PERANAN SULTAN NGAYOGYOKARTO TERHADAP PEMERINTAHAN RI Pada era - TopicsExpress



          

PERANAN SULTAN NGAYOGYOKARTO TERHADAP PEMERINTAHAN RI Pada era kepemimpinan Sri Sultan HB IX, Kasultanan menunjukkan kejayaannya dalam bidang politik dan militer. Wibawa Kasultanan Yogyakarta dan HB IX menjadikan Yogyakarta sebagai soko guru bagi ’bayi’ Republik Indonesia yang baru lahir pada tahun 1945. Jika Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta tidak bergabung dengan NKRI dan memperjuangkan NKRI , perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya tidak akan mudah. Keputusan-keputusan politis dan tindakan-tindakan strategis militer yang dilancarkan HB IX sangat luar biasa. HB IX menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang senopati ing ngalaga (panglima perang). Setelah Presiden dan Wakil Presiden RI tertangkap dalam Agresi Militer Belanda II (1949), Yogyakarta menjadi vakum. Pihak Belanda melancarkan lobi-lobi untuk membujuk HB IX supaya mau memihak kepada Belanda.Semua utusan Belanda ditolak mentah-mentah oleh HB IX. Mereka adalah Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, Kolonel Van Langen, Prof. Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II. Sultan HB IX juga tidak menggubris iming-iming dari Belanda. Penjajah berjanji akan mengangkat HB IX menjadi pimpinan (wali nagari) atas Jawa dan Madura dalam rangka negara federal bikinan Belanda. Menghadapi intimidasi dan serangan militer Belanda, HB IX sama sekali tak gentar. Ancaman Jenderal Spoor yang akan mendobrak pintu gerbang Kraton dengan tank sama sekali tidak digubrisnya. Ketika menghadapi tentara Belanda yang bersenjata lengkap, HB IX justru mengenakan pakaian Jawa tanpa keris. Ketika Kraton akan digeledah, HB IX berkata: ”…tuan bersenjata dan saya tidak. Tetapi, sebelum tuan lakukan, tuan harus membunuh saya dulu!” (Tahta untuk Rakyat, 1982, hal 83). Kecuali itu, sebagai seorang senopati ing ngalogo, HB IX mempunyai strategi yang luar biasa. Ada dua strategi politik dan militer HB IX yang membuat Belanda kalang-kabut. Strategi yang pertama adalah melancarkan desas-desus (fluistercampagne) yang menunjukan seolah-olah HB IX dan PA VIII hendak meletakkan jabatan. Jika hal ini terjadi, pihak Belanda harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi di Yogyakarta. Strategi yang kedua adalah melancarkan serangan fajar yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 (SO 1 Maret). Ide itu dibicarakannya dengan Soeharto di Kraton sebelum akhirnya benar-benar diwujudkan. SO 1 Maret mencelikkan mata dunia bahwa RI masih eksis. Wibawa Kasultanan dan HB IX juga mengembalikan kepercayaan internasional terhadap RI. Pada akhir masa Orde Lama, RI terkucil dari pergaulan internasional karena memutuskan untuk keluar dari PBB. Padahal, pada masa awal Orde Baru, RI sangat membutuhkan bantuan keuangan dari negara-negara dan lembaga-lembaga dunia. Waktu itu perekonomian Indonesia mencapai titik nadir. Dalam hal ini HB IX tampil di pentas dunia untuk menyelamatkan ekonomi RI. Kredibilitas dan kapasitas HB IX ternyata diakui dunia. Oleh karena itu, dunia kembali mempercayai Indonesia dan tergerak memberi bantuan kepada Indonesia. Presiden Soeharto meminta bantuan HB IX untuk mengurus kembalinya RI ke PBB, Bank Dunia, dan IMF. HB IX juga diminta oleh Presiden Soeharto untuk menjadwalkan kembali pembayaran hutang-hutang asing dan mencari kredit baru. Ekonom Widjojo Nitisastro berkomentar: ”Peranan dan figur Sri Sultan telah berhasil mengambalikan kepercayaan terhadap Indonesia di luar dan di dalam negeri!” Perjalanan HB IX keliling dunia untuk mencari bantuan bagi Indonesia berhasil secara luar biasa. Kunjungan HB IX ke Jepang menghasilkan kredit US $ 30 juta (1966). Setelah berkeliling di Eropa Barat, HB IX mendapat kredit US $ 170 juta dan janji bantuan US $ 180 juta. Mata dunia pun tertuju pada Indonesia. Atas undangan Jepang, sejumlah negara kreditor (AS, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman Barat) bersama Bank Dunia dan IMF, bertemu dalam “Tokyo Meeting” yang didisain khusus untuk membantu ekonomi Indonesia (19-20 September 1966). Ketika mengajukan dukungan dana di Belanda, wibawa HB IX sangat besar. Menurut catatan Frans Seda, dalam perundingan yang alot itu HB IX berani berkata lantang: ”Nu of nooit meer!” (sekarang atau tidak pernah sama sekali). Lobi HB IX yang mendapat simpati pers setempat mendorong Perdana Menteri Belanda, Joseph Luns, menyetujui perjanjian sebelum HB IX pulang ke Indonesia. Banyak gagasan, pemikiran, dan strategi-strategi kultural lahir dari Yogyakarta. Ketika bangsa ini mengalami krisis peradaban, Yogyakarta tampil memberikan koreksi. Sebagai contoh adalah koreksi Sri Sultan HB X terhadap kepemimpinan Orde Baru yang menyalahgunakan konsep Jawa tentang ”ora ilok” (tidak layak), ”mbeguguk mangutho waton” (keras kepala), ”mbalelo” (memberontak), ”aja dumeh” (jangan merasa sok), ”unggah-ungguh” (sopan santun), ”tepo-slira” (tenggang rasa), dan ”ewuh pakewuh” (rasa segan). Kritik HB X yang disampaikan melalui sebuah orasi dalam gerakan reformasi 1998 adalah sebagai berikut (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, 1999). ”Ora ilok diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk mangutho waton dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebug dan dilibas, bukan bagi penguasa yang sudah tidak bisa lagi menangkap aspirasi rakyat, karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja. Aja dumeh malah dialamatkan bagi rakyat yang tergusur, bukan bagi mereka yang menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh, tepo sliro, dan ewuh pakewuh hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan pejabat yang korup, main kolusi, dan sebagainya. Inilah saudara-saudaraku, yang dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada penguasa!” Kejayaan Kasultanan Yogyakarta masih sangat kuat sampai sekarang. Ketika gonjang-ganjing melanda Indonesia menjelang lengsernya Soeharto, Yogyakarta menjadi barometer nasional. Gerakan reformasi 1998 terakselerasi oleh momen aksi sejuta massa (pisowanan ageng) yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1998. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa HB X tenyata masih disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak luas. Maklumat yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Pakualaman untuk mendukung gerakan reformasi itu menjadi pegangan bagi rakyat Yogyakarta untuk menentukan sikap. Sultan HB X pun tidak enggan untuk mengkritisi rezim Orde Baru. Sebelum Soeharto lengser, HB X pernah menyampaikan pidato di mimbar bebas UGM. Sabdanya: ”Sebagai tradisi perjuangan yang telah diwariskan para leluhur, saya siap memimpin perjuangan panjang di tengah-tengah masyarakat, rakyat, dan segenap kawulo Yogyakarta Hadiningrat. Jangan lagi rakyat menjadi obyek kekuasaan, kezaliman, dan ketidakadilan. Sekarang ini, itu semua sudah tamat!” Semua yang hadir pada momen itu spontan berseru: ”Hidup Sultan…hidup Sultan…hidup Sultan!” (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, 1999).
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 17:54:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015