Perempuan Batak Kata ”perempuan” berasal dari puan, yang - TopicsExpress



          

Perempuan Batak Kata ”perempuan” berasal dari puan, yang berarti mulia, yang harus dihormati. Namun, kini kata “perempuan” sudah mengalami perubahaan makna. Perempuan kerapkali tidak mendapat kehormatan, malah diperjual-belikan. Kronik TAPIAN sekarang ini memfokuskan diri pada bingkai perempuan Batak. Soal perempuan hebat, ada banyak perempuan Batak yang hebat. Ambil misalnya Miranda Goeltom, Elvira Rosa Nasution atau Rosiana Silalahi, dan Dewi Lestari Simangunsong (Dee). Mereka adalah perempuan tangguh di bidangnya. Miranda di kenal sebagai perempuan Batak pertama menjadi deputi senior gubernur Bank Indonesia. Elvira perenang tangguh yang hingga kini belum ada tandingannya di Indonesia. Rosiana Silalahi pemimpin redaksi salah satu stasiun televisi swasta yang sukses. Masih banyak yang lain. Tetapi, kita tidak bisa menutup mata terhadap perempuan Batak yang masih berjuang mati-matian untuk sesuap nasi. Ambil contoh perjuangan seorang inang (ibu) perempuan Batak dari Huta Gala-gala, Balige, yang harus berjalan kaki sepanjang 25 km untuk menjual kerupuk. Ada pula Raida Tampubolon, perempuan kuli panggul di terminal Tanjung Priok. Berat badannya hanya 40 kilogram, namun terbiasa manuhuk (memundak) barang hingga 70 kilogram, 30 kilogram lebih berat dari bobot badanya. Mereka adalah perempuan-perempuan yang luar biasa. Perjuangan Seorang Inang Balige, Toba Samosir Di beranda berita (website) bersamatoba diberitakan tentang perjuangan seorang inang dari Huta Gala-gala, Balige. Seorang perempuan yang ulet dan tahan banting. Bekerja untuk membantu suami mencari kebutuhan sehari-hari. Inang yang tangguh ini harus berjalan kaki sepanjang 25 Km dari kampungnya ke kota kabupaten, hanya untuk menjual sahirang karupuk, sekeranjang kerupuk, yang mereka buat sendiri dari gadong sirio (ubi kayu). Ibu dari sembilan anak ini harus membiayai studi anaknya tiga orang yang sedang sekolah, seorang di SMP, seorang di SMK, dan seorang lagi di SMA. Biaya sekolah anaknya sebesar Rp 270.000 per bulan. “Molo borngin, marsinggang ma ahu di lage podoman i, mangido tu Tuhan I, asa di ramoti hami diakka ulaon nami si ganup ari. (bila malam tiba, saya bersujud di tempat tidur, memohon pada Tuhan agar kami dijaga dalam pekerjaan kami setiap hari,” katanya. Perempuan Batak Berhak atas Warisan Depok, Jawa Barat Anggapan para pakar hukum adat bahwa perempuan Batak tidak mendapatkan hak warisan, tidaklah benar. Hal itu dipertegas Barita Simanjuntak saat mempertahankan disertasi doktoralnya di hadapan sidang akademik, yang diketuai Prof Valerine Kriekhoff, di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, beberapa waktu yang lalu. Disertasi tersebut diperkuat dengan hukum waris adat Batak Toba, bahwa anak perempuan memiliki hak istimewa untuk mendapatkan bagian tertentu dari harta warisan orang tuanya. Meskipun harus dilakukan melalui prosesi adat. Warisan perempuan disebut Sibagunon, namun tidak bisa dijual. Disertasi yang berjudul Hukum Waris Adat: Antara Perubahan dan Resistensi, yang mengambil Studi Mengenai Hak Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, Barita mengungkapkan hak perempuan (boru) menurut adat Batak tidak cukup hanya dipahami dalam terminologi jender saja. ”Hasil penelitian menunjukkan, hukum adat Batak Toba, meskipun menganut prinsip patrilineal, tidak memiliki korelasi positif terhadap hak atas warisan. Artinya, prinsip patrilineal digunakan secara konsisten untuk menentukan garis keturunan generasi, tetapi tidak untuk hak atas warisan,” jelas Barita yang mendapatkan hasil yudisium sangat memuaskan dan menjadi doktor ke-142 Fakultas Hukum UI. Prof Lili Rasjidi, sebagai penguji, mengakui bahwa isi disertasi ini merupakan temuan baru, karena selama ini terdapat anggapan para pakar hukum konvensional, bahwa perempuan tidak mendapatkan hak waris dalam pembagian harta warisan dalam budaya Batak. ”Temuan ini cukup menarik. Karena perempuan juga mendapat hak waris dalam hukum adat. Ini juga bisa dirunut pada setiap hukum adat di 33 provinsi di Indonesia sebagai acuan bagi akademisi lain untuk menelitinya. Perlu ada publikasi dan diuji pula oleh pakar hukum dari luar negeri,” kata Lili. Hak Warisan Perempuan Batak Tarutung, Tapanuli Utara Selama ini perempuan Batak dianggap dipinggirkan dalam hak warisan. Meskipun budaya Batak menganut aliran patrilinear (mengambil garis keturunan dari ayah), ada perumpamaan yang melawan anggapan yang menyebutkan perempuan tidak mendapat warisan. “Tinallik randorung, sai bontar gotana, dos do anak dohot boru, nang pe asing marga namangalapsa (anak perempuan dan anak laki-laki itu sama walaupun si perempuan sudah dinikahkan dengan lelaki bermarga lain). Perumpamaan tadi diteguhkan perumpamaan yang lain: “Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama. Berdasarkan pemikiran tersebut, Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN) Tapanuli Utara, yang diketuai Drs BP Nababan, bersama Ketua Pengadilan Tarutung, Saur Sitindaon dan Pdt Rostety Lumbantobing, Wakil Kepala Biro Pembinaan HKBP, menggelar diskusi tentang kedudukan dan peranan perempuan Batak. Dalam pembagian harta warisan, anak perempuan hanya memperoleh tanah (hauma pauseang), nasi siang (indahan arian), warisan dari kakek (dondon tua), tanah sekadar (hauma punsu tali). “Dalam hal perempuan tidak memiliki saudara laki-laki, ia berhak mendapat harta warisan dari orangtuanya, kecuali barang-barang pusaka yang diterima dari kakeknya,” ujar Saur Sitindaon. Pernyataan itu didukung pendapat Ketua PN Tarutung, Saur Sitindaon dan Pdt Rostety Lumbantobing (Biro Pembinaan HKBP), yang mengatakan bahwa ”Perempuan dan laki-laki adalah sama di mata Tuhan.” Boru Batak Bukan Perempuan Biasa Tanjung Priok, Jakarta Masih ingat, tahun 2006 lalu, majalah TEMPO pernah membahas semangat perempuan dalam rangka memperingati Hari Ibu? Media ini menurunkan gambar kulit dengan keterangan berbunyi “Bukan Perempuan Biasa.” Salah seorang dari perempuan bukan biasa itu adalah Raida Tampubolon, perempuan berusia 41 tahun asal Sidikalang. Ia bekerja sebagai kuli panggul di terminal Tanjung Priok. Meskipun berat badannya hanya 40 kilogram, namun dia terbiasa manuhuk (memundak) barang hingga 70 kilogram, dengan penghasilan Rp 30.000 sehari. Tapi, tak ada pilihan lain, sudah sembilan tahun dia melakukan pekerjaan berat yang biasanya dikerjakan laki-laki itu. Raida tinggal di tanah garapan Tanah Merah Plumpang, Jakarta Utara. Di gubuk itulah dia tinggal bersama lima anaknya dan suaminya, Gani Hutagaol, yang bekerja sebagai supir tembak (cadangan) Metromini. Bukan hanya Raida, boru Batak, yang bekerja sebagai kuli panggul. Kabarnya masih banyak sosok perempuan Batak yang lain, yang bekerja sebagai kuli panggul. Mereka bisa dijumpai di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Tiap hari banyak inang-inang Batak, tukang pinggul, parrengge-renggre (pedagang), pengumpul sayuran bekas untuk dijual kembali. Mereka semua adalah perempuan-perempuan yang luar biasa.
Posted on: Sun, 29 Sep 2013 15:02:18 +0000

Trending Topics



r>

Recently Viewed Topics




© 2015