Pelajaran Hidup: BUKAN OBAT SEMATA YANG MENYEMBUHKAN - TopicsExpress



          

Pelajaran Hidup: BUKAN OBAT SEMATA YANG MENYEMBUHKAN PENYAKITNYA Pelajaran hidup yang kita dapatkan kadang-kadang tidak terduga-duga. Apa yang telah kita pelajari sering tidak cukup untuk memahami dan mengatasi apa yang kita hadapi dalam kehidupan keseharian kita. Berikut ini sebuah pelajaran yang saya petik dari pengalaman Muhammad Fairuz bin Abdullah, seorang calon dokter dari Malaysia yang mengambil kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. SELAMA tujuh semester pertama sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya belajar di kelas. Saya jarang berbicara dengan pasien betulan di rumah sakit. Kemudian tahun lalu saya mulai mengunjungi bangsal neurologi di RS dr Sardjito. Saya sedang mengumpulkan data untuk tugas akhir saya, penilaian terhadap pil kontrasepsi oral sebagai faktor risiko untuk stroke iskemik. Stroke jenis ini adalah yang paling umum dan terjadi sebagai akibat dari obstruksi dalam pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak. Di rumah sakit saya akan meninjau catatan medis pasien stroke yang baru dirujuk, kemudian mewawancarai mereka untuk mengetahui apakah mereka minum pil. Ini adalah proses yang lambat. ————————————————————————————————————————– BERITA TERKINI: Pertimbangan Nam Air beli 100 pesawat buatan Habibie Perpustakaan Riau sewa “debt collector” untuk atasi penggelap buku 11 juta orang hengkang dari Facebook Pesawat tanpa awak buatan UGM Unnes rekrut 23 orang dosen dan 3 tenaga kependidikan ————————————————————————————————————————– Suatu malam yang dingin dan hujan pada Oktober lalu, saya berada di bangsal neurologi dalam rangka “berburu” tiga pasien terakhir yang saya butuhkan untuk menyelesaikan studi saya. Catatan menunjukkan bahwa ada penderita stroke 43 tahun, yang saya sebut Ibu Aminah, di lingkungan. Dengan memegang kuesioner pasien, saya berjalan menuju ke kamarnya. Saya tidak melihat dokter atau perawat. Bangsal dalam keadaan lengang. Kamar Ibu Aminah yang remang-remang memiliki delapan tempat tidur. Saya bisa melihat awan gelap dan hujan deras melalui jendela. “Bau rumah sakit” merebak di udara yang lumayan dingin. Ibu Aminah berbaring di tempat tidur 4B, jelas masih lemah karena dia masih belum pulih dari stroke baru-baru ini. Tidak ada kerabat atau teman yang menjaganya. Bahkan tempat tidur di sampingnya kosong. Saya duduk di kursi di samping tempat tidurnya, dan dengan suara rendah saya memperkenalkan diri dan bertanya apa yang sedang dia lakukan. Dia dengan lembut menjawab bahwa dia merasa lebih baik tetapi sisi kiri tubuhnya masih lemah. Ketika saya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin mengumpulkan beberapa informasi tambahan dari dia, dia setuju. Saya menanyakan seperti yang ada di kuesioner yang terdiri dari tiga pertanyaan sederhana dengan jawaban ya atau tidak. Setelah saya selesai, saya berkemas untuk meninggalkannya. Sebelum saya berdiri, Ibu Aminah berbicara dengan suara yang lemah. “Saya belum pernah melihat dokter sebelumnya. Apakah Dokter di sini baru?” “Tidak juga, Bu. Hanya saja saya tidak datang ke sini setiap hari,” jawabku. Dia mulai membuka percakapan, bertanya dari mana saya berasal dan mengapa saya bekerja sampai larut malam. Saya terkejut dengan kondisinya yang sakit namun ingin mengobrol. “Dok, apakah saya bisa kembali hidup normal?” Ibu Aminah bertanya. Jauh di lubuk hatik, saya berkata, Tuhan, saya berharap saya menjadi dokternya sehingga saya bisa menjawab dengan benar. Saya menjawab bahwa saya tidak tahu banyak tentang kasusnya. Saya bisa menceritakan apa yang telah saya pelajari tentang pemulihan pasien stroke. Itu tergantung pada keparahan stroke, cukup sejumlah penangan dengan baik dalam rehabilitasi. Sejujurnya saya sangat enggan untuk berbicara terlalu banyak dan detail karena saya hanya seorang mahasiswa kedokteran. Ibu Aminah mulai berbicara tentang dirinya sendiri. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki tiga anak di sekolah dasar, yang tinggal dengan tetangga. “Suami saya meninggal setahun yang lalu dan saya satu-satunya pencari nafkah untuk keluarga saya. Kami tidak kaya dan penghasilan saya sebagai tukang bersih-bersih rumah hanya pas-pasan untuk saya dan anak-anak saya.” Saya tidak tahu harus berkata apa. Dengan menatap matanya, saya berusaha keras untuk mengingat perkuliahan keterampilan komunikasi yang telah saya ambil beberapa tahun sebelumnya, tetapi pikiran saya kosong. Saya mengutuk diri sendiri karena tidak mampu memberikan perhatian lebih banyak lagi. Tanpa sadar, saya mulai memegang tangan Ibu Aminah. Karena saya tidak punya sesuatu untuk dikatakan, saya hanya duduk diam sementara dia terus berbicara. Saat itulah saya sadar bahwa dia tidak mengharapkan jawaban dari saya. Dia hanya ingin saya mendengarkannya. Percakapan ini berlangsung selama sekitar 20 menit. Dia berbagi kesulitan dan penderitaan, berbicara tentang suaminya, yang tewas dalam kecelakaan mobil, dan bagaimana dia berjuang untuk mendapatkan uang. Dia juga menyatakan ketakutannya tentang apa yang akan terjadi pada anak-anaknya jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Yang saya lakukan adalah mengangguk sebagai cara untuk menunjukkan simpati saya. Akhirnya, Ibu Aminah berhenti bicara. “Saya merasa sangat tidak enak hati menahan dokter di sini untuk mendengarkan masalah saya, tapi saya merasa lega sekarang. Saya tidak memiliki teman untuk mencurahkan masalah saya.” Setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Saya membelai rambutnya dan terus memegang tangannya. Akhirnya, saya tahu harus berkata apa. “Tidak apa-apa, Bu. Ini juga bagian dari tugas saya.” “Terima kasih, dok, terima kasih banyak.” Dia melepaskan tangan saya. Saya berdiri, menutupi tubuhnya dengan selimut, melambaikan tangan dan meninggalkannya sendirian di tempat tidurnya. Beberapa hari kemudian, ketika saya kembali ke bangsal, saya menemukan bahwa Ibu Aminah telah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik, meskipun ia masih akan memerlukan rehabilitasi. Ibu Aminah mengajari saya salah satu pelajaran yang paling penting yang bisa dipelajari dokter. Kadang-kadang pasien tidak membutuhkan obat mahal atau teknologi penyembuhan. Mereka hanya membutuhkan seseorang dengan kesabaran dan kemauan untuk meminjamkan telinga dan meluangkan sedikit waktu bagi mereka. Bagi saya, itu adalah salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan dokter untuk pasiennya.*** -------------------------------------- Kunjungi koran kita VISI PENDIDIKAN KAGI >> tiny.cc/3w113w
Posted on: Fri, 27 Sep 2013 05:38:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015