PEMIKIRAN ASWAJA TOPENG (38) Qadar Bermakna Ilmu Allah adalah - TopicsExpress



          

PEMIKIRAN ASWAJA TOPENG (38) Qadar Bermakna Ilmu Allah adalah Salah? M Idrus Ramli berkata: “Taqiyyuddin an-Nabhani berkata : قد ورد الإيمان بالقدر في حديث جبريل في بعض الروايات فقد جاء قال: (وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) أخرجه مسلم عن عمر بن الخطاب. إلا أنه خبر آحاد علاوة على أن المراد بالقدر هنا علم الله وليس القضاء والقدر الذي هو موضع خلاف في فهمه. “Telah datang keimanan dengan qadar dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat, di mana Nabi SAW bersabda: “Dan kamu percaya dengan qadar, baik dan buruknya.” Hanya saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), di samping yang dimaksud dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, dan bukan qadha’ dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam memahaminya.” Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan kesimpulan bahwa: Pertama, keimanan dengan qadar Allah hanya terdapat dalam hadis Jibril menurut sebagian riwayat. Kedua, hadits tentang qadar tergolong hadits ahad yang tidak meyakinkan. Dan ketiga, yang dimaksud dengan qadar dalam hadits Jibril tersebut adalah pengetahuan atau ilmu Allah, bukan qadha’ dan qadar yang menjadi fokus kajian kaum muslimin. Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani tersebut tidak benar. Pertama, asumsi bahwa keimanan terhadap qadar Allah hanya terdapat dalam hadis Jibril melalui sebagian riwayat adalah tidak benar. Keimanan dengan qadar Allah disamping terdapat dalam hadis Jibril, juga dijelaskan dalam sekian banyak ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sementara hadits lain yang juga menjelaskan keimanan terhadap qadar juga sangat banyak. Selain empat hadis di atas, terdapat pula hadits-hadits lain yang di antaranya adalah: عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ قَالَ قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ فَقُلْتُ بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ قَالَ فَقَالَ أَفَلَا يَكُونُ ظُلْمًا قَالَ فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا وَقُلْتُ كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللَّهِ وَمِلْكُ يَدِهِ فَلَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ فَقَالَ لِي يَرْحَمُكَ اللَّهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلَّا لِأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ فَقَالَ لَا بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا }. Dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir, dijelaskan bahwa istilah qadha’ dan qadar tidak pernah ada dalam al-Qur’an dan sunnah dalam satu paket bersama-sama. Asumsi ini jelas tidak benar berdasarkan hadits shahih berikut ini: عن جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أكثر من يموت من أمتي بعد كتاب الله وقضائه وقدره بالأنفس. Sedangkan asumsi al-Nabhani bahwa hadits tentang keimanan terhadap qadha’ dan qadar Allah termasuk hadis ahad adalah tidak benar. Keimanan terhadap qadha’ dan qadar Allah selain ditegaskan dalam sekian banyak ayat al-Qur’an, juga dijelaskan dalam sekian banyak hadis, seperti hadis-hadis di atas, sehingga kedudukan hadis Jibril tersebut naik peringkatnya menjadi mutawatir ma’nawi, karena substansinya telah dimuat oleh hadis-hadis yang lain. Anehnya, al-Nabhani sendiri dalam bukunya al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juga menjelaskan tentang pembagian hadis mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun sayang sekali, al-Nabhani tidak obyektif dalam menerapkan kaedah pembagian mutawatir tersebut ketika menjelaskan hadits tentang qadha’ dan qadar Allah yang mutawatir secara ma’nawi. Al-Nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits Jibril, “Kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya”, adalah pengetahuan dan ilmu Allah. Sementara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah. Karena apabila qadar dalam hadits tersebut diartikan dengan ilmu Allah, maka akan menimbulkan pengertian, bahwa ilmu Allah itu ada yang baik dan ada yang buruk. Padahal keburukan atau kejelekan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah berdasarkan sabda Rasulullah SAW: والشر ليس إليك. “Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada-Mu”. Dengan demikian asumsi al-Nabhani yang menganggap bahwa qadar adalah pengetahuan dan ilmu Allah jelas bertentangan dengan hadits shahih di atas.” (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 75-81). MEMBONGKAR PAT: Pembongkaran ini akan terbagi menjadi dua bagian: Pertama, Idrus Ramli sama sekali tidak memahami pernyataan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah-nya. Atau seperti di atas, ia memahaminya, tetapi dengan sengaja merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi terhadap Hizbut Tahrir. Tujuannya hanya satu, yaitu menghalangi tegaknya Daulah Khilafah. Jadi persoalannya bukan Hizbut Tahrir-nya yang sesat, tetapi kebenciannya yang mendalam kepada Sistem khilafah, sebagai sistem pemerintahan Ahlussunnah Wal Jama’ah sejak qurun sahabat sampai berjalan lebih dari 13 abad. Maka dari sinilah, pemikiran Idrus Ramli sejatinya adalah pemikiran Aswaja topeng. Dan dari pemahaman yang tidak benar, dan dari kesimpulan yang ngawur, maka analisa terhadap Hizbut Tahrir selanjutnya juga pasti tidak benar dan ngawur. Dan inilah indikasi pemikiran Aswaja topeng yang semrawut. Sekarang kita lihat redaksi kitab Syakhshiyyah Islamiyyah seperti disampaikan oleh Idrus Ramli di atas, secara keseluruhan, yaitu dengan menyertakan redaksi sebelum dan sesudahnya. Redaksi sebelumnya : هذه هي الأمور التي يجب الإيمان بها وهي خمسة أمور: الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن أيضاً بالقضاء والقدر، ولا يطلق الإيمان بالإسلام على الشخص ولا يعتبر مسلماً إلا إذا آمن بهذه الخمسة جميعها وآمن بالقضاء والقدر. قال الله تعالى { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا } . فقد جاء القرآن والحديث ينص على هذه الأمور الخمسة بشكل صريح ظاهر التنصيص على كل منها باسمه ومسمَّاه، ولم يرد الإيمان بغير هذه الخمسة بنص صريح قطعي بأمر معين باسمه و مسماه كما ورد بهذه الأمور، وإنما النصوص القطعية الثبوت القطعية الدلالة وردت بهذه الأمور الخمسة ليس غير. “Ini adalah sejumlah perkara yang wajib diimanai, yaitu lima perkara: Iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, dan hari akhir, kamu juga beriman kepada qadha dan qadar. Seseorang tidak dinamai beriman kepada Islam dan tidak dianggap sebagai orang Islam, kecuali setelah ia beriman kepada lima perkara ini semuanya dan beriman kepada qadha’ dan qadar. Allah ta’ala berfirman : ”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” [QS an-Nisa : 136]. Maka al-Qur’an dan hadis benar-benar telah datang menjelaskan lima perkara ini dengan bentuk yang jelas, dengan teks yang jelas terhadap setiap satu dari padanya, dengan nama dan substansinya. Dan keimanan dengan selain lima perkara tersebut tidak datang dengan teks yang jelas dan yang pasti, dengan perkara tertentu, dengan nama dan substansinya, sebagaimana datangnya lima perkara ini. Dan sejumlah teks yang pasti sumbernya dan pasti maknanya itu hanya datang dengan lima perkara ini, tidak yang lainnya.” Redaksi yang disampaikan oleh Idrus Ramli dengan memotong kata “Na’am” (ya, pasti, tentu), seperti di atas : نعم قد ورد الإيمان بالقدر في حديث جبريل في بعض الروايات فقد جاء قال: (وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) أخرجه مسلم عن عمر بن الخطاب. إلا أنه خبر آحاد علاوة على أن المراد بالقدر هنا علم الله وليس القضاء والقدر الذي هو موضع خلاف في فهمه. “Ya, benar-benar telah datang keimanan kepada qadar pada Hadis Jibril dalam sebagian dari beberapa riwayat. Hadis itu benar-benar datang, di mana Nabi bersabda: “Dan kamu beriman kepada qadar, baik dan buruknya”. HR Imam Muslim dari Umar bin Khaththab. Hanya saja hadis itu adalah hadis ahad. Di samping itu yang dikehendaki dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, bukan qadha’ dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam pemahamannya.” Redaksi setelahnya : وأما مسألة الإيمان بالقضاء والقدر بهذا الاسم و بمسماها الذي جرى الخلاف في مفهومه فلم يرد بها نص قطعي. إلا أن الإيمان بمسماها من العقيدة فهي مما يجب الإيمان به. ولم تُعرف بهذا الاسم وهذا المسمى في عصر الصحابة مطلقاً فلم يرد نص صحيح بورودها بهذا الاسم والمسمى، وإنما اشتهرت في أوائل عصر التابعين. وصارت تُعرف وتُبحث منذ ذلك الحين. والذي أتى بها وجعلها موضوع البحث هم المتكلمون. فإنها لم توجد قبل نشأة علم الكلام ولم يبحثها باسمها هذا القضاء والقدر وبمسماها سوى المتكلمين بعد انتهاء القرن الأول الهجري. “Adapun problem keimanan kepada qadha’ dan qadar dengan nama serta substansinya di mana telah terjadi perselisihan dalam maknanya, maka tidak ada teks yang pasti yang datang dengannya. Hanya saja keimanan dengan substansinya itu termasuk akidah, maka termasuk perkara yang wajib diimanai. Dan problem itu dengan nama serta substansinya ini sama sekali tidak dikenal pada masa sahabat, dan tidak datang dengannya teks yang shahih dengan nama serta substansi ini. Hanya saja problem itu menjadi populer pada permulaan masa tabi’in, dan dikenal dan dibahas sejak masa itu. Sedang pihak yang membawanya dan menjadikannya topik pembahasan adalah para theolog. Jadi problem itu belum ada sebelum munculnya ilmu kalam (theologi), dan tidak membahasnya dengan nama “qadha’ dan qadar” serta substansinya ini selain para theolog, yaitu setelah berakhirnya abad ke I H”. (Taquyyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah, juz I, hal. 43-44, cet. Ke VI, 2003 M). Dengan menyampaikan pernyataan Syaikh Tqiyyuddin secara utuh, secara jujur dan adil, dan tidak dikorupsi dan dimanipulasi, juga dengan pemahaman yang mendalam dan tidak ada unsur rekayasa dan dusta, dan tidak ada kebencian terhadap sistem khilafah, maka kesimpulan yang didapat sangat berbeda dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Idrus Ramli di atas. Kesimpulannya adalah: 1. Keimanan kepada enam perkara (rukun iman yang enam) yang di dalamnya terdapat qadha dan qadar, dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah perkara pasti yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi diragukan dan dikurangi, karena termasuk akidah Islam. Dan siapa saja yang meragukan atau mengingkari salah satu dari padanya seperti meragukan atau mengingkari qadha dan qadar, maka ia tidak dianggap sebagai orang Islam. 2. Dari enam perkara di atas hanya ada lima perkara yang dalilnya pasti sumbernya (qath’its-tsubut) dan pasti maknanya (qath’id-dilalah), yaitu selain qadha dan qadar. Allah SWT berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا. “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” [QS an-Nisa : 136]. Rasulullah SAW bersabda: الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث. أخرجه البخاري من طريق أبي هريرة. “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, dengan pertemuanNya, utusan-utusanNya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan”. HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah. Adapun keimanan kepada qadar maka hadisnya termasuk hadis ahad yang salah satunya adalah hadis Jibril : الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره. رواه مسلم عن عمر بن الخطاب. “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik dan buruknya”. HR Imam Muslim dari Umar bin Khaththab. Keimanan kepada qadar Allah itu tidak hanya terdapat dalam hadis Jibril, seperti tuduhan Idrus Ramli, tetapi Syaikh Taqiyyuddin menyatakan; “pada hadis Jibril dalam sebagian dari beberapa riwayat”. Ini artinya masih ada riwayat lain selain hadis Jibril. Akan tetapi kumpulan hadis Jibril dengan hadis-hadis yang lain itu tidak dapat naik ke derajat hadis mutawatir, tetapi tetap termasuk khabar ahad. Di sini Syakih Taqiyyuddin tidak menjelaskan perincian hadits mutawatir. Berapa sanadnya dari sahabat, dari tabi’in dan dari tabi’it-tabi’in, sehingga hadis itu naik ke derajat mutawatir, karena masalah bilangan sanad hadis ahad dan mutawatir adalah masalah perbedaan pendapat di antara ulama. Para ulama sendiri berselisih terkait bilangan sanadnya, yaitu mulai dari 5, 10, 12, 20, 40, 70, 313 sampai 319 sanad dari setiap genarasi dari tiga generasi, yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. ( Lihat Hasyiyah Alamah Banani atas Syarah Matan Jam’ul Jawami’, juz 2, hal. 120-121, cet. Thaha Putra Semarang, tanpa tahun. Dan lihat al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3, hal. 82, cet. Ke 3, 2005). Dan selagi Syaikh Taqiyyuddin tidak menentukan berapa jumlah sanadnya sehingga hadis menjadi mutawatir, maka sulit bagi kita memponis bahwa Syaikh Taqiyyuddin keliru dalam pernyataannya bahwa terkait keimanan kepada qadar itu hadisnya ahad. Di samping itu, yang dikehendaki oleh Syaikh Taqiyyuddin dengan khabar ahad di sini adalah hadis terkait keimanan kepada qadar, bukan hadis qadha dan qadar seperti yang dipahami oleh Idrus Ramli dan pemahamannya itu salah. Karena terkait dalil-dalil qadha, qadar dan taqdir, termasuk hadis-hadis yang telah disampaikan oleh Idrus Ramli di atas, Syaikh Taqiyyuddin juga telah menyampaikannya secara panjang lebar. (lihat al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3, hal. 79-87, cet. Ke 6, 2003). Jadi jangan dikira Syaikh Taqiyyuddin tidak mengerti. 3. Sesungguhnya kata qadar yang terdapat dalam hadis Jibril juga dalam hadis yang lain itu bukan qadar yang bergandengan dengan qadha’ dalam problem qadha’ dan qadar yang sedang dibahas oleh Syiakh Taqiyyuddin dalam kitab-kitabnya, termasuk dalam Syakhshiyyah Islamiyyah-nya itu, yaitu qadha dan qadar yang datang dari peradaban Yunani, yang dibawa dan dibahas oleh para theolog, dan untuk memahaminya butuh kajian mendalam, mulai dari kitab Nizhamul Islam, dan didampingi serta dibimbing langsung oleh seseorang yang ditunjuk oleh Hizbut Tahrir, agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami berbagai redaksi yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyyuddin dalam kitab-kitabnya. Ini harus dilakukan oleh siapa saja yang ingin memahami dan menyelami tsaqafah Hizbut Tahrir terutama terkait problem qadha’ dan qadar, karena orang seperti Idrus Ramli saja yang terkenal alim, masih salah paham dan keblinger, masih keliru dan ngawur, kemudian berani menyalahkan Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir. Dan saking keblinger dan ngawurnya, Idrus Ramli menggunakan dalil-dalil terkait lafadz qadha’ dan qadar dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menyalahkan dan menyerang Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir, sehingga tidak sedikit dari para syabab dan pendukung Hizbut Tahrir yang tersenyum, tertawa menyaksikan tingkah keblinger dan ngawur ustadz yang satu ini. Jadi semua tuduhan miring Idrus Ramli terhadap Hizbut Tahrir pada dasarnya telah membongkar kekeblingeran, kengawuran dan kebodohannya sendiri, terutama di tempat kelahirannya sendiri, sehingga di sana Hizbut Tahrir semakin berkembang, mungkin karena mendapat seponsor gratis dari ustadz yang satu ini. Dan yang paling keblinger dan ngawur adalah orang-orang yang selama ini berada di belakangnya. Subhanallah! Aswaja-nya dikemanakan? Ingat Aswaja itu adalah kependekan dari “Ahlussunnah Wal Jama’ah”, bukan “Asu Wal Jangkrik”. Maka berhati-hatilah dengan Aswaja! Jangan dijadikan kendaraan untuk memitnah! Kedua, terkait makna qadar. Idrus Ramli berkata: “An-Nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits Jibril, “Kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya”, adalah pengetahuan dan ilmu Allah. Sementara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah.” Sekarang saya ajukan pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang lain. Pada bab al-Qadar setelah mengutarakan satu persatu makna qadar dari sejumlah ayat dan hadis yang cukup lengkap, beliau berkata; ويتبين من هذا كله أن كلمة قدر من الألفاظ المشتركة التي لها عدة معانٍ : منها التقدير والعلم والتدبير والوقت والتهيئة، وجعل خاصية في الشيء ..... “Dan menjadi jelas dari semuanya bahwa kata qadar adalah termasuk kata yang memiliki banyak arti, di antaranya ialah ketentuan, ilmu, pengaturan, waktu, persiapan, dan menjadikan karakter sesuatu…..” وأما ما أخرجه الطبراني بسند حسن من حديث ابن مسعود رفعه (إذا ذُكِرَ القَدَرُ فأمْسِكُوا) أي إذا ذُكر علم الله وتقديره للأشياء فلا تخوضوا في ذلك، لأن كون تقدير الأشياء من الله يعني أنه كتبها في اللوح المحفوظ وهذا يعني أنه علمها، وكون الله عالماً بها هو من صفات الله التي يجب الإيمان بها، فيكون معنى الحديث أنه إذا ذكر أن الله هو الذي قدر الأشياء وعلمها أي كتبها في اللوح المحفوظ فلا تخوضوا في مناقشة ذلك بل أمسكوا وسلموا. “Adapun hadis marfu’ yang dikeluarkan oleh Imam Thabrani dengan sanad hasan dari hadis Ibnu Mas’ud; “Ketika disebut qadar, maka tahanlah (diamlah)”, yakni ketika disebut ilmu Allah dan takdirNya terhadap segala sesuatu, maka kalian jangan membicarakannya, karena takdir Allah terhadap segala sesuatu itu berarti Allah menulisnya di Lauh Mahfudz, ini berarti bahwa Allah mengetahuinya, dan Allah mengetahuinya itu termasuk sifat-sifat Allah yang wajib diimaninya. Jadi makna hadis itu; Ketika disebut bahwa Allah adalah Tuhan yang telah menentukan segala sesuatu dan mengetahuinya, itu berarti Allah telah menulisnya di Lauh Mahfudz, maka kalian jangan tenggelam dalam mendiskusikannya, tetapi tahanlah dan serahkanlah.” (Ibid, juz I, hal. 79-83). Jadi ketika kita membaca pernyataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, apalagi ketika membaca bab al-Qadar dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah-nya secara keseluruhan, maka masalahnya tidak seperti tuduhan Idrus Ramli bahwa makna qadar itu hanya ilmu Allah, tetapi saya hitung lebih dari sepuluh makna, termasuk makna al-maqdur seperti disampaikan Idrus Ramli di atas. Dan makna ilmu Allah pun sebagai tafsir dari tulisan Allah di Lauh Mahfudz. Jadi kalau Allah menulisnya di Lauh Mahfudz, berarti Allah mengetahuinya. Sekarang saya ajukan perkataan ulama lain, yaitu perkataan Syaikh Muhammad Khalil Haras : وَالْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَحَدُ الْأَرْكَانِ السِّتَّةِ الَّتِي يَدُورُ عَلَيْهَا فَلَكُ الْإِيمَانِ ؛ كَمَا دَلَّ عَلَيْهِ حَدِيثُ جِبْرِيلَ وَغَيْرُهُ ، وَكَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الصَّرِيحَةُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ . وَقَدْ ذَكَرَ الْمُؤَلِّفُ هُنَا أَنَّ الْإِيمَانَ بِالْقَدَرِ عَلَى دَرَجَتَيْنِ ، وَأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا تَتَضَمَّنُ شَيْئَيْنِ : “Keimanan kepada qadar baik dan buruknya dari Allah adalah salah satu rukun iman yang enam, di mana orbit keimanan beredar di atasnya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Jibril dan hadis lain, dan sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat yang jelas, dari kitab Allah. Dan di sini penyusun telah menuturkan bahwa keimanan kepada qadar itu terdiri atas dua derajat, dan setiap derajat darinya meliputi dua perkara: فَالدَّرَجَةُ الْأُولَى تَتَضَمَّنُ : أَوَّلًا : الْإِيمَانُ بِعِلْمِهِ الْقَدِيمِ الْمُحِيطِ بِجَمِيعِ الْأَشْيَاءِ ، وَأَنَّهُ تَعَالَى عَلِمَ بِهَذَا الْعِلْمِ الْقَدِيمِ الْمَوْصُوفِ بِهِ أَزَلًا وَأَبَدًا كُلَّ مَا سَيَعْمَلُهُ الْخَلْقُ فِيمَا لَا يَزَالُ ، وَعَلِمَ بِهِ جَمِيعَ أَحْوَالِهِمْ مِنَ الطَّاعَاتِ وَالْمَعَاصِي وَالْأَرْزَاقِ وَالْآجَالِ . فَكُلُّ مَا يُوجَدُ مِنْ أَعْيَانٍ وَأَوْصَافٍ وَيَقَعُ مِنْ أَفْعَالٍ وَأَحْدَاثٍ فَهُوَ مُطَابِقٌ لِمَا عَلِمَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَزَلًا . Derajat pertama meliputi: Pertama: Keimanan kepada ilmu Allah yang qadim yang meliputi semua dari segala sesuatu, dan bahwa Allah dengan ilmu yang qadim yang menjadi sifatNya sejak azali dan selamanya, mengetahui setiap perkara yang akan dikerjakan oleh makhluk pada masa yang tidak terbatas, dan Dia mengetahui semua kondisi makhluk dari taat, maksiat, rezeki dan ajal. Maka setiap benda dan sifat yang wujud, dan setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi itu sesuai dengan sesuatu yang diketahui oleh Allah sejak zaman azali. ثَانِيًا : أَنَّ اللَّهَ كَتَبَ ذَلِكَ كُلَّهُ وَسَجَّلَهُ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ ، فَمَا عَلِمَ اللَّهُ كَوْنَهُ وَوُقُوعَهُ مِنْ مَقَادِيرِ الْخَلَائِقِ وَأَصْنَافِ الْمَوْجُودَاتِ وَمَا يَتْبَعُ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْوَالِ وَالْأَوْصَافِ وَالْأَفْعَالِ وَدَقِيقِ الْأُمُورِ وَجَلِيلِهَا قَدْ أَمَرَ الْقَلَمُ بِكِتَابَتِهِ ؛ كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « قَدَّرَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ » . Kedua: Bahwa Allah telah menulis dan mencatat semua itu di Lauh Mahfudz. Maka apa saja yang Allah mengerti keberadaan dan terjadinya dari ukuran semua makhluk dan jenis semua yang wujud, dan semua yang mengikutinya dari kondisi, sifat, perbuatan, perkara kecil dan perkara besar, Allah telah memerintah Qalam untuk menulisnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menentukan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi selama lima ratus ribu tahun, dan Arasy-Nya di atas air.” (Muhammad Khalil Haras, Syarah Aqidah Wasithiyyah, juz I, hal. 294-297, Maktabah Syamilah). Kesimpulan yang diambil dari pernyataan di atas adalah bahwa makna qadar adalah ilmu Allah dan tulisan di Lauh Mahfudz. Ini seperti pernyataan Syaikh Taqiyyuddin di atas. Dan ulama yang lain, yaitu Sayyid Husain Afandi berkata: ومما يجب شرعا على كل مكلف الإيمان بالقضاء والقدر، كما وردت النصوص الشرعية بهما، وكما أمرنا بالإيمان بهما فقد نهينا عن الخوض في مباحثهما، ولكن لما كان الإيمان بهما لا بد فيه من تفسير معناهما نقول: إن المنقول عن الماتريدية في تفسيرهما: أن القدر تحديد الله تعالى أزلا كل مخلوق بحده الذي يوجد عليه: من حسن وقبح، ونفع وضر، إلى غير ذلك، أي علمه تعالى أزلا صفات المخلوقات فيرجع إلى صفة العلم..... “Termasuk kewajiban syara’ atas setiap orang mukallaf adalah beriman kepada qadha’ dan qadar, sebagaimana datang teks-teks syara’ dengannya, dan sebagaimana kami diperintah beriman dengannya, lalu kami dilarang tenggelam dalam pembahasannya. Akan tetapi ketika beriman kepadanya itu membutuhkan penafsiran maknanya, maka kami berkata: “Sesungguhnya penafsirannya yang dikutif dari Maturidiyah: “Bahwa qadar adalah penentuan Allah pada zaman azali terhadap setiap makhluk dengan ketentuannya di mana makhluk akan wujud sesuai dengannya, dari baik dan buruk, manfaat dan bahaya, dan seterusnya, yakni ilmu Allah pada zaman azali terhadap sifat-sifat semua makhluk. Maka qadar itu kembali kepada sifat ilmu…..” (Sayyid Husain Afandi al-Jaser al-Tharobulis, al-Hushun al-Hamiidiyyah, hal. 137, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Awladihi, Surabaya). Pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa makna qadar adalah ilmu Allah SWT. Dan berikut adalah pernyataan Imam Nawawi: وَاعْلَمْ أَنَّ مَذْهَب أَهْل الْحَقّ إِثْبَات الْقَدَر وَمَعْنَاهُ : أَنَّ اللَّه - تَبَارَكَ وَتَعَالَى - قَدَّرَ الْأَشْيَاء فِي الْقِدَم ، وَعَلِمَ - سُبْحَانه - أَنَّهَا سَتَقَعُ فِي أَوْقَات مَعْلُومَة عِنْده - سُبْحَانه وَتَعَالَى - وَعَلَى صِفَات مَخْصُوصَة فَهِيَ تَقَع عَلَى حَسْب مَا قَدَّرَهَا سُبْحَانه وَتَعَالَى . “Ketahuilah bahwa madzhab ahlul-haq adalah menetapkan qadar. Maknanya; Bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu pada masa dahulu kala, dan Allah SWT mengerti (‘alima, ya’lamu ‘ilman) bahwa segala sesuatu itu akan terjadi pada waktu yang diketahui-Nya, dan sesuai sifat-sifat tertentu, maka segala sesuatu itu terjadi sesuai ketentuan Allah terhadapnya.” ( Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz I, hal. 70, Maktabah Syamilah). Pernyataan Imam Nawawi juga menunjukkan bahwa makna qadar adalah ketentuan dan ilmu Allah. Dan Ibnu Hajar berkata: وَالْقَدَر مَصْدَر ، تَقُول : قَدَرْت الشَّيْء بِتَخْفِيفِ الدَّالّ وَفَتْحهَا أَقْدِرُهُ بِالْكَسْرِ وَالْفَتْح قَدْرًا وَقَدَرًا ، إِذَا أَحَطْت بِمِقْدَارِهِ . وَالْمُرَاد أَنَّ اللَّه تَعَالَى عَلِمَ مَقَادِير الْأَشْيَاء وَأَزْمَانهَا قَبْل إِيجَادهَا ، ثُمَّ أَوْجَدَ مَا سَبَقَ فِي عِلْمه أَنَّهُ يُوجَد ، فَكُلّ مُحْدَث صَادِر عَنْ عِلْمه وَقُدْرَته وَإِرَادَته ، هَذَا هُوَ الْمَعْلُوم مِنْ الدِّين بِالْبَرَاهِينِ الْقَطْعِيَّة ، وَعَلَيْهِ كَانَ السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَخِيَار التَّابِعِينَ ..... “Qadar adalah mashdar, kamu berkata; “qadartu al-syaia” (aku telah menguasai sesuatu) dengan meringankan serta memfathah hurf daal, “aqdiruhu” (aku sedang/akan menguasainya) dengan kasrah dan fathahnya hurf daal, “qadr[an] wa qadar[an]” (dengan kekuasaan) , (maknanya) ketika kamu meliputi dengan ukurannya. Maksudnya, bahwa Allah telah mengetahui ukuran / jumlah segala sesuatu dan mengetahui masanya sebelum diwujudkan, kemudian Allah mewujudkan sesuatu yang telah diketahui-Nya bahwa ia akan wujud, maka setiap yang wujud itu keluar dari ilmu, qudrah dan iradah-Nya. Ini perkara agama yang telah diketahui melalui bukti-bukti yang pasti, dan sebagai madzhab salaf dari para sahabat dan tabi’in yang baik-baik…..” (Ibnu Hajar, Fathul Barri Syarah Bukhari, juz I, hal. 80, Maktabah Syamilah). الباب الرّابع والعشرون في قول السَّلَف: من أصول الإيمان الإيمان بالقدر خيره وشرِّه حلوه ومرِّه: قد تقدّم أن القدر لا شرَّ فيه بوجه من الوجوه، فإنه علم الله وقدرته وكتابه ومشيئته..... “Bab ke dua puluh empat dalam mejelaskan pernyataan ulama salaf : Termasuk pangkal iman adalah iman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan pahitnya : Di atas telah dijelaskan bahwa qadar itu tidak ada keburukan padanya dilihat dari sudut manapun, karena qadar adalah ilmu Allah, qudrahNya, tulisanNya, dan masyiahNya…..” (Ibnu Qayyim Jauziyah, Syifaa’ al-Aliil, juz I, hal. 443, Daarul Fikri, al-Marja’ al-Akbar li al-Turats al-Islami). Sejumlah pernyataan ulama di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyyuddin terkait sejumlah makna qadar yang di antaranya adalah ilmu Allah, adalah hak dan termasuk madzhab ulama salaf dari para sahabat dan tabi’in yang baik dan saleh. Juga ketika qadar sebagai mashdar bermakna ilmu, maka maqdur (seperti kata Idrus Ramli) sebagai isim maf’ul bermakna ma’lum, jadi mashdar disesuaikan dengan mashdar dan isim maf’ul disesuaikan dengan isim maf’ul. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pernyataan Idrus Ramli di atas hanyalah rekayasa, dusta, fitnah dan provokasi terhadap Hizbut Tahrir. (Abulwafa Romli)
Posted on: Fri, 01 Nov 2013 12:46:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015