Perang Akidah-Pemikiran, - TopicsExpress



          

Perang Akidah-Pemikiran, Orientalisme-Misionarisme-Kapitalisme-Pemurtadan dan Akidah Islam Bagian I Al Quran Surat Al Baqarah ayat 120 (2:120): Orang-orang Yahudi dan Nasrani TIDAK akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama (termasuk cara hidup) mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah TIDAK lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Al Quran Surat Aali Imraan ayat 186 (3:186): Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. Al Quran Surat Al An’aam ayat 116 (6:116): Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka Bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) ”Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) tingkah-laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka.” (HR. Abu Dawud) Al Quran Surat Al Anfaal ayat 73 (8:73): Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimiin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka Bumi dan kerusakan yang besar. Al Quran Surat Yunus ayat 99-100 (10:99-100): Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan ijin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Al Quran Surat An Nisaa ayat 170 (4:170): Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rosul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Perang Akidah (Ghozwul Aqidah) mencakup Perang Pemikiran (Ghozwul Fikri) serta Pemikiran para Ahli DR. Qasim Assamurai menulis dalam bukunya, “Bukti-bukti Kebohongan Orientalis” bahwa: ”Sejarah Kristenisasi berhubungan erat dengan sejarah Orientalisme (ilmu Barat yang mempelajari Timur untuk berbagai kepentingan), serta tidak terpisah dari sejarah penjajahan politik, pemikiran, dan akhlak. Semua hal itu merupakan akibat alami dari jajahan Gereja Barat yang memandang ajarannya sebagai yang paling luhur, paling benar, dan paling dipercaya daripada ajaran gereja Timur Othodoks serta yang sealiran dengannya yaitu ajaran Gereja Kopti, Arius, Maronit, Ya’kubi, Malaki, dan Islam.” Ia melanjutkan, ”Rintangan terberat yang dihadapi Perancis (Napoleon) saat menduduki Mesir adalah hadangan tiga perang melawan Inggris, KeKholifahan Usmaniyah (Ottoman), dan yang tersulit adalah peperangan melawan Islam.” DR. Edward Said juga mengemukakan dalam bukunya ”Al Istisyraq” bahwa: ”Peranan Orientalisme terletak pada keahlian khusus Orientalis (orang Barat yang mempelajari Timur untuk berbagai kepentingan) dalam menggunakannya untuk kepentingan penjajah.” Di Indonesia, Orientalis Belanda Christian Snouck Hurgronje, adalah contoh paling jelas dari hubungan erat itu, pada masa Modern. Menyaru sebagai muslim, menyusup ke Aceh, Hurgronje bekerja dalam spionase, Misi Kristen, dan penjajahan Belanda. Ia sukses menghancurkan dari dalam kekuatan muslim di Perang Aceh melawan Belanda. Dan hingga kini pandangannya tetap mewarnai sudut pandang dominan dari studi Orientalisme Belanda. Kerajaan Belanda sendiri, adalah salah satu pusat Orientalisme terbesar di dunia, dengan dukungan Universitas-universitasnya, seiring pula dengan kepentingan Imperialisme dan Kolonialismenya. Kemudian Joseph Ernest Renan, seorang Orientalis dalam bukunya yang berjudul “Histoire General et Systeme Compare des Langues Semitiques atau Tarikh al-Lugat as-Samiah”, mengemukakan pula pendapat tentang Teori Rasial darinya bahwa, ”Ras Semit (Arabia, Yahudi) berada di bawah ras Aria (Kulit putih atau Barat) serta kurang memiliki kemampuan berpikir dibandingkan ras Aria. Ciri intelektualitas Aria terletak kepada kecenderungan nalurinya pada kerumitan dan keharmonisan susunan.” Teori Rasial Renan ternyata telah menjadi bagian pemikiran ilmiah barat dalam menanggulangi setiap masalah yang berhubungan dengan agama dan pemikiran serta berbagai pengetauan yang dihasilkan, dan juga mengilhami berbagai Orientalis dan para penginjil Kristenisasi. Maka, fanatisme kebangsaan dan kebanggaan rasial Eropa di masa itu (terutama di masa Modern), serta amat meluasnya ekspansi Eropa dalam memperbudak bangsa-bangsa kulit berwarna, telah menciptkan semacam kecongkakan dan rasa diri lebih unggul terhadap bangsa kulit berwarna. Bangsa barat, sehubungan dengan ini juga menurut DR. Fokke Sirksma, memiliki perasaan superioritas pada apa yang mereka miliki, baik benar ataupun salah sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam buku berjudul ”Religieuze Projectie” (“Pantulan Agama”). Ini, sejalan harmonis dengan pendapat Ernest Renan. Masalah ini juga disinggung oleh William Montgomery Watt dalam bukunya “Muslim-Christian Encounter”. Dia menulis, “Para misionaris, sebagaimana orang Eropa lainnya, menganggap diri mereka lebih unggul daripada kaum pribumi. Dengan anggapan seperti ini, para misionaris secara gradual malah mencampuradukkan ajaran Kristen dengan keyakinan atas superioritas orang Eropa atau peradaban Barat.” Para Misionaris itu, dengan menggunakan prinsip psikologis dan ilmu-ilmu lainnya, berusaha menancapkan pengaruh mereka di hati orang-orang pribumi dan dengan cara itu, mereka menyebarkan ajaran Kristen. Bahkan, di negara-negara muslim, para Misionaris berusaha mempelajari ajaran Islam demi menarik perhatian penduduk pribumi. Salah satu contoh dalam hal ini adalah penggunaan ayat Alquran berkenaan dengan ‘Isa Al-Masih oleh para Misionaris sebagai alat untuk memperkenalkan ajaran Kristen kepada penduduk pribumi negara-negara muslim. Alquran menyebut Al-Masih sebagai Ruhullah atau Ruh Tuhan. Para Misionaris dengan menunjukkan ayat ini dan menyebut nama Quran berusaha untuk menarik perhatian penduduk pribumi. Kemudian, mereka menyampaikan pandangan Kristiani mereka berkenaan tentang ‘Isa Al-Masih dan syafa’at dari Al-Masih terhadap para pengikutnya. Dengan demikian, tujuan mereka untuk menyampaian ajaran Kristen dilakukan dengan cara tidak langsung dan dengan menarik kepercayaan dan keyakinan kaum pribumi. Karakteristik lain dari delegasi Misionaris ini adalah pengenalan mereka terhadap adat istiadat penduduk pribumi. Mereka mempelajari bahasa-bahasa pribumi sehingga bisa berhubungan langsung dengan penduduk pribumi. Mereka juga mempelajari kebudayaan pribumi agar bisa menarik perhatian para penduduk di sana dan kemudian memanfaatkan kelebihan dan kekurangan kebudayaan asli itu untuk menyebarkan ajaran mereka. Para Misionaris dengan berdialog dan berhubungan langsung dengan penduduk pribumi dan masuk dalam kehidupan pribadi mereka, menyelami rahasia kehidupan mereka, dan memanfaatkannya demi mencapai tujuan Misionarisme. Doktor Mustafa Khaledi dan Doktor A. Farukh, penulis buku “Misionaris dan Imperialisme” dengan menyebutkan berbagai contoh alasan-alasan pengiriman Misionaris ke berbagai negara muslim menyatakan bahwa tujuan para Misionaris itu bukanlah perbaikan kehidupan maknawi penduduk pribumi, melainkan merusak dan menjadikan kaum Muslimiin berada di bawah kekuasaan mereka. Dalam salah satu bagian buku ini, disebutkan pula bahwa seorang Misionaris bernama Roise yang bekerja untuk ini di Tarablus Barat pernah berkata, “Penyebaran ajaran Kristen di Tarablus sangatlah sulit. Setelah lima belas tahun berusaha, baru saya memahami bahwa satu-satunya cara untuk mengkristenkan bangsa ini, adalah dengan mempengaruhi mereka dan mengubah kehidupan pribadi dan perilaku khusus mereka,sehingga dengan cara ini kami dapat mencapai tujuan kami.” Kardinal Lavigerie dan Charles De Foucauld melarang anggota delegasi Misionarisnya menggunakan cara-cara langsung dalam menyebarkan ajaran Kristen, terutama bila berhadapan dengan kaum Muslimiin. Speer E. Robert, juga mengajarkan kepada para Misionaris agar menjauhi pembahasan dan perdebatan dengan kaum Muslimiin dan memulai pekerjaan mereka dari poin-poin yang selaras dengan ajaran Islam. Misionaris lainnya, J.H. Bavick, menghimbau agar para Misionaris berhati-hati sehingga dalam pikiran para pribumi tidak tercipta gambaran bahwa para Misionaris itu menganggap peradaban dan kebudayaan mereka lebih tinggi dari kebudayaan kaum pribumi. Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen, meyakini bahwa periode baru dalam metode Misionaris telah dimulai. Dia menulis, “Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit serta menyebarkan Misionaris mereka.” Serupa dengan ini, maka John Perkins (http:/johnperkins.org/) dalam bukunya ”The Confessions of an Economic Hit Man”, di tengah pembahasannya akan gerakan jaringan global Corporatocracy untuk menguasai sumber daya dan kekayaan dunia hasil kolusi dari Korporat tertentu dan oknum Otokrasi (pemerintahan) negara sasarannya, juga mencatat bahwa sebelum Presiden Roldos dari Ekuador dibunuh, Presiden Roldos sempat mengusir ”Summer Institute of Linguistic” (SIL). SIL itu adalah sebuah organisasi sosial-keagamaan Kristiani, Misionaris-Evangelist dari Amerika Serikat, yang diusir keluar dari Ekuador. Organisasi itu dituduh oleh Presiden Roldos melakukan kolusi keji dengan perusahaan minyak dengan dalih mempelajari, merekam, dan menerjemahkan bahasa pribumi Ekuador terutama dari suku Huaorani yang bukan kebetulan pula kiranya bahwa wilayahnya mengandung minyak berjumlah besar. Menurut Presiden Roldos, kapan saja para Seismolog melaporkan ke markas besar perusahaan bahwa wilayah tertentu mempunyai karakteristik menunjukkan kemungkinan besar kandungan minyak bumi, maka SIL masuk dan mendorong penduduk pribumi untuk pindah dari lahan itu ke suaka para Misionaris, dengan berbagai fasilitas cuma-cuma, dengan syarat pengalihan wilayah kepemilikan lahan mereka kepada perusahaan minyak itu. Organisasi SIL sendiri, menerima sumbangan dari badan amal Rockefeller, dan Presiden Roldos mengklaim bahwa hubungan ini membuktikan bahwa SIL benar-benar bukti suatu kedok sosial-keagamaan dari kepentingan sesungguhnya, Kapitalisme perusahaan minyak Amerika Serikat, karena keturunan John D. Rockefeller sang pendiri perusahaan minya Amerika Serikat ”Standard Oil”, kemudian melanjutkan usaha moyangnya ini dengan memecahnya menjadi beberapa perusahaan minyak utama bernama ”Chevron”, ”Exxon”, dan ”Mobil”. Demikianlah menurut Presiden Roldos, di buku tulisan John Perkins itu. Kemudian simaklah kalimat, Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta., kata Henry Martyn, missionaris. Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk menaklukkan dunia Islam perlu resep lain: gunakanlah kata, logika, dan kasih. Bukan dengan kekuatan senjata atau kekerasan. Hal senada dikatakan Misionaris lain, Raymond Lull, Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh. Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah Misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad. Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M. Zwemmer, Misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku “Islam: A Challenge to Faith“ (1907). Buku yang berisi resep untuk menaklukkan dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen. John Moot, seorang Misionaris Afrika dalam bukunya menulis, “Metode terang-terangan atau langsung para Misionaris tidak berhasil menarik kaum Muslimiin untuk berpaling dari agamanya, karena baju yang digunakan oleh para Misionaris hanyalah menimbulkan kebencian.” Roise, seorang Misionaris lainnya juga mengkritik cara langsung gereja dalam menyebarkan ajarannya. Dia berkata, “Kami melihat sekelompok Misionaris telah bertahun-tahun hidup di sebuah kota, namun mereka tidak mampu menemukan teman seorang pun.” Dengan demikian, murid-murid di sekolah ini akan jauh dari ilmu-ilmu Islam. Apalagi, sekolah-sekolah Kristen tersebut telah mengajarkan Huruf Latin dan menyingkirkan pelajaran Bahasa Arab sehingga rakyat Afrika akhirnya melalaikan peninggalan budaya dan bahasa mereka yang ditulis dalam huruf Arab. Menurut para Misionaris, pengajaran adalah cara dakwah yang paling bagus. Mereka amat mengutamakan pendidikan di kalangan anak-anak karena anak-anak memiliki kesiapan dan bakat untuk menerima pengajaran. John Moot, Misionaris Amerika, juga menekankan pentingnya peran sekolah-sekolah dalam penyebaran ajaran Kristen. Dia berkata, “Kita harus mengajarkan ajaran agama kepada anak-anak. Sebelum dewasa, anak-anak itu harus kami tarik ke arah Kristen dan sebelum konsep Islam terbentuk dalam dalam jiwa anak-anak itu, jiwa mereka harus kami tundukkan.” Dewasa ini, salah satu tujuan sekolah-sekolah dan pusat-pusat universitas yang terkait dengan Misionaris adalah mendidik orang-orang yang kelak akan berpengaruh dalam pemerintahan dan bisa menjadi pemimpin di negara mereka. Adalah jelas bahwa Misionaris akan mudah mencapai tujuannya bila yang digarapnya adalah orang-orang yang pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Metode lain yang dipakai para Misionaris adalah pelayanan kedokteran dan kesehatan. Para dokter memberikan dukungan yang amat besar bagi gerakan misionarsi dalam mencapai tujuannya. Menurut mereka, di manapun manusia di dunia ini, orang yang sakit akan selalu ada dan orang sakit akan selalu memerlukan dokter. Di manapun ada kebutuhan terhadap dokter, di sanalah ada kesempatan untuk menyebarkan ajaran agama. Menyusul ucapan Paus pada akhir tahun 1960-an (Konsili Vatikan II 1962-1965 M) bahwa, “dunia secara menyeluruh harus menjadi Kristen”, serangan para Misionaris terhadap berbagai agama lain, terutama Islam, muncul dalam bermacam-macam bentuk. Dengan mengadakan berbagai konferensi, yayasan, organisasi, dan lembaga keagamaan di berbagai negara, para Misionaris melakukan aktivitasnya secara amat luas di berbagai lapisan masyarakat. Yayasan-yayasan ini, setiap tahun membagi-bagikan ratusan ribu Injil, buku-buku, dan majalah secara gratis untuk menyebarkan pemikiran Kristen di tengah pemuda dan remaja dan berbagai lapisan masyarakat lainnya. Yayasan-yayasan ini memanfaatkan penulis, psikolog, dan spesialis lain yang terkemuka agar isi tulisan, warna, gambar dan desain grafis jilid buku, serta foto-fotonya dapat menarik perhatian pembaca. Di Asia, Korea Selatan telah ditransformasikan menjadi negara yang dominan beragama Kristen, dari sebelumnya beragama Buddha. Dan hampir selaras, serta bersamaan, segala macam bantuan keuangan datang ke sana untuk membesarkannya, dan kemudian penduduknya berinvestasi di berbagai wilayah negara lain, termasuk di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, dan sebagian juga membawa misi keagamaan mereka. Dan kini Demam Korea melanda Asia, bahkan dunia. Di Indonesia, berbagai hal ini sudah lama terjadi, berdasarkan informasi dari berbagai sumber aktivis dawah Islam dan simpatisannya. Wallohualam. ... Berita Dari Kawan Dan di antara beberapa cara yang dilaporkan para aktivis dawah, dan juga bersumber dari para pelaku yang kemudian bertobat dan justru menjadi mualaf, yang mereka ini rata-rata adalah dari LSM, Yayasan yang tidak (atau diusahakan tidak) langsung berhubungan dengan otoritas resmi Gereja, adalah: Bantuan makanan-minuman, keuangan, bisnis, karir, jenjang prestasi ... terutama ke kalangan tidak mampu Pendekatan terhadap mereka yang sendirian, kesepian, terguncang jiwanya dsb dengan propaganda kasih’ Kesehatan termasuk RS dan bantuan kesehatan yang ditunggangi misi, termasuk di bencana alam. Bahkan di beberapa RS berkeliaran pasukan mereka yang berusaha mendekati pasien yang hampir mati. Sekolah-sekolah umum dan pendidikan lain, secara halus menariki Pemelintiran ayat Al Quran dan Hadits juga tafsir seenaknya Penipuan akan kuasa tuhan dalam menyembuhkan namun sebenarnya menggunakan bantuan Jin termasuk menggunakan bantuan Jin untuk menghipnotis, membuat kesurupan untuk disembuhkan mereka dll. Penjerumusan ke narkoba untuk kemudian disembuhkan mereka dengan cara2 yang dikaitkan dengan propaganda Hubungan cinta antar penganut agama yang berbeda bahkan seks (bebas) pra-nikah Mengusahakan kader mereka memegang tampuk-tampuk kekuasaaan politik. Juga pendangkalan aqidah muslim melalui budaya pop, pergaulan bebas, keacuhan terhadap kehidupan islami, dll termasuk dalam kerangka SEPILIS (Sekulerisme Pluralisme Liberalisme) yang sebenarnya adalah filsafat Relativisme (kebenaran) a la Sofisme Yunani Kuno yang ditransformasikan ke bentuk baru. Menyebarkan berita buruk tentang Islam yang biasanya bohong atau telah direkayasa termasuk membuang yang baik dan menampilkan yang dapat dikonotasikan buruk. Di RI, biasanya menimpa FPI. Jangan lupa juga penguasaan kekayaan alam. Renungkanlah bahwa wilayah2 muslim biasanya dikaruniai sumber daya alam luar-biasa, namun rakyatnya biasanya masih kurang paham agamanya atau bodoh2 dalam banyak ilmu. Termasuk Indonesia. Di luar negara ini, mereka menjaring para TKI, TKW. Muslim Hong Kong banyak menceritakan hal ini.Saya sendiri pernah hampir berangkat ditugaskan sebuah lembaga dawah Al Azhar Jakarta untuk ke sana. Menyusul rekan2 yang sudah duluan. Namun karena harus menetap 2 bulanan, saya tidak dapat. Dalam hal ini, kiranya kita baik mencontoh negara Muslim miskin BANGLADESH, yang semiskin itu, namun tak pernah mengekspor tenaga kerja wanitanya ke luar negeri, hanya kaum lelakinya. Berbeda dengan RI dengan program TKW-TKInya. Dan lain-lain Wilayah Kita Dan di wilayah Asia Tenggara, Republik Indonesia tentulah merupakan merupakan negara fiskal-moneter pula, sejak merdeka secara politik pada 1945. Namun selama lebih dari 60 tahun ‘merdeka’, Nusantara Indonesia masih gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Dominasi kekuatan luar masih kental dan mencekam di wilayah ini. Banyak yang bertanya-tanya, apakah kita sudah pantas disebut merdeka. Mandiri. Berdikari, atau berdiri di atas kaki sendiri, menurut istilah Presiden Sukarno. Sudahkah? Bahkan istilah dan nama “Indonesia” sendiri adalah sebutan dari sudut pandang Barat, menamai kepulauan yang berwilayah dari perbatasan benua Asia sampai kepulauan Polynesia. Berlainan dengan nama asli wilayah ini, yang adalah “Nusantara”. Jika kita meniliki isi dan hikmah Pasal 33 UUD yang dirancang untuk menjadikan Indonesia negara Sosialis, dan secara umum dari Pancasila serta sejarah bangsa, bahwa ini sehrusnya menjadi negara islami, menjamini kesejahteraan rakyatnya, jelas bahwa apa yang terjadi sekarang, bukan ini. Entah apalah sistem peradaban RI sekarang, namun kebusukan Kapitalisme berbau keras di negara ini, ditambah campur-aduk berbagai sistem lain, yang kiranya banyak sekali. Dengan satu-dua indikator saja sudah mudah dapat terlihat bahwa masyarakat di Indonesia saat ini masih menderita. Jumlah orang miskin RI, setidaknya yang resmi, ada sekitar 40 juta jiwa manusia. Bahkan jika indikator yang dipakai adalah pendapatan di bawah USD 2 per hari, sebagaimana yang dipakai oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), angkanya dapat mencapai 75 juta jiwa manusia. Ini adalah suatu besaran, angka, yang bukan main-main. Dan kemiskinan sangat mungkin identik, berhubungan dengan kebodohan, kepicikan, kekalutan, kesengsaraan, kelaparan, dan kekacauan. Musibah dan/atau azab. Dan tingkat pengangguran Indonesia (pada awal 2007 Masehi saja, sekitar sembilan tahun setelah Krisis Moneter 1997-1998 Masehi) adalah sekitar 11%, atau sekitar 11-12 juta jiwa orang. Entah, sekarang, berapa. Sekali lagi, ini bukan perkara ringan yang dapat diabaikan. Indonesia, sebagaimana banyak sekali wilayah yang didiami (mayoritas) muslim, dikaruniai aneka kekayaan alam yang luar-biasa, yang membuat iri para serigala lapar dari bangsa dan umat lain. Namun kita menyadari bahwa telah lama nikmat itu disia-siakan, dimubadzirkan, dicuri, dikorupsikan, dimanipulasikan, dan lain-lain, dan karenanya pula tidak banyak digunakan untuk kebaikan, oleh mayoritas kaum muslim Nusantara Indonesia sendiri, bersama para serigala dari luar itu. Penyia-nyiaan nikmat Allah telah lama dan meluas terjadi di wilayah ini, dan karenanya juga sesuai sunnatulloh, hukum Allah, telah berujungkan krisis multi-dimensi. an di saat krisis seperti ini, pendangkalan akidah bahkan pemurtadan pun semakin mudah masuk, terutama yang berkedok seperti yang telah dipaparkan di atas, melalui berbagai segi dan cara. Dan saat ini terjadi dan meluas, saat kerusakan meluas, maka wilayah yang sedang terkena krisis ini, justru akan semakin diazab Allah, semakin dihinakan, bahkan dapat dimusnahkan, sesuai janji dan ancaman Allah di Al Quran dan Al Hadits. Letak persoalan utamanya, kiranya, bukanlah pada ketidakmampuan dalam pelaksanaan ‘berbangsa dan bernegara’ (walaupun dengan luas negara dan jumlah rakyat yang sedemikian besar juga menimbulkan masalah yang besar pula tentu saja dan termasuk akhirnya dengan seakan tidak menyayangi rakyatnya sendiri), tetapi in syaa Allah adalah pada sistem, ideologi, cara hidup, akidah yang kita pilih (dengan diarahkan para antek-agen penyesatnya pula) itu sendiri, dari dalam dan luar negeri. Antara lain yakni adalah cara hidup-ideologi (akidah) Sekulerisme, Kapitalisme, Pluralisme kebenaran dan akidah, Liberalisme, Rasionalisme, Materialisme, Empirisme, Pragmatisme, dan lain-lain itu; atau sebagian darinya, atau sesuatu yang cenderung kepadanya. Budaya Pop atau “Pop Culture” termasuk apa yang dikenal sebagai standar “Gaul” remaja dan anak-anak (dengan segala jenis musik, film, TV, cerita, hingar-bingar, gemerlap, dan bumbu-bumbunya) dan pergaulan umum serta opini masyarakat adalah cara yang dapat menjadi mudah untuk maksud pembelokan ini. Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) tingkah-laku suatu kaum maka dia tergolongkan dari mereka.” (HR. Abu Dawud) Dan ini juga masuk, salah-satunya melalui Freemasonry, suatu alat yang melayani kepentingan Kapitalisme pula selain berbagai saluran lain. Maka dapat saja pertama sekali dimulai dengan Sekulerisme pendangkalan bahkan penafian agama Islam dan hukum-hukumnya (termasuk melalui apa yang ditahbiskan sebagai apa yang popuer dalam budaya Pop dalam tren dunia) kemudian Esoterisasi dari agama, lalu Eksistensialisme-Humanisme, Toleransi yang berlebihan, Pluralisme, Liberalisme, dan secara sistematis membongkar kekuasaan dan kehormatan ekonomis Muslim melalui Riba (Bunga Bank Konvensional adalah contoh paling jelas). Dan itu semuanya sebenarnya berlawanan dengan UUD 1945 dan maksud ideologi pendirian negara Indonesia ini. Sedangkan jelas pula sudah bahwa standar dunia, standar kehidupan, adalah standar dan akidah Islam, keislamian, yang sudah digariskan Allah subhanahu wa ta’aala, Tuhan yang tak terbantahkan. Sadar atau tidak sadar. Dan setidaknya pelajaran dari Krisis Moneter 1997-1998 Masehi, Bubbles Economy, hingga Great Depression 2009 Masehi, sebagaimana juga telah diutarakan di atas, adalah salah satu bentuk konsekuensi pahit dan perih dari aneka sistem ini, yang berawal dari ”Ghozwul Fikri” (perang pemikiran) dan ”Ghozwul ’Aqidah” (perang akidah) panjang sebelum ini. Muslim yang pernah menjadi pemimpin dunia, kiranya nyaris tidak mengetahui harus bagaimana bersikap untuk menghadapinya, dan akhirnya menyerah saja, sejak dominasinya direbut kaum yang dulu justru mereka bangunkan dari tidur panjang mereka, dari kesesatan mereka. Perbankan konvesional (non Syari’ah) dengan Riba-Bunga Bank dan segala atribut ekonominya, yang kita temui masa kini, tentu adalah kekuatan yang besar sekali. Menggurita dan mendunia. Dan hampir tidak seorangpun dari penguasa otoritas muslim (dalam hal ini terutama dari kaum Muslimiin) waktu itu (dan mayoritasnya sampai kini) yang dapat menghadapinya. Atau tahu, namun tak mau berbuat banyak. Padahal, Ekonomi Modern dengan segala asumsinya, termasuk riba, Time Value of Money, konsep Inflasi, dan sebagainya, pemikiran ini, dihasilkan oleh para Ekonom Modern yang mayoritas adalah kaum Yahudi pula, atau yang bersimpati kepada pemikiran, akidah kaum ini, alias rekan-rekan mereka. Jika pun tidak, hasil pemikiran mereka ini lebih buruk daripada yang telah dibuktikan sistem Ekonomi Syari’ah dengan pondasi yang kokoh itu. Al Quran Surat Al Baqarah ayat 275-278 (2:275-278): (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (280) Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui Al Quran Surat Aali Imraan ayat 130 (3:130):Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Republik Indonesia, negara yang mempunyai pasal 33 UUD 1945 yang seharusnya menjadi negara Sosialis dengan dasar Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi pro-Rakyat, serta bermusyawarah-mufakat (bukan berdemokrasi) dengan warisan budaya luhur lama, entah menjadi negara berpaham Poleksosbud (Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya) dengan bentuk apa sekarang ini. Dari pengalaman pribadi, saat saya menimba ilmu S-2 (Master atau Magister) bertahun-tahun lalu, dua orang Profesor saya, keduanya orang Bank Indonesia dan Ekonom terkenal Indonesia, hanya menjawab dengan senyum saat saya menanyakan hal ini dan mereka menjawab dengan aneka retorika. Tak jelas. Setakjelas sistem ekonomi kita. Namun kiranya, setelah mencoba bertahan dengan kebijakan Sosialis bahkan menjelang Komunis di masa Orde Lama Presiden Sukarno, maka Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto banting setir, hampir 180 derajat menjadi berkebijakan – entah apa sebenarnya – pro Kapitalisme namun juga tak cukup berpasar-bebas dan masih berbau Koperasi (setengah hati) di (akhir) masa Orde Baru namun tidak berdemokrasi. Setelah Krisis Moneter 1998, di masa Orde Reformasi – atau apalah nama sebenarnya yang paling pas – yang diawali oleh kepemimpinan Presiden B.J. Habibie (yang bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah para Presiden Indonesia favorit saya) meneruskan masa yang tersisa dari Presiden Suharto sebelum digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Divestasi a la Kapitalisme ini mencapai puncak ketragisannya saat Divestasi aneka kekuatan Ekonomi di masa Presiden Megawati Sukarnoputri. Presiden Megawati itu adalah anak kandung Presiden Sukarno yang di masa hidupnya, Presiden Sukarno JUSTRU tidak mendukung Divestasi atau penjualan kekayaan Nusantara kepada pihak Kapitalis, apapun yang terjadi. Presiden Sukarno justru sangat mendengung-dengungkan prinsip “BerDiKaRi” alias “Berdiri Di (atas) Kaki Sendiri”. Agaknya, apakah mungkin kiranya, anaknya itu, bu Mega, kurang paham ajaran bapaknya, Bung Karno? Divestasi RI yang menjual aset dengan dalih menyelamatkan diri dari hutang, menjadikan banyak aset negara dijual kepada pihak asing (dalam apa yang disebut sebagai Pasar Bebas dunia) di masa Presiden Megawati Sukarnoputri - yang ironisnya adalah anak Presiden Sukarno yang sangat nasionalis itu - dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), melalui aksi Menterinya, Laksamana Sukardi. Karena alasan bahwa negara terancam bangkrut akibat Krisis Moneter, prinsip menjual aset, memprivatkan aset ini – tentu saja – benar, bila mengacu kepada aneka textbook Ekonomi dan Bisnis a la Kapitalisme, semata-mata, an sich. Namun, apakah bernegara itu, adalah benar-benar sama dengan berbisnis? oleh:Abu Taqi Machicky Mayestino II
Posted on: Fri, 01 Nov 2013 08:57:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015