Perihal Gugatan Pemilukada Maluku di MK Perspektif Jurisprudensi - TopicsExpress



          

Perihal Gugatan Pemilukada Maluku di MK Perspektif Jurisprudensi MK dan Dalil TSM Tiga pasangan calon akhirnya berlabuh di MK, yakni Mandat, Tulus dan Bob - Arif. Mereka menggugat hasil penetapan rekapitulasi perolehan suara dan penetapan dua pasangan calon pemenang menuju putaran II oleh KPU Maluku. Saya mencoba mendekatinya melalui perspektif Jurisprudensi MK dan Dalil Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Catatan : Almudatsir Z Sangadji Ketiga pasangan calon memiliki legal standing dalam mengajukan permohanan ke MK sesuai Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Disebutkan dalam dua kaidah hukum tersebut, pemohon adalah pasangan calon yang berkenaan dengan penetapan hasil rekapiulasi perolehan suara. Sebagai termohon yakni KPU dan pihak terkait (baca : pasangan calon yang dimenangkan KPU). Dengan legal standing yang ada, para pemohon telah mendaftarkan permohonan ke MK sesuai Pasal 5 Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008, yakni menyebutkan “Permohonan pembatalan hasil perhitungan suara Pemilukada diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 setelah Termohon (KPU Maluku) menetapkan hasil perhitungan suara”. Pasal 4 PMK tersebut menyebutkan obyek perselisihan Pemilukada adalah hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, yang mempengaruhi; a. penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua; atau b. terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lazimnya pemohon meminta MK membatalkan perhitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun dalam praktek peradilan di MK, pembatalan hasil perhitungan suara disesuaikan dengan implikasi putusan MK. Jika terbukti secara sah dan menyakinkan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM), MK memerintahkan perhitungan suara ulang, pemungutan suara ulang atau bahkan dalam kasus tertentu MK memerintahkan dilaksakanan Pemilukada ulang. Jurisprudensi MK Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan Pemilukada, MK tidak hanya berpatokan pada kewenangan formil yang dimilikinya sesuai perintah UU, yang menyatakan MK berwenang mengadili perselisihan hasil perhitungan suara yang ditetapkan KPU. MK menggunakan paradigma keadilan substantif untuk menerobos hambatan kewenangan formil yang diberikan UU. MK berpandangan perselisihan pemilu(kada) dimaknai bukan saja sebagai masalah “kuantitas” rekapitulasi suara saja, namun juga menyangkut kualitas pemilu atau quality election process dengan menyatakan “secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan pemilukada yang berpengaruh pada perolehan suara”. Dalam menentukan kualifikasi pelanggaran, MK menafsirkan sesuai fakta hukum dan judicial process apa yang disebut sebagai pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Dengan kualifikasi pelanggaran bersifat TSM ini, MK kemudian memeriksa derajat pelanggaran pada semua tahapan pemilukada, yang memiliki sifat mempengaruhi perolehan dan perhitungan suara. Dalam jurisprudensi putusan MK, saya tidak menemukan dengan jelas defenisi baku MK sebagai pelanggaran yang disebut bersifat TSM. Dalam pertimbangan hukum kasus Jawa Timur MK menggunakan istilah “terstruktur, sistematis dan masif”. Sedangkan istilah yang digunakan dalam kasus Pemilukada Tapanuli Utara dan Timor Tengah Selatan disebut, “pelanggaran yang serius, signifikan dan terstruktur”. Meskipun berbeda nomenklatur, namun sifat kualifikasi pelanggarannya harus berpengaruh pada perolehan suara. Salah satu kajian putusan MK dilakukan oleh Bambang Widjajanto dalam bukunya “Kajian Putusan MK Tentang Pemilu dan Pemilukada (2008)” terhadap tiga kasus perselisihan pemilukada pada Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara. Di Bengkulu Selatan MK menemukan TSM pada kelalaian KPU menetapkan mantan terpidana sebagai calon bupati. Akibatnya meskipun calon bersangkutan sebagai pemenang di KPU, namun MK membatalkan hasil pemilukada sekaligus memerintahkan dilakukan pemilukada ulang. Di kasus Jawa Timur (Kaji versus Karsa) MK memutuskan perselisihan diluar dari posita dan petitum Pemohon (Kaji), dengan menemukan kebenaran materiil adanya pelanggaran dalam fakta-fakta persidangan. Kuasa hukum Kaji mendalilkan dalam posita (pokok perkara) adanya kesalahan perhitungan suara di 26 kabupaten di Jawa Timur, tetapi dalam petitum (permohonan) hanya memohon agar MK membatalkan perhitungan suara di 3 kabupaten, yakni Pamekasan, Probolinggo dan Banyuwangi. Meskipun secara formil apa yang didalilkan Pemohon tidak terbukti, namun sesuai fakta persidangan MK menemukan kebenaran materiil berupa pelanggaran yang bersifat TSM pada adanya kontrak politik yang berbau politik uang yang dibuktikan dengan surat pernyataan 23 kepala desa di Kabapaten Sampang dan Bangkalan, Jawa Timur, yang isinya akan menerima bantuan Pemerintah Desa sebesar Rp50 juta sampai dengan Rp150 juta sesuai jumlah pemilih yang memilih pasangan tertentu. Berdasarkan fakta hukum tersebut, MK membatalkan SK KPU Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 bertanggal 11 November 2008 Tentang Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilukada Jawa Timur pada putaran II. Kemudian MK memerintahkan pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan dalam waktu 90 hari. MK juga memerintahkan KPU Jawa Timur melakukan perhitungan ulang secara berjejang surat suara yang sudah dicoblos di Kabupaten Pamekasan. Padahal yang diajukan dalam petitum Pemohon, yakni pemungutan suara ulang di Kabupaten Pamekasan, Probolinggo dan Banyuwangi. Persoalan pemutakhiran data pemilih sebagai pelanggaran TSM ditemukan dalam perselisihan pemilukada Tapanuli Utara. Pemohon mengelaborasi adanya pelanggaran akibat tidak dilakukan pemutakhiran data pemilih dengan rincian. Diantaranya ditemukannnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda sebanyak 26.091, adanya 6.000 wajib pilih tidak mendapatkan Kartu Pemilih, adanya 2.700 surat suara dikuasai oleh pasangan calon tertentu, adanya pencoblosan yang dilakukan oleh satu orang untuk semua suara sisa di TPS. MK kemudian mengabulkan permintaan pemohon agar KPU Tapanuli Utara melakukan pemungutan suara ulang di 14 Kecamatan di Tapanuli Utara. Konteks Pemilukada Maluku Terkesan tergesa-gesa “mengadili” pemilukada Maluku jika kajian ini masuk ke pokok perkara, karena proses sidang di MK belum mulai. Kita pun belum tahu apa yang didalilkan pemohon, baik Mandat, Tulus maupun Bob – Arif. Namun dengan mengintip jurisprudensi MK dan keadaan yang disebut pelanggaran bersifat TSM, ada beberapa kemiripan dalam dugaan pola pelanggaran yang bersifat TSM dalam pemilukada Maluku yang diadili MK sebelumnya. Pertama, kegagalan menyangkut netralitas dan profesionalitas penyelenggara di level bawah, terutama di Kabupaten SBT dan Kabupaten Buru, terseleksi dengan munculnya dugaan pelanggaran pada saat rekapitulasi di KPU Maluku. Di Buru hasil rekapitulasi KPU Buru berdasarkan suara sah dan suara tidak sah, justru melampaui DPT, yakni sebesar 471 surat suara. Untuk SBT bahkan ditetapkan dengan rekomendasi khusus Tim Investigasi KPU Maluku, yang disebut sebagai rekapitulasi suara yang tidak valid. Kedua, adanya dugaan penggelembungan DPT di Kabupaten SBT yang tidak wajar, sehingga membuka peluang manipulasi dan penggelembungan suara. Dari 16 TPS dari 45 TPS di Kecamatan Bula, indikasi manipulasi suara ini terungkap dalam rekapitulasi di KPU Maluku. Adanya perbedaan angka rekapitulasi suara C1 KWK berbasis TPS yang dimiliki 4 pasangan calon dengan data yang dimiliki satu pasangan calon, KPU SBT dan Panwaslu SBT, dapat dikategorikan sebagai pelangggaran yang bersifat terstruktur, karena melibatkan penyelenggara pemilukada. Ketiga, adanya partisipasi politik diluar batas kewajaran di SBT, bahkan mendekati 100 persen (97 persen), sementara ditemukan data pemilih yang tidak akurat, karena meninggal dunia, tidak menggunakan hak pilih, bahkan tidak lagi berdomisili di daerah itu. Alasan bahwa tingginya partisipasi politik tersebut, karena adanya pemilih yang mencoblos dengan KTP namun tidak disertai dengan berita acara, akan mengkonstruksi pelanggaran bersifat TSM. Keempat, meskipun cukup transparan mengungkap adanya pelanggaran di penyelenggara level bawah, KPU kabupaten hingga ke TPS, namun KPU Maluku lalai menetapkan hasil pemenang di dua putaran selambat-lambatnya satu (1) hari setelah pleno penetapan rekapitulasi suara. Penetapan rekapitulasi suara ditetapkan 2 Juli, sementara penetapan pemenang terlambat ditetapkan 2 hari kemudian, yakni 4 Juli. Kelima, adanya putusan PTUN yang memenangkan gugatan Jacky Noya–Adam Latuconsina pada tingkat pertama. Meskipun belum inkra, namun ada indikasi dua dari tiga pemohon mengupayakan pertimbangan hukum MK untuk memerintahkan pemilukada ulang. Jacky–Adam sendiri tidak memiliki legal standing di MK, karena mereka bukan pasangan calon. Sifat dan luas dampak putusan MK dalam pemilukada Maluku, sangat ditentukan oleh derajat pelanggaran yang terjadi dan dapat dibuktikan pemohon, baik yang berkenaan dengan sebagian atau seluruh wilayah tertentu, atau bahkan jenis putusan yang harus dilaksanakan. Sebab baik perhitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, atau bahkan pemilukada ulang berbeda kualitas dan prosesnya. Sebaliknya jika tidak terbukti, MK menguatkan keputusan KPU Maluku dengan menolak semua dalil pemohon.
Posted on: Thu, 11 Jul 2013 10:00:42 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015