Penjelasan Keberlawanan Demokrasi Dengan Islam Diambil Dari - TopicsExpress



          

Penjelasan Keberlawanan Demokrasi Dengan Islam Diambil Dari Kitab Al Hashaad Al Murr Pada Pasal Kedua Dari Tamhid. Syaikh Aiman Adh Dhawahiry Hafidhahullah Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy Ketahuilah sesungguhnya Demokrasi yang mana ia itu bermakna Hukum/Kedaulatan Rakyat adalah dien jadid (agama baru) yang berdiri di atas Pentuhanan manusia dengan cara memberikan kepada mereka hak tasyrii’ (pembuatan hukum/undang-undang) tanpa mereka terikat dalam pembuatan hukumnya itu dengan kekuasaan apapun. Oleh sebab itu Al Ustadz Abul A’la Al Maududiy rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Demokrasi itu adalah (Pentuhanan manusia… dan ia itu adalah kekuasaan hukum mayoritas).”[1] Ini artinya bahwa Demokrasi itu adalah dien (agama) baru buatan yang mana hak tasyrii’ (pembuatan hukum) di dalamnya adalah milik manusia, padahal di dalam Islam sesungguhnya hak tasyrii’ itu adalah hanya milik Allah Ta’ala Yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sehingga orang-orang yang membuat hukum (undang-undang) di dalam Demokrasi, mereka itu adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang diibadati selain Allah, di mana mereka itu diibadati oleh setiap orang yang mentaati mereka di dalam hukum yang mereka buat itu. Allah Ta’ala berfirman: أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ “Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan (selain Allah) yang menetapkan bagi mereka dari dien itu apa yang tidak Allah izinkan.” (Asy Syura: 21). Sedangkan di antara salah satu makna dien adalah kekuasaan dan hukum (undang-undang), sebagaimana firman Allah Ta’ala: مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ “Tidak mungkin ia (Yusuf) itu menghukumi saudaranya dengan undang-undang raja.” (Yusuf: 76).[2] Jadi orang-orang yang membuat undang-undang bagi manusia di dalam Demokrasi itu adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang diibadati selain Allah, dan merekalah Arbab (tuhan-tuhan) yang disebutkan di dalam firman-Nya Ta’ala: وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ “Dan kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” (Ali ‘Imran: 64). At Tirmidziy rahimahullah dan yang lainnya telah meriwayatkan, dan At Tirmidziy menghasankannya, dari ‘Adiy Ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu, berkata: (أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وفي عنقي صليب من ذهب، فقال: “يا عدي اطرح عنك هذا الوثن”. وسمعته يقرأ في سورة براءة ﴿اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله﴾. قال: “أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئا استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئا حرموه”) (Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan di leherku ada kalung salib yang terbuat dari emas, maka beliau berkata: “Hai ‘Adiy buang berhala ini darimu,” dan saya mendengarnya membaca pada surat Bara-ah: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (At Taubah: 31), beliau berkata: “Ingatlah sesungguhnya mereka itu tidaklah mengibadati alim ulama dan para pendeta itu, akan tetapi mereka itu dahulu bila alim ulama dan para pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka maka menghalalkannya dan bila mengharamkan sesuatu atas mereka maka mereka mengharamkannya.”)[3] Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada ‘Adiy radliyallahu ‘anhu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memvonis orang-orang Nasrani sebagai kaum musyrikin, bukan dikarenakan mereka itu memanjatkan ritual peribadatan-peribadatan kepada para ulama mereka itu, akan tetapi dikarenakan orang-orang Nasrani itu mengikuti alim ulama mereka di dalam menghalalkan yang haram dan di dalam mengharamkan yang halal yang telah jelas di dalam Kitabullah. Dan ‘Adiy Ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu sendiri telah mengira bahwa ibadah itu terbatas pada pemanjatan syi’ar-syi’ar peribadatan semacam shalat, shaum dan yang semisalnya, akan tetapi tatkala orang-orang Nasrani itu tidak memanjatkan shalat dan shaum kepada alim ulama dan para pendeta mereka, maka ia mengira bahwa mereka itu tidak menjadikan alim ulama dan pendeta itu sebagai arbab (tuhan-tuhan), namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melenyapkan kesamaran ini, dan beliau jelaskan kepadanya bahwa mereka dengan ketaatannya kepada alim ulama dan pendeta di dalam penghalalan dan pengharaman yang menyelesihi syari’at itu berarti mereka telah menjadikan alim ulama dan pendeta tersebut sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan tafsiran ini telah diriwayatkan juga dari Hudzaifah Ibnul Yaman dan Abdullah Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhum: Ath Thabariy rahimahullah telah berkata: “Dari Abul Bukhturiy berkata, dikatakan kepada Hudzaifah: Kabarkan kepadaku tentang firman Allah “mereka menjadikan alim ulama..”? Ia berkata: Ingatlah sesungguhnya mereka itu tidak shaum dan shalat kepada mereka, akan tetapi mereka itu bila alim ulama dan para pendeta menghalalkan sesuatu bagi mereka maka mereka menganggapnya halal, dan bila mereka mengharamkan atas mereka suatu yang telah Allah halalkan bagi mereka maka mereka mengharamkannya, maka itulah pentuhanan mereka…….. Dari Assuddiy (Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah) (At Taubah: 31) Abdullah Ibnu ‘Abbas berkata: Mereka tidak memerintahkan orang-orang Nasrani untuk sujud kepada mereka, akan tetapi memerintahkan mereka untuk maksiat kepada Allah terus mereka mentaatinya, maka Allah menamakan mereka sebagai arbab dengan sebab hal itu.”[4] Pemahaman ini telah disepakati oleh Assalaf Ashshalih dan para imam Islam, dan di sini kami akan menukil sebagian ucapan mereka rahimahumullah. Ath Thabariy rahimahullah berkata:” (tuhan-tuhan selain Allah) yaitu pemimpin-pemimpin mereka selain Allah, yang mereka taati dalam kemaksiatan kepada Allah, di mana mereka menghalalkan apa yang mereka halalkannya bagi mereka dari apa yang telah Allah haramkan terhadap mereka, dan mereka mengharamkan apa yang mereka haramkannya terhadap mereka dari apa yang telah Allah halalkan bagi mereka.”[5] Al Qurthubiy rahimahullah berkata: “Firman Allah Ta’ala (“Dan kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” (Ali ‘Imran: 64)) yaitu kami tidak mengikutinya di dalam penghalalan kecuali di dalam apa yang telah Allah Ta’ala halalkan, dan ia itu semakna dengan firman-Nya Ta’ala “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah “ (At Taubah: 31) maknanya: bahwa mereka itu memposisikan para alim ulama dan pendeta mereka itu pada posisi Rab (tuhan) mereka dalam menerima pengharaman mereka dan penghalalan mereka pada apa yang tidak Allah haramkan dan tidak Allah halalkan.”[6] Abu Bakar Al Jashshash rahimahullah berkata: “Dan sebab Allah Ta’ala menyebut bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan pendeta itu sebagai arbab, adalah dikarenakan mereka itu telah memposisiskan mereka pada posisi Rabb dan Pencipta mereka di dalam menerima pengharaman dan penghalalan mereka pada yang tidak Allah haramkan dan tidak Allah halalkan, sedangkan tidak satupun yang berhak ditaati dengan ketaatan semacam itu kecuali Allah Ta’ala, Yang mana Dia adalah Pencipta mereka, dan semua mukallaf itu berstatus sama dalam keharusan beribadah kepada Allah dan dalam mengikuti perintah-Nya serta dalam pengarahan ibadah kepada-Nya tidak kepada selain-Nya.”[7] Ibnu Hazm rahimahullah berkata tentang firman-Nya Ta’ala “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (At Taubah: 31): “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani mengharamkan apa yang diharamkan oleh alim ulama dan para pendeta mereka dan menghalalkan apa yang mereka halalkan, maka ini adalah benar-benar pentuhanan dan peribadatan yang mereka anut, dan Allah Ta’ala telah menamakan tindakan ini sebagai sikap mempertuhankan tuhan-tuhan selain Allah dan sebagai peribadatan, dan inilah penyekutuan Allah tanpa ada perselisihan.”[8] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata setelah menuturkan hadits ‘Adiy Ibnu Hatim yang lalu: “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa peribadatan mereka kepada alim ulama dan pendeta itu adalah terjadi di dalam penghalalan hal yang haram dan pengharaman hal yang halal, bukan bahwa mereka itu shalat kepada mereka, shaum kepada mereka dan memanjatkan doa kepada mereka selain Allah, maka ini adalah peribadatan orang-orang itu, dan Allah Allah telah menyebutkan bahwa itu adalah syirik dengan firman-Nya “Tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At Taubah: 31).[9] Ibnu Katsir rahumahullah berkata: “Dan firman-Nya Ta’ala “Dan bila kalian mematuhi mereka, maka sesungguhnya kalian benar-benar musyrik,” (Al An’am: 121) yaitu dikarenakan kalian berpaling dari perintah Allah kepada kalian dan dari syari’at-Nya kepada ucapan selain-Nya, di mana kalian mengedepankan hal itu, maka inilah syirik, seperti firman-Nya Ta’ala “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (At Taubah: 31). Dan At Tirmidziy telah meriwayatkan 3095 dalam tafsiran ayat ini dari ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa ia berkata: Wahai Rasulullah mereka itu tidak mengibadati alim ulama dan pendeta,” maka beliau berkata: “Ya (mereka itu mengibadatinya), sesungguhnya mereka itu menghalalkan hal yang haram bagi mereka dan mengharamkan atas mereka hal yang halal, terus mereka mengikutinya, maka itulah peribadatan mereka kepada alim ulama dan pendeta itu.”[10] Asy Syaukaniy rahimahullah berkata: “Dan makna ayat itu adalah bahwa mereka tatkala mentaati alim ulama dan pendeta di dalam apa yang mereka perintahkan dan di dalam apa yang mereka larang, maka mereka itu sama posisinya dengan orang-orang yang menjadikan mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi diri mereka, dikarenakan mereka itu mentaati mereka sebagaimana arbab itu ditaati.”[11] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata seraya membuat bab di atas hadits ‘Adiy tersebut: “Barangsiapa mentaati para ulama dan umara di dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau (di dalam) penghalalan apa yang telah Allah haramkan, maka dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan).”[12] Dan kami akan menukil dengan ringkas apa yang dikatakan Al Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah pada firman Allah Ta’ala “Dan kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” (Ali ‘Imran: 64): “Sesungguhnya alam ini secara keseluruhan tidak akan tegak urusannya dan tidak akan lurus keadaannya, kecuali bila hanya ada satu ilah saja di sana, yang mengurusi urusannya “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa,” (Al Anbiya: 22)… sedangkan sifat khusus Uluhiyyah yang paling nampak dengan dibandingkan kepada manusia: adalah memperhamba manusia, membuat hukum bagi manusia di dalam kehidupan mereka dan menegakkan timbangan-timbangan bagi mereka, sehingga barangsiapa mengklaim sesuatu dari hal itu bagi dirinya maka dia telah mengklaim bagi dirinya sifat khusus Uluhiyyah yang paling nampak, dan dia telah menempatkan dirinya sebagai tuhan selain Allah bagi manusia. Dan kerusakan di muka bumi tidak terjadi seperti terjadinya kerusakan itu di saat tuhan-tuhan itu berbilang, di saat manusia memperhamba manusia lain, di saat seorang hamba mengklaim bahwa dia memiliki hak untuk ditaati dengan sendirinya oleh manusia, dan bahwa dia memiliki hak pembuatan hukum di tengah mereka dengan sendirinya, serta bahwa dia memiliki hak penegakkan nilai-nilai kehidupan dan timbangan-timbangan dengan sendirinya, maka ini adalah klaim uluhiyyah (ketuhanan), walaupun dia tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan Fir’aun: “Akulah tuhan kalian tertinggi,” (An Nazi’at: 24). Pengakuan terhadapnya adalah syirik terhadap Allah dan kafir terhadap-Nya… dan ia-lah kerusakan yang paling buruk di muka bumi -sampai ucapannya- Allah Ta’ala berfirman: قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (٦٤) “Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Ali ‘Imran: 64). Sampai ucapannya: “Sesungguhnya ia adalah ajakan untuk ibadah kepada Allah saja lagi tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, baik itu manusia maupun batu, dan ajakan untuk tidak menjadikan sesama kita sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, baik nabi maupun rasul, maka seluruhnya adalah hamba Allah, Dia memilih mereka hanyalah untuk menyampaikan (risalah) dari-Nya, bukan untuk menyertai-Nya di dalam Uluhiyyah dan Rububiyyah,”kemudian bila mereka berpaling, maka katakanlah: Saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” Sampai ucapannya: “Perbandingan antara kaum muslimin dengan orang-orang yang menjadikan sesama mereka sebagai arbab selain Allah ini adalah memberikan pengukuhan dengan jelas lagi tuntas siapa sebenarnya orang-orang muslim itu. Orang-orang muslim ADALAH orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah saja, melakukan penghambaan diri hanya kepada Allah saja dan tidak menjadikan sesama mereka sebagai arbab selain Allah. Inilah di antara keistimewaan mereka dari agama-agama dan ajaran-ajaran lain, dan manhaj kehidupan mereka berbeda dari manhaj-manhaj kehidupan manusia seluruhnya. BILA keistimewaan ini terealisasi maka mereka itu kaum muslimin, dan bila TIDAK terealisasi maka mereka sama sekali bukan orang Islam walaupun mereka mengklaim bahwa mereka itu orang-orang muslim.” Sampai ucapannya: “Sesungguhnya manusia di dalam semua sistem bumi satu sama lain saling menjadikan sebagian yang lainnya sebagai arbab selain Allah… ini terjadi pada Sistem Demokrasi tertinggi sebagaimana ia terjadi pada Sistem Diktator terburuk secara sama… sesungguhnya ciri khusus paling pertama Rububiyyah adalah hak memperhamba manusia, hak membuat sistem, falsafah, hukum, undang-undang, norma-norma dan timbangan-timbangan… Sedangkan hak ini di semua sistem bumi adalah diklaim oleh sebagian manusia -pada suatu gambarannya- dan urusan di dalamnya dikembalikan kepada sekelompok orang pada semua sistem. Dan sekelompok orang yang menundukkan pihak lain kepada hukum-hukumnya, norma-normanya, timbangan-timbangannya serta gagasan-gagasannya ini mereka itu adalah arbab buatan bumi yang dijadikan oleh sebagian manusia sebagai arbab selain Allah, dan mereka mempersilahkan kepadanya untuk mengklaim Uluhiyyah dan Rububiyyah, sehingga dengan itu berarti mereka mengibadatinya selain Allah, walaupun mereka tidak sujud dan tidak ruku’, karena ‘ubudiyyah (penghambaan diri) itu adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah.” Sampai ucapannya: “Dan Islam -dengan makna ini- adalah dien yang sebenanrnya di sisi Allah… dan ia adalah yang dibawa oleh setiap rasul dari sisi Allah, di mana Allah telah mengutus semua rasul dengan membawa dien ini untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada hamba menuju peribadatan kepada Allah, dan dari kedzaliman hamba menuju keadilan Allah, dan barangsiapa berpaling darinya maka dia bukan orang muslim dengan kesaksian Allah, apapun takwil yang dilakukan oleh orang-orang yang mentakwil dan apapun penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan penyesatan… Sesungguhnya dien yang diridloi di sisi Allah hanyalah Al Islam.”[13] Sebagaimana yang engkau lihat wahai saudaraku, sesungguhnya Demokrasi itu berdiri di atas prinsif (Kedaulatan hukum manusia) dan penolakan Kedaulatan Total Hukum Allah bagi manusia, dan berdiri di atas prinsif bahwa (keinginan manusia) pada semua bentuknya adalah tuhan yang mengendalikan hukum, dan berdiri di atas penolakan syari’at Allah menjadi undang-undang yang berkuasa, Allah Ta’ala berfirman: ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (١٨) “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jatsiyah: 18). Kesimpulan Sisi Kekafiran Demokrasi: 1. Demokrasi memberikan hak tasyri’ (pembuatan hukum) kepada manusia, sebagaimana di dalam ayat ke 86 UUD Mesir: (Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan membuat undang-undang), dan tatkala tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah hak khusus milik Allah Ta’ala “Hak menetapkan hukum hanya milik Allah” (Yusuf: 40), jadi Demokrasi itu adalah menetapkan alihah, arbab dan syuraka (sekutu-sekutu) di samping Allah Ta’alan Allah Ta’ala berfirman: أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21). Dan berfirman: اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (At Taubah: 31). 2. Sesungguhnya pengakuan terhadap demokrasi itu adalah pengakuan pemberian hak tasyri’ (pembuatan hukum) kepada selain Allah Ta’ala, sebagaimana itu adalah konsekuensi Demokrasi, dan barangsiapa mengakui hal ini maka dia kafir, dikarenakan dia itu mengangkat alihah (tuhan-tuhan) selain Allah, karena tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah hak murni khusus milik Allah Ta’ala, sehingga barangsiapa menetapkan suatu hukum bagi manusia maka dia itu telah memposisikan dirinya sebagai ilah (tuhan) bagi mereka, dan barangsiapa mengakui hal ini baginya maka dia telah menjadikannya sebagai ilah (tuhan) “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (At Taubah: 31), sebagaimana bahwa orang yang mengakui hak tasyri’ (pembuatan hukum) itu bagi seseorang, maka dia itu telah menjadikan tandingan, sekutu dan sejawat bagi Allah di dalam kekuasaan tasyri’, sedangkan barangsiapa yang menjadikan tandingan dan sekutu bagi Allah maka dia itu telah kafir. 3. Tatkala Demokrasi itu berdiri di atas prinsif kedaulatan rakyat, dan tatkala siyadah (kedaulatan) itu adalah kekuasaan yang tertinggi yang tidak ada yang lebih tinggi darinya, maka ia adalah rujukan pemutus di dalam setiap urusan dan setiap permasalahan, serta kepada kekuasaan inilah segala pertentangan dan pertikaian diselesaikan dan dituntaskan. Oleh sebab itu SETIAP orang yang mengakui hal ini maka dia KAFIR, dikarenakan penyelesaian pertikaian dan penuntasan perselisihan itu adalah hak murni khusus milik Allah Ta’ala dengan merujuk kepada hukum Al Kitab dan As Sunnah, dan barangsiapa mengingkari hal ini dan mengakui hak ini bagi selain Allah Ta’ala -yaitu dia mengakui Kedaulatan Rakyat- maka dia kafir dikarenakan pengingkarannya terhadap firman Allah Ta’ala: فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ “kemudian bila kalian berselisih tentang apa saja, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul bila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” (An Nisa: 59), Dan firman-Nya Ta’ala: وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ “Dan apa saja yang kalian perselisihkan, maka putusannya diserahkan kepada Allah,” (Asy Syura: 10), Jadi kedaulatan itu -yaitu kekuasaan tertinggi- di dalam Islam adalah bagi syari’at Allah bukan bagi umat dan bukan pula bagi rakyat. 4. Tatkala Demokrasi itu berdiri di atas prinsif Kedaulatan Rakyat, dan tatkala Kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada yang lebih tinggi darinya, maka sesungguhnya ini bermakna bahwa kekuasaan rakyat itu lebih tinggi dari kekuasaan Allah Ta’ala dan bahwa kekuasaan rakyat itu didahulukan terhadap putusan Allah Ta’ala di saat terjadi ta’arudl (kontradiksi). Sebagaimana ini juga bermakna bahwa syari’at Allah Ta’ala tidak mungkin diterapkan selagi tidak disetujui oleh rakyat, dan ini berarti bahwa kalimat rakyat lebih tinggi dari Kalimat Allah Ta’ala, oleh sebab itu engkau bisa mendapatkan pemerintah-pemerintah itu melakukan jajak pendapat rakyat dalam hal penerapan syari’at, karena ini memang merupakan konsekuensi prinsif Kedaulatan Rakyat, sedangkan semua ini tergolong kufur akbar yang nyata, dan kekafiran (akbar) yang paling minimal di dalamnya adalah si penguasa atau rakyat berpandangan bahwa mereka boleh pilih-pilih di dalam berhukum dengan syari’at Allah, padahal Pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah telah berkata: “Sesungguhnya dia bila meyakini bahwa Al hukmu bimaa anzalallaah itu tidak wajib dan bahwa dia diberikan pilihan di dalamnya atau dia menyepelekannya padahal dia meyakini bahwa itu hukum Allah, maka ini kufur akbar.”][14] Sedangkan Allah Ta’ala berfirman: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al Ahzab: 36). Wa Ba’du: Sesungguhnya, Islam itu tidak membutuhkan semua sistem-sitem kafir ini, Allah Ta’ala berfirman: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3). Dan barangsiapa meragukan kesempurnaan Islam dan kecukupannya dari sistem-sistem orang kafir, maka dia itu kafir yang mendustakan ayat yang lalu, sedangkan Islam itu tidak menerima pencampuran dengan selainnya, Allah Ta’ala berfirman: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦) “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al Kafirun: 1-6). Ini adalah pemisahan total dan keberlepasan diri yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (٢) أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az Zumar: 2-3). Al Khalish adalah suatu yang terbebas dari pencampuran. Inilah Demokrasi dan kekafirannya wahai saudaraku, sedangkan para anggota DPR itu wahai saudaraku adalah ARBAB (tuhan-tuhan) selain Allah Ta’ala, dan orang-orang yang memilih mereka pada hakikatnya adalah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah Ta’ala dan mengangkat mereka sebagai thaghut-thaghut yang diibadati selain Allah. Dan ini adalah cukup dalam pengharaman pencalonan diri di dalam Dewan-Dewan Perwakilan di dalam sistem Demokrasi dan pengharaman ikut serta di dalam pemilihan para anggota Dewan Perwakilan ini. Dan bila UUD mereka menegaskan bahwa Negara (Mesir) itu bersistemkan Demokrasi dan bahwa agama resminya adalah Islam, maka sesungguhnya hal ini tidak merubah sedikitpun dari kekafiran mereka, dan ia itu seperti orang yang mengatakan Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadati) kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah serta bahwa Musailamah itu utusan Allah, maka apakah seseorang meragukan kekafiran orang ini? Allah Ta’ala berfirman: وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (١٠٦) “Dan mayoritas mereka itu tidaklah beriman melainkan mereka itu menyekutukan.” (Yusuf: 106). Dan orang yang mengatakan tentang dirinya bahwa dia itu muslim Demokrat atau orang muslim yang menyuarakan Demokrasi, maka dia itu sama seperti orang yang mengatakan tentang dirinya bahwa dia itu muslim Yahudi atau muslim Nasrani, sama saja tidak ada bedanya. (Selesai). LP KK-NK, 1 Muharram 1435. [1] (Al Islam Wal Madaniyyah Al Haditsah milik Al Maududiy hal: 33) [2] (Tafsir Al Qurthubiy, surat Yusuf: 76, juz 9 hal: 238). [3] (Sunan At Tirmidziy juz 5 hal 27, dan rujuk juga: Sunan Sa’Id Ibnu Manshur juz 5 hal 245, Sunan Al Baihaqiy Al Kubra juz 10 hal 116, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 7 hal 156, Al Mu’jam Al Kabir milik Ath Thabraniy juz 17 hal 92, Syu’aibul Iman juz 7 hal 45, dan Fathul Qadir juz 2 hal 355). [4] (Tafsir Ath Thabariy juz 10 hal 114-115, dan rujuk juga Fathul Qadir juz 2 hal 355 dan Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal 350). [5] (Tafsir Ath Thabariy juz 10 hal 114-115). [6] (Tafsir Al Qurthubiy juz 4 hal 106). [7] (Ahkamul Qur’an milik Al Jashshash juz 2 hal 297). [8] (Al Fashl juz 3 hal: 66). [9] (Al Fatawa juz 7 hal: 67) [10] (Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal 172). [11] (Fathul Qadir juz 2 hal 353). [12] (Hasyiyah Kitab At Tauhid hal 146). [13] (Fi Dhilalil Qur’an juz 1 hal 406-407). [14] (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah hal 323).
Posted on: Thu, 07 Nov 2013 01:01:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015