PEMIMPIN NAGARI NGAYOGYOKARTO HADININGRAT Sri Sultan HB IX - TopicsExpress



          

PEMIMPIN NAGARI NGAYOGYOKARTO HADININGRAT Sri Sultan HB IX pernah menegaskan bahwa gelar ”Sultan Hamengku Buwono” akan tetap ada turun-temurun. Nama itu merupakan penggalan dari sebuah gelar panjang sebagai berikut: Sampeyan Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Nglaga Ngabdul Rahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping … ing Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat Mataram. Nama ini menunjukkan otoritas dirinya sebagai seorang raja yang bertahta dan berkuasa secara politik, militer, dan sosial keagamaan. Lebih dari 250 tahun ini (sejak 1755) Kasultanan Yogyakarta berdiri dan berkembang. Sultan berganti Sultan. Setiap raja memancarkan kemuliaannya sendiri-sendiri. Karya-karya semasa mereka hidup menorehkan sejarah tersendiri. HAMENGKU BUWONO I (1755-1792) Nama kecil HB I adalah B.R.M. Sudjono. Setelah dewasa, sebelum naik tahta, HB I mempunyai nama Bendara Pangeran Hario (B.P.H.) Mangkubumi. Raja yang senang bertapa ini adalah seorang pembelajar. Filsafat, ilmu kemiliteran, dan ilmu pemerintahan lama ditekuninya. Ketika pada suatu hari bersemadi di desa Beton (sebelah timur Kraton Surakarta), ia mendapatkan visi (wahyu, wangsit) tentang bagaimana dirinya harus menjadi seorang pemimpin yang bisa mengayomi segenap rakyat. Meskipun ia seorang pejuang yang melawan Penjajah dengan gagah berani, jiwa seninya sangat kuat. Beberapa karya seninya adalah tarian Beksan Lawung, tarian Wayang Wong, tarian Eteng, seni wayang Purwo, dan seni arsitektur Kraton Yogyakarta. HAMENGKU BUWONO II (1792-1812 & 1826-1828) Sebutan lain untuk HB II adalah Sultan Sepuh. Adapun nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas Sundoro. Raja yang nasionalis ini berani menentang Penjajah. Ia tidak segan-segan menjuluki Gubernur Jenderal Daendeles sebagai orang yang tidak tahu adat dan melanggar tata krama. Karena sikapnya yang anti-kolonialisme itu, HB II sempat dibuang ke Pulau Pinang dan Ambon. HB II merindukan keutuhan Kasultanan Yogyakarta sehubungan dengan terjadinya pergolakan intern antara dirinya dengan saudaranya sendiri, Pangeran Natakusumo. Ketika Raffles berkuasa pada tahun 1813, Notokusumo memisahkan diri dan mendirikan Kadipaten Pakualaman. Karya sastra HB II yang berjudul Serat Surya Raja menggambarkan tentang bagaimana seandainya dua buah kerajaan bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang raja yang arif (Purwadi, 2007) HAMENGKU BUWONO III (1812-1814) Pemilik nama kecil Gusti Raden Mas Surayo ini adalah ayah dari Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan legendaris. HB III sendiri adalah seorang nasionalis. Ia menepati petuah ayahnya (HB II) untuk bersikap anti-kolonialis. Namun, pada masa Penjajahan Inggris di Indonesia, HB III terdesak. HB III terpaksa harus melepaskan haknya atas tanah-tanah di Kedu, Pacitan, Japan, Jipan, dan Grobogan. HB III hanya bertahta selama dua tahun karena meninggal pada usia 43 tahun. HAMENGKU BUWONO IV (1814-1823) Pada usia 13 tahun, G.R.M. Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan HB IV. Pengangkatan itu dilakukan atas usul residen Gernham. Karena masih terlalu muda, dibentuklah Dewan Perwakilan untuk membantu kepemimpinanya. Dewan itu terdiri dari Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ranadiningrat, dan RadenTumenggung Mertanegara. Sayangnya, tim ini rawan konflik karena masing-masing anggotanya memiliki kepentingan sendiri-sendiri (Purwadi, 2007). Namun, selama masa pemerintahannya, HB IV cukup mendapat dukungan dari rakyat. HAMENGKU BUWONO V (1823-1855) HB V lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dengan nama kecil G.R.M. Gathot Menol. Ia diangkat menjadi Sultan ketika berusia 3 tahun (1823). Karena masih kanak-kanak, ia didampingi oleh sebuah Dewan Perwalian yang terdiri dari neneknya (Kanjeng Ratu Ageng), ibunya (Kanjeng Ratu Kencana), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro (anak dari HB III). Namun, Pangeran Diponegoro kemudian meletakkan jabatan itu. Ia bersama dengan Sentot Prawirodirjo dan Kyai Maja memberontak melawan Penjajah Belanda. HAMENGKU BUWONO VI (1855-1877) Nama kecil HB VI adalah G.R.M. Mustojo. Semasa pemerintahannya, Mataram (Kasultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran) mengalami kemunduran secara politis. Menurut Ricklefs, kemunduran dalam bidang politik ini justru mendorong kamajuan di bidang sastra dan budaya (Purwadi, 2007). Masa ini bisa disebut sebagai masa renaisans kesusastraan Jawa klasik. Para pujangga mendapat peluang besar untuk berkarya pada waktu itu. Salah seorang yang terkenal adalah Raden Panji Nataroto. Disamping produktif dalam menulis, ia juga seorang ahli kebatinan. HAMENGKU BUWONO VII (1877-1919) Nama kecil HB VII adalah G.R.M. Murtejo. Menurut Serat Babad Mentaram (1898), penghasilan Kasultanan mengalami peningkatan. Kasultanan memperoleh keuntungan dari hutan jati di Wonosari, penyewaan tanah, dan bisnis tujuh belas pabrik gula. Kecuali itu, Kasultanan juga memperoleh keuntugan dari pembayaran ijin penggunaan jalur kereta api (jalur Yogyakarta-Tempel-Magelang, jalur Yogyakarta-Pundong, dan jalur Brosot-Samigalur). Menjelang masa tua, HB VII meletakkan tahta dan memilih untuk menyepi (lengser keprabon mandeg pandhita). Untuk itu, HB VII yang juga disebut sebagai Sultan Sugih membangun pesanggrahan Ambarukmo (Saat ini terletak di antara Hotel Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza). HAMENGKU BUWONO VIII (1921-1939) Sebelum dinobatkan menjadi HB VIII, ia bernama G.R.M. Suyadi. Pada masa HB VIII bertahta, intervensi Belanda dalam pemerintahan Kasultanan Yoyakarta semakin kuat. Bahkan, posisi tawar Kasultanan dinyatakan semakin lemah dalam Acte van Verband yang merupakan politiek contract antara Belanda dengan HB VIII. Pertama, kedudukan Sultan semata-mata ada karena pemberian Belanda, bukan karena berhak sebagai raja. Kedua, Sultan harus setia dan mengabdi kepada Belanda. Ketiga, Sultan tidak berwenang mengubah peraturan yang berlaku di dalam Kraton, kecuali atas persetujuan Belanda. Menjelang wafat, HB VIII cepat-cepat mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan kepada putranya (G.R.M. Dorojatun). HB VIII memanggil pulang putranya kembali ke tanah air dan memberinya pusaka Kraton (Kyai Jaka Piturun) sebagai lambang suksesi. HAMENGKU BUWONO IX (1940-1988) Karena kondisi Kasultanan ditekan selama masa ayahnya bertahta, G.R.M. Dorojatun sangat mewaspadai strategi Belanda. Henkie (nama lain Dorojatun) tidak langsung mau menandatanggani politiek contract yang disodorkan Belanda menjelang hari penobatannya sebagai HB IX. Sebagai seorang nasionalis sejati, Henkie keberatan sehingga proses perundingan mejadi alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendengar bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942). Dalam perjuangan Kemerdekaan RI, HB IX memainkan peran yang sangat penting. Yogyakarta menjadi Ibukota RI. HB IX pun merancang strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyelamatkan RI di mata dunia. Pada awal masa Orde Baru, HB IX menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan cara mengembalikan kepercayaan internasional untuk membantu RI. Sejak tahun 1946 sampai 1971, HB IX berkali-kali menjabat posisi Menteri Negara RI. Tahun 1950 hingga 1951 dan tahun 1966, ia menjadi Wakil Perdana Menteri. Setelah itu, HB IX menjadi Wakil Presiden RI (1973-1978). HAMENGKU BUWONO X (1989-) Namanya sewaktu muda adalah B.R.M. Herjuno Darpito. Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 1946. Ia naik tahta (jumenengan dalem) pada tanggal 7 Maret 1989 dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso. Gubernur DIY sejak tahun 1998 ini pernah mendapat tanda jasa atau bintang penghargaan dari Austria (Grand Cross) dan dari Belanda (Orde Van Oranje Nassau). HB X adalah salah seorang tokoh reformasi di Indonesia. Tindakan-tindakan taktis yang diambilnya turut mengakselerasi gerakan reformasi. Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” (1999) dijelaskan bagaimana HB X memberi dukungan terhadap gerakan reformasi secara simbolis dan juga secara praktis. Dalam aksi sejuta massa yang dikenal sebagai momen pisowanan ageng (20 Mei 1998), HB X menyampaikan maklumat. Dalam orasinya, HB X berkata: ”Maka adalah panggilan sejarah, jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung gerakan reformasi nasional bersama kekuatan reformasi lainnya!” AWAL TERBENTUKNYA KESULTANAN YOGYA Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil dikuasai VOC (Belanda). Dengan Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743, Belanda menguasai Mataram secara ekonomi dan politik. Belanda berhak atas daerah-daerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram. Kemudian, sistem pemerintahan Mataram (pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem dan para bupati) dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda. Sejak tanggal 11 Desember 1749, Paku Buwono II menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Belanda. Dengan demikian, kerajaan Mataram sudah tidak berdaulat lagi secara de facto dan de jure. Menyadari situasi itu, Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Hamengku Buwono I) tidak menyetujui sikap lemah Paku Buwono II tersebut. Sebagai reaksinya, pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana bersama tiga pangeran lainnya (Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak, dan Pangeran Hadiwijoyo). Mereka bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda dan memberontak. Mereka berhasil merebut Mataram dari kekuasaan Belanda. Pada tahun 1750, mereka sudah dapat mengepung ibukota Mataram dari 4 penjuru. Sampai pada tahun 1752, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka ambil alih kembali. Belanda berusaha melakukan lobi-lobi. Pada tanggal 23 September 1754, Belanda bernegoisasi dengan P. Mangkubumi dan berjanji memberi setengah dari kerajaan Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang merupakan kesepakatan bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda (Gubernur Hartingh). Perjanjian Giyanti berisi ketetapan bahwa kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Setengahnya, Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Setengahnya yang lain, Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III. Perjanjian Giyanti (1755) merupakan titik awal berdirinya kerajaan kasultanan Yogyakarta (Ngayogyokarto Hadiningrat). Segera setelah memperoleh wilayah Yogyakarta (setengah kerajaan Mataram), Pangeran Mangkubumi mendirikan Kasultanan Yogyakarta dan mengukuhkan dirinya sebagai raja dengan nama Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Wibawa Kasultanan Yogyakarta masih terasa sangat kuat sampai pada hari ini. Pada tahun 1998, 2003, dan 2008, masyarakat Yogyakarta menyatakan dukungan kepada Sri Sultan HB X untuk menjadi Gubernur DIY. Ribuan orang berunjuk rasa, menyampaikan orasi, dan mengukuhkan HB X menjadi Kepala Daerah DIY. Itu merupakan salah satu bukti betapa kejayaan Kasultanan Yogyakarta masih belum pudar. Kejayaan Kasultanan Yogyakarta masa kini mempunyai akar sejarah yang panjang. Pada awalnya kasultanan ini adalah Mataram Islam, sebuah kerajaan Jawa klasik yang berkuasa atas pulau Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Barat. Mataram akhirnya terbelah menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti (1755), yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dengan demikian, Kasultanan Yogyakarta adalah pewaris sah kerajaan Mataram tersebut. ASAL MULA MATARAM ISLAM Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang. Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan. PUNCAK KEJAYAAN Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut Moejanto seperti yang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak terbagi-bagi. MELANJUTKAN KEJAYAAN MATARAM Kejayaan politik dan militer Mataram Islam yang mencapai puncaknya pada jaman Sultan Agung itu akhirnya mulai merosot sedikit demi sedikit. Pengganti Sultan Agung, Hamangkurat I (1647-1677) justru bersahabat dengan VOC. Hamangkurat II (1677-1703) menyerahkan Semarang kepada VOC. Meskipun demikian, Hamangkurat II melawan VOC di Kartasura sampai Kapten Tack meninggal. Hamangkurat III (1703-1708) lebih bersikap menentang VOC. Kemerosotan tajam terjadi pada jaman Sunan Paku Buwono II (PB II) yang memerintah pada tahun 1727 sampai tahun 1749. Pada mulanya, PB II menyerahkan Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura kepada VOC. Pada tahun 1743 diserahkannya pula Demak dan Pasuruan. Belanda pun menguasai pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal, Pekalongan, Kendal, Tuban, Juwana, dan sebagainya. Sebelum mangkat, PB II menyerahkan seluruh Mataram kepada VOC Belanda. Syukurlah, Pangeran Mangkubumi tidak terima dengan semua itu. Ia pun bangkit melawan penjajah. Akhirnya ia memperoleh sebagian Mataram melalui Perjanjian Giyanti (1755). Meskipun nama kerajaan baru yang didirikannya bukan lagi Mataram namun Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, bangkitnya kerajaan baru ini sebenarnya melanjutkan kejayaan Mataram. Kasultanan Yogyakarta adalah pewaris sah kerajaan Mataram. Dengan demikian, kejayaan Mataram dilanjutkan.
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 17:48:22 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015