Petani dan Orang-Orangan Sawah Cerpen Kiriman: Renaisan - TopicsExpress



          

Petani dan Orang-Orangan Sawah Cerpen Kiriman: Renaisan Esaeliem Di sebuah desa hiduplah seorang petani. Hidupnya sederhana, tidak miskin tidak pula kaya. Setiap hari ia pergi ke sawah dengan mengayuh sepedanya. Dia hidup sendiri, belum punya anak maupun istri. Hidupnya seperti bahagia setiap saat. Suatu hari ia bersiap menuju sawah. Sebatang jerami tak sengaja menyangkut di bajunya. Ia pun mengayuh sepedanya. Bertiuplah angin yang membuat jerami itu lepas dari bajunya. Ia tak sadar, ia bekerja seperti biasa. Esok harinya ia melakukan hal seperti biasa. Saat dalam perjalanan, ia melihat sesuatu. Sebuah orang-orangan sawah dengan wajah tersenyum mengarah kepadanya. “Hari yang indah, semoga aku bisa tersenyum sepertinya,” ucap si petani. Saat pulang pun orang-orangan sawah itu masih tersenyum. Hari demi hari, si petani makin tersenyum, orang-orangan sawah itu semakin tersenyum pula. Suatu hari si petani sedang bersiap ke sawah. Ia berkata, “Hari ini panas ya!” Ia mengayuh sepedanya seperti biasa. Saat berpapasan dengan orang-orangan sawah ia berhenti. Wajah orang-orangan sawah itu memerah marah. “Kenapa begini? Apa yang terjadi?” Si petani bertanya-tanya. Ia berpikir dan berpikir. “Oh! Hari ini panas, kau pun kepanasan!” Jawab si petani. Ia memberi orang-orangan sawah itu topinya, berharap hari yang panas ini bisa terlewati. Kemudian ia pulang dari menggarap sawah dan mendapati wajah orang-orangan sawah itu tersenyum kembali. Ia pun pulang dengan hati yang tersenyum pula. Pada suatu saat hari hujan waktu itu. Si petani tidak ke sawah, tetapi ia teringat kepada orang-orangan sawah. Akankah seperti cuaca panas waktu itu, pikirnya. Ia memutuskan menemui orang-orangan sawah itu dengan mengayuh sepedanya di tengah hujan lebat itu. Didapatnya wajah biru kelabu. Si petani memakaikannya jubah kemudian mengayuh sepedanya kembali ke rumah. Keesokan harinya ia melihat wajah orang-orangan sawah itu tersenyum seperti pagi-pagi sebelumnya. Begitu pula saat ia pulang. Hari semakin berlalu, angin pun tak berhenti menyeru. Gemuruh badai kian datang. Si petani mempersiapkan rumahnya agar tetap kokoh di terpa angin badai. Si petani langsung teringat dengan keadaan si orang-orangan sawah. Pergilah ia ke orang-orangan sawah itu di saat angin semakin besar. Kali ini si petani melihat wajah yang menghijau kacau. Beberapa kayu dan jerami yang ia bawa ditambahkan ke orang-orangan sawah itu agar tidak terbang di seret angin. Si petani pun pulang berharap tidak terjadi bencana besar. Seiring badai berlalu, keesokan paginya si petani pergi ke sawah. Ia sedikit takjub. Dilihatnya sawah-sawah seperti tidak terjadi badai semalam. Begitu pula dengan si orang-orangan sawah yang kembali tersenyum seperti sedia kala. Kembali pulang pun mereka masih tersenyum. Setelah sekian lama, tibalah musim panen. Si petani lebih bersemangat dari biasanya, hendak pergi ke sawah. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumah si petani. Jarang sekali ia mendapat tamu. Dia menuju pintu depan dan membukakannya. Terlihatlah seorang pemuda dengan perawakan yang bagus. Dia memberi salam kemudian masuk setelah dipersilahkan masuk. Si petani menyuguhinya teh. Si pemuda menyesap tehnya perlahan. Suasana begitu hening. “Pak, cuaca akhir-akhir ini cerah ya,” si pemuda memulai pembicaraan. Hanya dengan kalimat itu saja pembicaraan bisa berkembang untuk menemani teh yang memang enak untuk dihabiskan. Setelah berbincang cukup lama, tehnya pun habis. “Terima kasih untuk waktu-waktu yang sudah anda lewati, saya mohon pamit,” dengan senyum sopan dan santun si pemuda undur diri. Seakan pemuda tersebut tidak akan kembali lagi. Si petani yang tadi berniat ke sawah kembali melanjutkan niatnya. Waktu hari semakin petang, si petani mencukupi kerjanya hari ini. Ia kayuh sepedanya untuk segera sampai ke rumahnya agar bisa melepas kelelahannya. Setibanya di rumah ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang seharusnya dijumpainya saat pergi dan pulang. Ke mana benda itu? Ia tidak bertatap muka dengannya hari ini. Ia menelusuri jalannya sebelum ke rumah, lelahnya tiba-tiba tak terasa. Alhasil, ia memang tidak menemukan benda itu. Ia mulai memikirkan apa yang mungkin diketahuinya setelah pulang ke rumah. Ia melihat dua buah gelas di meja tamu yang aroma tehnya samar-samar masih tercium yang ia tinggalkan sebelum pergi ke sawah. Teringatlah ia pada pemuda yang datang tanpa nama dan pulang tanpa jejak. Mungkin orang-orangan sawah itu milik pemuda tersebut pikir si petani. Mengingat bahwa si orang-orangan sawah itu muncul tiba-tiba kemudian menghilang tanpa pamit. “Mungkin pemuda tadi pagi berkunjung dan pergi lagi hanya untuk mengambil kembali apa yang dimilikinya,” pikir si petani. Cerpen Karangan: Renaisan Esaeliem Blog: puisirnaisan.blogspot cerpenmu/cerpen-fantasi-fiksi/petani-dan-orang-orangan-sawah.html
Posted on: Mon, 17 Jun 2013 13:31:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015