Pengertian Perjanjian Internasional Saat ini pada masyarakat - TopicsExpress



          

Pengertian Perjanjian Internasional Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan (legal costumer). Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional. Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional oleh para sarjana memberikan definisi masing-masing sesuai dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional. Definisi perjanjian Internasional diungkap oleh G. Schwarzenberger. “Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties)” Dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional, sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (obligations) yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Sedangkan Definisi lain dari perjanjian internasional juga diungkapkan oleh Oppenheim-Lauterpacht : “International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Berdasarkan definisi tersebut bahwa subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan mengenai ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. Pasal 1 Konvensi Wina 1969 membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian antar negara, seperti dinyatakan “The present conventions applies to treaties between states”. Namun demikian Konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri, seperti perjanjian antar negara dengan subyek hukum lain selain negara, dan subyek hukum bukan negara satu sama lain. Perkembangan dewasa ini, kedudukan dari perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional sangat penting, mengingat perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum (dasar yuridis) karena dibuat secara tertulis. Selain itu perjanjian internasional mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antar subyek hukum internasional. Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. dipandang secara yuridis terminologi tersebut tidak ada perbedaannya, semua mempunyai arti perjanjian internasional, tetapi dalam praktik kadang-kadang orang membedakannya, misalnya saja untuk perjanjian-perjanjian penting masalah politik dipergunakan istilah traktat (treaty), sedangkan untuk perjanjian perdagangan (executif) dipakai istilah agreement. Tahap Pembentukan Perjanjian Internasional Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional” menegaskan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu: a. Perundingan (Negotiation) Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. b. Penandatangan (Signature) Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian. c. Pengesahan (Ratification) Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk melakukan pengesahan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang termuat dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Di Indonesia, tahapan pembuatan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 6 ayat (1) ditegaskan pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Penjajakan, merupakan tahap awal yang dilakukan para pihak yang akan melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. b. Perundingan, merupakan tahap setelah adanya kesepakatan yang dibuat dalam tahap penjajakan. Perundingan merupakan tahap kedua yang membahas materi yang akan disepakati dalam perjanjian internasional. c. Perumusan naskah, merupakan tahap pembuatan perjanjian internasional yang tujuannya untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan ditandatangani para pihak terkait. d. Penerimaan, merupakan tahap penerimaan para pihak atas naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati. e. Penandatanganan, yaitu tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Terdapat perbedaan kekuatan untuk mengikat dalam perjanjian bilateral (perjanjian dua negara) dengan perjanjian multilateral (banyak negara). Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut penerimaan. Penerimaan dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) umumnya merupakan tindakan pengesahan suatu negara atas perubahan perjanjian internasional. Tindakan Protes dalam Perspektif Hukum Internasional Pada tahun 1969, Malaysia mengeluarkan sebuah peta yang disebut dengan Peta Baharu. Dalam peta itu status Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diklaim sebagai milik Malaysia. Indonesia tentu saja memprotes klaim kepemilikan sepihak Malaysia atas kedua pulau tersebut sebab status kedua pulau tersebut masih dalam tahap perundingan. Tanggal 14 Maret 2012, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengeluarkan peryataan protes atas serangan roket Israel ke Gaza, Palestina. Alasanya karena aksi tersebut telah menimbulkan korban sipil yang banyak serta meningkatkan kembali eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah. Kedua peristiwa di atas menunjukan bahwa Indonesia mengeluarkan protes atas tindakan yang dilakukan negara lain. Selain menunjukkan suatu sikap (politik) penolakan atas aksi yang dilakukan oleh Malaysia dan Israel, apakah makna protes dalam hukum internasional? Tindakan negara melakukan protes terhadap aksi negara lain terkait hukum internasional dapat dilihat dalam hubungan dengan sumber hukum internasional, yaitu: Kebiasaan Internasional dan Perjanjian Internasional. Kebiasaan Internasional Dalam hukum internasional, kebiasaan internasional dapat terbentuk dari tindakan negara yang dilakukan sejak lama (long-standing) dan terus-menerus (continous). Akibatnya, tindakan negara yang telah berubah menjadi kebiasaan internasional tersebut dapat mengikat negara lain sebagai norma hukum. Menurut Ian Brownlie, beberapa tindakan negara yang dapat menjadi sumber terbentuknya kebiasaan internasional adalah koresponden diplomatik, pernyataan kebijakan, pernyataan pers, putusan dan praktik eksekutif dan lainya. Elemen dasar kebiasaan internasional harus memenuhi dua syarat, yaitu : 1. Konsistensi tindakan Negara: Kebiasaan internasional dapat timbul jika dilakukan secara terus-menerus dan tidak ada protes dari negara lain. Praktik ini dapat dilihat dari Kasus Suaka (Asylum) antara Kolombia v Peru. Dalam kasus tersebut, Kolombia memberikan suaka politik kepada politisi Peru di kedutaanya di Peru. Tindakan tersebut di protes oleh Peru dengan alasan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh politisi tersebut tidak termasuk dalam kejahatan yang diperjanjikan dalam perjanjian suaka. Kolombia membela diri bahwa pemberian suaka merupakan kebiasaan internasional yang terjadi di kawasan Amerika Latin sehingga tidak terbatas pada syarat jenis kejahatan yang diperjanjikan. Putusan mahkamah internasional pada akhirnya menyatakan bahwa klaim Kolombia berdasarkan kebiasaan internasional tidak terbukti. Dalam analisisnya, mahkamah internasional mensyaratkan bahwa negara yang mendasarkan argumentasinya pada kebiasaan internasional harus membuktikan bahwa tindakanya telah mengikat pihak lain dan dilakukan secara konstan serta seragam. Faktanya, Peru melakukan protes atas tindakan Kolombia tersebut, selain itu praktik pemberian suaka juga tidak seragam di wilayah Amerika Latin. 2. Opinio Jurist Sive Necessitatis: Doktrin ini diartikan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan internasional, selain telah dilakukan secara konstan dan seragam, juga harus dilakukan dengan sadar bahwa hal tersebut merupakan sebuah kewajiban. Doktrin ini dapat dilihat dala praktek pada Kasus Lotus antara Prancis v. Turki, Kasus Paramiliter antara Nikaragua v. Amerika dan Kasus Laut Utara antara Denmark, Belanda v. Jerman Berdasarkan elemen pembentuk kebiasaan intersnasional di atas, tindakan protes sebuah negara menjadi relevan untuk dibahas dalam pembentukan sebuah kebiasaan internasional. Jika tidak ada protes atas tindakan suatu negara maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Karena, tindakan diam dalam hukum internasional dapat dimaknai sebagai tindakan persetujuan secara diam-diam. Dengan demikian, makna protes dalam pembentukan kebiasaan internasional adalah untuk menantang pembentukan kebiasaan internasional, upaya negara untuk tidak terikat atas suatu norma yang sedang berkembang menjadi kebiasaan internasional dan memberikan kesempatan bagi negara untuk menyatakan pendapatnya sendiri atas norma tersebut. (Prosper Weil: 1983) Perjanjian Internasional Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional ada beberapa cara untuk memaknai arti sebuah teks perjanjian internasional. Pasal 31 (1) menyatakan bahwa perjanjian internasional harus diartikan dengan niat baik (good faith), sesuai dengan maksud asli (ordinary meaning) berdasarkan konteks dan dalam kerangka objek serta tujuan perjanjian. Pasal 31 (2) menegaskan selain teks termasuk preamble dan annexs, bahwa konteks yang dimaksud untuk memaknai perjanjian internasional adalah : 1. Segala kesepakatan (agreement) yang dibuat oleh semua peserta perjanjian yang berhubungan penutupan perjanjian 2. Segala instrumen yang dibuat beberapa pihak yang berhubungan dengan penutupan perjanjian namun disetujui oleh pihak lain Pasal 31 (3) menyatakan bersamaan dengan konteks perjanjian, maka ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk menafsirkan perjanjian internasional, yaitu : 1. Segala kesepakatan turunan mengenai penafsiran perjanjian pelaksanaan materi perjanjian 2. Segala tindakan negara (practice) yang merupakan turunan dari pelaksanaan perjanjian yang disepakati oleh semua pihak sebagi penafsiran perjanjian. 3. Segala aturan dalam hukum internasional yang berlaku antara pihak. Poin yang penting untuk diperhatikan adalah Pasal 31 (3) (b). Soalnya adalah bahwa tindakan negara dapat diartikan sebagai tafsir sah atas sebuah perjanjian internasional. Pada titik ini tindakan protes berperan sebagai penolakan atas sebuah tafsir. Dengan adanya protes tersebut, maka tafsir atas sebuah perjanjian internasional dapat ditolak sehingga dapat digunakan metode lain. Kesimpulan Sebuah protes yang dilakuan suatu negara atas tindakan negara lain ternyata memainkan peran penting dalam hukum internasional. Dalam pembahasan di atas dapat dibaca bahwa pengaruh protes dapat berdampak pada pembentukan kebiasaan internasional dan tafsir atas perjanjian internasional. Dengan demikian, makna sebuah protes dalam hukum internasional tidak bisa diartikan sebagai tindakan yang lemah.
Posted on: Wed, 21 Aug 2013 02:56:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015