Penguasaan Agraria dan Politik Kesejahteraan Menetapkan - TopicsExpress



          

Penguasaan Agraria dan Politik Kesejahteraan Menetapkan bentuk-bentuk hak atas tanah yang tepat yang memberikan jaminan hak untuk menghuni pada pengguna tanah, khususnya penduduk asli, perempuan, masyarakat lokal, penduduk kota berpenghasilan rendah, dan kalangan miskin di desa-desa... (ayat7. 30 (f) Lembar Kerja Hak-hak Asasi Manusia PBB (The British Council) Tanah walaupun hanya berasal dari lima hurup, tetapi menepati peranan yang terpenting bagi manusia dimanapun mereka tinggal dan hidup. Karena dari tanah yang dikelola secara arip oleh manusia akan menghasilkan berbagai siklus kehidupan ketentraman dan keselamatan. Sehingga tidak heran dari tanah selain menghasilkan bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan juga menghasilkan bahan untuk menjaga kehidupan dan perkembangan peradaban manusia. Manusia adalah salah satu mahluk yang sering mengelola dan memproduktifitaskan tanah yang berawal untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, mulai maju mengelola lahan untuk kebutuhan masyarakat lainnya, setelah peradaban manusia maju terutama dengan ditemukannya alat tukar barang yang bernama Uang mendorong pengelolaan tanah secara berlebihan, dan fenomena ini didorong setelah dilaluinya masa manusia transisi diantara masa zaman purbakala dengan masa modernisasi yang didorong oleh semangat renaisans pada abad ke 15. Dengan berdirinya pemerintah pertama yang dikenal dengan Orde Lama melahirkan rasa optimis yang tinggi bagi rakyat terutama sikap yang jelas yang dilakukan oleh pemimpin dalam menentang kapitalis dan imperialis melahirkan kepercayaan yang tinggi bagi rakyat yang ditandai dengan kebebasan rakyat dalam merorganisasi sehingga pada tahun 1955 sebagai pemilu yang pertama bagi bangsa Indonesia disambut dengan sikap pluralistik yang ditandai dengan berdirinya bergagai partai yang hendak memperjuangankan hak-hak rakyat. Sikap optimis rakyat tentang ketimpangan kepemilikan tanah akan berakhir mencapai puncak ketika tahun 1960-1965 yang dikenal dengan progran Land reform. Yang dimulainya dengan pembuatan UU yang khusus tentang pertanahan yang dikenal dengan UUPA No. 5 Tahun 1960, dan di bentuknya pengadilan Land reform melalui Undang-undang No. 21 tahun 1964 yang disusun untuk menjawab persoalan yuang berkembang dilapangan akibat program landreforam yang seringkali menimbulkan sejumlah persoalan penetapan tanah yang menjadi objek lanreform dan kemudian ketepatan dalam pembagiannya, karena itu pengadilan Landreforam berwenang mengadili perkara-perkara perdata, pidana dan adminitrasi yang timbul akibat pelaksanaan landreform. Proses pembuatan UUPA No 5 tahun 1960 memerlukan waktu yang panjang karena proses itu dibuat dari mulai tahun 1948 dengan dibentuk panitia agraria guna menyelesaikan persoalan tanah melalui penetapan presiden No. 16 tahun 1948 yang dikenal dengan sebutan Panitia Agraria Jogja (1948) yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo guna menyususn hukum hokum agraria baru pengganti hukum kolonial yang dikenal dengan Agraria Shwet/ UU hak Tanah. Karena beberapa alasan terutama terjadinya agresi militer Belanda ke II yang mengakibatkan perubahan system politik ibu kota pindah ke Jakarta, karena itu panitia Jogja di bubarkan dan diganti dengan membentuk panitia Jakarta (19510 menghasilkan beberapa hal yaitu ; pertama dianggap perlu untuk adanya penetapan batas luas maksimum dan batas luas minimum, kedua , yang dapat memiliki tanah untuk usha kecil hanya petani, ketiga, pengakuan hak rakyat atas kuasa undang-undang. Dan pada tahun 1955, maka diadakan pemilihan umum yang pertama bagi Indonesia hingga melahirkan kabinet baru, dan akhirnya panitia yang dibentuk pada tahun 1951 mengalami perubahan dengan dibentuknya lagi panitia baru yang dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo dengan memperoleh mandat untuk menyusun secara kongkrit RUU Agraria nasional dengan dasar acuan UUDS (1950) pasall 26,37 dan 38 hingga akhirnya berhasil menyususn RUU yang memuat butir asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara, sesuai pasal 38 ayat 3 dari UUDS (50), asas bahwa tanah pertanian dikerjakan dan di usahakan sendiri oleh pemiliknya. Dan pada tahun 1956 dibentuk kerjasama segi tiga antara departemen Agraria, panitia ad hoc DPR dan UGM untuk menyususn naskah baru yang akan dijadikan dasar oleh departemen Agraria untuk menyusun RUU baru, dan pada tanggal 1 Agustus 1960 RUU baru di sampaikan kepada DPR GR yang akhirnya di undangkan pada tanggal 24 September 1960 dalam lembaran negara No. 104 tahun 1960 sebagau UU No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA dan di ikuti oleh peraturan pemerintah UU No. 56 tahun 1960 (yang dikenal dengan UU landreform, dan pada tahun 1960-1965 ditetapkan sebagai pelaksanaan landreform. Pemberontakan PKI, dan keterlibatan militer dalam persoalan perkebunan menjadi awal diantara kegagalan rasa optimis rakyat dalam persoalan tanah, dan kondisi ini diperparah dengan terjadinya kudeta yang dilakukan oleh militer yang akhirnya melakirkan pemerintahan Orde Baru yang melegitimasi diri sebagai penguasa yang melaksanakan UUD 45 dan pancasila secara murni dan konsekwen untuk memperdaya rakyat. Adapun peleksanaan pembaharuan agraria mengalami jalan buntu, dengan opini yang dibangun oleh penguasa Orde baru bahwa UUPA No. 5 tahun 1960 merupakan hasil produksi PKI dan akhirnya UUPA itu di masukan ke dalam peti mati. Dan persoalan penjernihan dan pelurusan sejarah persoalan UUPA, baru bisa dilakukan oleh Orde Baru secara legal formal setelah keluarnya Tap MPR No. IV / 1978 dan pada tahun 1979 membuat pernyataan yang isinya mengukuhkan kembali UUPA 1960 dan kemudian di bebankan kepada mentri dalam negri untuk melaksanakan catur tertib pertanahan yang akhirnya dibentuk suatu panitia nasional agraria yang diketuai oleh Menpen, Dirjen dari berbagai Departemen dan Dirjen Agraria sebagai Sekretaris dan satu-satunya anggota yang non pemerintah adalah KHTI.tetapi ada banyak persoalan ketika pengukuhan kembali UU tersebut dengan tidak pernah mensosialisasikannya kepada rakyat dan rakyat tidak dilibatkan langsung baik dalam kepanitiaan maupun dalam pelaksanaan program tersebuth sehingga birokrasi di tingkat bawah tetap menetapkan bahwa persoalan UUPA melekat dengan persoalan pemberontakan PKI, dan ini yang menjadi pendorong komplik antara rakyat dan negara. Dan kekuatan Orde Baru semakin kuat setelah disosialisasikannya UU No. 5 tahun 1967 tentang kehutanan dan penggunaan peraturan pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa dan UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang mempasilitasi pemerintahan yang bersikap sentralisasi melalui strategi penyeragaman. Menurut Warsito Utomo Implementasi UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok pemerintahan di daerah berorientasi kepada L: pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa; kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan dan Ketiga, bagaimana membangun kekusaan sebagai pemerintahan ousat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Dan tidak mengherankan untuk mencapai tiga hal tersebut, penerapan use of authority menjadi lebih besar, luas dan kuat dari pada freedom for subordinate.Konotasinya dierapkannya security approach dan khusus untuk formulasi dan implementasi pemerintah di daerah dinam[akan istilah atau konsep ; Penguasa Tunggal, sehingga muncul permasalahan dengan dilaksanakannya UU No. 5 tahun 1974, antara lain; Dominasi prinsip dekonsentrasi dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah; Ketimpangan distribusi keuangan pusat dan daerah; Ketiadaan penguasaan pemerintahan di tingkat pimpinan daerah; rekrutmen Gubernur/Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah ditentukan oleh pusat; Penyatuan pungsi kepala daerah dan Kepala Wilayah; Adanya konsep penguasaan tunggal; adanya Struktur pararel pusat di dawerah-daerah; adanya Militerisasi birokrasi sipil di daerah-daerah guna mengontrol pikiran rakyat (Kajian Kritis RUU Pemda dan Implementasinya terhadap pemerintahan yang Demokratis,158-159;2000). Dari uraian di atas nampak dengan kongkrit kedudukan pusat yang tidak ada batasan jelas dalam melakukan kekuasaan yang mengakibatkan elit-elit desa dengan cepat akan menjadi bagian dari elit nasional, sehinga substansi dalam bernegara diantaranya demokrasi dimarjinalkan dengan membentuk lembaga-lembaga korporatif negara seperti LKMD, dibentuknya lembaga politik korporatif yang dikendalikan dari pusat seperti ploating mass atau adanya upaya militerisasi terhadap masyarakat dan birokrasi sipil. Kebijakan pembangunan dengan trilogi pembangunan yang dilakukannya dalam pemerintahan Orde Baru, mendorong terjadinya eksploitasi yang besar terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam baik melalui HPH, HGU, Modal Asing, Industrialisasi dan kebijakan lain yang menjauhkan rakyat beserta tanahnya. Pemarjinalisasian rakyat yang dilakukan oleh kolonial di pertajam oleh Orde Baru melalui HMN, yang melegitimasi penguasa melakukan eksploitasi yang tidak berujung terhadap rakyat dan isi alam dan fenomena ini melahirkan ketimpangan kepemilikan tanah, kemiskinan structural, dan pelanggaran HAM.Hingga nampak fenomena politik dalam ketatanegaraan semasa rezim Orde Baru diantaranya : Terjadinya diskrepansi antara kopentingan negara merdeka, bersatu,berdaulat, adil dan makmur dengan kondisi kongkrit yang dilakukannya pada masyarakat, sehingga lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan, yang terrealisasi berulah konsep negara bersatu adapun negara adil, makmur,merdeka dan berdaulat belum terlaksana. Kedudukan presiden sangat dominan disbanding lembaga legislative dalam proses pembentukan dan perubahan UU Melihat struktur kekuasaan di MPR/DPR terlihat kedaulatan rakyat sulit terwujud, yang terjadi justru pelembagaan kekuasaan seperti tercermin dalam komposisi MPR/DPR Makin merosotnya jaminan negara tentang hak politik, sosial , ekonimi, budaya dan sipil warga negaranya. Prinsip persamaan dihadapan hokum seperti yang diatur pada pasal 27 (1) UU 45 m,asih merupakan mimpi buruk.Dll Otonomi daerah Istilah Reformasi yang menggema tahun 1989 didahului oleh krisis ekonomi yang sistematis dan menyeluruh, bukanlah hal baru bagi para aktivia gerakan sosial, karena isu itu sudah di sosialisasikan dari tahun 1989 dalam melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.Dan akhirnya dengan semangat reformasi mengimplementasikan tentang pentingnya otonomi daerah yang secara formal ditandai dengan di keluarkannya TAP MPR RI No. XV /MPR/1998, UUNo. 22 tahun 1999 dan UU No. 5 tahun 1999 walaupun akhirnya melahirkan semangat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya. Otonomi Daerah yang berarti semangat mengatur rumah tangga sendiri, memiliki keinginan untuk merenopasi dan merekontruksi hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah yang telah dipelihara selama 32 tahun oleh Orde Baru dengan disertai penindasan dan pemarjinalisasian rakyat di segal sektor. Menurut mukadimah UU RI No. 22 tahun 1999 dinyatakan bahwa : dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Dalam bagian Bab I butir h dinyatakan bahwa : Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan megurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal yung dilakukan untuk melakukan penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional yang pada hakekatnya dinyatakan dalam bagian Bab II, dinyatakan bahwa : “Tatanan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistic dan kultur neopeodalisnya mengakibatkan proses partisispasi dan budaya politik dalam system politik nasional tidak berjalan dengan semetinya. (..) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis structural dan sistemik sehingga tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lebaga kenegaraan, politik, dan social secara proposional secara optimal. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dimas allu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketutupan kekuasaan. (..) Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan Otonomi daerah yang luas,nyata, dan bertanggung jawab. (..) Pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralisasi dan neopeodalistik mendorong mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan suber daya manusia di daerah. Akibat terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi “. Dan dalam bagian Bab IV butui B, antaralain dinyatakan bahwa : Pembuatan Undang-undang politik yang sesuai dengan dan mendukung proses demokratisasi”. Sehingga Agenda yang dapat diambil dalam menjalankan semangat reformasi dalam kontek otonomi daerah yaitu: pertama, menegakkan kedaulatan rakyat, kedua pebagian yang jelas antara eksekutif, legislative dan yudikatif, ketiga melanjutkan program rakyat (land reform).Keempat, supremasi hukum, kelima, supremasi sipil, ke enam, kebebasan dalam berorgasinasi, dan memberikan kepada rakyat untuk berpartisifasi dalam pemerintahan langsung maupun tidak langsung, ke tujuh, merubah sitem pemilu besera struktur legislative yang harus mengakomodir perwakilan dari organisasi rakyat. Dalam Pelaksanaan otonomi daerah selain untuk merekontruksi kekuasaan pusat dan daerah juga untuk mengantisifasi dampak dari proses globalisasi yang disebutkan dalam bagian Menimbang butir c. UUPD No. 22/1999 bahwa; “Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik didalam maupun di luar negri, serta tantangan persaingan globalisasi, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang lauas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfatan sumber daya nasional, serta Perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keaneka ragaman Daerah, yang diaksanakan dalam kerangka Negra Kesatuan republik Indonesia”. Selanjutnya, dalam bagian Menimbang butir c menyatakan : “Bahwa Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa (Lembaran negara tahun 1979 Nomor 56; tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang dasar 45 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti “. Menurut Noer fauzi yang dimaksud dengan hak bawaan adalah : Hak atas tanah dan sumber daya alam. Sebelum berinteraksi dengan apa yang sekarang disebut sebagai Negara, pada mulanya komunitas-komunitas di desa telah memiliki suatu tatanan kelembagaan yang mengatur hak-hak penduduk (hak-hak penguasaan maupun hak-hak pemanfataan) aytas tanah dan sumber daya alam yang meyertainya Namum kondisi ini menjadi bergeser membentuk kenyataan sengketa agraria. Dan fenomena sengketa agraria, posisi rakyat senantiasa di tempatkan sebagai penjarah, dan salah karena memasuki “wilayah tanpa alat legitimasi yang sah (izin)”. Dan sehubungan dengan substansi otonomi daerah sudah pasti pengakuan sepihak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang melekat dengan Bab 1 pasal 1 butir o yang menyatakan bahwa : ‘Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaen’. Petani dan Otonomi Daerah Petani dan tanah ibarat gula dan rasa manisnya, yang hidup sebagian besar di daerah pedesaan memiliki harapan pada ketidak pastian terutama selama 32 tahun dimasa Orde Baru yang tanah- tanahnya dipaksa menjadi sistem unit usaha tani contract forming, menerima revolusi hijau, berubah menjadi lapangan golp, lapangan udara, digunakan untuk keperluan penerapan teknologi pertanian seperti perkebunan dan kehutanan, dan berbagai perubahan lainnya yang menjadikan petani menjadi tamu di tanahnya. Fenomena ketimpangan kepemilikan tanah di pedesaan akibat kebijakan pembangunan yang tidak pernah menghargai hak-hak rakyat, dengan di berlakukannya otonomi daerah, maka menjadi bahan yang terpenting bagi para pendamping petani untuk melakukan advokasi dalam pelaksanaan agenda pembaharuan agraria. Dalam melakukan agenda-agenda tersebu gerakan agraria melakukan advokasi partisipasi dengan jalan memberdayakan pemimpin lokal melalui berbagai pendidikan dan pelatihan, aksi komunikasi dan shering of fower. Karena dalam opelaksanaan Otonimi Daerah yang dimaksud dengan kawasan poedesaan yang dinyatakan dalam bagian Bab 1 Pasal 1 butir P, bahwa : Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social, dan kegiatan ekonomi. Atas dasar itu, maka petani memiliki hak untuk mengambil kembali hak mereka yang dibangun dalam program landreform sebagai substansi pelaksanaan otonomi daerah, tanpa diwarnai sikap-sikap diskriminasi dan otoriter dari pihak birokrasi yang tidak melibatkan partisipasi rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung yang biasa dipertahankan oleh rezim Orde Baru. Adapun dalam melakukan advokasi struktur, para gerakan pembaruan memulai dengan melakuan pendalaman otonomi daerah yang bekerjasama dengan instansi daerah dengan melibatkan langsung perwakilan rakyat yang duduk di lembaga legislative yang akhirnya mendorong membentuk panitia yang berfokus langsung dengan isu pembaharuan agraria sebagai tindakan kongkrit yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan dan keanekaragaman Daerah sesuai dengan bagian menimbang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 butir B. Strategi Penataan wewenang desa Penyelesaian persoalan tanah yang dihadapi rakyat sangat krusial dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah, harus dilakukan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam partisipasi optimal rakyat yang menepatkan rakyat menjadi subjek otonomi sehingga setiap kebijakan harus menjadi cermin aspirasi yang mengakui hak-hak asasi manusia. Pembaharuan agraria yang merupakan agenda penting pemerintahan populis (pemerintahan Orde Lama) harus menjadi bagian yang terus berlanjut tanpa ada intervensi kekuasaan otoriter karena persoalan landreforam adalah ruhnya persoalan kaum tani terutama di pedesaan. Menurut Gunawan Wiradi bahwa Pembaharuan agraria merupakan perjuangan yang terus-menerus, berkelanjutan, yang setiap langkahnya kedepan perlu dibentengi terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yang semakin meluas dari TNC.. Pembaharuan agraria ;by-leverage” bukan merupakan program hitam-putih yang dapat direlisir dalam satu malam. Ia merupakan proses yang merupakan waktu. Sebab sebagai mana, pembaharuan agraria. Seperti juga pembaharuan –pembaharuan lainnya tetap memerlukan kekuasaan. Namun, agar rakyat tidak”terhianati”, maka pemberdayaan politik dari bawah perlu dikembangkan… Posisi tawar yang kuat dari rakyat akan dapat mendesakan aspirasinya intik dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pembaharuan. Kekuatan ekonomi yang morat marit hanya bisa di bangun dengan di aktualisasikannya program land reform menurut Setiawan dalam Bachriadi (ED), 1999)yang di kutif oleh Noer Fauzi (Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia 1999: 270-271) Tanpa agrarian reform, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakanga. Akibat dari dilaksanakannya atau tidaknya agrarian reform, adalah sebagai berikut. Pertama, agraria reform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya redistribusi tanah,maka tidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar. Tanpa kekuatan pasar, produksi tidak ada kekuatan pasar. Tanpa kekuatan pasar, produksi tidak akan berkembang. Agrarian reform dalai sebuah instrumen bagi penciptaan pasar domestik, suatu prasyarat dari setiap system ekonomi nasional. Kedua, petani tanpa asset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak mampu menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan oleh setiap pemerintah guna mendanai pembangunan pertanian maupun pengembangan sector-sektor lain. Ketiga, tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim. Keempat, tanpa agrarian reform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja dipedesaan yang tumbuh dari kebutuhan pedesaan itu sendiri. Diferensiasi yang terjadi tanpa agrarian reform bersifat terbatas, menimbulkan jurang keras yang tajam, dan eksploitatif. Kelima, tanpa agrarian reform tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi, karena lama –kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. Akibatnya sektor industri kecil, industri rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasi uang melemah, dan hanya bisa bergantung dari intervensi modal dari kota. Akibat parahnya dalai desa menjadi sumber pemerasan kota, karena desa tunduk pada kepentingan kota. Desa menjadi sumber yang dipakai untuk mensubsidi ekonomi kota, sementara desa menjadi terbelakang. Dan keenam, tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh kaum taninya, melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif. Tanah dijadikan objek komoditi dan dijadikan dasar bagi akumulasi primitif modal awal dengan mekanisme lang grabbing (pengambilan tanah secara brutal), yang kemudian dijual kembali atau dimasukan ke mekanisme pasar tanah. Senua gagal tersebut dalai yang sekarang terjadi di Indonesia, karena pemerintahan Orde Baru menolak melakukan agrarian reform. Dengan demikian distribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap system ekonomi modern. Tanpa redistribusi tanah, ekonomi modern yang dihasilkan bersifat cacat, pincang dan tidak bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Konplik kelas-kelas social akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Tidak akan ada tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi, demikian pula tidak ada tabungan masyarakat, karena mayoritas penduduk desa hidup dalam subsistensi dan hanya sanggup membelanjakan sebatas kebutuhan hidup yang paling primer. Ditambah lagi oleh kenyataan, bahwa tanpa agrarian reform juga tidak akan ada demokrasi ditingkat desa. Demokrasi ekonomi menghasilkan demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat, akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian. Agrarian reform dengan sendirinya akan menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat. Berkembangnya diferensiasi ini akan menghasilkan berbagai profesi dan pekerjaan ; yang selanjutnya menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. Dengan sendirinya ini menciptakan aspirasi peyaluran politik. Politik adalah cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pegelompokan masyarakat yang pluralistuik. Pada akhirnya akan tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik. Dalam pelaksaan landreform dalam kontek otonomi daerah, tidak diperkenankan lagi intervensi dari pusat mengenai mekanis dan proses adminitrasi, karena posisi daerah memiliki hak partisipatif dengan melibatkan langsung kaum petani mejadi subjek pelaksanaan dari persoalan yang dihadapinnya, adapun untuk memudahkan penataannya, diperlukan peraturan desa yang lahir dari aspirasi rakyat lokal tentang isi materi yang diperlukan dalam aturan tersebut, yang di pasilitasi oleh parlemen desa yang anggotanya terdiri dari orang yang mendapat legitimasi dari rakyat, karena dengan semakin besarnya intervensi kekuasaan di daerah regional maupun nasional dalam persoalan landreform, maka akan semakin jauh dari substansi pelaksanaan landreform yang hendak memperkuat posisi basis ekonomi rakyat yang utuh, dan setelah pelaksanaan persoalan itu terlaksana, maka pihak pemerintahan harus mengeluarkan peraturan penolakan terhadap penggunaan pupuk yang tidak ramah lingkungan, dan mengembalikan penggunaan pupuk yang menjaga ekosistem kehidupan, disamping itu pihak pemerintah harus membuat laboratorium rakyat di tiap lokasi tanah pertanian selain untuk mengembalikan struktur tanah yang asli, juga untuk melakukan sosialisasi penggunaan dan penemuan pupuk alamiah. Disamping di bentuknya UU perlindungan tata niaga peratanian yang jelas berdasar aspirasi rakyat yang diajukan melalui parlemen desa yang dibentuk oleh UU No. 64 tahun 1999 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa yang dikenal dengan BPD. Karena badan tersebut selain memiliki tugas sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat, juga harus menjadi sarana yang mampu memberikan panduan untuk melakukan pengolahan perubahan daerah baik yang berhubungan dengan tata kuasa sumber-sumber agraria, tata guna sumber agraria, tata produksi dan tata kosumsi guna membangun keselamatan dan kesejahteraan rakyat, kelangsungan pelayanan alam dan peningkatan produktivitas rakyat. Sehingga dengan demikian posisi daerah sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 18 yang secara lengkap menyatakan bahwa ; “ pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negara, dan hak-hak usul dalam daerah bersifat istimewa. Keterlibatan Birokrasi pusat dalam intervensi pelaksanaan Landreform bertentangan denganUndang-undang 22 tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 butir Q yang menyatakan bahwa : Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social, dan kegiatan ekonomi. Dalam Bab 1 Pasal 1 butir H, menyatakan bahwa : Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun bidang yang diatur dalam kewenangannya diantaranya pertanian, lingkungan hidup, pertanahan, dan lain-lain yang dinyatakan dalam Bab IV Pasal 11 butir 2 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan isu pertanahan : - Berikan pemahaman yang baik dan benar tentang repormal agraria ke berbagai lapisan dan kelompok serta tujuan dan mekanismenya - Dorong kemaun politis yang kuat dari para elit penguasa daerah sampai pusat - Dorong dan bangun semakin kuat partisifasi aktif organisasi rakyat - Inventarisasi dan identipikasi semua persoalan yang akan menghambat pelaksanaan repormal agraria - Lakukan pemetaan ulang tentang struktur kepemilikan tanah, tata guna tanah, tata sumber agraria, tata produksi untuk mendapatkan gambaran yang pasti tentang substansi tanah di lokasi - Bangun program repormal agraria menjadi gerakan sosial yaitu suatu upaya atau usaha yang dilakukan secar kolektif untuk melakukan perubahan keadaan pemarjinalisasian yang terjadi di masyarakat. - Mempersiapkan desa menjadi subjek dari pelaksanaan landreform - Siapkan materi yang diperlukan dalam pendidikan politik bagi warga dan pendidikan parlemen desa Adapun struktur agraria yang diperlukan yaitu ; - Adil dan Merata - Dapat memberikan tarap hidup layak bagi rakyat pedesaan - menunjang rencana ekonomi populis
Posted on: Sun, 15 Sep 2013 15:05:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015