Pengalaman Partai Buruh Brazil Oleh: Coen Husain Pontoh Bagian - TopicsExpress



          

Pengalaman Partai Buruh Brazil Oleh: Coen Husain Pontoh Bagian 1 Perjuangan untuk mengonsolidasikan demokrasi di Indonesia, kini memasuki fase yang kritis. Ketika kedikatoran berhasil ditumbangkan, gelombang pasang optimisme berdebur kencang: partai-partai baru bermunculan, kebebasan berpendapat terbuka luas, kebebasan pers bukan lagi sebuah impian. Tapi, kian jauh jarak dengan kediktatoran, pelan-pelan pasang naik optimisme mulai surut. Yang terjadi adalah arus balik gelombang pesimisme: keterbukaan yang tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, kebebasan yang melahirkan kekacauan, pers bebas makin mengipas bara panas yang menjadi warisan peninggalan kediktatoran, dan partai-partai baru yang gila uang. Lalu, banyak suara mengatakan masa transisi telah lewat. Yang tinggal adalah ketidakpastian. Romantisme masa lalu kediktatoran yang stabil pelan-pelan menyebar luas, menghancurkan kesadaran massa yang goyah akibat ketidakpastian yang mematikan ini. Dalam situasi sedemikian, kelompok kiri dituntut untuk memberikan alternatif yang bisa menerobos kebuntuan yang ada. Kegagalan menyediakan alternatif yang bisa mempercepat proses konsolidasi demokrasi, bisa berujung pada makin terkonsolidasinya kekuatan oligarki. Sesuatu yang kini tengah berlangsung. Tetapi, sebuah solusi menjadi efektif jika yang mengusulkannya memiliki otoritas. Seorang dokter didengar dan dilaksanakan nasihatnya karena ia dipercaya memiliki otoritas untuk itu. Ini yang sering terabaikan tapi, begitu nyata terpampang dalam peta gerakan sosial di Indonesia: terlalu banyak solusi, terlalu sedikit dampaknya. Maka, di sini ada dua tantangan besar yang dihadapi: membangun kekuatan kiri sebagai kekuatan politik alternatif; dan setarikan nafas dengannya, memberikan solusi-solusi alternatif terhadap masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan yang kian membelenggu ini. Sehubungan dengan dua hal itu, tulisan ini akan memaparkan secara ringkas tentang pengalaman Partai Buruh Brasil (Partido do Trabalhadores/PT), dalam membangun partai dan bagaimana mereka menghadapi tantangan masa transisi. Artikel ini akan dibagi dalam empat bagian: (1) proses pembentukan partai; (2) tahap pembangunan partai; (3) hubungan partai dengan organisasi massa; dan (4) partai dan pemilu. Proses Pembentukan Partai Untuk bisa memahami sejarah pembentukan Partai Buruh Brasil (PT), tak bisa dilepaskan dari konteks masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Itu sebabnya, ada baiknya secara ringkas kita memeriksa kembali jalan transisi menuju demokrasi. Seperti dikemukakan Margaret E. Keck (1992), masalah teoritis utama dalam studi-studi transisi demokrasi (khususnya di Amerika Latin) adalah: pertama, apa jalan yang paling mungkin untuk mengonsolidasikan sistem politik berdasarkan penerimaan umum mengenai pengaturan kompetisi politik dan kewargaan di disebuah negara yang ditandai oleh kesenjangan sosial yang luar biasa; kedua, bagaimana pemerintahan demokratis tersebut bisa diharapkan untuk menjawab masalah sosial demokrasi dan di saat yang sama mereka berhadapan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi politik demokrasi?” Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Adam Przeworski mengajukan sebuah tesis yang disebutnya strategi Modernization via Internationalization. Menurut strategi ini, demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya di negara-negara kapitalis maju (Pontoh, 2005). Secara ringkas, jalan transisi itu secara politik mengadopsi sistem demokrasi liberal dan secara ekonomi menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Tampaknya, solusi yang digulirkan Przeworski ini menjadi model yang digunakan di hampir seluruh negara yang menjalani transisi. Jalan ini pula yang ditempuh Brazil, khususnya setelah proses transisi yang diinisiatifi rejim kediktatoran militer di bawah Ernesto Geisel, pada 1973. Hasilnya, Brazil keluar sebagai pemenang pertama dalam jajaran negara pengutang terbesar di dunia, presentase peningkatan pendapatan kalangan atas meningkat sebesar 8.1 persen antara 1960 dan 1980, sementara proporsi pendapatan 50 persen kalangan bawah justru jatuh sebesar 3.2 persen. Potret kesenjangan pendapatan ini makin jelas jika melihat besaran upah minimum antara $35 dan $50 per bulan. Berdasarkan sensus terlihat bahwa 31.41 persen penduduk yang aktif secara ekonomi menerima upah kurang dari upah minimum, 27.97 persen menerima upah minimum, 11.68 persen menerima 2-3 kali upah minimum, 10.11 menerima antara 3 dan 5 kali upah minimum, 6.66 menerima 5 dan 10 kali upah minimum, dan 4.32 persen menerima 10 kali upah minimum atau lebih. Berdasarkan potret buram di atas, jelas bahwa demokrasi tak bakal terkonsolidasi. Secara internal ia dirusak oleh kebijakan ekonominya yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Di sini demokrasi hanya menyediakan panggung (bukan dibajak) bagi konsolidasi oligarki. Dan inilah akar sebab munculnya pesimisme dan sinisme pada demokrasi. Dan inilah tantangan terberat yang dihadapi oleh kelompok-kelompok kiri di Brazil. Tidak saja bagaimana mempercepat proses konsoilidasi demokrasi tapi, juga bagaimana agar dalam proses tersebut rakyat luas turut menikmati berkah demokrasi. Demikianlah, segera setelah ruang politik sedikit terbuka, kelompok-kelompok oposisi yang selama itu diberangus rejim militer, segera bermunculan ke permukaan. Para oposan ini berasal dari kalangan intelektual, pers, gereja Katolik, gerakan mahasiswa, gerakan perempuan, gerakan sosial perkotaan, petani dan gerakan buruh. Variasi gerakan oposisi ini juga terbelah antara oposisi elite dan organisasi akar rumput. Kalangan oposisi elite lebih menekankan pada bagaimana membangun rejim demokrasi, sedangkan oposisi akar rumput lebih menekankan pada pembangunan kondisi-kondisi kelembagaan bagi demokrasi politik. Yang satu memandang liberalisasi politik yang digulirkan oleh Geisel sebagai point of arrival (titik kedatangan), yang lain melihatnya sebagai point of departure (titik berangkat). Yang pertama lebih menekankan pada proses sementara yang kedua tidak hanya proses tapi juga bentuk dan isi. Untuk menjembatani perbedaan sekaligus mengonsolidasikan gerakan oposisi, pada 1978 dilakukan sebuah pertemuan besar di kalangan oposisi untuk mendiskusikan dan memperdebatkan langkah-langkah apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi era transisi ini. Pertemuan ini membahas dua hal utama: pertama, bagaimana merespon peluang-peluang legal yang tersedia sebagai hasil dari perubahan sistem politik yang dilakukan rejim; kedua, mengenai prioritas-prioritas politik dan sosial bagi keberadaan sebuah partai baru. Dalam pertemuan itu, dibicarakan bagaimana kendaraan terbaik untuk mengarungi era transisi. Seperti dicatat Lucio Kowarick dan Andre Singer, bentuk-bentuk organisasi seperti LSM atau serikat buruh tidak akan sanggup menjawab tuntutan di luar bidang garapannya. Sementara itu, gerakan sosial cenderung bersifat lokal, korporat, dan parsial. Ujung dari diskusi dan perdebatan ini adalah munculnya kebutuhan untuk adanya sebuah partai politik yang baru. Hanya wadah partailah yang sanggup menjawab tuntutan massa yang lebih luas. Dalam bahasa Jose Alvaro Moises, seorang intelektual yang terlibat dalam pertemuan itu, “tanpa sebuah partai baru yang kapabel bagi intermediasi politik, masa transisi ini hanya akan menjadi basis bagi kalangan otoritarian untuk terus menjalankan politik kekerasannya.” Sosiolog Francisco Weffort, menambahkan, ketiadaan partai menjadi penyebab utama sulitnya mengklarifikasi perbedaan penafsiran mengenai hubungan antara tuntutan-tuntutan kelembagaan (untuk demokrasi) dan tuntutan-tuntutan sosial-ekonomi. Selanjutnya, Moises dan Weffort mendukung dan mengusulkan terbentuknya sebuah partai baru yang demokratis, popular, dan sosialis. Keduanya juga kemudian menjadi sekian di antara pendiri PT. Beberapa sektor di kalangan kiri menghendaki dibentuknya sebuah Partai Sosialis, mula-mula dengan membentuk sebuah tendensi sosialis di dalam Gerakan Demokratik Brasilia (Movimento Democratico Brasileiro/MDB). Sementara itu Julio Tavares dari Convergencia Socialista, berpendapat, sebelum membentuk partai sosialis yang berbasis massa, yang lebih mendesak adalah memenangkan ruang politik bagi kelas buruh yang lebih luas. Adapun Tendencia Socialista dari Rio Grande do Sul, mengharapkan agar MDB menjadi sebuah koalisi bagi buruh, mahasiswa, dan intelektual untuk selanjutnya beranjak menjadi sebuah partai buruh yang independen. Organisasi kiri lainnya seperti, Partai Komunis dan Maoist menganggap, diskusi mengenai pembentukan partai buruh atau partai sosialis terlalu prematur. Mereka lebih menekankan pada kebutuhan untuk membentuk sebuah front anti otoritarian yang luas. Percepatan Pembentukan Partai. Di tengah-tengah upaya mengonsolidasikan gerakan oposisi yang tersebar itu, antara tahun 1978-1979, terjadi pemogokan besar-besaran di Brasil. Sekitar tiga juta buruh turun ke jalan-jalan. Dimulai dari wilayah industri Sao Paolo, yang merupakan jantung industri otomobil Brasil, pemogokan dengan cepat menyebar luas sektor-sektor industri dan jasa lainnya di seluruh Brasil. Pemogokan yang dipelopori oleh serikat buruh baja Sao Bernardo do Campo, Santo Andre, Sao Caetano, dan Diadema, serta Maua, Ribeiro Pires dan Rio Grande de Serra (yang dikenal dengan sebutan region ABC atau ABCD), tuntutan utamanya adalah menuntut perbaikan upah 34.1 persen. Pemogokan ini juga, telah menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan oposisi yang paling mampu menggoncang kekuatan rejim militer saat itu. Selain itu pula, pemogokan ini telah melahirkan seorang figur yang sangat kharismatik, Luis Inacio da Silva (Lula), presiden serikat buruh Sao Bernardo dan Diadema. Figur yang besar bukan karena kapasitas intelektual (seperti Fernando Henrique Cardoso) atau karena sejarah perjuangan politik anti kediktatoran yang konsisten di masa lalu (seperti Leonel Brizola). Lula, adalah pemimpin yang lahir dan besar di kalangan akar rumput. Tetapi, Lula bukanlah seorang pemimpin serikat buruh yang apolitis. Paska pemogokan, ia mengeluarkan pernyataan: “Saya pikir kita tidak bisa memisahkan antara faktor politik dan ekonomi….. Perjuangan ABC memang menyangkut masalah upah tapi, dalam perjuangan untuk perbaikan upah tersebut, kelas pekerja sekaligus meraih kemenangan politiknya.” Pada bagian lain ia mengatakan, “Pada momen tersebut, saya memahami bahwa kebutuhan kelas buruh adalah mengorganisasikan dirinya secara politik.” Pemogokan massal ini tak pelak, telah menambah ramai dan mengubah konstelasi barisan oposisi. Diskusi mengenai perlunya pembangunan sebuah partai baru, kini mendapatkan basis massa yang sangat jelas. Diskusi tidak lagi mengawang-awang tapi, menukik pada bagaimana agar sebuah partai yang baru nanti bisa mengakomodasi tuntutan massa tersebut. Demikianlah, sejak pemogokan itu, diskusi-diskusi di kalangan buruh mengenai pentingnya pembentukan sebuah partai buruh semakin intensif dilakukan. Diskusi-diskusi ini berlangsung di serikat buruh-serikat buruh terkuat dan terbesar yang berbasis di Sao Bernardo do Campo, Santo Andre, Osasco, Santos, Rio de Jeneiro, Belo Horizonte, Campinas, dan Porto Alegre. Secara terbuka, Lula kemudian menyampaikan idenya tentang pembentukan sebuah partai buruh dalam sebuah konferensi buruh minyak di Bahia pada akhir 1978. Tapi, secara resmi pernyataan akan perluanya sebuah partai buruh muncul dalam resolusi Sao Paulo State Metalworker’s Congress di Lins, Sao Paolo, pada Januari 1979. Dalam resolusi Lins tentang partai politik disebutkan, “Brazilian workers to overcome their marginalization by uniting to form an internally democratic party, which would recognize the great importance of workers in Brazilian social life and contitute and independent power base.” Segera setelah diluncurkannya resolusi, sekelompok orang yang terdiri dari Henos Amorina (Osasco metalworkes), Jaco Bittar (oil workers, Paulinha, Sao Paulo), Paulo Skromov Matos (Leather workers, Sao Paulo), Robson Camargo (pejabat pada Sao Paulo artis’t union), dan Wagner Benevides dari Belo Horizonte oil workers, berpendapat agar pembentukan partai buruh ini harus segera dipercepat. Kelompok ini kemudian menyusun sebuah pernyataan prinsipil (Carta de Principios), dan didistribusikan sebanyak dua ratus ribu eksemplar dalam parade Mayday yang berlangsung di kota-kota besar seperti Sao Paulo, Minas Gerais, Rio de Jeneiro, Bahia, Ri Grande do Sul, dan Ceara. Kelompok ini kemudian merencanakan untuk mendaftarkan partai tersebut dalam pemilu 25 Mei, 1979. Kontan saja, aksi kelompok ini mendatangkan reaksi balik yang sangat keras. Joao Paulo Pires Vanconcelos mengatakan, dokumen yang didistribusikan itu telah mencederai kesepakatan di antara pemimpin dan anggota serikat buruh untuk menghentikan sementara diskusi mengenai proposal pembentukan partai. Ia menuduh, kelompok Carta de Principios merupakan kelompok pelopor (vanguardism), tidak hanya karena telah mengambilalih tindakan pencegahan tapi, juga karena beberapa dari anggota kelompok itu merupakan anggota atau bersimpati kepada partai Trotskis yang bergerak di bawah tanah. Yang lain menuduh, kelompok Carta de Principios lebih bertindak sebagai individu ketimbang merepresentasikan suara serikat buruh mereka. Argumeron Cavalcanti (doctors’ union) dan Hugo Perez (predisem dari the electrical workers’ federation of Sao Paulo dan presiden DIEESE), berpendapat, keputusan untuk mengumumkan sebuah partai harus dilakukan oleh serikat-serikat buruh sebagai organisasi. Lula sendiri, sebagai orang yang paling bisa diterima oleh semua pihak, berada pada posisi untuk tidak tergesa-gesa mengumumkan pembentukan partai buruh. Demikianlah, dalam kongres nasional serikat buruh baja pada Juni 1979, di Pocos de Caldas, pembentukan partai Buruh, hanya masuk sebagai salah satu agenda pembahasan. Di samping itu, resolusi yang sama dengan resolusi Lins, dianggap telah usai. Para delegasi menganggap saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengumumkan keberadaan sebuah partai. Tapi, mereka setuju bahwa proposal pembentukan partai harus didiskusikan di seluruh pemimpin dan anggota serikat buruh. Menariknya, setelah kongres Pocos de Caldas, tempo diskusi mengenai pembentukan partai buruh semakin menggelinding dengan cepat. Tidak itu saja, partisipannya juga kian meluas, tidak hanya sebatas serikat buruh. Pada bulan yang sama, dilakukan pertemuan dengan para intelektual, pemimpin serikat buruh, dan politisi-politisi MDB di Sao Bernardo. Pada 28 Juni, bertempat di Belo Horizonte, Lula meluncurkan sebuah draft program yang harus didistribusikan di kalangan buruh untuk didiskusikan pada akhir minggu. Setelah itu, pembentukan sebuah partai tergantung pada kehendak buruh sendiri. Yang menarik, dalam pernyataan itu, Lula tidak hanya merujuk pada pemimpin dan anggota serikat buruh tapi, juga pada asosiasi-asosiasi sekawan (neighborhood association). Kata Lula, partai buruh bermakna partai bagi seluruh mereka yang menerima upah dan kaum miskin secara umum. Dengan demikian, partai buruh tidak lagi eksklusif sebagai partainya serikat buruh atau partainya anggota serikat buruh saja. Pergeseran makna partai buruh ini, kian mempercepat proses konsolidasi tersebut. Pada 18 Agustus 1979, sekelompok politisi yang keluar dari MDB, mengorganisir sebuah pertemuan besar di Sao Paulo, untuk mendiskusikan tentang gagasan partai buruh. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh sekitar empat ratus orang itu, termasuk politisi-politisi MDB, pemimpin serikat buruh, mahasiswa, intelektual, dan perwakilan dari ratusan gerakan yang berbeda, Lula secara aktif mengampanyekan pembentukan partai buruh yang independen dan terbuka bagi politisi-politisi progresif dari MDB. Menurut Lula, pemimpin-pemimpin serikat buruh yang hadir dalam pertemuan itu, tiba pada kesimpulan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam politik, karena dalam struktur serikat buruh saat ini, mereka selalu mencoba seluruh kemungkinan untuk meningkatkan kondisi-kondisi kerja, dan mereka gagal. Pada saat yang sama, Lula menekankan, agar PT tidak harus dibentuk oleh serikat buruh sebagai lembaga, ini untuk mengkompromikan otonomi serikat buruh; perdebatan soal partai harus dilakukan di luar serikat buruh, tanpa meminta dukungan dari pemimpin-pemipin serikat buruh yang ada di PT. Serangkain pertemuan-pertemuan untuk mengumumkan pembentukan partai buruh makin mantap. Pada 14 Oktober, terjadi titik balik. Jika sebelumnya, diskusi tentang pembentukan partai buruh masih berfokus pada tingkat gagasan, bagaimana partai buruh yang seharusnya, kini fokus diskusi berpindah pada organisasi formal Partido do Trabalhadores sebagai sebuah partai. Hingga akhirnya, bertempat di restoran Sao Judas Tabeu di Sao Bernardo, sekitar seratus orang, termasuk para intelektual, anggota Kongres, dan pemimpin-pemimpin serikat buruh, memutuskan untuk membentuk struktur PT sebagai sebuah organisasi politik, dengan formasi komisi nasional sementara. Pertemuan itu menyepakati sebuah pernyataan politik dan sebuah dokumen yang disebut “Suggestion for an interim Form of Functioning.” Sejak saat itu, telah lahir Partai Buruh. Kepustakaan: 1. Margaret E. Keck, “The Workers Party Anda Democratization in Brazil,” Yale University Press, 1992. 2. Lucio Kowarick (ed)., “Social Struggles and The City The Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, New York, 1994. 3. Coen Husain Pontoh, “Malapetaka Demokrasi Pasar,” Resist Book, Yogyakarta, 2005. Pengalaman Partai Buruh Brazil Bagian II Mendirikan sebuah partai, jelas bukan perkara gampang. Tapi, bagaimana membuat partai berfungsi atau fungsi-fungsi partai (fungsi rekrutmen, fungsi mediasi kepentingan, fungsi sosialisasi politik, fungsi pemecah konflik, fungsi perebutan kekuasaan) berjalan, jauh lebih sulit. Luasnya cakupan fungsi inilah yang salah satunya membedakan partai dengan LSM, organisasi massa, atau gerakan sosial pada umumnya. Agar fungsi-fungsi partai ini bisa bekerja, partai yang modern adalah partai yang bertindak atas dasar program guna mencapai tujuan-tujuan tertentu mereka.Mereka mengikuti sebuah kebijakan yang telah disepakati, dan mereka diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip pokok yang didasarkan pada peraturan-peraturan, keanggotaan, organisasi-organisasi lokal, panitia-panitia, kongres-kongres, kewajiban-kewajiban, dan lain-lain (Yermakova & Ratnikov, 2002). Untuk mencapai kategori partai modern tersebut, mutlak perlu dilakukan pembangunan partai (party building). Party building di sini tidak saja bermakna fisik (organisasi partai hadir di mana-mana) tapi juga bermakna kesadaran (pemahaman akan kesamaan nilai, tujuan, program dan demokrasi internal). Kedua hal ini selayaknya berjalan beririsan, interaktif. Partai yang besar minus kesadaran hanya menyebabkan anggota dan massa pendukung menjadi sumber dan alat manipulasi kepentingan elite. Demikian sebaliknya, partai yang semata mengandalkan kesadaran tanpa dukungan anggota dan masssa yang luas, tak lebih sebagai sekte. Keterpisahan inilah yang menjadi penyakit paling dikhawatirkan Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan lebih-lebih Robert Michels, mengenai kekuasaan kaum minoritas. Hukum besi oligarki inilah, yang juga menjadi tantangan bagi Partai Buruh Brazil. Tulisan bagian ini hendak melihat, bagaimana PT membangun partainya. Ada beberapa hal yang secara khusus ingin disoroti, yang sekiranya boleh menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia: (1) masalah rekrutmen; (2) masalah pembiayaan partai; (3) masalah faksionalisasi. Masalah Rekrutmen Sebagai sebuah partai yang terbuka, berideologi sosialis, dan berkecimpung dalam era demokrasi parlementarian, masalah rekrutmen partai sungguh-sungguh merupakan soal yang baru bagi PT. Ide tentang partai terbuka, revolusioner, dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, hampir-hampir tak ditemukan jejaknya dalam partai kiri. Kalau bukan menjadi partai pelopor (vanguard party), sebaliknya partai kiri menjadi murni mesin elektoral yang tidak berbeda dengan partai lainnya. Sedikit kekecualian adalah Partai Rakyat Bersatu (Unidad Popular Party) pimpinan Salvador Allende, di Chile. Unidad Popular (UP), bukan saja merupakan mesin pemilu bagi Allende tapi, juga mencanangkan aksi-aksi radikal dalam mewujudkan program-programnya. Dan bukan tanpa sadar, jika para pendiri PT sedikit banyak mengacu pada UP yang mengantarkan Allende ke jabatan presiden Chile, secara demokratis. Masalahnya, bagaimana mengejawantahkan prinsip terbuka, sosialis, dan demokratis itu dalam proses rekrutmen keanggotaan partai? Pada partai pelopor, masalah rekrutmen keanggotaan ini lebih jelas ukurannya: misalnya, setelah melalui serangkaian pendidikan dan ujian oleh partai. Mereka yang direkrut sebagai anggota partai, dikategorikan sebagai kaum profesional revolusioner. Mereka ini menjadikan program dan aksi revolusioner sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Demikian juga pada partai sebagai mesin elektoral, semua orang boleh menjadi anggota partai tanpa kecuali. Untuk menjawab soal ini, PT melakukan dua jenis atau dua pola rekrutmen. Pertama, sebagai partai terbuka dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, PT membuka diri terhadap seluruh kalangan progresif dan tokoh-tokoh populer yang bersepakat dengan program partai. Mereka bisa berasal dari partai politik, gerakan sosial, gereja Katolik, individu, dan intelektual. Dengan prinsip ini, PT menjadi rumah baru bagi politisi-politisi progresif yang kenyang makan asam garam dengan politik elektoral yang selama itu bernaung di MDB (Movimento Democratico Brasileiro, sebuah partai oposisi legal di bawah rejim militer). Dengan masuknya politisi-politisi progresif dari negara bagian Sao Paolo, seperti Eduardo Suplicy, Irma Passoni, Marco Aurelio Ribeiro, dan Geraldo Siqueria, kemampuan PT dalam bermain di wilayah demokrasi elektoral sangat terbantu. Di samping itu, PT juga sadar bahwa demokrasi elektoral pada akhirnya adalah soal jumlah suara. Dalam hal ini, PT harus bersaing dengan kontestan lainnya untuk memperebutkan suara mayoritas rakyat yang mengambang. Di sini, tak pelak sosok figur yang populer sangat menentukan. Pertimbangan inilah, misalnya, yang mendorong Lula bertemu dengan artis top semacam Chico Buarque, Simone, dan Gonzaguinha. Tetapi, semata mengandalkan rekrutmen tahap pertama, jelas akan menimbulkan masalah internal yang besar pada PT. Seperti dikemukakan Keck (1992), rekrutmen model ini telah mendatangkan rasa tidak nyaman bagi para pemimpin serikat buruh yang tergabung dalam PT. Rekrutmen model ini, jelas tidak mencerminkan keterwakilan kepentingan kelas pekerja, yang justru merupakan dasar dan tujuan didirikannya PT. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya, PT menetapkan sistem rekrutmen yang berbasis pada struktur terendah partai yang disebut nucleus. Struktur ini bekerja dalam bentuk sel yang terbuka. Menurut pasal 6, point 1 tentang struktur partai, nucleus ini diorganisasikan atau bekerja di tingkat rukun warga, tempat kerja, atau gerakan sosial. Organ ini, juga menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik bagi anggota partai dan para aktivis, menjamin demokrasi internal dalam partai, membangun aksi-aksi politik partai, serta memperkuat hubungan partai dengan gerakan sosial. Selain itu, organ ini menjadi saluran ekspresi politik, pendapat, dan isu-isu para anggotanya untuk kemudian disampaikan pada organ lebih tinggi (lokal, regional, nasional) dan dijadikan sebagai bahan diskusi yang luas bagi partai. Dalam pasal 72 disebutkan, perwakilan nucleus berhak menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan regional dan nasional. Jumlah perwakilan dari nucleus pada tingkat regional, misalnya, ditentukan oleh pimpinan (diretorio) cabang regional berdasakan masukan dari pimpinan cabang lokal Untuk menjamin tidak terjadinya manipulasi jumlah nucleus, setiap nucleus harus didaftarkan kepada cabang lokal PT terdekat, dimana nucleus tersebut berfungsi atau kepada cabang regional PT, jika cabang lokal belum eksis. Adapun nucleus yang bekerja di tempat kerja atau di gerakan sosial, harus terdaftar di cabang terdekat. Dalam pendaftaran itu, setiap nucleus harus menyebutkan nama-nama anggotanya, tempat dan waktu pertemuan, dan jumlah uang yang disumbangkan kepada partai. Dalam waktu enam hari, informasi ini harus dikirimkan kepada cabang regional dan nasional. Setiap nucleus minimum harus beranggotakan 21 orang, dengan kekecualian setelah melalui presentasi dan persetujuan dari cabang regional. Nucleus ini diharuskan mengadakan pertemuan sekali dalam sebulan dan harus memiliki koordinator, sekretaris, dan bendahara. Nucleus ini baru resmi didaftar jika telah sanggup memberikan sumbangan bulanan reguler kepada cabang regional. Setiap anggota PT tidak diperkenankan menjadi anggota di lebih dari satu nucleus. Dua model rekrutmen ini, terbukti saling melengkapi sekaligus saling mengoreksi. Kritik terhadap struktur nucleus, bahwa struktur ini telah menjadi alat pertarungan bagi setiap tendensi atau aliran politik yang ada dalam PT. Tendensi yang kecil tapi militan, misalnya, telah menjadikan struktur nucleus sebagai kendaraan untuk memenangkan gagasan-gagasannya dalam partai. Selain itu, banyak kejadian di lapangan menyebutkan bahwa nucleus ini sebenarnya hanya eksis di atas kertas. Namun demikian, kelemahan ini tertutupi dengan model rekrutmen terbuka. Masalah Pembiayaan Partai. Salah satu masalah paling krusial dalam pembangunan partai, adalah masalah pembiayaan. Partai boleh berisi kader-kader revolusioner yang tulus dan mau berkorban tapi, itu tidaklah cukup untuk menjalankan mesin partai. Terlebih untuk sebuah partai yang terbuka. Bagaimana pengadaan kantor partai dari pusat hingga cabang terkecil, bagaimana penerbitan partai, bagaimana soal pertemuan partai untuk tujuan konsolidasi. Semua ini membutuhkan dana tidak sedikit. Begitu pentingnya masalah pembiayaan partai ini, sehingga ia tidak bisa diabaikan. Untuk soal ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan: dari mana sumber pembiayaan dan kemana pembiayaan itu dikeluarkan. Masalah pertama, untuk mengatasi sumber pembiayaan dari kelompok-kelompok yang sesungguhnya anti pada program partai, misalnya, dari kalangan yang menghendaki terbentuknya oligarki di dalam partai atau menjadikan partai tergantung pada segelintir donatur, atau dari sumbangan haram (dirty money). Sedangkan soal kedua menyangkut transparansi dan pertanggungjawaban elit partai terhadap anggota dan simpatisan partai. Dalam hal ini, pembiayaan PT datang dari tiga sumber: pertama, anggota PT yang terpilih sebagai anggota Kongres. Berdasarkan perkiraan yang dikeluarkan oleh eksekutif nasional, pada Juli 1985, sumbangan dari kalangan ini mengambil porsi dua pertiga pembiayaan organisasi nasional; kedua, pembiayaan yang diperoleh dari pemerintah karena keterlibatan PT dalam pemilu; dan ketiga, sumber yang datang dari iuran anggota PT sendiri, sebagaimana telah disinggung di atas. Namun demikian, karena lemahnya kemampuan pengurus PT untuk mengoleksi dana dari anggota, menyebabkan sumbangan dari sumber ini relatif terbatas. Di samping itu, keterbatasan sumbangan dari anggota sebenarnya berkaitan dengan rendahnya pendapatan para anggota PT sendiri. Sebagian besar anggota dan pendukung PT hidup di bawah garis kemiskinan. Kelemahan mengoleksi dana anggota, juga disebabkan oleh kesulitan untuk membedakan mana anggota partai yang riil dan mana yang sekadar memberikan suaranya pada PT. Kesenjangan soal sumber pembiayaan partai ini tentu saja bisa berakibat buruk bagi PT. Untuk mencegah soal tersebut sekaligus memotivasi anggota agar bersedia menyumbang bagi PT, eksekutif nasional melalui media partai mengeluarkan daftar nama penyumbang, daftar wilayah penyumbang terbesar, dan rincian soal alokasi dana. Publikasi ini berlangsung secara reguler, sehingga dengan demikian PT menjawab keraguan soal sumber pembiayaan, memotivasi anggota untuk menyumbang, dan mentradisikan keterbukaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam partai. Kelak, tradisi ini sangat membantu PT ketika mereka menjalankan program Participatory Budgeting (PB) yang menuai sukses besar itu. Masalah Faksionalisasi Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, PT bukanlah sebuah partai yang monolitik. Sebaliknya, PT adalah sebuah partai yang bertindak sebagai "an umbrella organization for the political participation of urban workers and all other who felt unrepresented by traditional politics" (Nylen, 2003). Keragaman aliran politik dalam partai tercermin dari keberadaan kelompok-kelompok yang bergabung di dalamnya. Seperti ditulis Keck, kelompok-kelompok yang sejak awal mendukung pembentukan PT datang dari kalangan kiri (Convergencia Socialista, Workers Faction, Movement for the Emancipation of the Proletariat/MEP, Partido Comunistas Brasileiro Revolucionario/PCBR) dan Marxist-Leninist Popular Action/APML), kalangan gereja Katolik, khususnya sayap progresifnya yang tergabung dalam Communidades Eclesias de Base (CEB), serikat buruh, gerakan mahasiswa, gerakan sosial, dan intelektual. Secara ideologis, keragaman itu terlihat pada kelompok Gereja Katolik yang mengusung gagasan teologi pembebasan, kelompok sosial demokrat radikal dan kelompok-kelompok dalam tradisi Marxist-Leninist. Sebagian lagi adalah mereka yang berpaham Trotskys, Maoisme, dan berideolog campuran (Kowarick & Singar, 1994). Bentuk sebagai sebuah organisasi payung ini, di satu pihak membantu PT berkembang dengan cepat. Tapi, di sisi lain, keragaman ideologi, sejarah perjuangan, dan bentuk organisasi ini menyebabkan tersendat-sendatnya proses konsolidasi di tubuh partai. Misalnya, bagaimana memadukan antara demokrasi internal dan sentralisme di dalam partai; bagaimana para partisipan ini memandang PT sebagai organisasi perjuangan; bagaimana identitas PT sesungguhnya; bagaimana supaya tidak timbul partai di dalam partai, dan bagaimana menghapuskan militansi ganda (dual militancy) yakni, sebagai anggota PT dan sebagai anggota faksi. Sebagai contoh, Workers Faction berpendapat, PT seharusnya bertransformasi menjadi partai revolusioner; sebaliknya, menurut kelompok MEP, PT sebaiknya menjadi front politik kaum buruh dan tak perlu bertransformasi menjadi partai revolusioner. Adapun kelompok PCBR dan APML melihat PT sebagai wadah taktikal untuk menciptakan gerakan front popular untuk menghancurkan kediktatoran. Namun demikian, seluruh tendensi ini menyepakati bahwa PT harus sanggup menyediakan arena bagi setiap tendensi untuk mempromosikan perjuangan ideologi di kalangan kelas pekerja. Tapi, tidak mudah bagi sebuah partai baru untuk menyikapi keragaman ini. Pertama, karena masih dalam tahap awal masa transisi, maka PT harus lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan politik yang berubah sangat cepat; yang kedua, masalah mendesak bagi PT adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu 1982. Tetapi, tuntutan untuk penyatuan visi, pembentukan identitas, penghapusan partai dalam partai dan militansi ganda, tak terelakkan. Momentum itu datang ketika PT kalah telak dalam perhelatan Pemilu 1982. Kekalahan itu telah mendatangkan kritik tajam terhadap jajaran pimpinan partai. Untuk memfasilitasi perdebatan tersebut, pimpinan PT mengeluarkan tiga kebijakan: pertama, membentuk sebuah koalisi mayoritas dalam partai yang disebut Articulacao dos 113 (Group of 113), pada pertengahan 1983. Articulacao dos 113, kemudian menjelma sebagai faksi terbesar di dalam PT; kedua, pembentukan faksi-faksi dan persekutuan politik di dalam partai adalah sah; dan ketiga, membentuk aturan main tendensi faksional di dalam partai. Dengan adanya regulasi ini, PT menginginkan agar faksi-faksi tersebut terlembaga, tidak bergerak liar sehingga lebih merupakan sebuah adu konspirasi ketimbang adu argumentasi. Dengan keluarnya tiga kebijakan ini, selain Articulacao dos 113, segera muncul faksi lain yang menamakan dirinya Popular Power and Socialism, PT na Capital, dan beberapa kelompok Trotskys. Pelembagaan faksi ini semakin mendesak ketika sebuah kelompok dari mantan anggota Partai Komunis Revolusioner Brazil (the Revolutionary Brazilian Communist party), yang mengaku sebagai anggota PT, merampok sebuah bank di Salvador, Bahia, untuk membantu revolusi Nikaragua. Aksi ini dengan cepat menjadi santapan empuk media-media arus utama Brazil, dengan menyudutkan PT sebagai sebuah organisasi anti-demokrasi. Respon PT terhadap aksi tersebut adalah memecat pelakunya dari keanggotaan PT. Tetapi, dampak terpenting dari aksi perampokan itu, bahwa masalah faksionalisasi dalam PT belumlah tuntas. Dengan kesadaran ini, dalam pertemuan nasional keempat PT di Sao Paulo, pada 30 Mei-1 Juni 1986, dihasilkan sebuah resolusi mengenai tendensi faksional yang dimandatkan kepada direktorat nasional, agar segera dilakukan diskusi nasional. Resolusi ini dimaksudkan untuk mencegah agar peristiwa Salvador, tidak terulang di kemudian hari. Namun demikian, resolusi itu juga sekaligus menekankan bahwa perbedaan faksional tidak boleh mentoleransi pelanggaran terhadap integritas partai: 1. PT adalah sebuah partai demokratik, sosialis, dan berbasis massa. PT bukanlah sebuah organisasi front politik atau sebagai sebuah front pelembagaan massa yang bisa digunakan sebagai instrumen oleh setiap partai politik; 2. Sebagai sebuah partai demokratik, PT membela dan terus memperhatikan keinginan mayoritas, dan pada saat yang sama, memperkuat keberadaan minoritas dan hak-hak mereka agar terwakili dan terekspresikan dalam seluruh instansi partai; 3. Pertemuan nasional memperhatikan hak setiap tendensi dan selanjutnya diserahkan kepada direktorat nasional menyangkut pengaturannya. Tetapi, partai memahami bahwa hak ini tidak boleh diperluas kepada kelompok yang tidak mengadopsi program PT atau mereka yang tidak menerima demokrasi dan kedisiplinan. Pada saat bersamaan, hak tendensi tidak boleh mengesahkan militansi dalam partai kecuali terhadap PT (Keck, 2003). Proses selanjutnya, agar perdebatan menjadi konkret, para partisipan dalam debat diharuskan untuk mendaftakan nama organisasi faksinya, pimpinan faksi, anggota faksi yang terdaftar, dan isu-isu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan partai. Setelah itu seluruh partisipan diminta memfokuskan perdebatan pada tiga hal: (1) aturan main tendensi faksional; (2) demokrasi internal; dan (3) pandangan partai tentang sosialisme. Selanjutnya, agar perdebatan ini menjadi milik bersama, pada 1998, partai menerbitkan majalah teoritis empat bulanan yang disebut Teoria e Debate. Melalui majalah ini, seluruh anggota dan simpatisan partai bisa mengikuti jalannya perdebatan dan menetapkan pilihan politiknya pada faksi yang dianggap sesuai aspirasinya. Kepustakaan: 1. Antonina Yermakova & Valentine Ratnikov, “Kelas dan Perjuangan Kelas,” Penerbit Sumbu, Yogyakarta, 2002, h. 20. 2. Michael Curtis, “The Great Political Theories,” Vol. 2, Avon Books, 1981. 3. Margaret E. Keck, “The Workers Party Anda Democratization in Brazil,” Yale University Press, 1992. 4. Luci Kowarick (ed)., “Social Struggles and The City The Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, New York, 1994. 5. William R. Nylen, “Participatory Democracy versus Elitist Democracy Lesson from Brazil,” Palgrave Macmillan, New York, 2003.
Posted on: Sat, 24 Aug 2013 09:51:03 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015