Pertambangan Silau Emas Pegunungan Bintang TANAH Papua belum - TopicsExpress



          

Pertambangan Silau Emas Pegunungan Bintang TANAH Papua belum habis. Padahal, gergasi pertambangan milik Amerika Serikat, Freeport McMoRan, sudah lebih daripada lima dekade menyedot emas, tembaga, perak dan mineral lain dari perut bumi di pegunungan tengah Papua. Pada 2009 perusahaan tambang pelat merah PT Antam menemukan potensi cadangan energi dan mineral sangat menjanjikan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, persisnya di perbatasan Indonesia – Papua Nugini. Kabarnya, di sana ada emas, tembaga, batubara, dan juga thorium, unsur kimia radioaktif yang lebih aman ketimbang uranium. “Survei geologis menunjukkan potensinya bagus dan menjanjikan,” kata Direktur Utama PT Antam Tato Miraza yang saat itu menjabat Direktur Pengembangan. Tato belum bisa memastikan mineral apa saja dan berapa besar potensi yang dikandung wilayah seluas 200 ribu hektar yang pernah disurvei itu. Sejauh ini, survei geologis baru menggambarkan potensi cadangan emas. Tapi Direktur Jenderal Mineral dan Pertambangan Thamrin Sihite sudah berani mengatakan cadangan di Pegunungan Bintang bisa melampaui milik Freeport. “Kalau cadangan Freeport 2,5 miliar ton, maka yang di perbatasan bisa lebih dari itu,” kata Thamrin. Penemuan ini segera menjadi incaran korporasi besar pecandu logam kerak bumi. PT Antam sadar itu. Mereka pun bergerak cepat. Tato mengatakan pada 2010, PT Antam sudah membicarakan eksplorasi kawasan Pengunungan Bintang dengan Bupati dan Gubernur Papua. Pada 2011, Antam resmi mengajukan Izin Usaha Pertambangan. Izin keluar berupa 4 IUP untuk tiap-tiap 50 ribu hektar. Juli 2011, Antam mulai melakukan eksplorasi. Sekitar 62,6 miliar rupiah digelontorkan untuk menyukseskan apa yang Tato sebut sebagai “momentum emas” perusahaan tambang milik negara itu. Tapi eksplorasi tak berlangsung lama. Instruksi Presiden terkait moratorium pemberian izin baru di kawasan hutan alam primer menjadi kendala. “Lahan ternyata masuk area hutan primer,” kata Tato. Moratorium berlaku hingga 2015. Jika moratorium tidak diperpanjang atau kawasan tersebut dikeluarkan dari area hutan primer, Tato bilang, Antam siap tancap gas. Sumber daya manusia berpengalaman dan teknologi sudah di tangan. Kocek Antam mungkin tidak cukup. Tapi itu bukan soal. Ada beberapa perusahaan tambang asing yang telah mengajukan proposal kerja sama. Mereka datang dari Cina, Korea Selatan, dan Australia. “Tapi Antam tetap di depan sebagai owner. Itu tak bisa diganggu gugat,” tegasnya yang menyebut eksploitasi kawasan tersebut sudah bisa dimulai tak lebih dari tujuh tahun jika izin eksplorasi kelar. *** PENEMUAN potensi cadangan gigantik di Pegunungan Bintang sangat mungkin mempengaruhi pertarungan politik dan ekonomi di Pasifik, terutama terkait nasib politik Papua. Munculnya grup kerja sama ekonomi bangsa Melanesia, Melanesian Spearhead Group, menunjukkan menunjukkan semakin besarnya pengaruh Cina di kawasan. Beijing habis-habisan mendukung Grup yang menghimpun Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru itu. Bahkan, bangunan kantor sekretariat MSG di Port Vila, Vanuatu, dibangun atas sokongan penuh Negeri Tirai Bambu. Geliat otot diplomasi Beijing melalui MSG tentu akan mengusik Amerika Serikat dan Australia, yang masing-masing merasa menjadi “penguasa” de facto Papua bagian barat dan timur. Investasi dagang Washington dan Canberra bisa rontok gara-gara ekspansi Beijing. Di sinlah sebenarnya pertarungan politik yang melibatkan status Papua dimulai. West Papua National Coalition for Liberation, organisasi payung bagi kelompok pro-kemerdekaan Papua, tampaknya melihat peluang untuk meningkat daya tawar lewat forum MSG. Mereka mengajukan diri menjadi anggota MSG sebagai wakil rakyat Papua. Dalam forum MSG, mereka banyak berbicara tentang isu hak asasi manusia dan perjuangan menentukan nasib sendiri di Papua. “Sambutan forum cukup emosional,” kata Arkilaus Arnesius Baho – penghubung Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka dengan pemerintah Indonesia – yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ke-19 MSG di Noumea, Kaledonia Baru, pertengahan Juni lalu. Menariknya, WPNCL bukan satu-satunya wakil non-negara dalam MSG. Dalam KTT tersebut, mereka mengadopsi keanggotaan Kanak Socialist Liberation, organisasi yang menuntut kemerdekaan Kaledonia Baru dari Perancis. Hingga kini, negeri kepulauan di barat daya Samudera Pasifik tersebut masih berstatus teritori seberang lautan Perancis. Bahkan, MSG memutuskan KSL berhak mengadakan kerja sama dagang dengan negara lain, mengangkangi wewenang pemerintahan Kaledonia Baru yang menginduk ke Paris. Bagi Arkilaus, pengukuhan KSL oleh MSG bisa menjadi preseden bagi pengakuan WPNCL sebagai wakil rakyat Papua. “Hanya negara kawasan Pasifik itu cukup riskan bila menentukan status penentuan nasib sendiri (di Papua).” Jakarta tidak tinggal diam. Diplomasi Pasifik pun aktif dilakukan. Indonesia mengirim tim delegasi khusus ke forum MSG. Semua anggota tim adalah orang Papua. Menteri Lingkungan Hidup Baltazar Kambuaya mengetuai tim ini dengan anggota Abraham Atuturi, Lukas Enembe, Fredy Numberi, Velix Wanggai, Frans Alberth Yoku, dan Nick Messet. Tim coba meyakinkan MSG untuk tidak mengakui WPNCL. Secara resmi, tim juga mengundang anggota MSG untuk mengunjungi Papua November mendatang. Tak hanya itu, Duta Besar Australia dan Selandia Baru juga mengemban tugas melobi negara-negara anggota MSG. “Upaya (lobi) ke negara-negara MSG selalu ada. Kami tidak lepas tangan,” kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto beberapa waktu lalu. Arkilaus mengakui WPNCL berhadapan dengan pemerintah Indonesia dalam forum resmi MSG. Tapi dia melihat Jakarta lebih sebagai kaki tangan Washington untuk menggunting tangan Beijing di dalam forum MSG. Ambisi Amerika mempertahankan Papua sebagai ladang uang dari aksi serobot Cina bertemu dengan kepentingan Indonesia menjaga keutuhan wilayah. “Pemerintah Neoliberal Indonesia diteken Amerika untuk mengawasi Papua.” *** PERTARUNGAN politik di kawasan bisa jadi sama rumitnya dengan upaya Jakarta merenda damai di Bumi Cendrawasih. Bekas Komisioner Komnas HAM Ridha Saleh bercerita bagaimana dia bersama Farid Husain – Utusan Khusus Presiden untuk Papua – menerobos lebat hutan Papua untuk menemui Panglima TPN OPM Richard H Joweni pada pertengan Juli 2011. Menaiki speedboat membelah laut, Ridha dan Farid harus menjalani pemeriksaan tentara OPM di pos pertama. Lepas dari pos pertama, mereka kembali diperiksa di pos kedua sebelum kemudian melintasi sungai dan memasuki pedalaman. Sekitar 30 menit perjalanan, keduanya tiba di sebuah lokasi yang telah dipersiapkan untuk pertemuan. “Saya tidak tahu persis lokasinya. Yang pasti itu bukan markas mereka tapi tempat yang disediakan untuk menerima kami,” kata Ridha. Richard menyambut langsung dua utusan dari Jakarta tersebut. Setelah negosiasi panjang, kedua pihak menyepakati empat poin: penarikan pasukan TNI-Polri dari Papua; pembebasan tahanan politik di Papua; pembebasan tanpa syarat para buron OPM; dan perundingan dilakukan dengan jaminan situasi damai. Ketika itu, Richard menulis surat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nadanya positif. OPM menyambut itikad baik Jakarta untuk memulai pembicaraan damai. Sayangnya, menurut Ridha, Pemerintah tak merespons hasil pertemuan. Padahal, Farid sebagai Utusan Khusus Presiden, sudah bolak-balik mengirim laporan kepada Presiden. Buntutnya, pihak OPM kecewa. “Saya banyak menerima pesan. Orang-orang di sana kecewa sebab tidak ada eksekusi. Tapi, mau bagaimana lagi?” Arkilaus yang menjembatani pertemuan tersebut mengakui ada pihak tertentu yang menghambat proses perdamaian di Papua. “Ada yang tidak senang dengan penyelesaian masalah Papua. Mereka ada di tubuh pemerintah Indonesia dan oknum di Papua sendiri.” Kondisi di lapangan semakin ruwet dengan aksi kelompok bersenjata pimpinan Goliath Tabuni akhir-akhir ini. Goliath, yang mengklaim sebagai panglima TPN OPM, mendeklarasikan perang terhadap TNI. Aksi kelompok ini di Puncak Jaya telah menewaskan sembilan prajurit TNI, sebagian di antara mereka adalah perwira pasukan elite. Arkilaus mengatakan pasukan Goliath sebagai kelompok ilegal. Sebab, Goliath tak pernah mendapatkan mandat dari pimpinan tertinggi OPM. Goliath awalnya komandan operasi di Komando Daerah Pertahanan III Timika di bawah pimpinan Kelly Kwalik. Sebuah perselisihan sepele berlatar ego pribadi membuat Goliath bergerak ke Puncak Jaya dan mengklaim diri sebagai panglima TPN OPM. “Gerakan (Goliath) di Puncak Jaya mengeksekusi agenda pihak-pihak yang tidak jelas.” Kini, menurut Arkilaus, ada delapan Komando Daerah Pertahanan TPN OPM. Setiap Kodap memiliki personel aktif kurang dari 1.000 orang. Namun, parahnya, sempalan OPM tumbuh subur dan lebih banyak dari mereka. Mereka OPM palsu yang sengaja dibentuk pihak-pihak tertentu. “Mereka OPM sempalan partai politik, OPM sempalan perusahaan asing, dan OPM sempalan negara luar.” Oleh Irman Abdurrahman, Junaidi P Hasibuan, dan Fahmi W Bahtiar Sumber :islamtimes.org
Posted on: Fri, 26 Jul 2013 04:31:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015