Percepat Kebangkrutan Krama Bali Bisnis properti sedang - TopicsExpress



          

Percepat Kebangkrutan Krama Bali Bisnis properti sedang naik daun. Proyek-proyek perumahan terus saja menjamur. Celakanya, tak hanya di wilayah perkotaan, para pengembang mulai melirik perdesaan dan lahan-lahan pertanian produktif. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Badung. Proyek perumahan merambah daerah Badung Utara dan daerah yang selama ini masih didominasi kawasan pertanian. Kawasan pertanian khususnya areal persawahan sebenarnya tidak boleh dialihfungsikan. Namun faktanya, para pengembang nekat melabrak aturan. Ada beberapa contoh alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan menjadi perumahan di Banjar Buangga, Desa Getasan dan Banjar Anggungan Desa Carangsari. Proyek misterius diduga untuk pengembangan perumahan di areal Subak Karanggadon Desa Darmasaba Kecamatan Abiansemal, juga sempat menimbulkan polemik di masyarakat. Krama subak setempat ngotot mempertahankan areal persawahan dari ancaman alih fungsi. Proyek-proyek perumahan yang mengubah fungsi lahan pertanian jelas melanggar aturan. Kepala Dinas Cipta Karya Badung, Luh Putu Dessy Dharmayanti, beberapa waktu lalu menyebutkan, alih fungsi lahan basah atau sawah, tidak dimungkinkan dari sisi aturan. Artinya, permohonan izin pembangunan di lahan basah tidak bisa diproses. Hal senada juga diungkapkan Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Badung, I G.A K. Sudaratmaja. Pihaknya tidak merekomendasikan perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Malah pemerintah sendiri berharap alih fungsi lahan pertanian bisa diredam. Tidak hanya pada kawasan Badung Utara melainkan untuk seluruh Badung. Kalau semua dialihfungsikan, di mana kita cari lahan pertanian lagi, katanya. Dalam pembangunannya, sering developer kucing-kucingan dengan aparat pemerintah, para prajuru banjar atau desa. Pada kasus proyek perumahan di Anggungan yang mencuat beberapa waktu lalu, Perbekel Carangsari mengaku tidak pernah diajak berkoordinasi. Padahal proyek sudah berjalan sekian lama. Pihak desa tidak bisa berbuat banyak karena masalah perizinan ada di tangan pemerintah. Proyek perumahan yang merambah areal pertanian khususnya di Badung Utara mengundang keprihatinan banyak pihak. Sebab meskipun aturannya sudah jelas, faktanya justru pelanggaran tetap tak bisa dibendung. Sekretaris HKTI Badung I Ketut Sugiana, Sabtu (9/11) kemarin, mengungkapkan, kunci dari permasalahan ini ada di pemerintah. Pemerintah harus lebih aktif memproteksi lahan pertanian. Contohnya, pemerintah harus berupaya menangani masalah kekeringan. Sebab jika tidak, kekeringan yang berlanjut akan menjadi alasan bagi petani menjual atau mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Pemerintah juga didesak untuk berani mengambil sikap tegas jika terjadi pelanggaran. Jika memang melanggar, bangunan yang sudah telanjur berdiri harus dibongkar. Pemerintah tidak perlu memberikan toleransi sebab hal ini justru akan mengundang pelanggaran serupa terjadi lagi. Hal senada juga diungkapkan anggota DPRD Badung, I Made Duama. Menurutnya, maraknya pelanggaran menjadi indikator lemahnya pengawasan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga harus bersikap tegas atas pelanggaran yang terjadi. Sebab, jika pelanggaran dibiarkan, terkesan melecehkan wibawa pemerintah dan pelanggaran yang sama akan terulang. Hutan Beton Saat ini pembangunan properti di Bali sudah berpotensi merusak alam. Apalagi, sejumlah jalur hijau di Bali telah dilabrak untuk memenuhi kepentingan bisnis properti. Jika kondisi ini dibiarkan, Bali bisa berubah menjadi hutan beton. Kondisi tersebut akan membuat wisatawan berkurang datang ke Bali, ungkap Pengamat Ekonomi dan UMKM Bali, Drs. Ida Bagus Kade Perdana, M.M. Menurutnya, pemerintah Bali baik itu provinsi maupun kabupaten harus tegas menerapkan tata ruang sehingga alam Bali tetap terjaga. Sebab, pertumbuhan investasi di bidang properti tidak memberikan mamfaat kesejahteraan bagi masyarakat Bali. Sementara Ketua ISEI Bali Prof. Dr. Ketut Rahyuda, M.Si. E., mengatakan di Bali harga tanah sudah sangat mahal. Di sisi lain sudah sulit mengatur mental masyarakat yang mudah tergoda oleh materi. Jika di suatu wilayah harga tanahnya sudah mencapai harga tertinggi per are Rp 1 miliar, tentu orang-orang setempat akan tergoda untuk menjual tanahnya. Makin tinggi harga tanah di Denpasar, mempercepat kebangkrutan krama Bali, ucapnya. Alasannya masyarakat Bali akan mempermudah dan menyederhanakan aset mereka menjadi mobil dan lebih bersifat konsumtif. Rektor Undiknas University, Prof. Dr. Gede Sri Darma., DBA., juga mengakui, Bali dirundung bisnis jual beli tanah untuk pengembangan sektor properti. Bisnis ini tidak lagi hanya dilakoni pengembang lokal, namun juga para pemodal asing. Efek dari penomena itu jika tak diatasi segera adalah masyarakat Bali hanya tinggal nama. Sebab, tidak ada orang Bali yang punya aset di daerahnya sendiri, yang kemudian akan kehilangan jati diri atau kekhasan Bali, ujarnya. Dikatakan, dampak dari bisnis jual beli tanah yang tidak terbendung akan berpengaruh pada kesulitan mempertahankan budaya Bali. Apalagi, sejumlah properti di kawasan pariwisata, seperti Seminyak dan Kerobokan banyak dimiliki orang asing. Hanya, nama yang tertera di notaris milik lokal atau hanya pinjam nama (just rent the name). Sebab, asing tidak boleh memiliki seratus persen properti di Bali, ucapnya. Dia mengakui investasi yang paling aman dan menguntungkan adalah properti, dibandingkan dengan menyimpan uang di bank, obligasi, reksa dana dan saham. Terlebih, di tengah-tengah krisis Eropa yang belum pulih dan nilai tukar rupiah yang terus semakin terpuruk, maka investor asing tentu lebih senang berinvestasi di Bali. Pemerintah mesti tegas dalam menjalankan kebijakan RTRW Bali, termasuk orang Bali harus punya prinsip, jangan jual aset properti yang mereka miliki kepada orang luar, walau dengan harga selangit dan meski hal ini terkesan munafik, tegasnya. (kmb25/kmb27/dgk)
Posted on: Sun, 10 Nov 2013 13:55:06 +0000

Trending Topics



d Lentil Soup - spiced sour
HAHA.punyala kw ckp kunun sma urg lain sya yg mw ikut2 kw skarang

Recently Viewed Topics




© 2015