Pedang Angin Berbisik → Bab XVII. Apakah Huang Ying Ying - TopicsExpress



          

Pedang Angin Berbisik → Bab XVII. Apakah Huang Ying Ying selamat? Mereka hanya beristirahat kira-kira sepeminuman teh, matahari masih baru saja terbit ketika mereka memulai perjalanan lagi. Setelah beristirahat sejenak, Ding Tao merasa tubuhnya jauh lebih segar. Berbeda dengan Wang Xiaho yang sudah mulai berumur, pantatnya masih pegal-pegal setelah semalaman menunggang kuda tanpa henti. Ding Tao yang menyadari hal ini, mengajak Wang Xiaho untuk berjalan kaki perlahan-lahan saja. Selain untuk menghemat tenaga kuda mereka, dia juga ingin memberi kesempatan bagi Wang Xiaho untuk melemaskan kaki. Belum lama mereka berjalan, mereka melihat debu mengepul di depan sana dan mendengar suara derap kaki kuda. Hari masih begitu pagi, siapa yang sudah memulai perjalanan jauh sepagi itu? Jalan ini jauh dari kota maupun desa, jika penunggang kuda di depan sudah melewati jalan ini di waktu sepagi ini, berarti mereka sudah berangkat sejak matahari masih belum terbit. Seperti saling berjanji, tanpa kata-kata, keduanya menepi. Wang Xiaho menggeser letak goloknya yang tergantung di pinggang, sehingga dia bisa mudah menariknya jika diperlukan. Ding Tao berdiri diam tidak melakukan persiapan, namun matanya tajam menatap ke arah penunggang kuda yang datang mendekat, telinganya memperhatikan suara derap kuda di depan dengan sebaik-baiknya. “Dua orang…”, ujar Ding Tao. Wang Xiaho ikut menajamkan mata, tapi penunggang kuda itu belum terlihat, kemudian diperhatikannya suara derap kuda baik-baik dan akhirnya diapun mengangguk setuju. “Hmm. Dua kuda.”, jawabnya singkat. Tidak lama kemudian yang mereka nantikan muncul juga di garis pandang mereka. Wang Xiaho yang sudah tua, matanya tidak setajam Ding Tao, tapi dia merasa sudah mengenali kedua penunggang kuda itu. Ditungguhnya beberapa lama hingga kedua penunggang kuda itu makin dekat, saat dia yakin dengan identitas keduanya, seulas senyum muncul di bibirnya. “Teman baik, tidak usah kuatir, mereka itu dua orang yang kuceritakan padamu.”, ujarnya sambil menepuk lengan Ding Tao. “Oh, Pendekar Fu Tong dan Pendeta Pengelana Liu Chuncao.” “Ya, mari kita tunggu saja di sini.”, ujar Wang Xiaho sambil melambaikan tangan ke arah kedua penunggang kuda yang mendekat dengan cepat. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menunggu Fu Tong dan Liu Chuncao, tapi yang sesaat itu terasa bertahun-tahun lamanya untuk Ding Tao. Sejak dia mendengar berita itu dari Chen Wuxi, sebuah bayangan yang menakutkan mengendap-endap masuk ke dalam hatinya. Sepanjang perjalanan dia mengucap doa, sepanjang perjalanan dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa masih ada kemungkinan bahwa berita yang diterima Chen Wuxi tidak tepat benar. Tapi sekeras apapun dia berusaha membunuh ketakutan yang menyelinap dalam hatinya, dia tidak mampu. Ketakutan itu tidak kalah liciknya dengan Hawa liar Tinju 7 Luka yang sempat merusak tubuhnya dari dalam. Itu sebabnya Ding Tao memaksa untuk segera pergi ke Wuling, meskipun logikanya bisa menerima pendapat Wang Xiaho dan Chen Wuxi untuk menanti kedatangan Fu Tong dan Liu Chuncao. Tapi Ding Tao tidak mampu bertahan menghadapi ketakutannya itu, dia memilih lari dari ketakutan itu. Dengan berlari, dengan melakukan sesuatu, dia ingin agar pikiran itu tidak menghantuinya. Untuk beberapa saat dia berhasil menyingkirkan ketakutan itu di sudut pikirannya yg terjauh. Sekarang saat dia harus menghadapi berita itu, Ding Tao merasa tidak siap. Perutnya terasa mengejang, seluruh isi perutnya seperti berbalik-balik di dalam. Akhirnya keduanya sampai juga, dengan gerakan yang ringan keduanya melompat turun dari kuda dan menyapa Wang Xiaho serta mengangguk pada Ding Tao. Fu Tong si tongkat besi, disebut demikian karena senjata andalannya adalah sebuah tongkat dari besi. Tapi Ding Tao sedikit curiga bahwa bukan itu satu-satunya alasan dia dipanggil tongkat besi. Fu Tong berbadan kurus tinggi dengan otot yang terlihat bagai dipahat dari batu padas, singkat kata, Fu Tong tampak seperti terbuat dari tongkat besi. Liu Chuncao sebaliknya bertubuh sedikit gemuk dengan lemak menutupi tubuhnya, sebilah pedang diikatkan di punggungnya. Dari sorot mata yang tajam dan gerakan yang lembut dan ringan, Ding Tao menduga pendeta ini tentu lebih mendalami penggunaan hawa murni daripada melatih tenaga luar. “Halo Saudara Wang, tidak disangka kita bertemu di sini.”, sapa Fu Tong si tongkat besi, Liu Chincao memilih diam dan memasang senyum ramah. “Hehe, aku baru saja dari kediaman Guru Chen dan kudengar berita tentang keluarga Huang di Wuling.”, sahut Wang Xiaho. “Ah… begitu ya, jadi kau putuskan untuk pergi ke sana dan memeriksa kebenaran berita itu?” “Sebenarnya aku hanya menemani sahabat muda di sini.”, ujar Wang Xiaho sambil menunjuk ke arah Ding Tao. “Ah, boleh aku tahu nama saudara kecil ini?”, jawab Fu Tong sambil sedikit membungkuk ke arah Ding Tao, diikuti Liu Chuncao. Cepat Ding Tao membalas menghormat, tapi Wang Xiaho lah yang memperkenalkan dirinya, “Namanya Ding Tao.” “Ding Tao?”, tanya Fu Tong menegas, sementara Liu Chuncao memandangi pemuda itu dengan pandangan tertarik. “Benar paman.”, jawab Ding Tao singkat, ingin bertanya tapi takut mendengar jawabannya. Wang Xiaho yang ingin menjelaskan keadaannya supaya Fu Tong dan Liu Chuncao tidak salah omong, cepat-cepat menyambung, “Ding Tao dan aku sedang dalam perjalanan ke Wuling untuk mencari kabar tentang keadaan keluarga Huang. Adik Ding Tao ini memiliki hubungan baik dengan nona muda puteri Huang Jin.” “Ah.. begitu..”, ujar Fu Tong sedikit terkejut, wajahnya menampilkan rasa kasihan pada Ding Tao. Melihat itu tentu saja Ding Tao jadi merasa tidak tenang, jelas berita yang dibawa Fu Tong bukanlah berita baik. Jika berita baik, tidak nanti dia akan melihat ke Ding Tao dengan cara seperti dia memandang Ding Tao sekarang. “Paman, ceritakan saja hasil penyelidikan paman”, ujar pemuda itu dengan suara bergetar menahan perasaan, mukanya pucat dan tubuhnya terasa dingin. Liu Chuncao yang memperhatikan Ding Tao sejak tadi, membuka mulutnya sebelum yg lain sempat mengatakan apa-apa, “Sebaiknya kita cari tempat untuk duduk-duduk dengan nyaman.” Fu Tong mengangguk sambil berujar, ‘Ya, ya, ceritanya akan cukup panjang, marilah kita cari tempat untuk beristirahat dulu.” Wang Xiaho menepuk punggung Ding Tao sambil berjalan menyusul kedua orang itu, “Ayo Ding Tao.” “Mari Paman.”, sambil mengambil nafas dalam-dalam Ding Tao mengikuti ketiga orang tersebut. Setelah mengikat kuda di sebatang pohon, mereka duduk tidak jauh dari sana dan untuk beberapa saat tidak ada seorangpun yang bicara. Fu Tong berpandangan dengan Liu Chuncao, Liu Chuncao mengangkat bahu dan tangannya bergerak, memberi tanda pada Fu Tong bahwa sebaiknya dia yang mulai bercerita. Fu Tong terdiam, menghela nafas lalu mulai bercerita, “Kami sampai di kota Wuling kira-kira 4 hari yang lalu. Begitu kami sampai, yang pertama kami lakukan adalah pergi melewati bangunan tempat kediaman keluarga Huang dan kami lihat seluruh bangunan sudah menjadi puing-puing bekas terbakar.” Pucat pasi wajah Ding Tao, mengeluh panjang pemuda itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Banyak anggota keluarga Huang yang menjadi korban malam itu, banyak dari mayat yang berhasil diselamatkan, tidak bisa dikenali karena sudah hangus terbakar bersama kediaman keluarga Huang. Tapi masih ada beberapa yang berhasil selamat.”, ujar Fu Tong sambil memandang Ding Tao. “Masih ada yang selamat, maksud paman, berita yang mengatakan seluruh anggota keluarga Huang di Wuling terbunuh tidaklah tepat benar?”, tanya Ding Tao dengan secercah harapan terpancar dari wajahnya. “Ya, Ding Tao, itu benar, tentang siapa saja yg benar-benar terbunuh malam itu, tidak mudah untuk diketahui karena penyerang membakar kediaman keluarga Huang. Dari beberapa orang yang berhasil lolos dari penyerangan itu, kami berhasil mengetahui bahwa penyerangnya adalah Tiong Fa. Kami yakin bahwa tidak mungkin Tiong Fa bekerja sendiri tapi dari para saksi, bisa dipastikan dia ikut dalam penyerangan itu. ”, lanjut Fu Tong. “Tiong Fa…”, desis Ding Tao. “Ya, Tiong Fa, beberapa orang yang selamat sempat melihatnya ikut dalam penyerangan itu, selain itu, penyerang masuk lewat jalan rahasia yang hanya bisa diketahui oran-orang penting dalam keluarga Huang. Tapi kami yakin hanya dengan bantuan dari luar dia bisa berhasil dalam penyerangan itu.” “Bagaimana dengan nasib Tuan besar Huang Jin dan keluarganya?”, tanya Ding Tao. “Tuan besar Huang Jin, pamannya Huang Yunshu dan putera sulungnya sudah bisa dipastikan gugur dalam pernyerangan itu, karena masing-masing berhadapan satu lawan satu dengan tiga orang dari pihak penyerang dan cukup banyak saksi yang melihat bagaimana ketiga orang itu akhirnya gugur dalam perlawanan. Anggota keluarga yang lain tidak begitu jelas nasibnya, kamipun tidak bertanya lebih lanjut dengan mereka yang lolos. Karena kami memang hanya berusaha mencari kepastian tentang kejadian ini, tidak lebih dan tidak kurang.”, kali ini Liu Chuncao yang menjelaskan. Ding Tao menoleh pada Wang Xiaho, “Paman, kupikir aku akan melanjutkan perjalanan ke Wuling, masih ada hal yang harus kupastikan.” Wang Xiaho mengangguk, “Tentu saja, aku mengerti, aku akan ikut denganmu.” Wang Xiaho menoleh pada Fu Tong dan Liu Chuncao, “Bagaimana dengan kalian?” Fu Tong terdiam dan berpikir, adalah Liu Chuncao yang pertama kali memutuskan, “Aku akan ikut dengan kalian. Aku dan Fu Tong sudah tahu beberapa orang yang selamat dalam penyerangan itu dan kami tahu di mana mereka tinggal sekarang, Akan jauh lebih mudah bagi kalian kalau salah satu dari kami ikut dengan kalian ke Wuling.” “Hmm, baiklah kalau begitu, kurasa sudah diputuskan aku akan memberi kabar pada Guru Chen, sementara kalian melanjutkan perjalanan ke Wuling. Tapi ingat, aku akan menunggu kabar dari kalian di rumah Guru Chen, jangan lupa untuk mampir ke sana.”, ujar Fu Tong. “Hahaha tentu saja, kita perlu membicarakan lebih lanjut tentang desas-desus akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sebelum pertemuan 5 tahunan berikutnya.”, sahut Wang Xiaho. “Tentu saja, ayolah kita mulai perjalanan sekarang, semakin cepat kalian sampai di kota Wuling tentu lebih baik. Akupun tidak sabar ingin beristirahat dengan nyaman di rumah Guru Chen.”, ujar Fu Tong sambil tersenyum lebar. Ke empat orang itupun kemudian berpamitan dan berpisah jalan, Fu Tong memacu kudanya sendirian ke arah perguruan Guru Chen, Ding Tao bertiga memacu kudanya berderap menuju kota Wuling. Sepanjang perjalanan tidak lupa Wang Xiaho berserita tentang pertandingan yang mereka lakukan di perguruan Guru Chen dan bagaimana Ding Tao mengalahkan mereka berempat dengan satu jurus saja. Liu Chuncao sangat tertarik pada cerita itu dan meminta Wang Xiaho untuk menceritakan kembali bersama dengan detail-detailnya. Ding Tao hanya bisa menjawab dengan tersipu dan merendah. Semakin Ding Tao merendah semakin seru pula Wang Xiaho bercerita, membuat Liu Chuncao semakin penasaran. Setiap orang yang gemar bersilat tentu saja suka mendengar kisah-kisah pertarungan antara dua orang jagoan. Bukan hanya mendengar saja, lama-lama Liu Chuncao pun akhirnya jadi gatal-gatal ingin mencoba kemampuan Ding Tao. Liu Chuncao tidak sabar ingin melihat jurus Ding Tao yang berhasil mengalahkan Guru Chen, dua orang murid utamanya dan Wang Xiaho, empat orang dengan satu jurus serangan saja. Ketika kurang dari 1 hari perjalanan mereka akan sampai di Wuling, seperti rencana Ding Tao dan Wang Xiaho sebelumnya, mereka memilih untuk beristirahat sehari penuh sebelum memasuki kota. Pada saat mereka makan pagi bersama, Liu Chuncao pun mengungkapkan keinginannya untuk bertarung dengan Ding Tao. Bubur dan bakpau yang dihidangkan sudah habis, ketiganya sedang meniup-niup dan menyeruput teh panas yang dihidangkan ketika Liu Chuncao mengungkapkan keinginannya itu. “Ding Tao, kuharap kau tidak merasa tersinggung, tapi buatku sulit untuk menerima cerita Sahabat Wang Xiaho sebelum merasakannya sendiri.”, ujar Liu Chuncao sambil menikmati teh yang dihidangkan. “Maksud Paman Liu..”, tanya Ding Tao berhati-hati. “Hehehehe, maksudnya dia mau menantangmu bertarung.”, sahut Wang Xiaho sambil tertawa. “Ding Tao sebaiknya kau turuti saja, kalau tidak pendeta gelandangan ini tidak akan bisa tidur nyenyak dan makan enak. Tulang-tulangnya bakal linu-linu kalau tidak kau beri sedikit hajaran.”, tambahnya lagi. Mendengar gurauan Wang Xiaho, Liu Chuncao tertawa dan berucap pada Ding Tao, “Benar Ding Tao, jangan kau tolak permintaanku ini. Hitung-hitung buat menambah pengalaman seta melemaskan otot.” “Baiklah kalau paman berpendapat begitu, di mana kita akan melakukannya?”, jawab Ding Tao tersenyum melihat kelakuan kedua orang gila silat itu, dirinya pun termasuk orang yang gila silat, jadi dia bisa mengerti apa yang dirasakan Liu Chuncao. “Hmmm… di pelataran belakang penginapan ini kurasa tidak ada masalah. Kebetulan mereka sepi pengunjung hari ini. Lagipula ini hanya pertandingan persahabatan saja, jadi kita bisa mengira-ngira jangan sampai merusakkan barang mereka.”, jawab Liu Chuncao setelah berpikir sejanak. “Baiklah, apakah akan kita lakukan sekarang?”, tanya Ding Tao sambil bangkit berdiri. Sambil menenggak habis teh yg masih tersisa di cangkirnya, Liu Chuncao ikut bangkit berdiri dan menjawab, “Ya, ayolah kita lakukan sekarang, mumpung udara masih sejuk.” Dengan menenteng senjata di tangan, ketiganya pergi ke pelataran belakang penginapan kecil itu. Sesampainya di sana, tanpa banyak basa-basi, Liu Chun Cao berjalan ke tengah pelataran dan mencabut pedang dari sarungnya. Ding Tao sudah berpikir tentang pertarungan ini dalam perjalanan, dia tidak ingin menggunakan jurus yang sama, yang dipakainya untuk melawan Wang Xiaho. Dalam percobaan pertama, jurus itu memberikan hasil yang memuaskan. Jurus itu mewakili apa yang dia inginkan dari sebuah jurus pedang, kemenangan tanpa menyakiti lawan, tapi jurus itu masih jauh dari sempurna. Saat menggunakannya melawan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, Ding Tao menjadi sadar pada kelemahan jurus yang dia ciptakan itu. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi berkelebatan dalam benaknya. Satu-satunya alasan mengapa jurus itu bisa berhasil saat itu, adalah karena perbedaan tingkatan Wang Xiaho dan Chen Wuxi berada jauh di bawah tingkatan yang dia capai saat ini. Jurus Ding Tao menyebar bagai jala, berusaha menutupi setiap lubang yang ada. Dengan sendirinya tenaga Ding Tao terbagi, terbagi sebanyak lubang yang hendak dia tutup. Ketika tenaga terfokus pada titik tertentu, akan ada titik-titik di mana kekuatan menjadi lemah. Ketika tenaga dibagi pada semua titik, maka kekuatan di setiap titik menjadi lemah. Apa yang tidak disadarinya sewaktu menciptakan jurus itu, menjadi jelas baginya saat lawan ada di hadapannya. Meskipun waktu itu ke-empat lawannya kalah dengan mengenaskann dan semua orang memuji dirinya, di balik apa yang terlihat oleh orang, Ding Tao meneteskan keringat dingin. Dia membayangkan jika dia menggunakan jurus itu melawan lawan sekelas sepasang iblis muka giok, apalagi sekelas Ren Zuocan. Atau lawan yang menggunakan pedang pusaka seperti Pedang Angin Berbisik, jurusnya akan dirobek2 seperti sebilah pedang dengan mudah merobek jaring laba-laba, yang rapat tapi rapuh. Belum lagi perasaan lemas setelah mengerahkan jurus itu. Ding Tao sadar, jika jurus itu mau jadi jurus yang berguna, harus ada perubahan pada jurus itu. Pilihan yang lain adalah Ding Tao harus meningkatkan himpunan dan kekuatan hawa murninya. Cara kedua sulit sekali untuk berhasil, kecuali jika Ding Tao memiliki kesempatan untuk bertahun-tahun menghimpun hawa murni. Kenyataannya waktu tidak berpihak pada Ding Tao. Pilihan Ding Tao tinggal satu, dia harus bisa menyempurnakan jurus itu sebelum berhadapan dengan Ren Zuocan. Hanya saja Ding Tao mengalami jalan buntu ketika berusaha memikirkan cara untuk menutupi kelemahan jurus buatannya, tanpa mengorbankan sifat dari jurus itu sendiri. Ding Tao ingin melihat lebih banyak lagi ilmu silat yang ada, Ding Tao merasa perlu untuk menambah banyak perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman yang dia miliki. Saat Liu Chuncao menantangnya bertarung, Ding Tao tidak menolaknya, karena dia sendiripun membutuhkan pertarungan dengan sebanyak mungkin lawan. Dan buat Ding Tao tidak ada yang lebih baik daripada sebuah pertandingan persahabatan. Dengan semangat yang mantap pemuda itu maju berhadapan dengan Liu Chuncao, setelah membungkuk dengan hormat, Ding Tao mengambil kuda-kuda dan menunggu. Liu Chuncao tidak menunggu lama, melihat Ding Tao tidak berniat menyerang lebih dulu, pendeta pengelana itu segera menyerang. Ilmu pedang Liu Chuncao berasal dari Wudang, sempat menjadi murid Wudang selama sepukuh tahun, Liu Chuncao memutuskan untuk menjadi pendeta pengelana dan mengembangkan sendiri ilmu-ilmunya. Serangannya mengutamakan kecepatan dan ketepatan. Dalam pertahanan dia mengutamakan, melawan yang keras dengan yang lembut. Seperti air yang berusaha mencari celah-celah di antara pertahanan Ding Tao yang kokoh, pedang Liu Chuncao mengancam bahkan retakan yang terkecil sekalipun dalam pertahanan Ding Tao. Baik ujung pedang yang tajam, maupun pangkal pedang yang tumpul, pukulan dan tendangan. Serangan Liu Chuncao bervariasi dan tidak menekankan pada penggunaan pedang saja. Tapi serangan-serangan itu membentur pertahanan Ding Tao yang kokoh. Belasan jurus berlalu dan Liu Chuncao belum berhasil menerobos pertahanan Ding Tao. Liu Chuncao semakin penasaran dan mulai mengerahkan segenap kemampuan yang dia miliki. Wang Xiaho yang memperhatikan dari samping, jadi bertanya-tanya, mengapa Ding Tao tidak segera menyelesaikan pertarungan. Pada jurus ke 35, tiba-tiba mata kedua orang itu pun terbuka lebar. Ding Tao mulai menyerang, tapi bukan dengan jurus serangannya sendiri, melainkan menggunakan jurus serangan milik Liu Chuncao. Serangan itu mengagetkan Liu Chincao, karena Ding Tao menggunakan jurus serangan miliknya sendiri, selain kaget Liu Chuncao pun merasa sedikit marah. Bagaimanapun juga jurus itu sudah menjadi jurus andalannya selama bertahun-tahun, apakah Ding Tao mengira dia bisa menguasainya dalam sekejapan saja? Apalagi jurus itu digunakan untuk melawan pemilik asli dari jurus itu. Karena sudah sangat mengenal jurus itu maka dengan mudah Liu Chuncao menghindarinya. Susul menyusul tiga jurus dilepaskan Ding Tao, semuanya adalah jurus serangan milik Liu Chuncao, tapi pada jurus yang ketiga, terkejutlah Liu Chuncao karena perkembangan yang di luar dugaannya. Tergetar hati Liu Chuncao, tidak pernah menyangka bahwa jurusnya bisa juga digunakan dengan cara demikian. Terjebak oleh pengetahuannya sendiri Liu Chuncao harus membuang diri berguling-guling untuk melepaskan diri dari serangan Ding Tao. Saat itu Liu Chuncao sudah hendak mengaku kalah dan menyudahi pertarungan, ketika tiba-tiba Wang Xiaho melompat masuk dan menyerang Ding Tao dengan serangannya yang khas, posisi tubuh yang sangat rendah, terkadang bergulingan dengan serangan mengarah ke tubuh dari sudut yang rendah atau mengarah ke lutut dan kaki lawan. “Sahabat Liu, ayo coba kita keroyok dia!”, teriaknya sambil menyerang Ding Tao. Wang Xiaho yang berada di luar bisa mengamati pertarungan dengan pendangan yang lebih obyektif. Dia melihat serangan Ding Tao meskipun memiliki kesamaan dengan jurus serangan Liu Chuncao sebenarnya tidaklah persis sama. Jurus Ding Tao memiliki ciri khas sendiri, Wang Xiaho yang sudah pernah merasakan kehebatan jurus ciptaan Ding Tao, bisa merasakan semangat yang sama mewarnai jurus yang dilancarkan Ding Tao. Untuk sesaat lamanya jagoan tua itu bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Ding Tao saat ini. Mengapa jauh berbeda dengan saat Ding Tao melawan dirinya berempat dengan Chen Wuxi dan murid-murid Chen Wuxi? Meskipun Wang Xiaho tidak bisa menemukan kelemahan dalam jurus ciptaan Ding Tao, tapi dia bisa meraba bahwa saat ini Ding Tao sedang menambah pengetahuan dan mencoba mengembangkan ilmu ciptaannya sendiri. Pada dasarnya Wang Xiaho sangat simpti pada pemuda ini, melihat semangat dan bakat pemuda itu, semangatnya pun terbangkit. Dengan ikut maju dalam pertandingan, Wang Xiaho berharap dirinya bisa ikut membantu, menyumbangkan sedikit pengetahuan yang ada padanya untuk menyempurnakan ilmu ciptaan Ding Tao. Tanpa segan-segan lagi jago tua itu mengerahkan segenap jurus yang dia miliki, satu per satu dia menggunakannya untuk menyerang dan bertahan melawan Ding Tao. Liu Chuncao yang tadinya sudah hendak mengaku kalah, terpaksa kembali ikut menyerang Ding Tao. Sebenarnya ada perasaan tidak rela dalam hati pendeta pengelana ini, karena dia sadar Ding Tao secara tidak langsung sedang menyadap ilmunya. Tapi di saat yang sama, dia pun tertarik untuk melihat bagaimana Ding Tao mengembangkan ilmu yang disadap dari dirinya. Dalam hatinya dia mengaku, pertarungan ini, memberikan dia masukan dan pelajaran yang sangat berarti. Selama ini ilmunya sudah mandeg dan tidak mengalami kemajuan. Latihannya hanyalah pengulangan dan pengulangan. Berusaha meningkatkan ketepatan, kecepatan, daya tahan dan kekuatan, sementara dari sisi teknik tidak ada kemajuan yang berarti. Pertarungan dengan Ding Tao telah membukakan jalan baru bagi pengembangan ilmunya. Oleh karena itu, yang awalnya meragu, lama-lama terbawa oleh semangat Wang Xiaho dan Ding Tao, Liu Chuncao pun akhirnya tidak segan-segan untuk mengeluarkan segenap ilmu simpanannya. Puluhan jurus telah lewat, sampai akhirnya Wang Xiaho melompat ke belakang dan berteriak sambil terengah-engah, “Sudahlah, sudah, heh, seluruh ilmuku sudah kukuras habis. Kukira Sahabat Liu pun demikian.” “Ya, ilmuku pun sudah kukuras habis.”, sahut Liu Chuncao dengan senyum kecil sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya. Liu Chuncao yang sedikit lebih muda dari Wang Xiaho dan memiliki himpunan hawa murni yang lebih baik, masih dapat bernafas dengan teratur, meskipun keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ding Tao yang merasa mendapatkan banyak pelajaran dari pertarungan mereka, dengan tulus membungkuk memberi hormat pada dua orang itu. “Terima kasih banyak paman, banyak sekali yang siauwtee pelajari dari paman berdua hari ini.”, ujarnya hormat. “Hehehe, asal kau ingat-ingat saja Ding Tao, apa yang kau serap hari ini, kuharap kau pakai untuk kebaikan banyak orang.”, sahut Wang Xiaho. Mendengar jawaban Wang Xiaho, Liu Chuncao jadi sadar bahwa jago tua itu memang sengaja membuka dirinya, menunjukkan seluruh ilmu yang dia miliki demi perkembangan ilmu pemuda yang tidak ada hubungan apa-apa dengan dirinya. Diam-diam Liu Chuncao merasa malu, merasa kalah dalam hal kepribadian jika dibandingkan dengan Wang Xiaho. Melihat sikap Wang Xiaho, pikiran Liu Chuncao jadi lebih terbuka. Sebelum berangkat ke Wuling, Liu Chuncao, Fu Tong dan Chen Wuxi sudah pula berdiskusi tentang desas-desus akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhi. Sekarang setelah bertemu Ding Tao dan melihat bakat serta kepribadiannya. Pikiran yang sama dengan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, muncul di benaknya. “Ayolah kita masuk ke dalam, pakaian kita basah semua oleh keringat.”, ujarnya ringan, sementara otaknya masih memikirkan tentang Ding Tao dan pemilihan Wulin Mengzhu. Bertiga mereka masuk kembali ke penginapan, Liu Chuncao mengusulkan agar mereka sebaiknya berganti pakaian sebelum duduk-duduk di teras depan. Mereka bertiga menyewa satu kamar saja, dengan menambah dipan, ketiganya sudah biasa hidup tanpa terlalu rewel dengan kenyamanan. Tidak lama kemudian, ketiganya sudah duduk-duduk di teras penginapan itu. Liu Chuncao yang sudah berpikir sejak mereka selesai bertanding, membuka percakapan, “Saudara Wang, apakah sudah sempat berbicara dengan Guru Chen tentang pemilihan Wuling Mengzhu?” Ding Tao mendengar perkataan Liu Chuncao merasa tidak enak hati, teringat dengan pemintaan Wang Xiaho terhadap dirinya, agar dia sudi mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu, ikut dalam pemilihan yang akan diadakan. Wang Xiaho sebaliknya bersemangat mendengar perkataan Liu Chuncao, dia sudah berketetapan hati untuk mendukung Ding Tao mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu, setiap ada kesempatan untuk membicarakan pemilihan itu tentu disambut baik olehnya. “Tentu, tentu, bahkan kami sudah membicarakan calon yang baik untuk kedudukan itu.”, jawab Wang Xiaho. “Hmmm…, kupikir aku tahu siapa yang ada dalam pikiran Saudara Wang. Tapi yang ingin kubicarakan adalah perlu atau tidaknya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu ini.”, ujar Liu Chuncao dengan hati-hati. “Hee.., pendeta bau, apa maksudmu dengan perkataan itu?”, tanya Wang Xiaho dengan penasaran. “Ya, kulihat kau sama seperti Guru Chen dan Tongkat Besi itu. Kalian begitu bersemangat dengan adanya seorang Wuling Mengzhu. Apa kalian tidak ingat, alasan sehingga kedudukan itu kosong dalam waktu yang cukup lama?”, tanya Liu Chuncao. “Hmmm…. jangan kau anggap aku pikun, saat itu aku masih sangat muda, tapi aku masih ingat dengan jelas Tsao Yun yang kehilangan akal dan ingin menjadi kaisar. He, kau sudah lihat pemuda ini, apa kau pikir dia ada potongan seperti itu?”, tanya Wang Xiaho dengan alis berkerut. Liu Chuncao memandang ke arah Ding Tao yang memilih untuk memperhatikan taman kecil di pelataran penginapan itu daripada ikut dalam percakapan. “Tidak, tentu saja Ding Tao nampaknya bukan orang seperti itu, tapi tidak ada jaminan bahwa dia tidak akan berubah seperti itu. Tsao Yun pun pada awalnya seorang yang dikenal rendah hati dan terbuka terhadap semua pihak. Itu sebabnya dia terpilih. Kekuasaanlah yang membuatnya menjadi lupa diri.”, ucap Liu Chuncao sambil memperhatikan baik-baik wajah Wang Xiaho, dia tahu Wang Xiaho suka pada Ding Tao. Benar saja, muka Wang Xiaho jadi sedikit kemerahan menahan marah, “Hmm. Dan kira-kira menurutmu siapakah yang pantas menduduki kedudukan itu? Apakah dirimu pendeta bau?” Liu Chuncao tidak tersinggung dengan jawaban Wang Xiaho yang pedas, dia menjawab dengan tersenyum, “Sudah tentu bukan diriku, Saudara Wang kau melewatkan sesuatu dari apa yg kukatakan. Bukan aku tidak setuju Ding Tao maju sebagai calon, yg kukatakan adalah pemilihan Wuling Mengzhu ini yang seharusnya dibatalkan.” Wang Xiaho mengerutkan alis dan berusaha menenangkan diri sebelum menjawab, “Aku tidak mengerti, dengan ancaman dari Ren Zuocan, bukankah adanya Wulin Mengzhu membuat kita menjadi lebih kuat?” “Inilah perbedaan pendapat antara aku dan kalian. Menurutku kedudukan Wulin Mengzhu yang mengikat setiap orang dalam dunia persilatan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada pemegangnya. Apalagi kedudukan itu sifatnya seumur hidup. Kekuasaan sebesar itu, dipercayakan pada seseorang, menurutku mengundang bahaya yang lebih besar daripada keberadaan Ren Zuocan.”, jawab Liu Chuncao sambil menghela nafas. “Hmm.., kenyataannya kekuasaan Ren Zuocan sudah mulai menyusup ke dalam perbatasan, jika kita tidak menggalang kekuatan, menyatukannya di bawah pimpinan satu orang akan sulitlah untuk meredam ambisinya.” “Sebenarnya menggalang kekuatan tidak harus dengan mengadakan kembali kedudukan Wulin Mengzhu, bisa kita coba dengan menggalang persekutuan yang sementara saja sifatnya, dipimpin oleh satu dewan yang diisi oleh ketua-ketua dari perguruan besar.” “Hehehe, dan apa yang kauharapkan dari dewan yang seperti itu? Masing-masing membawa egonya, masing-masing membawa kepentingan golongannya sendiri. Kujamin dalam hitungan bulan mereka akan bertengkar di antara mereka sendiri, tanpa menghasilkan apa-apa bagi kita.”, ujar Wang Xiaho dengan sinis. “Hahh… sesungguhnya aku bukannya tidak menutup mata terhadap kemungkinan itu, tapi jika memang bahaya sudah di depan mata, masakan mereka masih berkukuh pada kepentingan golongan sendiri?”, kesedihan tampak membayang di wajah Liu Chuncao. Melihat wajah Liu Chuncao yang sedih, Wang Xiaho tidak tega untuk mendesak lebih lanjut, hiburnya, “Kurasa tidak semua orang seperti itu, yang kita bisa yakin dengan pasti adalah Kepala Biara Shaolin, Biksu Khongzhe dan Pendeta Chongxan dari Wudang akan bersedia bekerja sama, mereka berdua sudah lama bersahabat. Kemudian Ketua baru dari Hoasan, Pan Jun, kulihat juga orang yang terbuka pikirannya hanya sayang wataknya sedikit lemah dan kurang berwibawa. Tapi sisanya…” “Sisanya adalah ketua Kongtong yang punya watak kejam, Chong Weixia dan ketua baru Kunlun, Wu Liang, yang ambisius. Ketua Hoasan, Pan Jun, bisa dipastikan akan seperti pohon bergoyang-goyang diterjang angin, tidak bisa menentukan sikap antara mendukung Pendeta Chongxan dan Biksu Khongzhe atau Chong Weixia yang bisa dipastikan akan bekerja sama dengan Wu Liang demi mengimbangi pihak yang lain.”, ucap Liu Chuncao melanjutkan. “Jangan lupa masih ada ketua partai pengemis, Bai Chungho, meskipun kekuatan partai pengemis banyak merosot, tapi nama dan peranan mereka di masa lalu tidak bisa diremehkan.”, ujar Wang Xiaho, jika tadi dia menentang pemikiran Liu Chuncao justru sekarang dia sepertinya berusaha mendukung pemikiran Liu Chuncao. Bantuan Wang Xiaho itu ditanggapi dengan senyum pahit oleh Liu Chuncao, “He, aku tahu apa yang ada dalam otakmu, jika kita minta Bai Chungho untuk dimasukkan ke dalam dewan maka keluarga Tong akan minta satu wakil masuk pula ke dalamnya. Jika wakil dari Keluarga Tong masuk ke dalam dewan, maka Keluarga Deng yang menjadi saingan Keluarga Tong turun temurun akan menuntut pula posisi dalam dewan tersebut. Jika keluarga Huang masih ada, mereka pun akan ikut menuntut masuk dalam dewan.” “Dan semakin banyak isinya, semakin banyak pula kepentingan yang berebut keuntungan di dalamnya. Keadaan akan jauh lebih buruk daripada sebelumnya.”, ujar Wang Xiaho menutup uraian Liu Chuncao dengan sebuah kesimpulan. Liu Chuncao memandang ke arah Ding Tao, memandangi punggung pemuda itu, yang sedang bermain dengan seekor anak anjing peliharaan pemilik penginapan. “Apakah kita memang sebebal itu? Kadang-kadang kupikir ada baiknya Ren Zuocan datang dan menggebug kepala-kepala batu itu dengan kepalannya. Aku akan pergi berkelana ke gunung-gunung yang tinggi dan hutan-hutan yang terpencil.”, ujar Liu Chuncao dengan sedih. “Tapi kau tak akan lari meninggalkan sahabat-sahabatmu. Jadi kau terpaksa menunggu bersama kami dan mengadu nyawa bersama.”, ujar Wang Xiaho sambil menepuk pundak sahabatnya yang lebih muda itu. Liu Chuncao tersenyum pahit, “Ya… begitulah, aku tidak tahu sebenarnya apa ada harganya mati bersama orang-orang semacam kalian ini.” “Hehehehe, tidak usah berpikir terlalu jauh, segera kita kembali ke rumah Guru Chen, kita bisa bersantai-santai menghabiskan persediaan araknya. Kalau mau pergi juga belum terlambat.”, jawab Wang Xiaho sambil tertawa. Liu Chuncao ikut tertawa, untuk sekejap kesedihan tersaput bersih dari wajahnya. Puas tertawa dengan wajah yang lebih serius dia berkata, “Jika memang pemilihan Wulin Mengzhu tidak bisa dihindarkan, kukira Ding Tao memang pilihan yang terbaik. Chong Weixia dan Wu Liang sudah bisa dipastikan akan ikut dalam pemilihan. Tapi siapapun dari perguruan besar yang menang, maka empat perguruan besar yang lain kemungkinan besar tidak akan bersedia untuk bersumpah setia.” “Ya, begitu juga pemikiranku dan Guru Chen.” “Tapi yang jadi masalah adalah pengalaman dan ilmu silat Ding Tao. Aku yakin pada akhirnya akan berujung pada adu kekuatan. Apakah menurutmu Ding Tao bisa menghadapi ketua-ketua dari perguruan besar?”, tanya Liu Chuncao. “Tadinya aku masih ragu, tapi setelah pertarungan kita pagi ini, ada satu pikiran, bagaimana jika kita membukakan pada anak itu seluruh ilmu yang kita miliki. Dengan kemampuannya untuk menyerap dan mengamati, jelas dia berkembang dalam setiap pertarungan. Kitapun ikut juga mendapatkan pemikiran baru dan kemajuan dalam ilmu kita.” “Heh, entahlah, jika semua pendukungnya mau melakukan hal itum sedikit banyak tentu akan menambah pengalaman dan pendalaman pemuda itu terhadap ilmu yang dia miliki. Tapi apakah ada banyak yang mau membuka ilmu perguruannya kepada orang luar?”, tanya Liu Chuncao. “Bertanding saja dengan pemuda itu, kalau perlu kita berkeliling, memperkenalkan diri dan menantang dari satu perguruan ke perguruan lain.” “Menantang? Apakah tidak justru akan menumbulkan permusuhan?” “Tidak perlu menantang, cukup kita antar dia dan kita katakan bahwa kita berniat untuk mendukung dia mencalonkan diri dalam pemilihan Wulin Mengzhu, aku yakin 9 dari 10 orang akan menantangnya bertarung.”, jawab Wang Xiaho dengan yakin. Liu Chuncao coba membayangkan hal itu sebentar, kemudian tertawa, “Hehehe, benar-benar, makin tua makin banyak akalnya. Ya kupikir cara itu pasti akan berhasil. Selain mendapatkan dukungan kita juga akan menambah pengalaman pemuda itu.” “Tentu saja ilmu mereka tidak bisa dibandingkan dengan ilmu rahasia dari perguruan besar, tapi setidaknya kesempatan Ding Tao untuk memenangkan kedudukan Wulin Mengzhu akan jadi semakin besar.” “Tidak masalah, jika kita sudah memilih satu jalan, tidak ada jalan lain kecuali berusaha sebaik-baiknya, tentang hasil, biarlah kita serahkan pada Thian saja.” “Bagus, jawaban yang bagus. Ding Tao kau dengar apa kata Pendeta liu tadi?”, tanya Wang Xiaho pada Ding Tao. Perlahan Ding Tao membalikkan badan, wajahnya tampak serius dan tegas, tidak tersenyum, tidak tersipu malu atau salah tingkah seperti biasa. Lama dia terdiam, lalu dengan perlahan-lahan tapi jelas dan tanpa keraguan dia menjawab, “Paman sekalian memmpercayakan tanggung jawab yang berat ke atas pundakku. Jika mengikuti keinginanku sendiri siauwtee tidak akan bersedia mengajukan diri. Namun demi kepentingan yang lebih besar siauwtee menerimanya.” “Bagaimana dengan masalah keluarga Huang? Maafkan aku Ding Tao, jika pertanyaanku ini terdengar tidak berperasaan bagimu. Namun ada kemungkinan besar, nona muda keluarga Huang tidak selamat dalam penyerangan itu. Jika hal itu terjadi, masih dapatkah kau berdiri dengan tegar dan memberikan jawaban yang sama?”, tanya Liu Chuncao dengan berhati-hati. Wang Xiaho mengerutkan alisnya, teringat bagaimana gugupnya Ding Tao saat mendengar berita tentang penyerangan atas keluarga Huang. Wang Xiaho kuatir, Ding Tao akan kembali kehilangan kontrol dirinya. Tapi dia tak sampai hati menyampaikan kekuatirannya itu. Namun pemuda itu ternyata cukup tegar, meskipun kesedihan tidak dapat disembunyikan dari raut wajahnya, suaranya terdengar tegas saat dia menjawab, “Kepentingan umum harus diletakkan di atas kepentingan pribadi. Apapun hasil dari penyelidikan kita di Wuling, paman sekalian tidak perlu kuatir, orang She Ding tidak akan lari dari kepercayaan yang kalian berikan.” Liu Chun Cao memandangi pemuda itu dalam-dalam, sebagai seorang yang sering berkelana dan bertemu berbagai macam orang, Liu Chun Cao cukup yakin akan kemampuannya mengenali sifat-sifat seseorang. Sambil menghembuskan nafas akhirnya dia berkata, “Aku percaya padamu…” Wang Xia Ho tersenyum, Liu Chun Cao mungkin bukan pendekar pedang nomor satu, tapi tidak pernah dia bertemu orang yang berhati seteguh Liu Chun Cao. Sedikit ada kemiripan dengan Ding Tao, tapi Liu Chun Cao bukan orang yang naif, yang tidak pernah melihat sisi buruk dari kehidupan tokoh-tokoh yang disanjung puja dalam dunia persilatan. Liu Chun Cao adalah orang yang cenderung kritis, bahkan sinis jika harus berurusan dengan tokoh-tokoh penting dalam dunia persilatan. Jika orang berkata-kata tentang Liu Chun Cao, baik dengan nada hormat maupun dengan nada menghina, Pendeta Pengelana Liu Chun Cao selalu dikatakan, pikirannya lurus, selurus pedang miliknya, tapi pendek sependek gagang pedangnya. Perkataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan, kejujuran dan sifat Liu Chun Cao yang tidak bisa dikompromikan. Itu sebabnya adalah sangat berarti jika Liu Chun Cao sampai bersedia mendukung Ding Tao. “Ding Tao, hendaknya kau mengerti, dunia persilatan, idealnya didirikan berdasarkan Yi dan Xin, kebenaran dan kehormatan. Kita hidup dalam dunia kita sendiri, bebas dari aturan dan kekuasaan pemerintahan yang korup, hidup bersandar pada kebenaran dan kehormatan. Kenyataannya kebenaran dan kehormatan, seringkali hanyalah kata-kata, yang bersandarkan pada kekuatan seseorang untuk mengartikannya. Mengandalkan pedang di tangan, menegakkan kebenaran dan keadilan. Kebenaran menurut siapa dan keadilan untuk siapa? Pada akhirnya kita yang berdiri di jalan pedang, bukanlah manusia yang berbeda dengan manusia lainnya.”, kata Liu Chun Cao dengan sungguh-sungguh. “Hmm… benar, ilmu pedang saja tidak akan mengubah watak dasar seseorang. Hanya karena mempalajari ilmu silat, bukan berarti menjadi orang yang mengerti kebenaran dan kehormatan.”, sahut Wang Xiaho. “Tidak ada bedanya dengan keadaan pemerintahan yang menyimpan pejabat-pejabat korup. Dunia persilatan pun dihuni oleh orang-orang dengan sifat serakah yang sama. Meskipun di luar dia berlaku seperti seorang yang terhormat, di baliknya tersimpan siasat licik, keegoisan yang mengorbankan orang lain demi diri sendiri.” “Tentu saja paman, hal itu tidak bisa dihindari dan tugas seorang pendekar yang sejati adalah menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi kehormatan.”, jawab Ding Tao. “Idealnya seperti itu Ding Tao, tapi tidaklah mudah untuk memisahkan mana yang bisa disebut seorang pahlawan dan mana yang bisa disebut penjahat. Tidak jarang mereka yang dipanggil sebagai seorang pahlawan dalam dunia persilatan adalah seorang penjahat yang sesungguhnya. Tidak lepas pula kemungkinan mereka yang dianggap golongan sesat, hanyalah seorang pahlawan yang kalah kuat dan tersisih.”, ujar Liu Chun Cao dengan mendesah sedih. Dalam benak Ding Tao terbayang kesedihan yang terpancar dari sorot mata Sepasang Iblis Muka Giok. Dengan tegas dia menjawab, “Harus ada yang bersedia untuk meluruskan kesalahan-kesalahan tersebut.” Dengan senyum kecut Liu Chun Cao balik bertanya, “Dengan apa seorang pendekar hendak meluruskan ketidak adilan itu?” Ding Tao terdiam sejenak sebelum dengan berat hati menjawab, “Lewat kemampuannya dalam ilmu bela diri…” “Ya, atas dasar kekuatan pedang dan senjata. Cepat atau lambat, mereka akan menyadari bahwa sendirian dia tidak berarti. Untuk membuat perubahan, dia harus mengumpulkan kekuatan, dia perlu dukungan dari pendekar-pendekar lain. Kemudian demi mendapatkan kekuatan untuk membersihkan dunia dari kejahatan, mereka pun jatuh ke dalam kubangan yang sama.” Sambil menggertakkan gigi Ding Tao menjawab, “Harus ada bedanya, kebenaran dan keadilan tidak boleh berganti arah hanya melihat siapa kuat siapa lemah. Mereka yang ingin dirinya dipanggil pahlawan akan tetap berdiri di pihak yang benar meski dirinya lebih lemah. Karena kebenaran dan kehormatan adalah prinsip dasarnya, kemampuan bertarung hanyalah alatnya. Jika kemampuan bertarung diletakkan di tempat yang lebih penting, maka itulah suatu kesalahan.” “Bagaimana jika berpegang teguh pada kebenaran dan kehormatan berarti maut dan celaka? Bukan hanya untuk dirimu tapi juga bagi orang-orang yang dekat denganmu?”, kejar Liu Chun Cao. Mulut Ding Tao sudah terbuka untuk menjawab, tapi tertutup kembali ketika dia berpikir lebih jauh. Jika bahaya itu hanya untuk dirinya tentu tidak jadi masalah, tapi jika ancaman itu datang pada orang-orang yang dekat dengannya, orang-orang seperti gurunya Gu Tong Dang, Huang Ying Ying, Murong Yunhua atau Murong Huolin, masih bisakah dirinya mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba dia menangkap dan merasakan kepahitan dalam ekspresi wajah Liu Chun Cao. Kesedihan yang bisa dia rasakan, terpancar pula dari sinar wajah Sepasang Iblis Muka Giok. Dalam hati terbetiklah pertanyaan, ‘Apakah dia juga…, jangan-jangan Pendeta Liu menghadapi hal yang serupa. Itu sebabnya dia jadi begitu dingin dan sinis dalam menilai polah laku orang-orang dalam dunia persilatan.’ Perlahan Ding Tao menggelengkan kepala, diapun tidak bisa menjawab dengan tegas untuk hal yang terakhir itu, “Entahlah paman, tapi sekali memutuskan sebuah jalan, maka segala pahit manisnya harus diterima. Seorang diri siauwtee bisa menjawab dengan yakin bahwa ancaman terhadap diriku akan siauwtee hadapi dengan dada tengadah…” “Aku mengerti…”, sahut Liu Chun Cao tersenyum pahit. “Ding Tao, bukan berarti kau tidak mampu berbuat apa-apa untuk membasmi yang jahat, menolong yang lemah, menegakkan kebenaran dan berlaku sesuai kehormatan dirimu. Hanya saja seberapa jauh kau bisa melangkah, akhirnya akan tergantung pada seberapa besar kekuatanmu, baik sendiri maupun dilihat dari jumlah pendukungmu”, ujar Wang Xiaho, tidak ingin Ding Tao terpengaruh oleh pandangan Liu Chun Cao yang cenderung pesimis memandang hidup ini. Merenungi perkataan Wang Xiaho, Ding Tao jadi mengerti apakah yang menjadi keberatan Liu Chun Cao. Otaknya cukup encer untuk melihat hubungan antara satu hal dengan hal yang lain. Jika seseorang terobsesi untuk melakukan perubahan dan menyadari bahwa dirinya membutuhkan kekuasaan untuk melakukan perubahan, maka bukan tidak mungkin orang tersebut akan terjerumus dalam pengejaran akan kekuasaan, hingga lupa akan motivasinya yang mula-mula. Bahaya yang kedua datang adalah ketika dia berhasil mendapatkan kekuasaan yang besar, yang dia butuhkan untuk melakukan perubahan, akankah dia tetap teguh pada pendiriannya yang semula? Apakah dia tidak akan tergoda untuk memanfaatkan kekuasaan itu demi kepentingannya sendiri? Ding Tao juga mengerti pengharapan yang diletakkan oleh Wang Xiaho pada pundaknya. Ding Tao merasa sangat berterima kasih oleh penghargaan dan kepercayaan yang diberikan Wang Xiaho pada dirinya. Tapi secara logika Ding Tao justru lebih setuju pada Liu Chun Cao. Sambil menghela nafas pemuda itu akhirnya berkata, “Paman Wang, Pendeta Liu, kurasa siauwtee sudah mengerti sekarang. Entah siauwtee menjadi Wulin Mengzhu atau tidak. Entah siauwtee menjadi yang terkuat atau tidak. Satu hal siauwtee bisa katakan, siauwtee berjanji untuk berdiri teguh di atas dasar kebenaran dan kehormatan.” Menoleh pada Liu Chun Cao, sambil membungkuk memberi hormat dia berkata, “Pendeta Liu, terima kasih sudah mengingatkan siauwtee pada prioritas utama dalam hidup seorang manusia.” Liu Chun Cao mengangguk puas. Wang Xiaho sebaliknya merasa sedikit kuatir dan cepat-cepat menambahkan, “Ding Tao bukan berarti kau boleh asal-asalan dalam berusaha mendapatkan gelar Wulin Mengzhu.” “Ya siauwtee mengerti, siauwtee akan berusaha sekuatnya untuk mencapai kekuatan dan kekuasaan yang diperlukan untuk mengadakan perubahan. Di saat yang sama akan selalu mengingat apa yang mendasari pengejaran itu. Tapi ketika pengejaran itu mengarah pada hal-hal yang menyalahi prinsip-prinsip yang justru sedang diperjuangkan, itu artinya sudah waktunya untuk berhenti dan mencari jalan yang lain.” Wang Xiaho awalnya merasa tidak puas dengan jawaban Ding Tao, berbeda dengan Liu Chun Cao yang semakin mantap untuk mendukung Ding Tao. Tapi ketika Wang Xiaho merenungkan lebih jauh lagi jawaban Ding Tao itu, pada akhirnya Wang Xiaho pun mengangguk setuju. Karena apa artinya dia mendukung Ding Tao menjadi Wuling Mengzhu, jika pada akhirnya Ding Tao tidak membawa perbaikan, jika Ding Tao berubah menjadi seorang munafik, seorang egois dan licik yang bertopengkan kehormatan? Lebih penting dari apa yang dapat dicapai pemuda itu, adalah keteguhan dari wataknya. “Ya, akhirnya aku pun bisa mengerti…” ujar Wang Xiaho sambil memandang Ding Tao dan Liu Chun Cao dengan senyum arif. Liu Chun Cao merasa puas dengan perbincangan mereka itu, semangatnya yang dulu sempat layu selama bertahun-tahun, kini bangkit kembali. “Ding Tao, aku tidak malu untuk mengatakan, bahwa selama ini kemajuan ilmuku tidak ubahnya berjalan di tempat saja. Tapi sejak pertarungan di antara kita, baru mataku mulai terbuka, jika kau tidak keberatan, bantu aku untuk menguraikan ilmuku lebih jauh lagi.”, ujarnya penuh semangat. “Heh, aku juga. Ding Tao bagaimana jika kita isi hari ini dengan diskusi tentang ilmu kami masing-masing?”, sambung Wang Xiaho. “Baik, bagaimana kalau kita kembali ke pelataran belakang?”, jawab Ding Tao dengan bersemangat, terbawa oleh semangat kedua orang di depannya. Sepanjang hari itu, ketiganya larut dalam pembahasan mengenai ilmu mereka dan kemungkinan-kemungkinan pengembangannya. Baik yang masih harus dilatih lebih jauh, tapi juga yang bisa segera digunakan. Bagi Wang Xiaho dan Liu Chun Cao, mereka merasa disegarkan kembali, sudah bertahun-tahun lamanya bagi mereka latihan-latihan yang dilakukan menjadi rutinitas yang mati. Dengan terbukanya pikiran mereka oleh masukan-masukan Ding Tao, maka kegairahan yang dulu mereka rasakan saat mulai mempelajari ilmu silat kembali lagi. Bagi Ding Tao sendiri, dengan keterbukaan Wang Xiaho dan Liu Chun Cao terhadap ilmu mereka, membantunya untuk menyelami lebih dalam lagi makna dan hakekat dari jurus-jurus milik kedua orang tersebut, membantunya dalam melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ketika keesokan harinya mereka memasuki Kota Wuling, ketiganya mengawali perjalanan dengan semangat yang tinggi. Sebuah tujuan terbentuk dalam benak ketiganya. Bukan berarti Ding Tao tidak merasakan kekuatiran akan nasib Huang Ying Ying dan keluarga Huang yang lain. Tapi Ding Tao akhirnya menemukan satu pegangan, apapun hasil penyelidikan mereka hari ini, Ding Tao sudah punya satu tujuan, yaitu bekerja untuk menempatkan dirinya pada posisi di mana dia bisa memastikan tidak ada kejadian seperti yang menimpa pada keluarga Huang. Jika hal itu sudah terjadi, maka diapun ingin berada pada posisi di mana dia bisa memberikan keadilan pada korban dan meluruskan pelakunya. Dalam semangat yang meluap ini, Ding Tao jadi semakin paham pula apa yang menyebabkan Liu Chun Cao tidak setuju dengan Wang Xiaho mengenai pemilihan Wulin Mengzhu. Semakin pula pemuda itu berhati-hati dalam setiap dia berlaku dan berpikir. Ding Tao berniat untuk menyisakan waktu di setiap harinya untuk kembali merenungi apa-apa yang sudah dia lakukan dan putuskan, agar jangan sampai dia terjebak pada kehinaan. Tidak butuh lama bagi mereka bertiga untuk menemukan pengikut keluarga Huang yang berhasil lolos dari bencana. Liu Chun Cao yang sudah pernah menemukan mereka sebelumnya dengan mudah menemukan mereka kembali. Beberapa di antara mereka menetap di tempat yang sama, yang sudah berpindah pun, setidaknya Liu Chun Cao sudah memiliki pegangan di mana harus mulai mencari jejak mereka. Pertemuan yang mengharukan terjadi saat mereka bertemu dengan Ding Tao. Setelah menghadapi bencana yang mencengkam jantung mereka dan meninggalkan mereka dalam ketakutan. Bertemu dengan Ding Tao yang mereka kenal selama bertahun-tahun membuat mereka merasakan sedikit kelegaan. Apalagi ketika Wang Xiaho menceritakan akan kehebatan Ding Tao sekarang ini. Mereka yang merasakan seluruh sendi-sendi kehidupan mereka runtuh bersamaan dengan runtuhnya keluarga Huang, mendapatkan kekuatan baru. Perlahan-lahan rombongan Ding Tao menjadi semakin besar, belasan orang sisa keluarga Huang yang mereka temui, memilih untuk menyertai Ding Tao dalam perjalanannya. Ding Tao merasakan keharuan melihat sikap mereka, seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Tapi hatinya juga semakin kuatir akan nasib Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu, karena sejauh ini mereka yang dia temui tidak ada yang tahu pasti nasib kedua orang itu. “Tinggal dua orang lagi.”, kata Liu Chun Cao. Ding Tao hanya mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa, jantungnya berdebaran. Apakah akan ada berita yang jelas dari dua orang yang tersisa ini? “Inilah tempatnya, jika mereka masih belum pindah tempat.”, ujar Liu Chun Cao sambil menunjuk sebuah gang kecil di samping kedai minuman. “Silahkan paman berjalan lebih dulu.”, jawab Ding Tao. Dengan Liu Chun Cao di depan, rombongan kecil itu bergerak melewati gang-gang yang sempit dan rumah yang berdesakan. Saat mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk berjemur sambil mengurut kaki, merekapun tahu pencarian mereka hari ini sudah berakhir. Karena wajah orang itu sudah mereka kenal baik. Ding Tao buru-buru maju dan menyapa orang yang ada di depan. “Tabib Shao Yong, apa kabar?” “Ding Tao, engkaukah itu?”, ujar laki-laki tua itu sambil bangkit berdiri, cepat-cepat menyambut kedatangan Ding Tao. “Tabib Shao, syukurlah kaupun lepas dari bencana.”, jawab Ding Tao. “Astaga, Chu Xiang, A Tong, Lu Feng, kalian juga selamat.”, ujar Tabib Shao Yong sambil mengucurkan air mata penuh haru, satu per satu disapanya mereka yang datang bersama Ding Tao. Belasan anggota keluarga Huang yang selamat dan berketetapan untuk mengikut Ding Tao, disapanya satu per satu. Rumah yang kecil itu dengan cepat menjadi sesak. Ding Tao menunggu sampai mereka selesai menumpahkan perasaan mereka yang tertekan selama berhari-hari sejak kehancuran keluarga Huang. Beberapa kali Ding Tao menghembuskan nafas panjang-panjang, berusaha mengurangi ketegangan yang menghimpit dadanya. Salah seorang dari mereka melihat itu dan menggamit lengan temannya yang masih saja bicara. Sebentar saja mereka semua terdiam dan menunduk. Mengikuti pandangan mata mereka, Tabib Shao Yong berbalik ke arah Ding Tao. “Anak Ding, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?”, tanya Tabib Shao Yong dengan lembut. “Oh, Tabib Shao…, tahukah kau bagaimana dengan keadaan adik…maksudku Nona muda Huang?”, terbata Ding Tao bertanya. #Cgaff
Posted on: Thu, 28 Nov 2013 09:51:36 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015