Pendidikan Multikultur: Pendidikan yang - TopicsExpress



          

Pendidikan Multikultur: Pendidikan yang Memanusiakan #MimiRasinah “I have a dream that my children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character…” - Dr. Martin Luther King, Jr. Saya tercenung ketika membaca quote dari Martin Luther King, Jr. tersebut. Saya merasa beliau benar. Saya memiliki mimpi yang sama seperti beliau. Manusia dihargai atas karakter dan perbuatan mereka bukan atas warna kulitnya, atau latar belakangnya apapun itu. Martin Luther King, Jr. berbicara dalam konteks Amerika Serikat di tahun 1950an - 1960an dengan gerakan menentang diskriminasi terhadap warga kulit hitam. Seperti yang kita ketahui, masyarakat kulit hitam di Amerika waktu itu mengalami segregasi dan diskriminasi hebat dalam segala bidang kehidupan hanya karena mereka berkulit hitam. Hak mereka dipinggirkan dan mereka dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Dengan adanya gerakan sipil yang menuntut persamaan hak dan penghapusan diskriminasi terhadap warga kulit hitam dan kulit berwarna yang dimotori oleh Martin Luther King, Jr., Malcom X, serta Rosa Parks, perlahan namun pasti warga kulit hitam memperoleh kembali haknya sebagai warga negara hingga saat ini Amerika memiliki presiden kulit hitam pertama, Barack Obama. Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan Jean Couteau di sebuah koran nasional, berjudul “Kebinekaan dan Intoleransi” (Kompas, Minggu, 25 Agustus 2013). Couteau di situ menuliskan bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami konstruksi identitas yang berbeda. Jika dulu, masyarakat lebih bisa bertoleransi dengan adanya perbedaan agama dan menjadikan adat sebagai perekat utama, sekarang masyarakat menjadi afiliasi religius sebagai perekat. Waktu itu, agama belum merupakan komponen utama dari sebuah identitas. Kala itu, pengetahuan akan kredo agama tidak terlalu dirisaukan, karena selain bersifat batiniah, agama belumlah dimanipulasi sebagai penyekat antarkelompok. Lebih lanjut, Couteau menuliskan bahwa pada era sekarang ini, afiliasi religius dan konstruksi identitas berdasarkan agama menjadi semakin mengeras dan tidak mudah lagi untuk diajak berdialog mengenai perbedaan. Saya tertegun setelah selesai membaca tulisan tersebut. Apakah ada yang salah dengan kebinekaan kita sebagai bangsa Indonesia ini selama ini? lalu dimana letak salahnya? Lalu bagaimana bangsa ini ke depannya jika sikap intoleransi seperti yang disebutkan Couteau dalam tulisannya itu semakin meruyak? Di sinilah titik urgensi adanya pendidikan multikultur sejak dini. Anak-anak adalah agen perubahan masa depan. Jika sedari usia dini, anak-anak dididik menghargai perbedaan, niscaya itu akan terbawa dalam setiap langkahnya dan akan membentuk bagaimana bangsa ini di masa depan. Pendidikan, saya percaya benar, adalah kunci dari berbagai macam perubahan, terutama dalam paradigma berpikir suatu masyarakat. Pendidikan multikultur sejak dini memberikan dasar pemahaman kepada anak-anak bahwa perbedaan adalah sebuah kewajaran dan patut dihargai, serta dihormati. Anak-anak saat ini tumbuh dalam dunia yang sangat membingungkan dan penuh kontradiksi. Di satu sisi, anak-anak belajar bahwa semua manusia diciptakan sama, tanpa memandang apapun embel-embel di belakangnya, akan tetapi di sisi lain, segregasi terjadi. Dalam ranah kehidupan sehari-hari, anak-anak belajar bahwa suatu kelompok lebih dihargai daripada kelompok yang lain, bahwa ada dominasi mayoritas terhadap minoritas, ada kelompok manusia yang terpinggirkan. Patricia G. Ramsey dalam bukunya yang berjudul Teaching and Learning in a Diverse World (2004) menuliskannya sebagai ‘tumbuh di sebuah dunia yang penuh kontradiksi dan ketidakadilan’. Lalu apa itu pendidikan multikultur? Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultur sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekomomi yang dialami oleh maing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam ( plural ), baik latar belakang maupun basis sosio-budaya yang melingkupinya. Tujuan pendidikan multikultur adalah untuk membantu anak-anak belajar mengenai bagaimana menyikapi kontradiksi dan ambiguitas tersebut serta membongkar ketidakadilan yang memisahkan dan melemahkan dunia mereka. Tujuan pendidikan multikultur ini meliputi perkembangan identitas, solidaritas antar sesama manusia, pemikiran kritis, dan aksi nyata (Ramsey, 2004). Cakupan pendidikan multikultur juga meluas sejak gerakan ini pertama kali tercetus pada era 1970an. Pada awal gerakan ini muncul di barat, fokus utamanya adalah pada budaya dan ras. Kemudian seiring dengan munculnya gerakan feminis, protes orang-orang dengan disabilitas, cakupan pendidikan multikultur ini kian meluas. Konteks pendidikan multikultur yang saya gunakan di sini adalah konteks kekinian yang memiliki cakupan yang lebih luas terkait dengan ras, etnisitas, kelas sosial, agama, konsumerisme, globalisasi, kapitalisme, budaya, bahasa, gender, orientasi seksual, disabilitas, dan relasi kita dengan lingkungan. Pendekatan pendidikan multikultur ini masih menjadi tarik ulur sebenarnya, tapi menurut saya sebaiknya pendidikan seperti ini harus segera ditanamkan sejak dini kepada anak-anak supaya mereka bisa lebih bijak menghadapi perbedaan. Toleransi terhadap perbedaan akan membentuk wajah bangsa kita menjadi lebih humanis. Ramsey dalam bukunya menjabarkan beberapa tujuan pendidikan multikultur yang ditujukan untuk anak-anak sebagai agen perdamaian di masa depan. Pertama, anak-anak perlu mengembangkan identitas yang kuat—sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai makhluk hidup di muka bumi ini. anak-anak perlu belajar dan mengembangkan ketertarikannya dalam sesuatu hal yang spesifik dan meraih kesadaran penuh akan apa yang dapat mereka sumbangkan pada komunitas masyarakat yang lebih besar. Anak-anak perlu berakar pada komunitas masyarakatnya, kelekatan kuat pada keluarga, teman dan mendapatkan identitas dari situ, dan bukannya tercerabut dari sana. Anak-anak juga perlu belajar untuk merasakan kedekatan dengan lingkungan alam sekitarnya dan melihat diri mereka sebagai penghuni bumi yang selaras dengan alam, dan bukan sebagai penakluk. Kedua, anak-anak perlu belajar untuk mengembangkan rasa solidaritas terhadap semua manusia dan dengan alam sekitarnya. Dengan memahami bahwa perbedaan dan persamaan adalah sebuah kewajaran dan merupakan sesuatu yang hakiki dan terberi, anak-anak akan mengembangkan rasa nyaman ketika bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang ‘berbeda’. Anak-anak juga perlu mengembangkan kapasitas emosional mereka untuk mengenali dan mengolah perasaan mereka, memahami dan empati terhadap emosi yang dirasakan oleh orang lain, dan mengembangkan kepedulian terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan. Anak-anak juga perlu belajar bahwa meskipun berbeda, kita semua hidup di bawah matahari yang sama, menghirup udara yang sama, dan memijak tanah yang sama. Ketiga, anak-anak perlu belajar menjadi pemikir yang kritis. Anak-anak perlu didorong untuk lebih aktif bertanya alih-alih hanya pasif menerima status quo dari generasi sebelumnya. Anak-anak perlu diajak untuk kritis terhadap segala sesuatu dengan mengajak mereka berdialog, berdiskusi melalui buku yang mereka baca dan kejadian-kejadian keseharian yang mereka alami. Keempat, anak-anak perlu didorong untuk percaya diri, untuk melihat diri mereka sebagai aktivis untuk mengupayakan sesuatu yang lebih baik alih-alih hanya berdiam diri. Anak-anak perlu diajak untuk memahami bahwa mereka pun dapat berkontribusi dalam membuat dunia lebih baik dengan cara sekecil apapun. Mereka juga perlu belajar cara pendekatan dan penyelesaian masalah dalam konteks solidaritas antar sesama manusia. Kelima, anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang layak, yang pada akhirnya akan memberikan akses seluas-luasnya pada pengetahuan dan pendidikan merupakan kekuatan untuk membuat perubahan. Ini sejalan dengan konsep pendidikan inklusi dimana semua anak berhak akan pendidikan yang layak, karena pendidikan merupakan kunci perubahan. Setiap anak tanpa terkecuali harus mendapatkan pendidikan. Terakhir, kita sebagai orang dewasa harus menciptakan ruang yang terbuka untuk anak-anak agar mereka dapat menyemai mimpi akan masa depan yang jauh lebih baik dan sebuah ruang yang memungkinkan mereka mencapai mimpi itu di masa depan. For our children, for the better future. Bagaimana dengan sistem pendidikan di Kota Mangga ?
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 08:16:04 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015