Perjuangan Ulama-Santri demi Tegak dan Teguhnya NKRI : Menyambut Panggilan Resolusi (Bagian 2) Semangat umat menjadi semakin berkobar setelah mendengar seruan resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama. Era Penjajahan Jepang: Daidancho Kiai Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang, selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial, di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan Sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang. Jepang paham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan Sekutu membutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam, sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 hingga 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali. Atas dasar alasan itu, dalam rekrutmen anggota Tentara Sukarela PETA, para kiai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang juga bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pemimpin partai. Untuk pangkat chudancho, diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas. Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekrutmen Tentara Sukarela PETA, sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat daidancho (mayor) itu adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kiai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang berpredikat ”kiai”. Akibat cukup banyak kiai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kiai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kiai?” Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara profesional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa. Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim, tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren, seperti K.H. Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain. Fenomena militerisasi di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi yang didirikan K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Tahun 1918, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Mas Mansyur, H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar. Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.” Itu sebabnya, latihan militer yang berat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita perlawanan para ulama pendahulu mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia, yang diketuai K.H. Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pemimpin Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945. Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pemimpin, K.H. Mursyid sebagai penasihat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai asisten instruktur (fuku taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai komandan latihan peleton (sidokan). Sedangkan ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota Syu Sangikai (DPRD) Besuki. Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah menjadi penting karena saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, sampai awal Oktober belum memiliki tentara. Dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Maka berbondong-bondonglah masyarakat mendaftarkan diri. Namun yang berkompeten memiliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, ditambah mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger — pribumi yang masuk dalam Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi penting di BKR. (Bersambung)
Posted on: Sun, 18 Aug 2013 03:44:15 +0000
Trending Topics
Recently Viewed Topics
© 2015