Pelajar Indonesia di Kota Suci “Assalamualaikum, dimana - TopicsExpress



          

Pelajar Indonesia di Kota Suci “Assalamualaikum, dimana antum ya akhifillah?” tanya seseorang dari balik sana. “Wa alaikumus salaam. Ana lagi keluar masjid, ustadz. OTW ke Zamzam.” jawab saya sambil berenang di lautan manusia yang tak terhingga jumlahnya. Kakek-kakek Iran dengan topi kupluk dan jenggot putih mirip papa smurf, sahin afghan dengan janggut dan sorban yang sama-sama putih, bhai-bhai Pakistan dan India yang seenaknya saja menabrak orang, para askar berseragam coklat kehijauan yang mengatur jamaah sholat jumat agar tidak bertubrukan dengan mereka yang baru akan masuk Masjidil Harom, serta rekan sebangsa; orang-orang Indonesia yang mungil namun banyak. Mudah dikenali dari peci hitam dan sarung hitamnya. “Ana tunggu di jam.” balas sahabat saya yang bernama Ahmed. Setibanya di areal yang dimaksud saya menoleh ke kanan kiri namun tidak ada sosok Ahmad, yang ada para bhai Pakistan yang sedang bergerombol disana. “Assalamualaikum.” mendadak muncul seorang pria bergamis putih dengan kafiyeh merah kotak-kotak dari kiri saya. Kami segera berpelukan karena telah tiga tahun tidak bertemu. Ia adalah teman saya di Ma’s Utsman bin Affan Jakarta dulu. Mantan pengajar tahfidz Al-Quran di suatu boarding school di Jakarta yang kini bermukim di Makkah untuk menimba ilmu syari di Mahad Al-Harom. Kini kami berenang berdua melewati arus manusia menuju Grand Zamzam. Sambil berjalan kami pun saling bertukar kabar mulai dari kesehatan masing-masing, keluarga, aktivitas, serta alamat di Makkah. Ahmed senantiasa mengajak saya untuk singgah di asramanya dan alhamdulillah kini saya dapat memenuhi undangannya. “Tapi kita ke Hotel Al-Massa dulu ya ustadz, ana harus ngechek jamaah dulu.” kata saya. “La basa bihi.” jawabnya santai. Setibanya di hotel kami segera menuju ruang makan dan alhamdulillah para jamaah baik yang saya bawa maupun dari travel lain telah membentuk dua barisan panjang mirip ular naga walau saya belum pernah jumpa ular naga yang hidup. Saya minta kawan saya untuk menunggu sejenak sementara saya menyapa jamaah, apakah mereka memiliki pesanan, pertanyaan, atau komplain? Alhamdulillah ternyata tidak. Tugas berikutnya adalah menemui para muthowwif dengan alasan sama, apakah ada komplain atau pesanan dari jamaah? Dan alhamdulillah lagi-lagi semuanya lancar. Selesai acara makan siang saya dan Ahmed meluncur ke asramanya di Misfalah. Ahmed ngotot naik taksi sementara saya ingin jalan kaki sambil menikmati suasana misfalah. Mulanya ia menolak ide tersebut namun setelah sekian taksi penuh dan tidak mau berhenti akhirnya kami pun berjalan kaki sambil ngobrol. Setelah cukup lama berjalan kami mencegar sebuah pick-up terbuka dan melanjutkan separuh perjalanan berikutnya bersama para bhai Pakistan di atas pick-up. Maka jadilah delapan orang berdiri berjejalan di bak terbuka, mirip para pemanah di atas gajah tempur. Setelah turun Ahmed membayar empat real pada supir (tarif satu orang dua real). Kami pun masuk ke lorong-lorong Misfalah hingga tiba di sebuah apartemen. Setibanya disana saya segera diperkenalkan dengan rekan-rekan Ahmed, para mahasiswa Indonesia yang sama-sama menimba ilmu di Mahad Al-Harom. Saya dibawa masuk ke sebuah ruang yang di ketiga sisinya terdapat rak dengan jumlah buku yang luar biasa banyak. Keesokan harinya kala saya mendapat undangan kedua dari para thoolib atau pelajar ini saya dapati sebuah pemandangan yang mengagumkan. Para penghuni rumah yang jumlahnya sekitar sepuluh orang sibuk membaca buku masing-masing karena saat itu mereka sedang ujian. Ada yang belajar di kamar atau di atas kursi roda. Ada yang membaca buku, menulis, atau mendiktekan pelajaran pada rekannya. Kembali ke ruang belajar. Ahmed dan rekan-rekannya segera menyajikan ayam goreng gede-gede yang dibeli dari restoran Al-Bayk, KFC-nya Saudi. Kami makan sambil ngobrol mulai dari pelajaran, jumlah jamaah yang saya bawa, daerah asal masing-masing, dll. Setiap beberapa menit pintu apartemen terbuka dan masuk wajah-wajah baru bergabung dengan kami. Para thulaab ini datang ke Saudi untuk mendalami ilmu syari dan biasanya mereka pulang menjadi ustadz. Tak hanya menimba ilmu semata, sebagian dari mereka juga diminta untuk mengajar mukimin Indonesia di Saudi, karena tidak semua orang Indonesia datang ke Saudi untuk belajar agama. Sebagian yang lain -kadang bila waktu senggang- membimbing jamaah haji atau umroh sebagai muthowwif. Sebagian yang lain ada yang menjadi pendorong kursi roda atau pembadal haji umroh, namun aktifitas utama mereka adalah belajar. Tradisi lama Keberadaan orang-orang Indonesia yang menimba ilmu di kota suci (Makkah atau Madinah) bukan barang baru, sama sekali bukan. Hal ini telah terjadi sejak abad ke 15 atau 16 M baik melalui kegiatan haji atau pengiriman langsung murid-murid dari nusantara untuk belajar agama Islam kesana. Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-9 M namun penyebarannya belum merata dan pemeluknya rata-rata hanya para pedagang yang singgah di nusantara atau segelintir penduduk pribumi yang terkesan oleh gaya hidup atau kemajuan perniagaan mereka. Islam mulai berkembang sejak pemerintahan Sriwijaya dimana telah banyak kampung-kampung Islam di pesisir Sumatera bahkan Jawa. Setelah Sriwijaya tumbang dan Majapahit naik daun, kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai ditaklukkan dan dijadikan kerajaan bawahan yang wajib membayar pajak. Meski di satu sisi hal tersebut kemunduran secara politik namun di sisi lain menjadi pintu meluasnya ajaran Islam ke tanah Jawa baik melalui para saudagar Arab maupun Tionghoa Muslim. Saat Majapahit terpecah menjadi banyak kerajaan, Pangeran Jin Bun menyatukan kembali kerajaan ayahnya yang terpecah dan mendirikan Kesultanan Demak. Ia sendiri mengubah namanya menjadi Raden Patah / Fatah. Dengan berdirinya Demak maka dakwah Islam yang terpusat di pantai utara Jawa mendapat perlindungan Demak. Para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara kemudian berangkat ke Jawa untuk menimba ilmu agama, dan dari Jawa ini sebagian pelajar melanjutkan studi mereka ke Mekkah atau Madinah. Pada mulanya para pelajar berangkat kesana sekaligus untuk melaksanakan ibadah haji. Perjalanan jauh dan lama menggunakan perahu layar mengharuskan mereka untuk singgah di beberapa tempat di pantai barat India, Yaman, atau Laut Merah. Setibanya di Jeddah mereka juga masih harus menunggu keberangkatan kafillah unta yang akan mengangkut mereka ke Mekkah. Nah sambil menunggu keberangkatan inilah para jamaah haji menimba ilmu, terutama ilmu manasik haji dari para syaikh haji (kalau sekarang sejenis KBIH atau Travel Haji Umroh). Selesai melaksanakan haji, sebagian jamaah ini kemudian memutuskan untuk tinggal lebih lama di Makkah (terutama para pelajar yang memang diberangkatkan untuk hal ini) dan menimba ilmu pada guru-guru yang ada disana. Tahun berganti tahun dan abad berganti abad. Kekuasaan di Makkah terus beralih baik dari Daulah Mamluk maupun Utsmani namun dua hal yang tak berubah, yakni penguasa Makkah yang bergelar Syarif serta para pelajar nusantara. Salah satu kewajiban muslim Pernahkah terbersit dalam pikiran anda kenapa ada orang jauh-jauh pergi ke Mekkah atau Madinah untuk menuntut ilmu agama? Menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk sesuatu yang sebenarnya juga bisa diperoleh di kampus-kampus di Indonesia? Kalau hanya ingin jadi ustadz, dosen, atau guru agama kenapa harus sekolah jauh-jauh ke Arab, kenapa enggak di Indonesia saja? Banyak alasan yang dapat diuraikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut namun bukan disini tempatnya. Apapun alasannya, menimba ilmu ke dua kota suci merupakan sebuah tradisi yang telah berjalan selama berabad-abad sejak nenek moyang kita berkenalan dengan diynul Islam. Selain tradisi yang telah hidup selama ratusan tahun, mempelajari ajaran-ajaran Islam, merenungkan, serta mengamalkannya merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Bukankah sering kita lihat dalam Al-Quran ayat-ayat yang artinya, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mengerjakan amali sholih?” bagaimana seorang akan memahami hakikat iman atau melakukan suatu perbuatan yang diajarkan dalam agama kita bila ia tidak pernah mau belajar? Atau cukupkah kita menjadi pemeluk agama gado-gado (berbuat sekehendak hati dengan keyakinan semua orang Islam pasti masuk surga walau dicuci dulu di neraka) dan mewakilkan Islam pada KTP kita? Kenyataannya mempelajari Islam bagi pemeluknya merupakan perintah junjungan kita serta sosok yang namanya kita sebut dalam tahiyyat; Muhammad Rasulullah, dalam hadits yang berbunyi: طَلَبُ الْعِلمِ فَرِيضَةٌ عَلَ كُلِّ مُسلِمٍ. “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”1 Dalil tersebut menandakan bahwa mempelajari ayat-ayat Allah serta hadits-hadits Rasul merupakan kewajiban bagi setiap muslim meskipun dalam intensitas yang berbeda-beda. Seorang thoolib atau pelajar maka tidak asing bagi mereka untuk menghabiskan mayoritas waktu dalam sehari untuk belajar baik di kampus maupun tempat tinggal serta tidak menutup kemungkinan mengajarkannya pula pada orang-orang yang meminta diajarkan. Bagi seorang ustadz atau dosen belajar juga suatu kebiasaan bahkan sarapan sebelum mengajarkan murid-muridnya. Bagi para pekerja, belajar juga dapat dilakukan saat senggang dengan cara mendengarkan radio, streaming, atau membaca artikel di internet atau buku-buku agama. Tak kalah ketinggalan para ibu rumah tangga; mereka mampu untuk belajar melalui radio sambil berbenah rumah. Apabila kita berniat untuk belajar maka akan Tuhan mudahkan jalan kita, Insya Allah. Menuntut ilmu syari sendiri dapat dikatakan sebagai tiket menuju surga sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits: مَن سَلَكَ طَرِيْقًايَطْلُبُ فِيهِ ءِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا اِلَ الْجَنَّةِ. وَاِنَّ اْلمَلَاءِكَةَ لَتَضَعُ اَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ اِلْمِ، وَ اِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَلِمِ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْاَرضِ حَتًّ اَلْحِيتَانُ فِي اَلْمَاءِ، وَفَضْلُ لْاِلمِ عَلَ اَلْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَ سَاءِرِ الْكَوَاكِبِ. اِنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَشَةُ الْاَنْبِيَاءِ، لَمْ يَرِسُوْا دِينَارًا وَ لَا دِرهَمًا، وَ اِنَّمَا وَرَشُوْا الْعلْمَ فَمَنْ َاَخَذَهُ اَخَذَ بِحَظِّ وَافِرٍ. “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”2 Dalam hadits lain juga terdapat perintah rasulullah agar umatnya singgah di majelis-majelis yang mengajarkan ilmu syari: اِذَا مَرَرتُم بِرِيَاضِ اَلْجَنَّةِ فَرْتَعُوا، قَلُوا: يَا رَسُوْلُاللهِ، مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ. “Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).”3 Jangan sampai kita kehilangan kesempatan berharga ini, tiket menuju surga dengan cara yang tidak menyulitkan. Berapa banyak majelis taklim yang ada dan betapa banyak pula sarana lain untuk menuntut ilmu seperti Tab, handphone, atau notebook. Namun sayang demikian banyak manusia yang mengabaikan hal penting ini. Semoga Allah tidak menjadikan kita orang-orang yang lengah dari mempelajari diynul Islam, karena bersabda Rasulullah: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَشِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ. “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”4
Posted on: Fri, 24 Jan 2014 03:12:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015