Philosufi: Eksistensi Filsafat-Tasawuf di Era Post Syariat, Sebuah - TopicsExpress



          

Philosufi: Eksistensi Filsafat-Tasawuf di Era Post Syariat, Sebuah Pembebasan manusia di Arasy Metafisika Oleh: T. Muhammad Jafar Sulaiman* A. Pendahuluan Tidak ada yang dapat menyangkal jika dikatakan bahwa dalam 150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat manusia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengatur serta memperbaiki kualitas kehidupannya. Perubahan itu terjadi dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, hukum, tata kota, lingkungan hidup dan seterusnya. Perubahan dahsyat tersebut, menurut Abdullah Saeed, antara lain terkait dengan globalisasi, migrasi penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika, pendidikan umum dan tingkat literasi. Namun di atas semua itu, yang paling penting adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat antar umat beragama (greater inter-faith interaction), munculnya konsep negara-bangsa yang berdampak pada kesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara (equal citizenship), juga kesetaraan gender dan seterusnya. Perubahan sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan mengubah pola berpikir dan pandangan keagamaan (religious worldview) baik di lingkungan umat Islam maupun umat beragama yang lain.[i] Fenomena di atas adalah konteks global dunia, ketika kita melirik Indonesia dalam konteks ini, ada sebuah realitas yang berbanding terbalik dengan realitas perubahan masyarakat dunia tersebut. Konteks global ternyata mentransformasikan nilai-nilai lain yang berpotensi mengacaukan visi bersama menjadikan Indonesia sebagai negara multikultur, yaitu sebuah negara yang secara bersama bisa merayakan keberagaman/perbedaan dalam hal apapun. Nilai tersebut di antaranya adalah terorisme dan gerakan transnasional-international politik keagamaan yang berupaya mengubah Indonesia yang majemuk menjadi sectarian. Kehadiran gerakan ini tentu semakin menambah daftar persoalan manusia modern. Bagi pihak tertentu, mereka menyuguhkan syari’at sebagai solusi terhadap persoalan manusia modern di Indonesia. Padahal dari awal perumusan sudah sangat bermasalah karena semua proses perumusan, pendelegasian dan penerapan Syari’at Islam Aceh, misalnya, dan perda-perda syariat lainnya di luar Aceh adalah proses yang terlihat sangat politis, bahkan cenderung menjurus kepada politisasi syariat. Ada pertanyaan pokok yang patut di ajukan dalam kegemaran penerapan Syariat Islam/perda syariat di Indonesia. pertama, apakah penerapan syariat Islam/perda syariat tersebut berkorelasi positif atau negatif bagi pernghargaan terhadap martabat manusia? Kedua, apakah penerapan Syariat/perda syariat tersebut memberikan solusi terhadap manusia modern, atau semakin menambah persoalan manusia modern? Manusia modern di Indonesia punya setumpuk permasalahan yang dihadirkan oleh negara dan gerakan ekstrem lainnya, diantaranya hak-hak konstitusional yang belum terpenuhi secara adil dan bermartabat, ketidakjelasan proses hukum, diskriminasi hukum, praktik politik yang tidak mendidik. Beberapa hak konstitusional juga dibatasi seperti penutupan gereja dan tempat ibadah, sehingga tidak bisa beribadah, tuduhan-tuduhan aliran sesat terhadap pesantren/dayah, sehingga pesantren/dayah harus ditutup. Akibatnya hak-hak untuk mendapatkan pendidikan terampas, karena tidak boleh lagi melakukan proses belajar mengajar. Lantas, apa solusi yang telah ditawarkan dan dilakukan syariat Islam atau perda syariat yang dipraktikkan terhadap persoalan-persoalan di atas? Fakta yang terjadi adalah, jangankan memberikan solusi, justru malah semakin menambah persoalan manusia modern menjadi berlipat-lipat. Belum selesai perkara di atas, kehadiran syariat Islam justru semakin menghegemoni tubuh, pikiran dan potensi kemanusiaan manusia sehingga bukannya membebaskan, malah kehadiran praktik syariat Islam justru semakin membelenggu manusia-manusia modern, sedangkan satu syarat manusia menjadi maju dan mencapai pencerahan lahir batin adalah bebas dari segala belenggu-belenggu yang menghegemoni, menyitir Kahlil Gibran, “Orang bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tidak seorangpun dapat besar tanpa kebebasan.[ii] Kondisi ini sudah berada pada fase riskan dan emergency, kondisi penyelesaian persoalan manusia modern dengan pendekatan syariat/agama sudah saatnya didekonstruksi, fase ini penulis rasa sudah cukup panjang dan melelahkan, dan sudah saatnya ditinggalkan, kita perlu beranjak kepada Post-Syari’at “sesuatu setelah syari’at” untuk menjawab segala persoalan-persoalan menusia modern, sekaligus memberikan pencerahkan manusia-manusia modern. Lebih baik berkonsentrasi pada peningkatan kesejahteraan dengan pemanfaatan semaksimal mungkin sumberdaya-sumberdaya alam yang ada, daripada menghabiskan energi untuk mengurus akhlak dan moral, tetapi melupakan peningkatan kesejahteraan dan hak-hak konstitusional lainnya. Pasca reformasi, politik identitas[iii] memang kembali mencuat dan menguat, Islam sebagai mayoritas kembali bergelut dengan berbagai dinamika kebangsaan Indonesia kepada ego artifisial, yaitu keinginan mewujudkan pranata-pranata keagamaan berdasarkan semangat superior-inferior, belum dengan semangat kesetaraan (equality), sehingga dalam banyak hal, mediasi-mediasi yang dilakukan acapkali gagal menyelesaikan persoalan-persoalan hubungan antar Islam maupun antar agama, seperti kasus Syi’ah di Sampang, penyerangan Ahmadiyah yang masih terus terjadi, serta kasus penutupan gereja di Aceh Singkil dan tempat ibadah jemaat protestan di Kota Banda Aceh. Bahkan di antara sesama Islam pun, kasus penyesatan marak bagaikan jamur di musim hujan. Belum lagi “terorisme” yang menyebabkan jatuhnya korban tidak berdosa. Gambaran besar visual realitas-realitas di atas tentu menimbulkan pertanyaan besar pula, kenapa itu semua bisa terjadi, apakah ada yang salah dengan paradigma, mindset, pendekatan, kerangka berpikir pemimpin dan kelompok Islam tertentu di Indonesia? Ini bukan sebuah pertanyaan main-main, ini merupakan pertanyaan pokok untuk mengubah sebuah kondisi menjadi ideal. Bagaimana bisa seorang muslim dengan Islam sebagai agama cinta damai dan rahmatan lil’alamin bisa menjadi seorang teroris? Setelah dikaji secara teliti ternyata ada satu yang hilang dari seorang muslim yang berubah menjadi teroris, dan pemimpin yang dengan kebijakannya membatasi hak beribadah, serta kebebasan warga negaranya. Yaitu hilangnya cinta di pikiran dan tindakan mereka, padahal cinta adalah universalitas yang bisa mempertemukan apapun. Ada dua model pendekatan yang dipakai oleh kalangan Islam dalam melihat realitas hubungannya dengan sesama Islam maupun dengan agama lain, yaitu mengedepankan keimanan, baru rasionalitas. Lalu yang kedua, Rasionalitas dulu baru keimanan. Ketika yang dipakai adalah pendekatan keimanan, maka ini adalah hitam putih, tanpa dialog, dan cenderung melahirkan tindakan kekerasan (intoleransi) dalam menyikapi perbedaan, sedangkan model pendekatan kedua adalah cross check terlebih dahulu “tabayyun” melihat persoalan secara jernih, melihatnya dari aspek kemanusiaan, bukan aspek akidah dan teologis, bahwa manusia, apapun keimanan, akidah dan kepercayaannya adalah makhluk bermartabat yang patut dihargai dan dijaga kehormatannya. Agama masa depan adalah cinta. Ketika cinta telah hilang, maka kekacauan hadir, “ Real Muslim, Cannot be a Terrorists”, demikian kata Fethullah Gullen[iv]. Muslim sejati seharusnya menjadi representasi dan simbol perdamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran. Menurut Gullen, terorisme dan kekerasan merupakan akibat dari hilangnya cinta dan kasih sayang dihati manusia. Cinta adalah obat mujarab bagi problem terorisme dan kekerasan atas nama apapun, kehidupan manusia hanya dapat diwujudkan secara harmonis dengan cinta, karena Tuhan tidak menciptakan hubungan yang lebih kuat daripada cinta, cinta merupakan rantai yang mengikat manusia satu sama lain, bahkan alam semesta hanya akan jadi reruntuhan dan puing-puing berserakan jika tanpa cinta. Cinta adalah mawar dihati manusia yang tidak pernah layu. Hubungan terkuat individu-individu yang membentuk keluarga, masyarakat dan bangsa adalah cinta. Cinta universal menunjukkan dirinya diseluruh kosmos dimana setiap partikel mendukung setiap partikel yang lain. Tuhan menenun alam semesta seperti renda pada alat tenun dari cinta.[v] Berangkat dari fenomena di atas, sangat diperlukan sebuah gerakan bersama, yang dapat disebut gerakan “buta warna”, yaitu hanya melihat sisi kemanusiaan manusia selaku makhluk bermartabat dan sama kedudukannya tanpa terjebak pada warna agama, mazhab, aliran, etnik, ras, suku, kelas sosial. Maka sangat diperlukan keterpaduan antara hati, akal, dan tindakan yang mengedepankan cinta ala sufi dengan sikap kritis ala filosof terhadap setiap persoalan sampai ke akarnya, yang konklusi pandangannya tidak berdasarkan praduga dan prasangka keimanan hitam putih saja yang penulis sebut dengan philosufi, yang akan dibahas secara lebih kritis dalam tulisan ini. B. Eksistensi Philosufi Kata-kata philosufi ini merupakan penggabungan dari dua kata yaitu philo dan sufi. Philo, philia atau philosophus adalah pecinta kebijaksanaan (hikmah). Ungkapan ini kemudian berubah menjadi failasuf dan dari sini lahir kata falsafah yang juga mengandung arti pecinta hikmah.[vi] Konteks Filsafat adalah pemikiran, filsafat paling murni adalah pemikiran manusia tentang pengetahuan wujud , awal dan akhir wujud, yang kemudian berjalan berkelindan dengan keyakinan agama. Filsafat, baik Barat maupun Timur, tidak bisa mengelak dari mistisisme sebagai sebuah sistem sendiri yang dipraktikkan oleh para sufi, dimana kemudian para filosof terikat, menggandrungi mistisisme dalam satu dan lain bentuk. Metode mistis memang terlihat lebih menghunjam daripada pendekatan analitis, karena mistisisme yang dipraktekkan para sufi merupakan suatu bentuk pemikiran yang tidak hanya menerapkan akal, tetapi juga rasa, dengan begitu sufi telah menembak sasaran yang tidak bisa digapai oleh cara-cara lain dalam berfilsafat. Filasafat logika memang relevan dengan mistisisme dan mistisime (tasawuf) bisa berdamai dengan cakrawala pandangan filsafat.[vii] Di sinilah konteks filsafat dan tasawuf, failasuf dan sufi bertemu, menjadi sebuah alat analisis, perpaduan akal dan hati (qalb) yang bisa melihat persoalan-persoalan manusia modern, bahkan di luar nalar dan batas-batas ketersekatan manusia (borderline), apakah agama, aliran, mazhab, suku, ras, etnik, kelas sosial. Konteks yang sangat relevan, cocok dalam konteks manusia modern, yang sudah tidak ingin lagi terbeda-bedakan dan terpenjara dalam sekat sektarianisme dan fanatisme tertentu dan lebih menginginkan bisa dipertemukan dengan sebuah “realitas wujud yang satu” yang dibawah ini semuanya bisa berhimpun, disinilah philosufi mengambil bentuk dan peran tersendiri. Pemikiran, seperti juga penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Dimanapun ia, pemikiran merupakan ciri yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Dimanapun manusia menjejakkan kaki, pemikiran dan pemahaman senantiasa akan dibawa manusia. Di sinilah koteks philosufi berada dan bergerak, sebagai bagian dari memproduksi pemikiran yang bisa melihat realitas objektif manusia dan jalan keluar terhadap realitas objektif tersebut. Tasawuf secara harfiah berarti mengetahui dan secara teknis dia diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa (tidak melalui pengalaman indriawi dan analisis rasional), dalam proses “tamasya ruhani” ini, terjadi sejumlah “ketersingkapan” yang kemudian tercerap dalam realitas berupa penggambaran tajam apa yang terjadi dimasa lalu, masa kini atau masa depan, adakalanya dia membutuhkan penafsiran dan adakalanya tidak perlu (fana), dan penangkapan para sufi dalam melalui perjalanan ini disebut sebagai “gnosis ilmiah” dan kemudian lama kelamaan semua itu membentuk bahasan-bahasan filsafat, sehingga terjadi kesaling-hubungan dan kesaling-terkaitan antara filsafat dan tasawuf. Filsafat dan tasawuf (philosufi) adalah sebuah keniscayaan bagi manusia modern. Semua manusia menumpang kapal besar bersama yang bernama bumi, berputar-putar di jagad kosmos, lalu lalang bertamasya ke lautan waktu yang tak berbatas (limitless), akan kemana arah kita kalau selalu kekerasan, kebencian yang kita utamakan? Apa yang bisa mempertemukan kita dalam sebuah payung besar diantara segala perbedaan-perbedaan yang dengan perbedaan ini cenderung menyebabkan lahirnya konflik-konflik kemanusiaan? Idealnya masyarakat modern adalah masyarakat yang terbuka. Karena dengan keterbukaan tersebut dapat mencerap ragam perbedaan sebagai hikmah yang bisa mempersatukan perbedaan tetap dengan keberbedaannya masing-masing. Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang “buta warna” manusia yang tidak lagi tersekat oleh agama, ras, suku, etnis dan kelas sosial. Gambaran buta warna ini telah lama sekali dikumandangkan oleh banyak sekali filosof dan sufi sepanjang sejarah manusia, diantaranya kita dapat melihat syair yang disuarakan oleh Rumi : Aku tidak mengetahui diriku sendiri Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, Bukan Majusi, Bukan Islam Bukan dari sumber alam, Bukan dari surga yang berputar Bukan dari Timur, maupun Barat, Bukan dari darat,laut maupun langit Bukan dari bumi, air, udara maupun api, Aku tidak wujud, Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi maupun makhluk Bukan dari dunia kini atau akan datang, Bukan dari Adam, Hawa Bukan dari Tama Firdaus Tempatku tidak bertempat Jejakku tidak berjejak, Baik raga maupun jiwaku Aku milik sang pencinta Melihat dua alam bagaikan Satu Satu yang dikata dan dikenal Awal, akhir, luar, dalam Hanya nafas yang menafaskan manusia. Konsep buta warna ini adalah dimensi yang sudah dimasuki oleh Sufi setelah tahapan rasionalitas terlampaui. Akal telah memproduk “hukum-hukum mengenai wujud “ada”, tapi tidak mampu sendiri menuju kepada wujud ada tersebut, untuk menuju kewujud ada diperlukan “pengetahuan kehadiran”, dan kemudian “mengalami kehadiran”, ketika puncak kehadiran, maka realitas ini adalah realitas tanpa sekat, baik agama dan sebagainya, tetapi murni cinta dan kasih sayang. Bagi seorang sufi, Tuhan adalah yang utama, perjalanan menuju Tuhan (realitas sebenarnya wujud) hanya dapat ditempuh dengan Cinta hakikat, bukan cinta berdasarkan kulit luar yang masih berdasarkan agama tertentu, kaum Sufi tidak lagi memakai stasiun ini untuk menuju Tuhan. Ada tiga paradigma teori pendekatan terhadap persoalan manusia modern, yaitu paradigma order, paradigma plural dan paradigma conflict. Pertama, Paradigma order merupakan paradigma yang melihat bahwa masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang selalu mencari keteraturan, dengan asusmsi bahwa individu selalu mencari ketenangan didalam hidupnya. Kedua, paradigma plural merupakan paradigma yang sifatnya lebih mengakui pluralitas pada diri manusia dibandingkan paradigma order. Paradigma plural melihat bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang dibangun dari kerjasama yang rasional dan menguntungkan diantara manusia-manusia. Ketiga, paradigma conflict merupakan paradigma yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan sosial yang rentan dengan konflik dan kesenjangan[viii]. Dari ketiga paradigma melihat konteks masyarakat modern ini, kita dapat melihat dalam konteks Indonesia, untuk mendudukkan posisi philosufi. Bahwa di Indonesia, kita belum memasuki tahap masyarakat yang bisa merayakan keberagaman, tapi masih sangat rentan berada pada paradigma conflict. Pluralitas dipandang sebagai sebuah arena yang rentan menghadirkan konflik. Kalau paradigma order, itu adalah kriteria masyarakat yang akan terwujud sendiri jika “keberagaman” tidak dipandang sebagai wilayah rentan. Inilah realitas yang dapat kita lihat dari kasus-kasus yang terjadi di tanah air. Kasus Ahmadiyah, kasus Syi’ah, penutupan dan perusakan rumah ibadah dan tempat ibadah protestan, kasus penyesatan dan lain sebagainya, keberbedaan masih dianggap meresahkan sehingga keresahan yang menggebu-gebu ini dibaca dengan semangat intoleransi (tindakkekerasan) yang harus dihilangkan. Untuk sampai ke tahap masyarakat Indonesia yang bisa merayakan keberagaman keberbedaan secara bersama, maka diperlukan pembebasan paradigma, kerangka fikir dan tindakan dan inilah wilayah yang akan dilakukan philosufi. C. Kita di Era Post – Syariat ; Konteks Indonesia Agama adalah sebuah narasi atau sebuah cerita besar dunia. Agama merangkai segala kehidupan didalam sebuah urutan-urutan guna mencapai sebuah tujuan tertentu. Narasi kehidupan adalah aktivitas manusia dalam merangkai konsep, memahami kehidupan, dan memaknai realitas. Narasi merupakan cara bagaimana dunia dipresentasikan kedalam berbagai konsep, ide, gagasan dan cerita. Oleh karena itu diperlukan upaya interpretasi untuk memahami. Agama sebagai narasi besar (grand narrative) adalah ilmu pengetahuan yang melegitimasi dirinya sendiri lewat metadiscourse, yaitu dengan bersandar pada fondasi-fondasi besar seperti spirit, makna, subjek, rasionalitas, atau logos. Filsafat modern dibangun diatas fondasi-fondasi besar seperti itu. Kuhn menyebut normal science sebagai narasi besar di dalam wacana ilmu pengetahuan modern; Foucault menyebut episteme sebagai narasi besar didalam dunia kehidupan modern; Derrida menyebut ucapan (Speech) dan logos (wahyu, rasio, pikiran, manusia) sebagai narasi besar didalam wacana pemikiran, bahasa dan kebudayaan modern.[ix] Agama tertentu seperti Islam, dapat dipandang sebagai sebuah narasi besar. Itu karena dia ingin membangun sebuah cerita besar narasi dunia melalui klaim universalitas ajaran, nilai dan maknanya. Seluruh agama yang mempunyai klaim sebagai agama seluruh manusia, atau agama seluruh dunia, adalah agama yang berkarakter narasi besar. Narasi besar keagamaan dapat dimaknai sebagai kehendak Tuhan akan sebuah lukisan seluruh manusia melampaui etnis, ras, bangsa, sebagai sebuah umat rahmatan Li al-‘alamin. Karenanya, pembedaan agama, suku, ras dan bangsa dilarang didalam agama universal semacam ini.[x] Ketika narasi besar ini kita turunkan dalam konteks sosio-kultural Indonesia, maka kita dihadapkan pada sebuah tantangan, yaitu kebangsaan Indonesia sebagai sebuah negara besar di tengah ragam keberbedaannya dan keagamaan, yang menundukkan keberagaman Indonesia dengan aspek-aspek hukum agama tertentu. Pada aspek kedua, tentu melahirkan yang disebut dengan politik identitas, politik identitas ini dalam kehalusan praktik dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan teknisnya, bisa saja mengarah kepada pemaksaan akan sebuah identitas yang harus menonjol terhadap identitas-identitas lainnya dan ini tentu mengancam kebangsaan dan keindonesiaan kita. Ini fenomena yang marak terjadi selama ini di Indonesia, jika ini terus dibiarkan terjadi, maka pemerintah harus siap dengan konsekuensi berubahnya peta-peta atlas Indonesia. Dalam konteks Indonesia, tidak ada yang menolak agama, yang ditolak adalah pemaksaan terhadap agama, seperangkat aturan-aturan suci dan sakral Islam misalnya, tidak ada yang menolak itu, tapi itu bermasakah ketika dijalankan oleh tangan negara yang punya kekuatan “memaksa”, tangan-tangan negara ini bukanlah wilayah yang “profan” melainkan wilayah yang sangat “kotor” dikarenakan berbagai proses dan transaksi politik-elektabilitas disana, bagaimana kita mengukur sebuah perda syariat yang dihasilkan jika tanpa melihat kepada apa motif dan tujuan dibalik penerapan perda tersebut dalam konteks posisional kepala daerah, elektabilitas partainya dan strategi memperpanjang karir politik mereka, inilah yang disebut dengan hegemoni Discourse (wacana) yang dilakukan oleh institusi negara beserta koalisi praksisnya. Penulis menyebut era Indonesia sekarang dengan era post syariat, era meta syariat yang secara sederhana dapat kita artikan dengan “sesuatu setelah syariat”, kita perlu sesuatu, perlu sebuah perjalanan lanjutan setelah syariat. Sesuatu setelah syariat bermakna, syariat bukanlah akhir sebuah perjalanan, peta ukuran berhasil tidaknya pengamalan keagamaan Islam. Syariat tidak bisa mengantar kepada realitas penyatuan karena wilayah ini adalah wilayah burhani, wilayah yang di dukung oleh pola fikir fikih dan kalam (hitam putih, halal haram, murtad, kafir, dsbnya) model ini sangat mendominasi dalam konteks keindonesiaan hari ini, sehingga sulit bedialog dengan tradisi epistemologi irfani (tasawuf) yang lebih terbuka dan bisa mempertemukan banyak perbedaan keranah pertemuan yang setara (equal) tanpa dominasi, makanya paradigma berpikir yang harus dipakai tidaklah lagi dikotomis-atomistik (pemilahan berdasarkan keagamaan, aliran, mazhab tertentu) tetapi harus bergerak ke ranah integratif-interkonektif (kesaling-terkaitan, kesaling -terhubungan)[xi] Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk main-stream pemikiran keislaman yang hegemonik. Akibatnya pola pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi rigid dan kaku. Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika dia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain.[xii] Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen berpikir keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatis, defensif, apologis, dan polemis, inilah jenis pengetahuan keagamaan yang biasa disebut sebagai al’ilm al-tauqifi, yang dibedakan dari al-‘ilm al-huduri dalam tradisi pemikiran Islam klasik.[xiii] Dengan memakai corak ini dalam konteks Keislaman Indonesia, maka fungsi dan peran akal manusia hanya digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks, sama sekali diluar kalkulasi pendukung corak epistemologi ini, apakah pelaksanaan dan implementasi ajaran teks dalam kehidupan masyarakat luas hari ini masih seotentik dan seorisinil lafal itu sendiri atau tidak. Kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran, kelompok atau organisasi tertentu belum tentu dapat dipahami dan diakui secara sama dan sebangun oleh aliran, kelompok, atau organisasi lain yang menganut agama yang sama maupun agama berbeda. Untuk menghindari kekakuan dalam corak berpikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan Islam, sebenarnya telah mempunyai dan menyediakan mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam (internal control) lewat epistemologi irfani (tasawuf/sufi). Pola berfikir epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya pada teks, dimana sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir irfani adalah experience (pengalaman), pengalaman kehidupansehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Model inilah yang harus diwujudkan di Indonesia, sudah saatnya corak berpikir fikih dan kalam tidak lagi mendominasi (bukan berarti meninggalkannya), dan menyerahkan kelanjutannya kepada metode berfikir irfani yang lebih bisa melihat segala persoalan secara lebih peka dengan mata batin yang tajam dan kritis, dan tentunya model ini adalah model yang sangat cocok untuk konteks teraktual Indonesia ditengah berbagai drama-drama kolosal intoleransi yang terjadi hari ini. dalam konteks Indonesia, cukup sudah penderitaan dan kesengsaraan yang timbul akibat dominannya corak berpikir burhani (syari’at) ini, serahkan kelanjutannya kepada kerangka dan corak berfikir irfani (sufi), inilah yang penulis maksud dengan post-syari’at, corak paradigma syariat tidak boleh lagi mendominasi dalam konteks Indonesia hari ini. Perlu ada sebuah keberanian yang benar-benar berani dalam menyambut dan menyikapi persoalan manusia modern, dimana syariat sudah berada pada wilayah yang harus dinegosiasikan dominasinya. Karena berbicara syariat, maka belum terlepas dari sektarianisme eksklusif yang memang sudah harus ditinggalkan menuju kepada penyatuan bersama dalam narasi besar manusia yang sama-sama musafir di muka bumi (integratif-interkonektif). D. Pembebasan Manusia Modern Kembali kedalam konteks Indonesia, maka sekian lamanya dominasi corak berpikir fikih-kalam sehingga berefek kepada tatanan sosial dan pola relasi sosial menuju kepada kerentanan sosial, karena tidak mudahnya diterima perbedaan dan keberagaman, karena ukuran yang dipakai adalah teks, maka perlu upaya pembebasan terhadap kondisi yang riskan ini dengan memakai pendekatan dan metode lain yaitu corak berpikir, kerangka berpikir dan paradigma irfani ala kaum sufi. Sekian lamanya perjalanan Indonesia, konflik etnis, suku, ras dan agama serta kelas sosial, terutama pasca reformasi, pengalaman kongkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan langsung oleh siapapun tanpa harus dipersyaratkan, dengan tanpa mengetahui jenis-jenis teks-teks keagamaan yang biasa dibacanya terlebih dahulu. Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, fitri dan hampir-hampir tak dapat terkatakan oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut dengan al-ilm al-huduri (direct experience) oleh tradisi isyraqi ditimur atau preverbal, prereflective consciousness atau prelogical knowledge[xiv] oleh eksistensialis di Barat. Semua pengalaman otentik tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya. Tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat ungkapan-ungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara lansung ( al ru’yah al-mubasyirah,direct experiencei), intuisi, al-dzauq atau psiko-gnosis. Sekat-sekat formalitas lahiriyah yang diciptakan oleh tradisi epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, kelas sosial, golongan, kultur, tradisi, yang selama ini ikut andil dan berperan besar dalam merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpersonal antar umat manusia, ingin diketepikan oleh tradisi dan paradigma berfikir orisinil irfani. Spiritualitas esoterik (hakikat) yang bersifat lintas agama, bahasa, kultur, etnik dan ras dan bukannya eksternalitas-eksoterik (kulit luar) yang lebih menekankan identitas lahiriyah agama saja, bahasa, ras, kulit, kultur, etnik yang ingin dikedepankan oleh corak nalar epistemologi irfani. Untuk itulah prinsip memahami keberadaan orang, kelompok dan penganut agama lain (understansing others) dengan cara menumbuh suburkan sikap empati, simpati, sosial skill serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal reciprocity (bila merasa sakit dicubit,maka janganlah mencubit orang lain) akan mengantarkan tradisi epistemologi irfani pada pola-pola pikir yang lebih bersifat unity in difference, tolerance dan pluralis.[xv] Dengan demikian hubungan antara subjek dan objek bukannya bersifat subjektif (seperti yang biasa dipraktikkan dalam tradisi bayani) dan bukan pula bersifat objektif (seperti yang biasa ditanamkan pada tradisi burhani), tetapi lebih pada inter-subjektif, Kebenaran, apapun khususnya, dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial-keagamaan adalah bersifat intersubjektif. Apa yang dirasakan oleh penganut suatu agama, kultur, ras, kulit, bangsa tertentu dengan sedikit tingkat perbedaan juga dirasakan oleh manusia dalam agama, kultur, ras, kulit, bangsa yang lain. Inilah inti-inti pembebasan yang harus dilakukan dalam konteks mutakhir ke Indonesiaan kita hari ini, bersatu dalam perbedaan, tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan masing-masing, apakah ini bisa dilakukan dengan corak berpikir fikih-kalam?. Tentu tidak, pembebasan utama manusia-manusia modern di Indonesia adalah pembebasan dari penjara-penjara, sekat-sekat agama, ras, etnis,kultur, bahasa kedalam agama, ras, etnis, kultur, bahasa bersama dan ini hanya bisa dilakukan dengan corak berpikir irfani, yang sekali lagi memadukan kecerdasan akal dan hati yang semuanya dipertemukan dalam konsep philosufi. Lebih jelasnya, letak pembebasan yang akan dilakukan oleh philosufi diantaranya dapat kita lihat dari istilah-istilah yang sering dipakai dalam dunia sufi, seperti ittihad, hulul yang biasa diambil dari khasanah pemikiran tasawuf klasik dan juga konsep wahdah al –wujud, kesemua istilah ini bukan hanya berarti manunggaling kawula gusti, tetapi juga berarti Unity in multiplicity atau unity in difference. Baik wahdah alwujud, hulu, ittihad bukan hanya berarti penyatuan unsur-unsur ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi juga menyatunya basic human need (kebutuhan sandang, pangan, papan, afilitas keagamaan atau religiositas, makna kehidupan yang paling dalam atau spiritualitas, religious satisfied, kebutuhan untuk aktualisasi diri dan sebagainya) tanpa memandang perbedaan agama, ras, etnis, suku, kulit, kelas sosial tanpa sekat yang dapat dipahami dengan mencairnya batas-batas formal antar agama, etnis, kelamin, ras dan seterusnya. Dalam makna dan pengertian seperti inilah agama-agama dapat dimaknai dan diinterpretasikan ulang secara lebih mendalam, esoterik, bathiniyyah, ruhaniyyah. Untuk itu kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berfikir irfani (sufi) perlu terus menerus digali dan dikaji agar dapat terus dipahami tidak hanya sebagi kerangka berpikir tetapi tentunya kerangka tindak. E. Kesimpulan. Untuk konteks ke-Islaman di Indonesia, maka corak berpikir dan cara tindak yang cocok dengan kultur dan karakteristik Indonesia adalah corak Sufi (irfani), ini sangat diperlukan untuk mengeluarkan negara kita dari jeratan-jeratan fanatisme rigid yang dapat mengancam keberagaaman dan keberbedaan kita sebagai bangsa yang beragam kultur. Hanya pola pikir dan pola tindak seperti inilah yang dapat mendekatkan hubungan sosial antar umat beragama, karena dalam tradisi berpikir dan bertindak epistemologi irfan. Istilah arif lebih diutamakan daripada istilah alim, karena alim lebih merujuk kepada nalar bayani (fikih-kalam) sedangkan arif lebih merujuk kepada akar kata ma’rifah, hakikat tanpa tersekat, dipuncak piramida tertinggi, di Arasy Metafisika tapi tidak sebagai menara gading, tetap turun kebawah untuk menyongsong dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan manusia modern dan memberikan pencerahan dan tentu pembebasan manusia-manusia Indonesia dan dunia dari sekat-sekat yang menghalangi keindahan hubungan antar manusia dengan bahasa Cinta dan Kasih sayang. Secara sosiologis, budaya dan karakter masyarakat Indonesia juga lebih menghormati karakter arif dan bukannya alim untuk hal-hal yang terkait kompleksitas pergaulan inter-subjek sosial, budaya dan keagamaan. * Penulis adalah Manager Advokasi dan Riset The Aceh Institute Ketua Liga PhiloSufi. e-mail : filosofdunia@gmail References Ali Harb, Nalar Kritis Islam Kontemporer, Yogyakarta : IRCiSoD, 2012 Abdullahi Ahmed Anna’im, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, Bandung : Mizan, 2007 Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung : Mizan, 2002 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012. David Ray Griffin, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern, Kanisius, 2009 Farid Essack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme : Membebaskan yang Tertindas, Bandung : Mizan, 2001 Geger Riyanto, Peter L Berger, Persfektif Metateori Pemikiran, Jakarta : LP3ES, 2009,. Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama, Bandung : Mizan, 2011 Isaiah Berlin, Empat Essay Kebebasan, Jakarta : LP3ES, 2004 Kahlil Gibran, Al-Arwah Al-Mutamarridah, Jiwa-jiwa Pemberontak, Yogyakarta : Navila, 2010 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, Jakarta : Serambi Ilmu, 2003. Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta : Serambi Ilmu, 2005. Mohammaed ‘Abed Al-Jabri,Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, Yogyakarta : Islmica, 2003. M.T. Mishbah Yazdi¸Buku Daras Filsafat Islam, Jakarta : Shadra Press, 2010. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung : Mizan, 2002. Yasraf Amir Piliang, Bayang-bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi, Bandung : Mizan, 2011.
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 18:00:21 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015