah pelan ketika tahu siapa yang menelphonenya. Dengan pelan Ino membuka handphone flipnya dan menaruhnya di telinga kanan. Kenapa kau baru mengangkatnya? Aku khawatir sekali padamu, Ino,ucap Sai disebrang telephone. Maaf. Aku sedang sibuk. Apa ada masalah? Suaramu terdengar sehabis menangis. Ti-tidak terjadi apa-apa. Kau jangan khawatir. Aku kangen sekali padamu. Ino tersenyum kecil mendengarnya. Aku juga. Nggg~Sai? Apa? Bisakah sekarang kita ber— Taruh saja berkas itu di meja. Akan segera kuselesaikan. Aku akan lembur malam ini. Sepertinya kau sedang sibuk, ya?tanya Ino dan menundukan kepalanya. Sangat. Aku harus segera menyerahkan proposal kegiatan pameran untuk minggu ini. O, ya, kau tadi mau bilang apa? Tidak jadi. Baiklah, aku tidak mau mengganggumu. Selamat bekerja, sayang! ucap Ino dan menahan isakan tangisnya untuk tidak terdengar ke seberang telephone. Tut…tutt Ino langsung memutuskan sambungan telephone secara sepihak tanpa sempat mendengar balasan perkataan dari kekasihnya sendiri. Hiks… hiks… Ino berjongkok di tengah jalan dan menangis terisak. Tak jauh di mana Ino berada sosok seorang laki-laki yang memakai helm merah tengah memperhatikannya. Kedua mata jadenya memandang sosok Ino dengan datar dan dingin. Laki-laki itu segera menyalakan motornya dan mendekati sosok Ino berada. Tidak baik kalau seorang perempuan menangis seperti itu di tengah jalan. Ino berhenti menangis dan mendongakan kepalanya ke depan dan tidak menemukan sosok orang. Lantas dia menengokan kepalanya ke samping. Gaara? Naiklah! Khusus hari ini kuantar kau pulang, ucap Gaara dan tersenyum menenangkan. Kedua matanya menatap lembut kedua mata aquamarine milik gadis berperakan seperti barbie itu. Uhmm.. Ino mengangguk dan langsung berdiri dari jongkoknya. Dia menghapus jejak-jejak air mata di kedua pipinya dengan kedua punggung tangannya. . . . . . Motor sport milik pemuda berambut merah itu membelah angin dengan kecepatan yang normal. Biasanya jika dia sendirian dia memilih untuk mengebut. Tapi, khusus kali ini dia tidak melakukannya. Karena ada seorang perempuan yang duduk di belakangnya. Dirasanya kedua tangan kecil perempuan itu memeluk pinggangnya erat. Samar-samar dia mendengar sebuah isakan kecil. Menangislah sepuasmu. Kupinjamkan punggungku untukmu, Ino,ucap Gaara dan menurunkan speed motornya. Dan kali ini lebih jelaslah suara tangisan Ino dan bertambah eratnya pelukan di pinggangnya. Nampaknya Gaara sama sekali tak merasa risih dan tak memperdulikan jika seragam bagian punggungnya basah—teramat basah. Sebenarnya jarak rumah Ino dengan sekolah tidaklah begitu jauh. Namun, dari tadi mereka berdua tidak pernah sampai karena Gaara hanya berputar-putar kawasan rumah Ino. Kalian pasti tahu maksud perbuatan Gaara. Ya. Gaara sangat memahami jika Ino membutuhkan banyak waktu untuknya menangis sebelum sampai di rumahnya. Namun, beberapa detik kemudian Gaara memberhentikan motornya di depan sebuah taman yang sudah lumayan sepi. Turunlah!perintahnya pelan. Ino melepaskan pelukannya pada laki-laki berambut merah itu dan raut wajah bingung terpeta jelas di wajah sembabnya. Jadi, dia tidak mengantarkanku ke rumah,batinnya dan mulai turun dari atas motor. Gaara melepaskan helm merah yang dikenakannya dan menaruhnya di salah satu kaca spion. Setelahnya dia turun dan langsung menarik tangan Ino—menyeret lebih tepatnya—untuk segera masuk ke dalam taman. H-hei, pelan-pelan! Seakan tak memperdulikan ucapan Ino sama sekali Gaara mempercepat langkahnya dan berhenti di sebuah bangku panjang yang terbuat dari besi. Duduklah di sini sebentar!perintahnya dan menekan kedua bahu Ino untuk segera duduk. Ba-baiklah,ucap Ino yang akhirnya mengalah. Kedua mata aquamarinenya memandang punggung tegap Gaara dengan sebuah senyuman kecil tersungging di bibirnya. Ino sama sekali tak tahu kemana Gaara pergi. Sebentar lagi juga dia kembali, pikirnya. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang sembab dan kedua matanya terlihat sedikit membengkak. Gadis berambut pirang itu menengadahkan wajahnya ke atas—memandang bentangan langit sore menjelang malam yang terlihat sangat indah. Ino membuka matanya ketika dirasanya ada orang yang duduk di samping kanannya. Kau dari mana? Tanyanya. Ini untukmu… Gaara menyodorkan satu buah arum manis yang ukuran sedang pada Ino. Err… terima kasih, ucap Ino dan agak ragu menerima makanan manis itu dari tangan Gaara. Ceritakanlah padaku! ucap Gaara dan mengambil secuil gumpalan benda manis berwarna merah muda itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ceritakan apa maksudmu? Tanya Ino yang juga memakan gulali itu namun dengan cara menggigitnya langsung. Apa yang mengganggu pikiranmu saat ini. Hhhh… aku tidak tahu kenapa kau bisa semudah itu memahami apa yang aku rasakan saat ini. … Sebelum aku bercerita. Aku ingin bertanya sesuatu padamu. Hn? Untuk apa kau di depan rumah Sakura malam-malam? Gaara berhenti mengunyah gulali itu dan sedikit menarik kedua sudut bibirnya. Aku ingin mengaku tentang sesuatu. … Aku menyukainya dan aku tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Aku tidak dapat menahan perasaanku sendiri untuk melihatnya. Oleh karena itu, kau pergi ke rumahnya dan mengintipnya dari atas pohon? tanya Ino dengan sebelah alis terangkat. Gaara terkekeh kecil mendengarnya. Sepertinya kata mengintip kurang pantas, kesannya seperti aku terobsesi dengannya saja. Lalu apa kalau bukan mengintip namanya? Yah, bisa dikatakan aku sedang memperhatikannya dari jauh. Aku hanya melihatnya sebentar—Hei, jangan menatapku seolah-olah aku ini laki-laki mesum, tukas Gaara agak sengit ketika mendapati Ino menatapnya dengan tatapan yang mengartikan jika dia termasuk laki-laki mesum. Ino memutar kedua bola matanya bosan. Baiklah, aku tidak akan mengatakan kau laki-laki mesum. Tapi, kau adalah laki-laki yang kurang kerjaan. Suka-suka aku mau berbuat apa. Terserahlah! Tapi, asal kau tahu, Sakura itu sudah memiliki— Kekasih maksudmu? Tch! Hubungan seperti itu masih bisa dipisahkan. Jadi, kau tidak akan menyerah untuk mendapatkannya? Hn. Itu sudah pasti. Kau gigih juga, ya, ternyata..hahaha… Gaara terdiam memperhatikan wajah Ino yang tengah tertawa riang. Apa? Tanya Ino ketika dirasanya laki-laki berambut merah di sampingnya menatapnya. Akhirnya kau tertawa juga. Ino langsung terdiam dengan kedua pipi yang dihiasi oleh semburat merah tipis. Ayo, ceritakan padaku! Baiklah, baiklah. Ino menarik nafasnya pelan dan memejamkan kedua matanya sekilas dan kemudian memandang langit yang mulai gelap. Ayah dan ibuku akan bercerai satu minggu lagi. Aku diminta memilih untuk ikut dengan ayah atau dengan ibu. Aku bingung. Karena itu aku menangis bukan sepenuhnya karena peristiwa yang aku alami di sekolah. … Sempat tepikir olehku untuk menghilang saja selamanya dari dunia ini. Aku berniat untuk bunuh diri sepulang sekolah nanti. Kalau begitu aku menyita waktumu untuk menghilang? Tanya Gaara disertai sebuah seringai kecil nan tipis yang sama sekali tak di sadari oleh Ino. Justru aku berterima kasih. Berkatmu aku jadi berpikir beberapa kali untuk tidak melakukan hal bodoh seperti yang aku ucapkan barusan. Baguslah. Lalu? Masalah yang kedua… mengenai Sakura. Wajah Gaara tiba-tiba saja menjadi sangat dingin. Masalah apa yang dialami oleh Sakura? Dua minggu terakhir dia diteror oleh seseorang—entah hanya seorang penggemar berat atau orang yang terobsesi dengan Sakura—aku tak tahu pasti. Hn. Aku sempat mencurigaimu sebagai peneror itu. Kenapa bisa? Habisnya kau malam-malam berada di dekat rumahnya, ditambah lagi kau menyukainya kan? Bisa saja kau terlalu menyukainya dan berubah menjadi sebuah obsesi yang berlebihan. Gaara tertawa ganjal mendengar hal yang dikatakan Ino. Tebakanmu sangat tepat. Yamanaka Ino. Eh? Aku sangat, sangat menyukainya, mengaguminya, mencintainya. Dan aku akan berbuat apapun untuk menjadikannya miliku. Hanya milikku. … Aku akan melenyapkan laki-laki yang mengganggu atau menyentuh Sakura-ku. Aku juga akan melenyapkan kekasihnya. Kedua kaki Ino mulai gemetar. Dan aku juga akan melenyapkan orang-orang yang mengganggu jalanku, ucap Gaara dan memandang wajah Ino dengan tatapan tajam, dingin dan menusuk. Bibirnya terulas sebuah senyuman yang lebar namun sangat janggal. Ino langsung beranjak berdiri degan wajah yang pucat. Dia melihat raut wajah Gaara yang sama saat dia dan dirinya berada di atap. Ahahaaahahhhahha… lucu sekali. Lihatlah wajahmu sekarang ini! Gaara langsung mengeluarkan tawa keras dengan kedua bahu bergetar. Kedua ujung matanya nampak sedikit berair karena tawa yang dikeluarkannya. Aaaahhhhh~kau ini… usil sekali, sih! Aku sangat percaya dengan kata-katamu tadi tahu,runtuk Ino kesal dan langsung memukul-mukul lengan Gaara dengan tangannya yang tidak memegang permen kapas. Habisnya kau terlalu serius tadi. Aku jadi punya niat untuk menjahilimu. Huuuuuuuu~ Sudah hampir malam. Kita pulang!ajak Gaara dan langsung berdiri setelah menghabiskan suapan terakhir dari gulali ditangannya. Dia berjalan mendahului dan membiarkan Ino mengikutinya di belakang. Kau mudah sekali untuk dikelabui, Sabaku Gaara. ##Obsession## Ino memandang ragu dengan apa yang akan dilakukannya saat ini. Satu tombol di salah satu keyboard di depannya maka sesuatu itu akan segera terkirim pada orang yang sangat dia percayai. Dia menggigit bibir bawahnya dan berpikir apakah yang dilakukannya ini akan aman untuk orang yang menerima sesuatu itu atau tidak. Menarik nafas sejenak dan memejamkan kedua matanya sebentar. Ino sudah memantapkan hatinya. Maka dengan sekali gerakan jari telunjuk kanannya menekan tombol enter. Butuh beberapa detik hingga dilayar laptop itu terpampang pemberitahuan jika sesuatu itu sudah terkirim. Ino menghela nafas lega dan mematikan laptopnya. Setelah itu dia bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan menuju tempat tidur. Dia menyingkap selimut di atas tempat tidurnya agar dia bisa menyesap masuk ke dalamnya. Kali ini tidak seperti biasanya Ino tidak menyalakan lampu kamarnya ketika tidur. Jadi, dengan begitu keadaan kamarnya sangat gelap. Kedua mata aquamarine miliknya menatap nanar atap kamarnya. Dan beberapa detik kemudian kedua matanya tertutup untuk menjelajahi alam mimpi. Seseorang berjaket hitam menyaksikan apa yang dilakukan oleh Ino dari luar jendela kamarnya. Sebuah seringaian terlukis di bibirnya dan setelahnya dia memakai sebuah masker hitam untuk menutupi separuh wajahnya dan memakai sarung tangan yang juga berwarna hitam. Sekarang yang terlihat hanyalah kedua matanya saja. Kedua mata yang memperlihatkan sebuah tatapan tajam dan kekejaman. Dengan langkah pelan sosok berjaket hitam itu melangkah masuk lewat jendela di kamar seorang gadis manis berambut blonde yang sedang tertidur itu. Sebelah tangan orang itu merogoh sebuah sapu tangan merah dari dalam saku jaketnya. Dengan sekali gerakan dia membungkam mulut dan hidung Ino. Dan Ino yang sangat terkejut langsung terbangun dan memberontak. Dia memukul-mukul tangan seseorang yang membekapnya dengan keras minta dilepaskan. Tempat tidur yang sedang ditidurinya sudah sangat acak-acakan bahkan selimutnya pun jatuh ke lantai begitu saja. Beberapa detik kemudian Ino sudah tidak lagi memukul-mukul lengan orang yang membungkam mulutnya. Kedua tangannya terkulai lemas di masing-masing tubuhnya. Dan orang yang membungkam mulutnya pun sudah menyingkirkan tangannya dari mulut dan hidung Ino. Dengan susah payah Ino berusaha untuk bernafas walaupun rasanya sangatlah sulit. Dadanya mulai merasa sesak dan pandangannya berkunang-kunang. Kedua mata aquamarinenya menatap wajah orang di depannya yang nampak tak jelas karena gelap. Entah ada obat apa di sapu tangan itu. Yang pasti kini rasanya dia tak dapat menggerakan sedikitpun anggota tubuhnya. Ino merasa jika kini semua anggota tubuhnya lumpuh total. Seseorang itu kembali memasukan sapu tangannya ke saku jaket dan sekarang mengeluarkan sebuah pisau panjang yang terlihat mengkilat dan tajam di tengah gelapnya malam. Ino berusaha untuk berteriak namun suaranya tak mau keluar. Seseorang itu meraih pergelangan tangan kanan Ino dan kemudian menyayatnya sangat dalam dengan pisau yang dibawanya. Cairan merah kental itu merembes keluar dengan sangat deras seperti aliran sungai. Deru nafas yang dikeluarkan oleh Ino mulai tidak teratur dan dari sudut kedua matanya cairan kristal bening keluar membasahi kedua pipinya. Sakiiiittt! Hentikan! teriak Ino di dalam hatinya. Tiba-tiba saja seseorang itu terkekeh kecil. Kau kesakitan, Yamanaka Ino? tanyanya dengan suara yang berat namun teredam dengan masker yang dipakainya. Hal ini membuat Ino tak bisa yakin siapa orang yang di depannya ini, meskipun di dalam hatinya ada tiga orang yang sudah dicurigai olehnya. Tak puas dengan hanya menyayat satu pergelangan tangannya, seseorang berjaket hitam itu meraih pergelangan tangan Ino yang satunya. Dan tanpa aba-aba lagi dia kembali menyayatnya tanpa mengindahkan raut wajah kesakitan dari pemilik tangan itu. Orang itu mengambil sebuah sapu tangan yang lain dan mengusap gagang pisau itu dan kemudian menaruh pisau lipatnya di tangan kanan Ino dan membuat seperti Ino yang menggenggam pisau itu. Tak ada sidik jari darinya, melainkan hanya ada sidik jari Ino seorang saja. Trick yang bagus bukan? Pembunuhan yang dikamufalse sebagai tindak bunuh diri. Jleb! Pisau itu di dorong kuat oleh orang itu dengan kedua tangan Ino sendiri yang menggenggam pisaunya. Pisau itu menembus tepat di bagian hati membuat Ino memuntahkan darah dari mulutnya. Selamat tidur, Ino! ucap orang itu dan kemudian pergi meninggalkan Ino begitu saja lewat jendela. A-aku akan mati, batin Ino dan memejamkan kedua matanya. Namun, beberapa detik kemudian dia kembali membuka matanya dan tersirat sebuah ekspresi keberanian di wajahnya. Ino berusaha untuk bangkit dan menggerakan kedua tangannya yang dari tadi terus mengeluarkan darah. Bruk! Tubuh Ino jatuh begitu saja dari atas tempat tidur ke lantai keramik kamarnya ketika dirinya berusaha keras untuk bangkit. Beruntung tubuhnya jatuh terlentang bukan tertelungkup. Karena jika tertelungkup maka ujung pisau itu akan tertembus lebih dalam lagi karena faktor dorongan. Ino kembali memegang pisau dengan kedua tangannya dan berusaha menariknya keluar dari tubuhnya. Ukhh! erangnya kesakitan dan lagi-lagi Ino mengeluarkan darah dari mulutnya ketika dipaksakannya pisau itu ditarik keluar. Terlihat Ino menahan nafasnya sebentar dan dengan sekali gerakan kedua tangannya mencabut pisau itu dari tubuhnya. Pisau itu dilemparkannya asal dan dengan sisa tenaga yang dia punya, Ino berusaha untuk menggerakan anggota tubuh bagian bawahnya. Namun, hasilnya nihil. Tubuhnya sudah serasa mati. Darah yang keluar dari pergelangan tangannya sudah menggenangi lantai keramik kamarnya, belum lagi darah yang keluar dibagian perutnya. Cairan bening kembali keluar dari sudut-sudut matanya. Dia merangkak dengan bantuan kedua tangannya yang berlumuran darah. Ino menyeret tubuhnya untuk mendekati meja belajar. Sebelah tangannya berpegangan dengan kursi yang tadi dia duduki, sedangkan tangan yang satunya bergerak menuju keyboard. Jari-jari tangannya gemetar membuat Ino kesulitan untuk mengetik sesuatu. Dengan susah payah Ino berhasil menekan tiga tombol huruf di keyboard itu namun tiba-tiba saja dia terbatuk. Dan darah yang keluar dari mulutnya telah mengotori keyboardnya, membuat huruf yang tadi ditekannya menjadi tersamarkan. Tak merasa berputus asa dia kemudian meraih handphone flipnya. Membukanya dengan tangan yang bergetar hebat dan bermandikan darah. Dengan susah payah Ino menekan beberapa tombol, setelah itu dia menekan tombol call dan terdengar bunyi tut.. tut di sebrang telephonenya. Belum sempat Ino menunggu panggilannya dijawab handphonenya sudah melesat jatuh ke bawah lantai dan hancur. Tubuhnya juga ikut terjatuh dan nafasnya mulai putus-putus. Selang beberapa detik kemudian kedua mata aquamarinnya mulai meredup dan kehilangan cahayanya. Denyut jantungnya mulai melemah dan kemudian menghilang. Ino telah pergi selamanya. Satu kesalahan yang dilakukan oleng Sang Pembunuh adalah dia meninggalkan korbannya sebelum memastikannya benar-benar mati. Membuat korbannya meninggalkan sebuah jejak petunjuk. tbc
Posted on: Mon, 11 Nov 2013 12:41:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015