Peringatan ABRI ke 68 3 Awal - TopicsExpress



          

Peringatan ABRI ke 68 3 Awal Pengadaan Rapat Organisasi Tentara Rakyat Pada 24 Oktober 1945, Letnan-Jendral Oerip Soemohardjo Selaku Kepala Staf Umum dari kantor MBO bermarkas di Yogyakarta mengeluarkan perintah kepada Panglima Komandemen di Purwakarta, May-Jen Didi Kartasasmita agar melepaskan tawanan-tawanan Belanda. Maklumat itu disampaikan: Bukti-bukti menerangkan bahwa orang Belanda yang lepas dari tawanan menjadi kaki-tangan NICA (Netherland-Indies Civil Administration) dan mencoba mengacaukan ketenteraman dan keamanan negeri. Demikian penegasan dari Kepala MBO. Selain itu, NICA dilarang mendarat dimanapun. Perintah ini dikeluarkan sehubungan dengan semakin menghebatnya terror NICA terhadap masyarakat Indonesia. Dalam buku biografinya, Didi Kartasasmita mengungkapkan, “Pada masa itu, kita memang menghadapi situasi yang serba sulit. Di satu pihak, para pemimpin RI di tingkat pusat berupaya melakukan perundingan-perundingan, tetapi di pihak lain, pertempuran terjadi di berbagai daerah. Suasana sulit dikontrol, sebab yang mengangkat senjata bukan hanya pasukan yang tergabung dalam TKR, melainkan juga pasukan-pasukan kelaskaran rakyat. Kita bisa memahami terjadinya suasana seperti itu, sebab kita dalam revolusi. Namun, karena organisasi TKR telash terbentuk mau tidak mau anggota pasukan tentara harus menaati aturan disiplin. Begitulah seharusnya. Di dalam pandangan para pemimpin kita, Pemerintah RI membutuhkan simpati dari pihak Sekutu. Namun, di belakang Sekutu ada Belanda dengan NICA-nya. Oleh karena itu, kita tak dapat menghindarkan pecahnya pertempuran-pertempuran di berbagai daerah. Yang kita hadapi ternyata bukan pasukan Belanda saja, tetapi juga pasukan asing lainnya, khususnya Inggris, seperti yang terjadi di wilayah Bandung. ... Secara keseluruhan, pihak kita menghadapi beberapa kekuatan. Selain untuk menahan gerak laju dan pengaruh NICA yang membonceng kepada Sekutu, sebagian kekuatan pasukan kita masih dicurahkan untuk menghadapi tentara Jepang. Waktu itu, beberapa kelompok dari pihak kita berusaha untuk merebut senjata dari tentara Jepang. Ada yang berhasil dengan mulus tanpa menumpakhkan darah, seperti yang dilakukan Komandan Divisi Banyumas, Kolonel Soedirman. Ada yang sedikit berhasil, tetapi harus di tebus dengan dengan pengorbanan fisik. Bahkan ada pula yang gagal, serta pihak kita mengalami kehancuran, seperti yang terjadi di Tangerang, yang mengakibatkan gugurnya beberapa perwira muda yang saya anggap potensial. Kebijakan politik pada waktu itu ditentukan oleh para pemerintah (politisi), sedangkan tentara belum memikirkannya secara mendalam. Kami lebih banyak mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk mengorganisasikan personil dalam pasukan-pasukan (divisi, resimen, batalyon, kompi dan lain-lain). Terhadap kebijaksanaan para pemimpin itu, umumnya pihak tentara bisa menyesuaikan diri. Saya katakana “umumnya,” sebab ada juga kebijaksabaan Pemerintah Pusat yang tidak di jalankan oleh pemimpin TKR, khususnya para pemimpin yang senior. Hal ini menimbulkan rasa kurang senang para pemimpin dari kalangan politisi tertentu. Di dalam tubuh TKR sendiri –jika dilihat dari asal-usulnya- ada dua kelompok besar; yaitu mantan KNIL, dan mantan PETA. Latar belakang kedua kelompok ini memang berbeda. KNIL adalah lembaga ketentaraan yang dibangun oleh Belanda, sedangkan PETA dipersiapkan dan di didik oleh tentara pendudukan Jepang. Setelah TKR dibentuk, kedua kelompok itu bisa menyatu. Paling tidak, begitulah kesan yang terlihat oleh masyarakat umum. Namun, kenyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Beberapa waktu setelah TKR berdiri, saya melihat dan mendengar bahwa ada juga persaingan antara kedua kelompok itu. Saya sebagai salah seorang mantan mantan opsir KNIL yang di anggap dekat dengan anggota pasukan mantan PETA, sering juga mendengar orbrolan orang-orang mantan PETA. Kenapa yang memimpin TKR kebanyakan orang-orang mantan KNIL, padahal mantan PETA jumlahnya jauh lebih banyak? Itu adalah salah satu contoh lontaran mereka yang sempat saya dengar. Gejala persaingan itu rupa-rupanya sampai juga ke telinga Pak Oerip. Bahkan, saya kira, para pemimpin di Pemerintah Pusat pun sudah pula mendengarnya. Saya menduga, persaingan itu menjadi salah satu titik tolak Pak Oerip sebagai Kepala MBT untuk menyelenggarakan rapat perwira. Selain itu, ada pula kondisi obyektif yang dianggap “mengharuskan” di selenggarakannya rapat itu. TKR belum memiliki pemimpin tertinggi, yang lazim di kenal dengan sebutan Panglima Besar. Garis komunikasi antara TKR dengan Pemerintah Pusat belum terwujud secara jelas. ... Rapat perwira itu berlangsung pada 12 November 1945 di Yogyakarta. Pesertanya adalah para perwira yang berpangkat letnan-kolonel keatas, atau yang sudah menjabat Komandan Resimen. Dari Purwakarta, saya berangkat bersama beberapa orang perwira. Para perwira lainnya dari lingkungan Komandemen Jawa Barat mungkin berangkat sendiri-sendiri. Sejak awal pun sudah timbul kesan bahwa rapat perwira itu tidak akan tertib. Para pesertanya datang ke tempat acara dengan pistol di pinggang. Saya menyebutnya sebagai “rapat koboy-koboyan.” Kesemrawutan semakin terlihat setelah beberapa orang bicara di forum, selalu saja diteriaki, “Jelek!” Lalu di suruh turun dari mimbar. Menteri Pertahanan Suljodikoesoemo pun di turunkan dari mimbar pada saat ia berbicara. Begitu pula saya. Pokoknya, rapat itu betul-betul semrawut, tidak mencerminkan kedisiplinan. ...Tibalah saat pemilihan Panglima Besar. Ada dua calon yang muncul, yaitu Pak Oerip dan Pak Dirman. Pada pemilihan itu, kalau tak salah Pak Oerip mendapat 21 suara, sedangkan Pak Dirman mendapat 23 suara. Dengan demikian, Pak Dirman berhasil menduduki jabatan Panglima Besar. Adapun Pak Oerip kemudian diangkat menjadi Kepala Staf. ...Menurut pendapat saya, kesemrawutan itu disebabkan oleh kurangnya ketegasan dari pimpinan rapat, yang taka lain adalah Pak Oerip sendiri. Ketidaktegasan itu menyebabkan timbulnya kekacauan yang bertentangan dengan sikap disiplin prajurit. Saya pribadi bisa memahami kalau pada waktu itu Pak Oerip tidak bisa bertindak tegas. Saya kira berhubung dengan situasi yang apabila tidak dihadapi secara bijaksana, bisa-bisa tambah memanas. Sebagai akibat tidak adanya disiplin itu, orang begitu saja di pilih untuk menduduki jabatan Panglima Besar. Menurut pengalaman saya yang kira-kira sudah delapan tahun menjadi opsir, Panglima Besar tidak bisa begitu saja dipilih dalam rapat. Mesti ada hierarkhi, serta petimbangan tentang lamanya dinas dan pengetahuan militer. ... Panglima Besar, menurut pendapat saya, tidak bisa ditetapkan dalam suatu rapat. Seorang perwira senior yang punya reputasi internasional, serta luas wawasan kemiliterannya; itulah yang pantas menjadi pemimpin tertinggi tentara. Namun dengan melihat latar belakang, kiranya “bisa di fahami” juga kalau akhirnya Pak Dirman yang keluar sebagai “pemenang” dalam pemilihan itu.” Penempatan Sudirman Sebagai Panglima Besar Kolonel Sudirman yang waktu itu berusia 33 tahun sebelum perang bekerja sebagai guru di Sekolah Taman Siswa, di tambah dengan pendidikan kemiliteran pada masa pendudukan Jepang menjadi Daidancho. Pada zaman Jepang ia anggota sangikai Karesidenan Banyumas dan Kroya. Peranannya menonjol ketika berhasil berunding dengan Jepang yang menyerahkan persediaan senjata Jepang di Banyumas, yang memiliki persediaan senjata terbesar setelah Surabaya. Daidannya Sudirman adalah satu-satunya yang disusun kembali secara efektif sesudah pembubaran itu, terutama karena kesetiaan kepada Sudirman yang tumbuh di kalangan anak buahnya. Pada awal bulan September di himpun para bekas perwira PETA di Karesidenan Banyumas dan mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan mereka, bersama dengan kalangan politisi terkemuka dan dengan Residen, Mr. Iskak Tjokrohadisoerjo. Pada pertemuan itu diputuskan supaya Sudirman, Iskak dan Soetirto (kepala staf Sudirman) melakukan perundingan dengan pihak Jepang. Banyumas, 8 Oktober 1945. Sementara perundingan di dalam gedung antara ketiga utusan dengan pihak militer Jepang di Banyumas, tiba-tiba saja gedung sudah di kepung pemuda dan rakyat setempat. Sementara pembicaraan-pembicaraan tengah berlangsung berkepanjangan, lima perwira Jepang nampak keluar dari gedung. Mereka ditahan karena kedapatan membawa granat, dan dibunuh ditempat itu juga. Setelah Jepang dikota itu menyerahkan semua senjata kepada teman Sudirman, Gatot Subroto, bekas daidancho Banyumas, yang telah menjadi polisi setempat. Berkat penyitaan senjata ini hingga Soedirman mempunyai senjata untuk dua orang anak buahnya dalam enam batalyon yang dipimpinnya –suatu perbandingan yang sangat tinggi pada era awal revolusi. Faktor ini hingga Soedirman menguasai persedian senjata terbesar di Jawa-Tengah, atau nomor dua setelah Jawa Timur. Nama Soedirman menjadi terkenal karena peranannya di garis pertempuran di Semarang dan Magelang, karena memiliki kharisma yang tinggi di kalangan anak buahnya. Dukungan untuk pencalonannya sebagai Panglima Besar oleh bekas anak buah PETA bukan semata karena pengakuan terhadap kekuatan militernya yang sebenarnya atau keunggulannya dalam pertempuran, melainkan juga karena kepribadiannya yang luar biasa. Ia seorang pemimpin yang dapat menggabungkan dalam dirinya sendiri keprihatinan yang tenang dengan kesalehan yang tulus serta mawas diri. Kelemah-lembutan dan keramahannya membuat ia disenangi oleh hampir setiap orang yang ditemuinya. Namun, dibalik sikap yang sederhana itu tersembunyi kemauan keras dan tekad yang membara untuk mencapai tujuan nasional. Ia sendiri adalah orang yang tebal ke Jawaannya, maka ia timbulkan, terutama dalam masyarakat Jawa, citra tradisional dari satria (prajurit pejuang yang mengabdi bagi pertahanan dan kemuliaan bangsa, dengan kekuatan sakti yang diperkuat oleh “tapabrata”). Pada acara pemilihan pemimpin yang di dasarkan kepada perolehan jumlah suara, kadang-kadang soal kualitas di kesampingkan. Apalagi jika di dalam forum pemilihan terdapat ikatan emosional pada salah satu kelompok yang punya “jago” untuk di pilih. Segera setelah dipilih Soedirman bergerak dengan bijaksana dan luwes mengkonsolidasikan kedudukannya. Oerip mengundurkan diri dari kedudukannya setelah kalah dalam pemilihan, tetapi Soedirman segera meminta supaya Oerip meneruskan jabatan sebagai Kepala Staf. Soedirman sangat cepat membina hubungan erat dengan orang-orang yang lebih tua. Berbeda dengan Oerip Soemihardjo mengutamakan masalah-masalah tehnis dan organisasi, maka Sudirman lebih membaktikan diri terutama kepada masalah-masalah politik dalam mempersatukan tentara dan memberinya suatu pandangan yang terpadu mengenai peranan tentara dalam revolusi. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan sengit antara perwira-perwira didikan Jepang dan perwira-perwira didikan Belanda mengenai masalah kepemimpinan TRI. Pertikaian ini diselesaikan dengan bijaksana oleh Sudirman. Melalui penetapan Presiden tanggal 7 Juni 1947, dibentuk Tentara Nasional Indonesia yang digabung dari berbagai aliran laskar pejuang. Hubungan Oerip-Soedirman-Amir Oerip Soemohardjo adalah perwira yang disegani, khususnya di lingkungan mantan opsir KNIL Dalam pandangan Didi Kartasasmita, Oerip memiliki sifat kepemimpinan. Hal ini dibuktikan dalam karier militernya sejak berpangkat letnan dua tahun 1914. Oerip seorang tehnokrat militer. Di lingkungan KNIL menyebutnya seorang “dienst-klopper”. Disiplin militer sudah amat meresap dalam jiwanya. Satu hal lagi –ini karena pengaruh disiplin militer yang sudah mendarah daging- Oerip terkesan kuat, tidak tertarik dengan politik aliran apapun. Karena itu para pemimpin politik di Pemerintah Pusat tak berhasil “menggunakan” Oerip bagi kepentingan langkah-langkah politis mereka. Mungkin karena itulah para politisi kurang menaruh respek kepadanya. Oerip dinilai “kurang taat” kepada pemerintah, karena selalu berpegang kepada motto: “order-contra order-des order”. Sebelum mengeluarkan perintah atau tugas, selalu diteliti dahulu dengan cermat, apa dan bagaimana konsekwensinya nanti. Pada 12 November 1945, dalam rapat perwira, tercipta “dua sejoli,” Soedirman dan Oerip Soemohardjo. Sama sekali tak terlihat kekurang harmonisan antara kedua pemimpin itu, hingga proses penyatuan TKR yang dibangun oleh kedua kelompok besar ini –mantan KNIL dan mantan Peta- berjalan dengan baik. Terutama setelah Soedirman pindah ke Yogyakarta, terjalin kerja-sama erat dalam tubuh pucuk pimpinan tentara. Pengaruh Soedirman dalam disiplin ketenteraan, khusus dalam segi moral dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sangat meresap kedalam sanubari anak-anak buahnya. Sedangkan pengaruh Oerip terlihat dalam membangun organisasinya. MBT yang kemudian menjelma menjadi MBAD adalah hasil kreasi Oerip. Pada waktu itu MBT sudah dianggap memenuhi syarat minimum internasional. Jendral Oerip merupakan tenaga pendorong dalam menegakkan realisasi motto ketenteraan: order is order. Itu adalah sendi dari organisasi militer yang berdisiplin, efektif dan loyal. Dalam tubuh pimpinan militer tertinggi waktu itu, kedua sejoli saling mengisi lahir dan bathin, yang bisa menjadikan organisasi ketenteraan stabil, baik di bidang disiplin moral maupun dalam bidang organisasi. Kerjasama dan saling mempercayayi di antara kedua pimpinan itu tidak pernah terputus, semenjak permulaaan hingga salah seorang dari mereka –uakni Jendral Oerip- diberi tugas di bidang lain oleh pemerintah. Jendral Soedirman yang jauh lebih muda dari Jendral Oerip (berbeda sekitar 20 tahun), walaupun kedudukan dan pangkatnya lebih tinggi, selalu menyebut Jendral Oerip dengan sebutan “Pak Oerip.” Panggilan ini menunjukkan rasa hormatnya yang lebih tinggi. Sedangkan Jendral Oerip memanggil Jendral Soedriman dengan sebutan “Di Mas Dirman.” Memang, ada usaha pihak-pihak tertentu ingin merusak rasa saling percaya di antara kedua pimpinan itu. Bebeberapa kali di coba untuk “melenyapkan,” bahkan mengadudomba keduanya oleh pihak-pihak yang kurang senang terhadap sifat, faham dan falsafah tentara pada waktu itu (antara lain oleh pihak merah c.q. golongan-golongan yang sedikit banyak berfaham merah). Akan tetapi, usaha pemecahbelahan dan pengadudombaan tak ada yang berhasil. Hal ini antara lain karena pendirian Jendral Soedirman yang penuh percaya diri, serta perasaan loyal Jendral Oerip kepada Jendral Soedirman. Ketika berlangsung rapat perwira 12 November 1945 itu, baik Jendral Soedirman maupun Jendral Oerip betul-betul bersifat ksatria. Tidak pernah terdengar kata sepatahpun yang sedikit keras di antara keduanya. Keduanya betul-betul kukuh memegang sifat ketimuran, walaupun rapatnya sendiri merupakan rapat koboy-koboyan. Dalam pandangan May Jen Didi Kartasasmita,Jendral Soedirman seorang religius. Sedangkan dalam soal-soal kemayarakatan, Jendral Soedirman terkesan sebagai pengamat faham murba, sangat dekat dengan rakyat kecil serta senantiasa secara nasional memperjuangkan hak-hak mereka. Jadi sedikit banyak anti-borjuis, tetapi bukan positif komunis. Tentang kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada diri Jendral Soedirman, tergambar pada suatu peristiwa bulan Juli 1948. Waktu itu Mayor-Jendral Didi Kartasasmita menjadi salah seorang hakim anggota saat mengadili pelaku aksi kudeta peritiwa 3 Juli. Pada sidang itu, Jendral Soedirman memberi kesaksian –kalau tak salah- tentang bahaya yang pernah dihadapi oleh Jendral Soedirman. Dengan mata berseri-seri, Jendral Soedirman berkata, “Untung pada waktu itu Tuhan beserta saya.” Kalimat ini di ucapkan secara wajar, tanpa di buat-buat. Sikap dan pribadi Jendral Soedirman yang religius tidak banyak disenangi oleh pihak lain yang sedikit banyak berfaham mereka. Dalam hal ini, termasuk juga sikap yang di perlihatkan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, yang di nilai oleh Mayor-Jendral Didi Kartasasmita tidak harmonis. Dalam hubungan lahir di antara kedua pemimpin itu acapkali terdengar”suara keras.” Hal ini mungkin juga karena Amir Sjarifuddin berasal dari Tapanuli. Sedikit tentang Amir Sjarifuddin, sebetulnya ia seorang Protestan. Ketika bertemu pertama kali dengannya, pada bulan September 1945, Mayor Jendral Didi Kartasasmita tidak mendapat kesan Amir Sjarifuddin berfaham komunis. Didi pernah di ajak makan malam bersama keluarganya. Waktu itu, sebelum mulai makan, keluarga Amir Sjarifuddin bersembahyang dahulu sebagaimana layaknya pemeluk Protestan yang taat. Didi kemudian mengenal Amir Sjarifuddin agak lebih dekat lagi, jaitu setelah berjumpa beberapa kali dengannya, sehubungan dengan tugas mengumpulkan tanda tangan mantan opsir KNIL itu. Kemudian Didi pun meyaksikan, bagaimana sepak terjang Amir dalam panggung politik. Didi mendapat kesan bahwa Amir seorang brilyan, serta mempunyai pendekatan yang menarik sekali terhadap masyarakat sekitarnya. Amir di nilai sebagai seorang politikus kaliber besar, tetapi sering kali ambisi politiknya meluap sehingga loyalitasnya terhadap kawan-kawan pemimpin politik lainnya mudah luntur. Sebagai Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin terkesan sangat berambisi untuk menanamkan pengaruhnya dalam organisasi tentara. Namun di lain pihak, umumnya tentara sudah berada dalam tempaan Jendral Soedirman-Jendral Oerip, yang notabene moralnya sudah di isi dengan faham keagamaan. Hubungan hurang baik antara Panglima Besar dengan Menteri Pertahanan acapkali di manifestasikan dalam anggaran keuangan untuk pasukan. Pada masa itu, di dalam tubuh ke ketentaraan terdapat dualisme kepemimpinan. Markas Besar Tertinggi yang membawahi semua divisi dan teritorium-teritorium. Di lain pihak Kementerian Pertahanan yang mengatur keuangan, perlengkapan, dan urusan administrasi. Hal itu sering kali menimbulkan kemacetan-kemacetan. Karena Menteri Pertahanan berwenang mengatur anggaran, maka MBT hanya bersikap pasif saja terhadap kenyataan itu. Pengangkatan dan pemberian pangkat perwira tidak hanya dilakukan oleh Panglima Besar. Kementerianpun bisa saja memberikan pangkat kepada seseorang. Dengan mudah seorang dapat menjadi jendral, asal dia mendapat kepercayaan dari pihak yang bisa memberinya pangkat. Bahkan pernah Kementerian mempunyai tentara sendiri, yaitu brigade-brigade kelaskaran yang berada di bawah komando biro perjuangan. Mau tidak mau, dengan hadirnya biro perjuangan itu. MBT mendapat “saingan baru.” Betapa tidak, selain brigade kelaskaran di pusat dan di daerah, Kementerianpun mengadakan badan-badan territorial yang terlepas dari tentara. Sementara itu bermunculan pula laskar-laskar politik, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di Kementerian Pertahanan sendiri diselenggarakan staf pendidikan politik, dikepalai oleh Jet-jen Sukono Djojokratiknjo, seorang teman dekat Amir Sjarifuddin. Staf tersebut beranggotakan beberapa mayor-jendral sebagai wakil dari partai-partai politik. Maka, Yogyakarta pada masa itu “gemerlapan” di taburi bintang-bintang para jendral.
Posted on: Sun, 06 Oct 2013 05:40:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015