OPINI “Semua Formulasi Keadilan Memiliki Akibat Menjustifikasi - TopicsExpress



          

OPINI “Semua Formulasi Keadilan Memiliki Akibat Menjustifikasi Tata Hukum Positif Padahal Mungkin Saja Suatu Tata Hukum Positif Itu Tidak Adil” (HANS KELSEN) KONTRA MEMORI BANDING Dalam perkara pidana Terdakwa / Terbanding H Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. XXX / Pid.B / 2012 / PN.Jkt-Sel Yth Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya No.133 Ragunan Jakarta Selatan Dengan Hormat, Terdakwa : Nama Lengkap : H Tempat Lahir : Jakarta Umur atau tanggal lahir : 5 tahun Jenis Kelamin : Laki laki Kebangsaan : Indonesia Tempat tinggal : Jl Surga Gg. Neraka No. 666 Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan : Sarjana Dalam hal ini diwakili oleh DICKY R.Z SIAHAAN, S.H, RAHMAT AMINUDIN, S.H, PARA ADVOKAT dan PENASEHAT HUKUM pada Law Firm DICKY SIAHAAN & ASSOCIATES, beralamat di Jakarta, Gd. Kuning Lt. II R.104 Jl. Melawai III NO. 28 Kebayoran Baru Jakarta 12950., berdasarkan Surat Kuasa Khusus (terlampir) mengajukan Kontra Memori Banding atas Memori Banding Jaksa Penuntut Umum tertanggal berdasarkan Permintaan Banding Jaksa Penuntut Umum yang diajukan pada tanggal terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : XXX/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel. A. PENDAHULUAN Adapun alasan Terdakwa/Terbanding dalam mengajukan Kontra memori banding ini adalah didasarkan pada Ketidakterimaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan ; entah keadilan siapa yang dimaksudkan oleh Jaksa Penuntut Umum hingga sampai mengajukan Banding. Pun, Jika berbicara tentang Keadilan, maka Terdakwa/Terbanding juga merasakan ketidakadilan atas Pidana yang telah dijatuhkan kepadanya, karena hakikatnya Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Sampai dimanakah batasan tingkat pemenuhan tersebut agar dapat memenuhi kebahagiaan sehingga layak disebut keadilan ? Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab berdasarkan pengetahuan Rasional. Jawaban pertanyaan tersebut adalah suatu pembenaran (A Judgement Of Value) yang ditentukan oleh factor emosional dan tunduk pada karakter subjektif yang bersifat relative. A Judgement of Value adalah penyataan dimana sesuatu dideklarasikan sebagai tujuan. Statement semacam itu selalu ditentukan oleh faktor Emosional (1. Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H., M. Ali Safa’at S.H, M.H. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Pers, Jakarta, 2012,. Hlm. 17). Sejak Terdakwa/Terbanding diajukan Ke Persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kami Selaku Penasihat Hukum Terdakwa/Terbanding Melihat banyak keganjilan dalam berkas perkaranya (BAP). Keganjilan-keganjilan tersebut adalah berupa Pelanggaran terhadap Hukum Acara yang berlaku dan Pelanggaran terhadap HAM ; hal mana pernah kami utarakan secara gamblang di dalam Eksepsi Kami kala itu. Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Acara Perdata dan HAM yang kami maksudkan adalah seperti menghilangkan hak tersangka didampingi Advokat/Penasehat Hukum, Keterangan Saksi Pelapor dan Saksi Korban sebagai satu-satunya alat bukti untuk melakukan penahanan dan penangkapan, proses penetapan tersangka terlalu dipaksakan karena berlangsung sangat cepat dan mengada-ngada dan tanpa adanya alat bukti yang cukup untuk menetapkan statusnya sebagai tersangka, serta bagaimana Terdakwa dijebak dan dipaksa ke kantor Polisi. Terhadap Eksepsi Terdakwa/Terbanding yang kami Ajukan, ternyata ditolak oleh Majelis Hakim melalui Putusan Sela dan pada saat itu pula kami memintakan banding sebagaimana permintaan banding Nomor : XX/Akta.Pid/2012/PN.Jkt.Sel tertanggal. Adapun maksud dan tujuan kami dalam mengajukan banding kala itu adalah dengan dasar pemikiran dan pertimbangan bahwa “permasalahan/Perkara Terdakwa/Terbanding disamping lemah secara pembuktian, kami benar-benar ingin menguji sejauh apakah undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang perlindungan anak ini benar-benar efektif untuk menghukum perbuatan-perbuatan cabul oleh para penikmat syahwat dan juga untuk mengetahui fakta apakah benar perbuatan cabul/syahwat juga dilakukan atas inisiatif sendiri oleh orang-orang penyedia jasa cabul/PSK yang masih tergolong anak dibawah umur sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang perlindungan Anak”. Pada akhirnya, terdakwa/terbanding dengan ini berterima kasih atas permintaan banding Jaksa Penuntut Umum karena dengan demikian Terdakwa/Terbanding kembali diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atas perbuatan pidana yang dipidanakan kepadanya. B. PEMBAHASAN Upaya penanggulangan kejahatan senantiasa menjadi pembicaraan yang menarik bagi banyak kalangan, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum pidana ada pembicaraan mengenai Norma, yaitu larangan atau suruhan, dan ada sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana. (2. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Wirjono Prodjodikoro, , Cet. 6, Eresco, Bandung 1997, Hlm. 12). Tujuan Pemidanaan juga tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan yang menjadi korban. Tidak semata-mata memuaskan perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya serta masyarakat (vindicative), tidak hanya memberikan peringatan kepada pelaku kejahatan dan masyarakat setiap kerjahatan akan mendapat ganjaran/hukuman (fairness), dan bukan pula menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan bentuk dan hasil kejahatannya dengan pidana yang dijatuhkan (proporsionality); namun lebih dari itu, pemidanaan dan pelaksanaannya harus lebih berorientasi kepada upaya pencegahan terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan dimasa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan seperti kejahatan yang dilakukan terpidana maupun lainnya. (2. Mahrus Ali, S.H, M.H, Dasar-dasar hukum pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 190). Dalam kaitannya dengan perkara ini, sangat menarik untuk ditelaah dengan teliti, karena merupakan fenomena yang terjadi dimasyarakat dimana Terdakwa bersama Korban (terlepas usianya dibawah umur) dikatakan melakukan perbuatan cabul atau hubungan seks diluar pernikahan. Hubungan Seksual diluar nikah memang diancam dengan sanksi pidana kerena merupakan kejahatan, tetapi hanya merupakan Delik Aduan, pengertiannya pun sempit berbeda dengan pengertian yang sudah umum di masyarakat, yaitu setiap hubungan seksual diluar ikatan perkawinan, tidak peduli salah satu atau keduanya ada ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak. (3. Seksualitas dan Hukum Pidana, Topo Santoso, IND-HILL-CO, Jakarta, 1997,Hal. 78). PERIHAL PUTUSAN Bahwa adapun putusan yang dimintakan banding oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut : Bahwa adapun Permintaan Banding yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : XXX/Pid.B/2012/PN.JKT.Sel, yang berbunyi sebagai berikut: 1.1. Menyatakan Terdakwa H tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, diketahui perempuan tersebut umurnya belum cukup 15 tahun. 2.2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 3 ( tiga ) tahun dan 6 ( enam ) bulan ; 3.3. Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4.4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan; 5.5. Menetapkan barang bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos berwarna putih lengan pendek yang sebagaian depannya ada tulisan. - 1 (satu) buah kaos dalam berwarna putih yang depannya ada tulisan. - 1 (satu) buah BH berwarna hitam. - 1 (satu) buah celana dalam pendek warna hitam - 2 (dua) lembar uang senilai Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah ). - 1 (satu) unit HP Esia merk Huawai type C2601 casing warna hitam dan putih dengan No. Sim Card (021) 931XXX Dikembalikan kepada D - 1 (satu) unit HP merk Nokia flip casing warna merah berikut Sim card dengan No. sim card (021) 9215XXX Dikembalikan kepada H 1.6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah) Perihal Putusan Hakim, menurut Sudikno Mertodikusumo adalah “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak (4. Hukum Acara Perdata , Sudikno Mertodikusumo, Liberty: Yogjakarta, 1988, hlm. 167) Selanjutnya, Hans Kelsen berpendapat bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen : Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan (5. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State), Hans Kelsen, diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006, hal. 193) Aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan menemukan hukum (rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan, kemudian membuat konstruksi dengan menganalisa permasalahan dari berbagai aspek, diantaranya : 1.1 ASPEK SOSIAL (SOCIAL ASPECT) Berbicara aspek sosial maka tidak akan terlepas dari Model Kemasyarakatan (Sociological Model) yang adalah bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat yang didalamnya tersangkut sendi-sendi social itu sendiri, baik itu merupakan suatu system social maupun sebagai suatu perubahan social. Dalam Perkara A qou, ada beberapa hal menarik yang bisa kami sampaikan terutama tentang sendi-sendi sosial si korban sebagai pribadi dan mahluk sosial yang keterangannya terdapat di BAP dan diakui dipersidanganan, antara lain : Pada poin 4 alinea ke-2 BAP KORBAN “………… dalam rangka diperkenalkan oleh teman saya P dengan tujuan Saya ingin mencari uang dengan menjual………dst”; Poin 10 Alinea ke-1 BAP KORBAN“……. Yang Saya ketahui profesi Saudari PUPUT yaitu sering menjual dirinya berdasarkan pengakuan Saudari P dan berdasarkan informasi teman saya fahrul, dan menurut P bahwa diri nya juga dijual oleh saudara N….”; Dari Keterangan Korban sebagaimana didalam BAP tersebut diatas terlihat jelas bahwa Korban sering berinteraksi dengan seseorang yang bernama P, padahal korban ketahui sendiri bahwa P adalah seorang PSK. Tentang Interaksi Sosial Soerjono Soekanto mengatakan : “interaksi Sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara perorangan-perorangan dengan kelompok manusia (6. Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 1987. Hlm. 51)” Menjadi pertanyaan besar bagi kita bagaimana seorang Pelajar yang masih dibawah umur sering berinteraksi dengan seorang yang diketahuinya secara pasti adalah seorang PSK (P). Seorang Pelajar haruslah merupakan bagian dari kehidupan belajar pengajar dan karenanya harus berinteraksi dengan sesame Pelajar bukan berinteraksi dengan PSK (P). Terhadap hal, Zainuddin Ali berpendapat sebagai berikut : “dapat dipahami bahwa interaksi sosial merupakan proses individu dalam melakukan hubungan sepanjang ia hidup sebagai anggota masyarakat, sehingga individu akan merasa menjadi bagian dari masyarakat secara keseluruhan. (7. Sosiologi Hukum, Prof. Dr.H. Zainuddin Ali, M.A,. Sinar Grafika, Hlm. 17).” Disisi lain, ternyata Korban juga sudah melakukan persetubuhan sebanyak 2 (dua) kali dengan mantan Pacarnya yang hal ini telah diakui sendiri oleh Korban didalam persidangan. Selanjutnya terhadap pengakuan tersebut, dapat kami kutip sebagai berikut : Pada poin 13 BAP KORBAN : “pertama kali saya pernah melakukan persetubuhan dengan laki laki yaitu mantan pacar saya bernama I sebanyak 2 ( dua ) kali yaitu pada tanggal 27 Agustus 2011 dan 31 Agustus 2011 di daerah Pasar Minggu”. Dari pengakuan sebagaimana di BAP diatas, tampaklah bagi kita bahwa Korban sejak awal memang sudah melakukan Prilaku Menyimpang diusianya yang masih dibawah umur dan masih sekolah. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial. Dalam arti, sebagai tindakan yang melanggar, atau bertentangan, atau menyimpang dari aturan-aturan normatif, dari pengertian-pengertian normatif maupun dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. (8. Seksualitas dan Hukum Pidana Topo Santoso, Op. Cit. Hal. 82). Perilaku menyimpang Korban menunjukkan bahwa akhlak si Korban memang sudah menyimpang jauh dari nilai-nilai ke-Tuhanan ditambah lagi korban dalam pergaulan dan interaksi sosialnya sudah jauh menyimpang dan terjerumus dalam pergaulan bebas dengan melakukan hubungan seks bebas dan berteman dengan PSK (P). Prilaku menyimpang pada Korban tentunya tidak terlepas dari bagaimana hubungannya dengan Keluarganya yaitu bagaimana Orang Tua Korban mendidiknya. Kesibukan orang tua dan kurangnya intensitas pertemuan dengan Korban dapat menyebabkan Korban menjadi tidak terkendali dalam pergaulannya di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Ditambah lagi kurangnya nasihat-nasihat dari orang tua serta pemenuhan kebutuhan si Korban yang masih kurang dari cukup sehingga hubungan tersebut tidak harmonis. Telah dijelaskan juga di BAP bahwa Salah satu alasan Korban melarikan diri dari rumahnya adalah untuk mencari tambahan keuangan bagi dirinya sebagaimana dijelaskan korban didalam persidangan bahwa untuk keperluan sehari-harinya diberikan uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) oleh orang tuanya dan hal tersebut diakui oleh orang tuanya didalam persidangan (Saksi H). Keterangan didalam BAP yang kami maksud adalah : Poin ke-4 BAP Korban : “dengan saudara C saya kenal sekitar tanggal 25 Sepetember 2011 Sekitar Pukul 18.30 WIB di tempat pekerjaannya di Alfamart W dalam rangka diperkenalkan oleh teman saya P dengan tujuan saya ingin mencari uang dengan menjual diri, karena yang saya ketahui dari P bahwa C berprofesi sebagai Pencari Wanita-Wanita yang ingin menjual dirinya dan tidak ada hubungan keluarga.” 1.2 ASPEK PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL ASPECT) Kondisi kekurang harmonisan Hubungan antara Korban dengan Kedua orang tua dan keluarganya sebagaimana telah kami sampaikan dalam Aspek Sosial diatas berdampak pula bagi psikologi Korban. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua menyebabkan Korban memilih mencari dunia lain yang bisa memberikan rasanya nyaman bagi dirinya. Dunia dimana dimana Korban biasa berinteraksi dan menghilangkan kejenuhan dan beban hidupnya sehari-hari. Disamping itu pula, Korban yang selalu kekurangan dalam segi materi cendrung merasa minder hingga akhirnya berniat menjual diri untuk mendapatkan tambahan uang, sebagaimana pengakuannya dalam Persidangan dan BAP. Poin ke-4 BAP Korban : “dengan saudari N saya kenal pada hari Kamis tanggal 20 Okteober 2011 sekitar pukul 18.30 WIB di Jalan S Jakarta Selatan dalam rangka saya diperkenalkan oleh saudara C dengan tujuan ingin menjual diri agar bisa mendapatkan uang. Pada saat diperkenalkan bersama dengan P dan tidak ada hubungan keluarga. 1.3 ASPEK BIOLOGIS (BIOLOGICAL ASPECT) Rasa ketertarikan terhadap lawan jenis secara biologis pasti terdapat dalam diri manusia normal, baik itu pria maupun wanita. Ketertarikan tersebut berasal dari dalam yaitu oleh hormon-hormon seksualitas dimana hormon-hormon tersebut mempengaruhi tindakan manusia baik secara implisit maupun eksplisit. Demikian pula halnya yang terjadi pada diri terdakwa/terbanding selalu pria normal yang masih produktif ; pemenuhan kebutuhan biologis harus terpenuhi terlebih disaat itu terdakwa/terbanding adalah seorang duda; hal mana hasrat pemenuhan kebutuhan biologis yang biasanya dilakukan secara rutin dengan pasangannya (istrinya) sudah hilang dan karenanya sebagai manusia normal, terdakwa/terbanding berdasarkan nalurinya harus memenuhi kebutuhan biologis tersebut. Kebiasaan dalam melakukan hubungan biologis/seksual jika dilakukan dengan dasar suka sama suka (tanpa paksaan) merupakan kesukarelaan bersama dan karenanya para pihak yang melakukan hubungan seksual tersebut menikmatinya. Demikanlah hubungan yang terjadi diantara terdakwa/terbanding dengan korban sebagaima diakui oleh korban di persidangan dan didalam BAP sebagai berikut : Poin Ke-8 BAP Korban : “cara H menyetubuhi D dengan cara H membuka seluruh pakaiannya dengan hanya menggunakan celana dalam saja, kemudian saya ngobrol dengan sdr H dengan posisi di duduk atas kasur samping sampingan, kemudian sdr H membuka seluruh pakaian saya hingga telanjang bulat, kemudian sdr H membuka celana dalam nya namun saat itu penis nya belum tegang, kemudian saya tiduran terlentang dan sdr H menindih badan saya sambil menciumi vagina, bibir dan kedua payudara saya , lalu penis nya sdr H yang sudah dalam keadaan tegang di masukan kedalam vagina saya dan menaik turunkan pantat nya beberapa kali hingga sdr H mengeluarkan sperma diluar vagina saya, kurang lebih sdr H menyetubuhi saya sekitar 1 jam.” 1.4 ASPEK FILSAFAT (PHILOSOPHICAL ASPECT) Setiap hukuman yang tidak lahir dari kebutuhan mutlak, ujar Montesquieu, bersifat lalim. Dalil yang umum jadinya seperti ini : setiap tindakan kekuasaan dari seorang manusia terhadap manusia lainnya, tanpa dasar kebutuhan mutlak bersifat lalim. Atas dasar inilah hak yang berkuasa untuk menghukum dibangun; yaitu, atas kebutuhan untuk membela kebebasan publik, yang dipercayakan kepadanya, dari perampasan individu; dan hukuman itu bersifat adil dalam dalil, seperti juga kebebasan yang dipelihara oleh yang berkuasa yang bersifat keramat dan berharga. (9. Cesare Beccaria, perihal kejahatan dan hukuman, diterjemahkan oleh Wahmuji, Genta Publising, Jogyakarta, 2011, Hlm. 1). Hukum dalam perjalanan hidupnya, bersua dengan kejadian-kejadian yang nyata dalam masyarakat yang memberi pengaruh kepada hukum dan memberi bekas kepada hukum. Kejadian-kejadian itu kita namakan segi realitas dalam hukum. (10. Prof. Muladi, S.H, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni Bandung, 1991, Hlm. 95) Hukum yang coba kami gambarkan disini bukanlah merupakan sebuah penilaian terhadap fakta hukum dan penerapan hukumnya, akan tetapi lebih kepada penilaian atas nilai-nilai subjektif yang bersifat normatif pada tiap-tiap individu ; in casu dalam diri terdakwa/terbanding dan Jaksa Penuntut Umum. C. KESIMPULAN Bahwa berdasarkan Analisa-analisa dari berbabagi aspek sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas, maka didapatlah keseimpulan sebagai berikut : 1. KUALITAS PEMBUKTIAN Menetapkan barang bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos berwarna putih lengan pendek yang sebagaian depannya ada tulisan. - (satu) buah kaos dalam berwarna putih yang depannya ada tulisan. - (satu) buah BH berwarna hitam. - (satu) buah celana dalam pendek warna hitam. - (dua) lembar uang senilai Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah ). - (satu) unit HP Esia merk Huawai type C2601 casing warna hitam dan putih dengan No. Sim Card (021) 9310xxx Barang bukti adalah “barang/alat/benda yang dipergunakan oleh pelaku untuk melaksanakan perbuatannya. Disamping itu pula barang bukti dapat pula berarti hasil dari suatu perbuatan pidana”, dengan demikian Judex factie TELAH SALAH dalam dalam menentukan barang bukti sebab barang-barang bukti sebagaimana dalam putusan adalah sebatas barang-barang yang melekat pada tubuh terdakwa/terbanding dan korban sebagai barang-barang kebutuhan primair yang harus selalu ada. Bahwa demikian Pula dengan Keterangan-keterangan Saksi dalam perkara a quo seperti keterangan saksi H, Saksi C, saksi S, saksi T, saksi K, saksi M, Saksi N menyimpulkan bahwa sama sekali tidak ada persesuaian keterangan saksi satu sama lain. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam bunyi ketentuan Pasal 185 Ayat 6 KUHAP, berbunyi ; Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : a.) Persesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain, b.) Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; c.) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; Disamping itu pula keterangan keseluruhan saksi merupakan keterangan yang bersifat Testimonium De Auditu sebab tidak ada saksi yang melihat, mendengar kejadian secara langsung. Keterangan saksi juga selebihnya hanya berupa Rekaan semata. 2. PENGURAIAN UNSUR-UNSUR Dalam hukum terdapat suatu asas penting, yang dikenal dengan “lex specialis derogat legi generali”. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengkesampingkan aturan yang bersifat umum (generali). Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin (11. taxandcorruption.blogspot/2008/12/eksistensi-asas-lex-spesialis-derogat.html), dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Penerapan asas ini menyebabkan suatu aturan hukum termasuk ketika hal itu terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi tidak mempunyai kekuatan mengikat. Aturan tersebut hanya menjadi aturan perundang-undangan, tetapi tidak merupakan suatu aturan hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa hukum tidak selalu identik dengan undang-undang. Menurut Theori Sistem Hukum Hart, asas “lex specialis derogate legi generali termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi men gatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut. Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex Specialis derogat legi generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang ini atau yang itu. Sementara, yang ini atau itu tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus. Umumnya suatu asas hukum dipositifkan dalam satu atau lebih aturan hukum. Dalam hukum pidana Indonesia asas ini terkandung dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan. Pasal ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu `perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Apakah yang dimaksud `aturan pidana dalam hal ini tidak dijelaskan dalam undang-undang. Menurut Friedman,suatu aturan hukum adalah sebagian dari substansi (materi) hukum itu sendiri, karena suatu sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture). Dengan demikian, aturan pidana adalah subbagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Ruang lingkup hukum pidana menurut Packer, meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana disini adalah aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sepanjang terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi Valid. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta, di dalam kehidupan masyarakat masa kini, di mana segala bentuk usaha besar dan kecil bertambah memainkan peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat, sanksi administratif semakin memainkan peranan yang penting. Penerapan Sanksi administratif jauh lebih efektif untuk memaksa orang menaati ketentuan-ketentuan hukum dibandingkan dengan sanksi-sanksi pidana. Aturan hukum yang mengadung asas specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam mensikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestand dengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang¬-undang lain diluar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama undang¬-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, yang menentukan: ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan¬-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain. (12. taxandcorruption.blogspot/2008/12/eksistensi-asas-lex-spesialis-derogat.html). Hal di atas sebenarnya memerlukan suatu pengelaborasian lebih lanjut guna menghindari adanya kesimpangsiuran terhadap suatu pemahaman mengenai aspek pidana. Oleh karena itu pasal pasal yang bersifat umum seperti yang di tuduhkan kepada terdakwa/terbanding seperti Pasal 287 Ayat (1) KUHP, pasal 290 ayat (2e) KUHP, Tidak perlu kami uraikan lagi unsure-unsurnya, oleh karena telah di kesampingkan sesuai asas hukum ASAS LEX SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS. Dan karena nya KONTRA MEMORI BANDING ini lebih kepada penguraian Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan .” Logikanya, jika terdakwa/terbanding melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan dan melakukan bujuk rayu maka semestinya Korban berada dalam pengaruh kekuasaan terdakwa/terbanding secara fisik, pun begitu pula dengan Korban semestinya secara sadar harus melakukan penolakan dan/atau perlawanan baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Terhadap pengakuan tersebut juga hanya berdasarkan keterangan korban saja tanpa diikuti oleh keterangan saksi lainnya sebagaimana telah kami uraian dalam penilaian terhadap alat bukti diatas. Bahwa, oleh karena tidak terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak diatas, maka tidak ada alasan bagi Majelis hakim untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa/tersangka, hal didasarkan kepada bunyi ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang. Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan. Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah. Maka berdasarkan apa yang di kemukakan di atas mohon Majelis Hakim Tinggi DKI Jakarta Yang Kami Muliakan, yang memeriksa dan mengadili Perkara ini Agar berkenan kira nya memberikan Putusan yang Amar nya berbunyi sebagai berikut : 1.1. Menerima kontra Memori Banding Pembanding / Terdakwa 2.2. Menolak Permohonan Banding dari Pemohonan Banding / Jaksa Penutut Umum, atau setidak tidaknya Menyatakan Permohonan banding termaksud tidak dapat di terima. 3.3. Menyatakan Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 155 / Pid.B / 2012 / PN.Jkt-Sel tanggal 13 Juni 2012,. Dengan; MENGADILI SENDIRI 1.Menyatakan Membebaskan Terdakwa dari seluruh dakwaan maupun tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. 2.Menyatakan Merehabilitasi Nama Baik Terdakwa kepada Keadaan Semula Sebagaimana Sedia Kala. 3.Menyatakan Barang Bukti ; •1 (satu) buah kaos berwarna putih lengan pendek yang sebagaian depannya ada tulisan. •(satu) buah kaos dalam berwarna putih yang depannya ada tulisan. •(satu) buah BH berwarna hitam. •(satu) buah celana dalam pendek warna hitam. •(dua) lembar uang senilai Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah ). •(satu) unit HP Esia merk Huawai type C2601 casing warna hitam dan putih dengan No. Sim Card (021) 93100XXX Tidak dapat di terima. 1.Membebankan Biaya Perkara Pada Negara 1.B. PENUTUP Tentang tingkah laku pelajar SMA di Jakarta, hasil polling majalah Editor yang dimuat pada tanggal 10 Oktober 1992 mencatat bahwa 42 % dari pelajar yang dijadikan responden pernah berciuman dan 41 % pernah berhubungan nikah. (13. Seksualitas dan Hukum Pidana Topo Santoso, Op. Cit. Hlm. 83). Dapat dibayangkan betapa hal tersebut sudah sangat memprihatinkan bahkan mengerikan sehingga dapat dibayangkan bagaimana penyimpangan yang kelak terjadi. Faktanya, praktek pelacuran telah dilakukan oleh anak-anak dibawah umur sudah menjamur dimana-mana baik secara terselubung (pribadi lepas pribadi) maupun secara terang-terangan. Praktek Pelacuran tersebut pastinya dilakukan dengan dasar suka-sama suka dan adanya suatu kesepakatan pertukaran (pemberian uang sebagai pemindahan properti) yang menciptakan hubungan unik (hubungan seks diluar nikah) sebagaimana diungkapkan oleh kesepakatan untuk mempertukarkan hubungan yang berkaitan dengan objek inilah, bukannya objek itu sendiri, yang mendasari pemindahan “property” (14. Nilai-nilai dasar di dalam hukum, menganalisa implikasi-implikasi Legal-etik Psikologi Antropologi bagi Lahirnya Hukum. Thomas E. Davitt diterjemahkan oleh Yudi Santoso, S.Fil, Pallmal Yogyakarta, 2012, Hlm. 222) Perlu dipertimbangkan dengan baik bahwa praktek pelacuran oleh anak dibawah umur ternyata sudah menjadi sebuah pekerjaan sebagaimana dalam perkara ini dimana nilai-nilai yang terkait antara pemberi pekerjaan (penikmat seks) dengan pelacur sudah berlaku secara universal. Adapun tujuan perlindungan anak sebagaimana disebut Pasal 1 Angka 2 Jo pasal 3 UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan Anak adalah bertujuan “untuk berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan berkat dan martabat kemanusian, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtera. Artinya disini perlindungan anak itu di tujukan supaya anak tidak diperlukan semu nya yang dapat membatasi hak-hak nya, menyakiti, dan mendikriminasikan yang dapat merusak masa depannya. Lalu bagaimana apabila praktek pelacuran oleh anak dibawah umur tersebut berujung pada dipidananya pemberi kerja/penikmat seksual yang mendapatkan kenikmatan seksual dari para pelacur yang masih dibawah umur, hanya karena Undang-Undang Nomor 22. Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak melindungi Anak dibawah umur, padahal persetubuhan atau hubungan seks luar nikah tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan adanya pertukaran (pemberian uang sebagai pemberian property) ? . PERTANYAAN INI SUDAH DIJAWAB DALAM ULASAN KONTRA MEMORI BANDING INI, BAHWA UNDANG-UNDANG NOMOR 22. TAHUN 2003 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ADALAH HUKUM POSITIF YANG TIDAK ADIL. Demikian lah Kontra Memori Banding Ini kami Sampaikan, kiranya dapat menjadi Perhatian Para Hakim, Jaksa, Pemerintah dan Para Pencari Keadilan di Negeri ini,. Semakin besar kecendrungan kita pada kesederhanaan penjelasan, semakin besar ancaman bahwa kesimpulan-kesimpulan kita akan gagal diterapkan pada bidang apapun yang menjadi perhatian kita. Semakin kita condong pada kebenaran deskriptif, semakin tinggi resiko dugaan-dugaan kita akan tergelincir menjadi rangkaian proposisi yang begitu terbatas dan rumit sehingga kita bersikap adil dan keliru dengan kesan-kesan akal sehat kita sendiri. Kesederhanaan ataukah kesetiaan pada fakta yang akan dikedepankan, tergantung pada tujuan yang akan kita pilih diantara keduanya. (15. Teori Hukum Kritis, posisi hukum dalam masyarakat modern, Roberto M. Unger, diterjemahkan Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, 2011, Hlm. 14) Sekian dan Terima Kasih. Wassalam. Jakarta, 17 September 2012, Penasihat Hukum Terdakwa/Terbanding Kantor Hukum DICKY SIAHAAN & ASSOCIATES DICKY R.Z SIAHAAN, S.H. RAHMAT AMINUDIN, S.H.
Posted on: Wed, 13 Nov 2013 09:24:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015