Perang Dingin Rusia-AS Merebak Kembali INILAH.COM, Jakarta - - TopicsExpress



          

Perang Dingin Rusia-AS Merebak Kembali INILAH.COM, Jakarta - Salah satu hasil KTT G-20 di St.Petersburg, Rusia, akhir pekan lalu yaitu berselisihnya tuan rumah Rusia dan Amerika Serikat. Rusia tidak setuju dengan rencana Amerika Serikat melakukan serangan terbatas kepada Suriah. Akibatnya pasca KTT G-20, hubungan Rusia dan Amerika Serikat diperkirakan bakal lebih memburuk. Demikian seriusnya persoalan Suriah bagi Amerika Serikat dan Rusia, sampai- sampai, KTT G-20 seakan menjadikan krisis Suriah sebagai agenda utama. Padahal agenda utama KTT bukan soal peperangan melainkan ekonomi dan persahabatan. Sebelum dan selama serta pasca-KTT, Presiden Obama (AS) dan Presiden Putin (Rusia) terus melakukan perang pernyataan. Keduanya saling membela diri sendiri dan menyalahkan satu sama lainnya. Krisis Suriah menjadi semacam persoalan internal atau rumah tangga kedua negara yang harus diselesaikan menurut cara masing-masing. Negara lain angota G-20 harus mengikuti gendang mereka. Dalam krisis Suriah yang sudah berlangsung selama dua setengah tahun, saat ini bukan hanya Amerika Serikat yang mempersiapkan armada tempurnya secara besar- besaran. Tetapi Rusia juga. Rusia bahkan sudah menegaskan, akan terus mengirim bantuan militer kepada Suriah, manakala Amerika Serikat menyerang negara Arab yang dipimpin Presiden Bashir Al-Assad tersebut. Akibatnya Laut Mediteranea dan kawasan sekitarnya yang merupakan perairan internasional, saat ini menjadi daerah yang sangat fragile. Perang antara Amerika Serikat-Rusia, bisa saja terjadi di perairan itu. Sebab di wilayah itu semua armada laut Amerika Serikat dan Rusia berebut posisi strategis. Dimana AS berusaha menggempur Suriah, sementara Rusia berupaya mempertahankannya. Memburuknya hubungan Amerika Serikat dan Rusia tentu saja kabar buruk bagi masa depan perdamaian dunia. Sebab bukan mustahil hal tersebut bakal memunculkan kembali Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Rusia, seperti ketika yang terakhir ini masih bernama Uni Soviet hingga Desember 1990. Saat Rusia masih dikenal sebagai Uni Soviet yang wilayah kekuasaannya merentang dari Eropa Timur bagian Barat hingga ke Asia Timur, menerapkan satu paradigma. Yaitu di manapun di dunia ini terdapat usaha Amerika Serikat mau menanamkan pengaruhnya, di situ pula Soviet harus hadir. Ketika AS melalukan de- komunisasi di sebuah negara atau wilayah, maka disana pula Uni Soviet hadir. Begitu pula sebaliknya. AS dan Rusia pernah bersaing di Kamboja dan Vietnam, selama Perang Indochina, perang yang berakhir 1975. Perselisihan terlama kedua negara terjadi di Afghanistan. Pada 1979 Soviet menginvasi Afghanistan. Amerika Serikat merespon dengan membentuk pasukan Taliban. Dalam Perang Afghanistan, sulit menetapkan, siapa sesungguhnya yang keluar sebagai pemenang. Sebab Uni Soviet sendiri kehilangan kekuasaannya setelah negaranya mengalami perpecahan lebih dari 10 negara pada Desember 1990. Sebaliknya Taliban pun tidak bisa mengontrol Afghanistan secara permanen, sebab tidak lama setelah itu, Amerika Serikat menjadi musuhnya Taliban atau sebaliknya. Perbedaan sikap antara Amerika Serikat dan Rusia dalam konflik Suriah kali ini, sejatinya bukan hal baru. Karena selain Suriah, dalam isu Israel, juga ada Iran dan Irak, kedua negara yang juga sudah saling berselisih. Rusia tidak suka dengan sikap AS yang terus menerus membela secara membabi buta terhadap Israel. Terhadap Iran, Rusia membela negara ini di saat AS ingin menjatuhkan sanksi pengucilan dengan menggunakan forum PBB. Ketika PBB menuduh Presiden Irak Saddam Husein menyimpan senjata pembunuh massal (mass destruction weapon), adalah Rusia yang keberatan dan tentu saja menentangnya, Jadi perselisihan kedua negara terus ada. Hanya saja perbedaan sikap mereka kali ini lebih cocok disebut sebagai sebuah persaingan pengaruh di bidang ekonomi. Tidak lagi dalam bentuk Perang ideologi-antara komunis versus non- komunis. Perang Dingin baru antara AS-Rusia merebak setelah Vladimir Putin muncul sebagai pemimpin baru di Rusia per 1999. Bekas anggota dinas rahasia Uni Sovyet, KGB itu, sangat berbeda dengan pendahulunya Mikhail Gorbachev apalagi Boris Yeltsin. Gorbachev dan Yeltsin bisa disebut sebagai tokoh Rusia yang menjadi kolaborator kuat dengan Amerika Serikat. Di tangan Gorbachev, Uni Sovyet terpecah menjadi belasan negara pada Desember 1990. Sementara Yeltsin merupakan pemimpin Rusia yang dengan mudah diajak Washington bergabung dalam Kelompok Delapan (Group of Eight). Kelompok ini tadinya hanya terdiri atas 7 negara industri terkemuka di dunia. Tapi setelah Uni Soviet bubar dan Rusia sebagai penerus dilihat oleh Amerika Serikat sebagai negara potensil yang dapat menyaingi G-7, maka diajaklah Rusia untuk bergabung. Putin, sangat berbeda dengan kedua pendahulunya. Bahkan Putin lebih mencerminkan Rusia yang nasionalis yang sangat bangga pada indentitasnya. Yang menjadi kekhawatiran sekarang, jika perselisihan Amerika Serikat dan Rusia bereskalasi, bukan mustahil, Perang Dingin yang sudah berakhir, bakal muncul kembali dalam bentuk yang lebih dahsyat. Sebab Perang Dingin yang bermuatan ekonomi ini, terjadi di saat kekuatan ekonomi kedua negara sedang tidak berimbang. Ekonomi Amerika Serikat sedang limbung sementara Rusia sedang bagus- bagusnya. Rusia sedang mencetak konglomerat baru yang melakukan investasi di berbagai negara. Sementara jumah orang kaya di AS terus mengalami penurunan. Rusia tengah melahirkan kelas menengah baru sementara di AS, kelompok yang sama mengalami stagnasi dalam pertumbuhan. Tetapi kekuatan ekonomi Rusia bisa dihancurkan oleh berbagai peraturan internasional melalui badan-badan dunia seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan WTO (World Trade Organization). Dan yang paling serius, Rusia sendiri sudah membentuk blok ekonomi baru bersama Brasil, India, China dan Afrika Selatan yang populer dengan sebutan BRICS. AS tentu saja tidak rela bila BRICS dapat menyaingi G-7. Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, tidak bisa diam sekadar memperhatikan perkembangan yang terjadi Suriah. Tetapi harus punya sikap yang taktis sehingga tidak menjadi "korban" dari perseteruan dua negara adidaya ini, termasuk dalam menghadapi kemungkinan munculnya Perang Dingin dalam bentuk baru.
Posted on: Tue, 10 Sep 2013 10:19:05 +0000

Trending Topics



="sttext" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> Liberals distrust big business and free-market forces, to the
Tehát az idei évhez képest annyi a változás, hogy India és
Dbf Fromkin-Hippies Temple Boots Of Chinese Plastic. Were
Brass picture hangers, pack of 10, 5 pound - Case of 40 K66G5Z9L
Buy Dry Foot Healer/cracked Heal Repair/as Seen on Tv

Recently Viewed Topics




© 2015