Pandangan Bung Karno Tentang “Wahabi” OPINI | 25 July 2013 | - TopicsExpress



          

Pandangan Bung Karno Tentang “Wahabi” OPINI | 25 July 2013 | 04:09 Dibaca: 5 Komentar: 0 1 Bagi sebagian orang, Bung Karno identik dengan sosok sekuler. Bahkan tak jarang yang menghubung-hubungkan nama sang proklamator dengan berbagai kepercayaan kejawen dan mistisme. Terlepas benar tidaknya soal tersebut, menggali sosok Bung Karno sungguh menarik. Beliau merupakan seorang pemikir hebat yang dibesarkan di alam penjajahan, dengan kapasitas intelektual jauh melampaui rata-rata rakyat Indonesia pada masanya. Sederet istilah yang mungkin selalu disematkan orang buat melukiskan pemikiran Bung Karno selalu tak jauh-jauh dari kosa kata nasionalisme, pancasilaisme, patriotisme atau marhaenisme. Teramat jarang yang membahas lebih dalam tentang corak keislaman yang dianut oleh ‘putra sang fajar’. Maka tak heran, bila yang berkembang di tengah masyarakat umum adalah anggapan bahwasanya Bung Karno, sebagaimana kebanyakan orang Indonesia pada zaman itu, merupakan penganut Islam tradisionalis yang kental dengan nuansa mistisme, sufisme, dan kejawen. Tulisan ini tidak hendak mengupas soal mazhab dan corak Islam yang bagaimanakah yang diiyakini oleh Bung Karno, melainkan hendak mengetengahkan ulasan bahwa ternyata sosok Proklamator RI ini begitu tinggi penghormatannya terhadap ajaran “Wahabi”. Hal tersebut antara lain tercemin dari surat-surat dari Endeh yang dikirimkan Bung karno kepada Ustad A. Hassan, guru Persatuan Islam Bandung. Dalam salah satu suratnya tertanggal 1 Desember 1934, Bung Karno menulis: “Assalamualaikum, Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini: 1 Pengajaran Shalat, 1 Utusan Wahabi, 1 Al-Muchtar, 1 Debet Talqieb, 1 AL-Burchan Complet, 1 Al-Jawahir. Kemudian jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sajid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sajid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelakaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusirikan itu. Alasan-alasan kaum “sajid”, misalnya mereka mempunyai brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan ummat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan! ……….” Dalam penggalan surat di atas tertera secara gamblang betapa Bung Karno mengingkari cara beragama sebagian umat Islam di tanah air yang gemar mengkultuskan sayid, habib, kyai, dan semisalnya. Sebagaimana diketahui, pengultusan tersebut tak hanya berlangsung tatkala ‘orang-orang saleh’ yang bersangkutan masih hidup. Tak jarang ketika mereka telah meninggalkan alam fana, pengultusan itu tetap berlanjut dengan dalih ‘ngalap berkah’. Maka kita lihat betapa keras pengingkaran sang proklamator RI terhadap fenomena demikian, dengan mengatakan bahwa perbuatan tersebut “menghampiri kemusyrikan” dan “melanggar tauhid”. Lebih menakjubkan lagi, tatkala Bung Karno melanjutkan tulisannya dengan sebuah kalimat, “Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!” Faktanya, negeri tercinta ini yang konon kaya raya bak sepotong tanah surga, akan tetapi kemakmuran seakan jauh dari realita hidup sebagian besar rakyatnya. Adakah ini berhubungan dengan banyaknya kemusyrikan yang terjadi di bumi pertiwi? Pada kesempatan lainnya, Bung Karno berkisah kepada Ustad A. Hassan sebagai berikut: “Kaum kolot di Endeh, dibawah anjuran beberapa orang Hadramaut belum tenteram juga membitjarakan halnya saya tidak bikin “selamatan-tahlil” buat saya punya ibu-mertua yang baru wafat itu, mereka berkata, bahwa saya tidak ada kasihan dan tjinta pada ibu-mertua itu. Biarlah! Mereka tak tahu menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampun bagi ibu-mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu-mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan rahmatNya dan berkatNya, yang ia, meski sudah begitu tua, toh mengikut saya ke dalam kesunyiannya, dunia interniran! Amien!” Surat di atas menggambarkan, betapa seorang Bung Karno terang-terangan mengingkari tradisi peringatan kematian seseorang yang dilakukan oleh kebanyakan kaum Muslimin tradisionalis. Tradisi tersebut, sudah mafhum berasal dari kultur Hindu-Buddha yang kemudian berakulturasi ke dalam praktek ke-Islam-an masyarakat kita. Banyak yang menganggap bahwa perayaan tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam. Maka lihatlah, bahwa seorang Bung Karno mengingkari hal itu dengan mencukupkan berdoa sendiri bersama istrinya agar arwah sang ibu mertua diterima di sisi Allah. Lebih jauh lagi, Bung Karno juga menaruh kekaguman luar biasa terhadap sosok Ibnu Saud, pendiri Kerajaan Saudi Arabia modern berikut paham “Wahabi”-nya. Kekaguman ‘putra sang fajar’ tersebut terlihat dalam surat dari Endeh tertanggal 12 Juni 1936 yang masih ditulis untuk Ustad A. Hassan rahimahullâh. “….. Buat mengganjel saya punya rumah tangga yang kini kesempitan, saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinyapun sudah sesak sekali buat membelanjai segala saya punya keperluan, maka saya sekarang lagi asyik mengerjakan terjemahan sebuah buku Inggris yang mentarihkan Ibnu Saud. Bukan main hebatnya ini biography! Saya jarang menjumpai biography yang begitu menarik hati. Tebalnya buku Inggris itu, format tuan punya “Al-Lisaan”, adalah 300 muka, terjemahan Indonesia akan jadi 400 muka. Saya minta saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu, atau barangkali saudara sendiri ada uang buat membelinya? Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan korting itu. Bagi saya pribadi buku ini bukan saja satu ikhtiar economi, tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confession. Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama sekali. Dengan menyalin ini buku, adalah satu confession bagi saya bahwa, saya, walaupun tidak mufakati semua system Saudisme yang masih banyak feodal itu, toh menghormati dan kagum kepada pribadinya itu laki-laki yang “towering above all moslems of is time; an immense man, tremendous, vital, dominant. A giant thrown up out of the chaos and agony of the dessert, to rule, following the example of this Great teacher, Mohammad. Selagi menggoyangkan saya punya pena menterjemahkan biography ini, ikutlah saya punya jiwa bergetar karena kagum kepada pribadinya orang yang digambarkan. What a man! Mudah-mudahan saya mendapat taufik menjelaskan terjemahan ini dengan dengan cara yang bagus dan tak kecewa. Dan mudah-mudahan nanti ini buku dibaca oleh banyak orang Indonesia, agar bisa mendapat inspiration daripadanya. Sebab, sesungguhnya ini buku, adalah penuh dengan inspiration. Inspiration bagi kaum muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan “Sunnah Nabi” yang mengira, bahwa sunnah Nabi SAW itu hanya makan korma dibulan Puasa dan celak-mata dan sorban saja!…” Sementara itu dalam ranah akidah terkait sifat Allah SWT, Bung Karno cenderung kepada pemahaman “Wahabi” yang tidak membatasi sifat Allah pada sifat yang 20 belaka. Berkaca dari perspektif historis, adanya pembatasan sifat Allah pada sifat yang 20 tersebut baru terjadi setelah abad ke-3 hijriah. Sedangkan di tiga generasi awal umat ini, yang merupakan generasi terbaik, nyatanya pembatasan atas sifat Allah tersebut memang tidak dikenal. Pandangan Bung Karno atas hal itu beliau sampaikan pada pidato peringatan sewindu Masjid Syuhada, Yogyakarta, 30 Juni 1960. Dalam kesempatan itu Bung Karno menyatakan: “Dengarkan ucapan saya. Tuhan itu tidak hanya bersifat 20. Meskipun orang-orang kadang-kadang menghafalkan sifat 20, sifat 20. Tuhan bersifat tak terbilang.” Mencermati pandangan Bung Karno yang tampak menaruh penghormatan tinggi terhadap ajaran “Wahabi”, agaknya dilatarbelakangi oleh karakter Bung Karno yang kritis dan rasionalistis. Dalam perspektif bung Karno, ajaran “Wahabi” yang menolak taklid dan memprioritaskan dakwah tauhid lebih mudah ia terima ketimbang pemahaman kaum tradisionalis yang lekat dengan taklid, pengultusan terhadap kyai, serta akulturasi dengan budaya lokal. Akan tetapi, seringkali juga sikap rasionalistis Bung Karno justru berbuah pada kesalahan persepsi dalam memahami ajaran Islam, dan bertolak belakang dengan pemahaman “Wahabi” itu sendiri. Sebagai misal, satu ketika Bung Karno pernah menyatakan bahwa “Tuhan itu ada di mana-mana tapi Esa”. Pernyataan tersebut justru mencerminkan akidah sufi yang bertentangan dengan nash-nash yang sahih. Dan dengan dalih rasionalisme pula, Bung Karno berkeyakinan bahwa “obat bagi kemunduran umat Islam saat ini adalah dengan menyesuaikan ajaran Islam dalam ranah bernegara dengan konteks zaman.” Pandangan ini pula yang menyebabkan beliau, di samping memuji Ibnu Saud juga mengagumi Mustafa Kemal Attaturk yang telah menghancurkan khilafah dan mengusung sekulerisme sebagai landasan pemerintahan Republik Turki. Sayangnya, sekulerisme yang mujarab mengentaskan Eropa dari abad kegelapan ternyata tidak mempan diterapkan di dunia Islam sebagai ideologi pembangkit umat dari ketertinggalan. Agaknya Bung Karno yang memuji Ibnu Saud setinggi langit terlupa bahwa tegaknya Kerajaan Saudi Arabia moderen merupakan buah dari dakwah tauhid yang digerakkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dua abad sebelumnya. Maka di sinilah tercipta satu kontradiksi dalam pemikiran Bung Karno. Beliau mengakui kehebatan dakwah “Wahabisme” yang dengannya sanggup menegakkan kembali kekuasaan Islam di tanah suci, bahkan gemanya terasa hingga ke luar Jazirah Arab termasuk di tanah air, namun di sisi lain Bung Karno mengagumi sekulerisasi ala Mustafa Attaturk yang hingga detik ini gagal menghantarkan bangsa Turki meraih kembali kejayaan sebagaimana di masa silam. Apapun itu, Bung Karno dengan segala pergolakan pemikirannya tetap menaruh penghormatan cukup tinggi terhadap ajaran “Wahabi”. Sampai-sampai beliau pernah berucap, ”Moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanallah Wa Ta’ala, dan jikalau saya meninggal dunia, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.” Terkait hal itu, Cindy Adams menulis, “Soekarno merupakan satu-satunya presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan dengan bendera Negara”. Di sini terlihat jelas betapa bangga seorang Bung Karno atas identitas Muhammadiyah yang kala itu seringkali mendapatkan stigma sebagai “Wahabi”. Menarik pula untuk dicatat, setelah menghembuskan nafasnya yang terakhir, jenazah Bung Karno dishalatkan dengan diimami oleh Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah yang pernah dipenjarakan rezim Soekarno selama lebih 2 tahun. Dengan demikian, apakah keinginan kuat Bung Karno, bila meninggal agar jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah merupakan pertanda bahwa sang proklamator telah rujuk kepada paham “Wahabi” di akhir hayatnya? Wallahu a’lam. Referensi: Bung Karno dan Wacana Islam: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, PT Grasindo, Jakata, Cet. I, 2001.
Posted on: Mon, 09 Sep 2013 13:28:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015