RELASI S1 – S2 – S3 DAN PUBLIKASI Minggu lalu, dua teman - TopicsExpress



          

RELASI S1 – S2 – S3 DAN PUBLIKASI Minggu lalu, dua teman datang ke kantor saya, mengobrol ke sana ke mari, dan akhirnya bertanya pertanyaan yang seringkali diajukan kepada saya mungkin sejak 10 tahun yang lalu: mengapa saya tak melanjutkan sekolah lagi ke jenjang yang lebih tinggi (S2 dan S3). Saya tak akan menulis jawaban atas pertanyaan itu sebab jawabannya terlalu pribadi untuk diketahui umum, saya hanya tiba-tiba teringat kata-kata teman senior saya di bawah ini. Prof. (Ris.) Dr. Herman Moechtar, seorang geologist di Badan Geologi, pada 17 September 2010 menulis e-mail di sebuah milis kami (Geo-Unpad) dalam menyelamati seorang rekan alumni yang baru lulus sidang S2 dan mengumumkannya di milis. Pak Herman, saya izin kutip ya, menarik untuk diketahui banyak orang. Berikut tulis Pak Herman. “Mohon maaf saya tidak bermaksud ingin menyinggung siapapun. Bagi saya, S1 adalah orang yang paham terhadap ilmunya, sedangkan S2 orang yang senang pada ilmunya. Sebaliknya S3 adalah orang yang harus belajar ilmunya. Artinya: buat saya seorang S1 akan menjadi handal apabila dia menyenangi ilmunya hingga akhirnya mau belajar dibanding seorang S3 yang tidak mau belajar. Di Indonesia banyak sekali orang pintar tapi sayang kalau sudah sampai di puncak dia akan berhenti menekuni ilmu itu, dan beranggapan sudah paham semuanya. Kasihan.” Begitu tulis Pak Herman. Dan berikut adalah pengamatan saya. • Sekarang terjadi kecenderungan lulusan S1 meneruskan ke S2, tetapi bukan karena menyenangi ilmunya, sebab belum tentu S2-nya merupakan kelanjutan S1-nya, tetapi lebih karena mengikuti arus teman atau kelompok, kecuali kalau ada tuntutan pekerjaan yang mengharuskan dia minimal bergelar S2 (misalnya dosen). • Para S2 atau S3 di perguruan tinggi atau lembaga penelitian menulis makalah ilmiah/paper/karya tulis untuk mengejar nilai yang dapat digunakan untuk mengejar kepangkatan tertentu di lembaganya. Jarang sekali yang menulis karena kegemaran atau hobi. Suatu waktu saya pernah mengelola sebuah majalah organisasi profesi, karena langka artikel lalu saya meminta teman-teman di perguruan tinggi atau lembaga penelitian untuk menulis. Yang pertama kali ditanyakan adalah, bagaimana nilai akreditasi majalahnya sebab akan memengaruhi nilai penulis untuk meraih posisi tertentu. Kalau tak ada akreditasi atau nilai akreditasinya rendah, kami rugi menulis, begitulah kira-kira jawabnya. Hm. • Para S2 atau S3 di perusahaan ternyata juga tidak sering menulis publikasi, mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaannya. • S2 menulis sebuah publikasi, biasanya merupakan versi pendek tesisnya, setelah itu jarang lagi menulis. S3 pun banyak yang begitu. Setelah posisi tertentu tercapai, saat tak butuh lagi perjuangan untuk meraihnya, tak perlu lagi menulis publikasi-publikasi. Biasanya mereka ganti mengerjakan projek-projek studi dari perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga (komersial), dan kalau pun mereka menulis makalah lagi biasanya merupakan sebagian dari projek yang dikerjakannya. Jadi menulis makalah bukan karena kegemaran atau hobi. • Banyak S3 yang pekerjaan sehari-harinya tak berhubungan atau jauh sekali dengan keahlian spesifik yang diperolehnya melalui S3, ini terutama terjadi di kalangan pejabat-pejaba bergelar S3, entah pejabat di perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga-lembaga negara dan swasta, perusahaan-perusahaan. Mungkin mereka diangkat jadi pejabat juga karena S3-nya, tetapi pada saat yang sama pengangkatan itu menghentikan mereka dari keahlian spesifiknya. Maka tulisan Pak Herman bahwa S3 adalah orang yang harus belajar ilmunya menjadi tak cocok buat kalangan pejabat yang S3. Jadi gelarnya hanya embel-embel ya, sebab mungkin keahliannya sudah luntur. • Seorang S2 atau S3 yang dihadapkan ke pilihan tetap di jalur fungsional sesuai keahliannya, atau di jalur struktural, ternyata banyak yang memilih jalur struktural sebab jalur struktural lebih ‘ramai’ dan lebih banyak fasilitasnya. Ini kesalahan organisasi kurang menghargai jalur fungsional. Demikian beberapa pengamatan saya, yang tentu saja bisa salah. Tentu tidak semua S2 atau S3 baik yang saya kenal maupun tidak, tidak seperti yang saya tulis di atas. Ada yang benar-benar punya kriteria seperti yang ditulis Pak Herman, yaitu mengambil S2 karena ingin belajar lebih lanjut dan punya gelar tambahan (sebab belajar itu tak harus selalu bersekolah kan, hanya kalau ingin mendapatkan gelar akademik tambahan ya harus bersekolah), juga ada S3 yang terus menggali ilmunya. Ada kisah menarik diceritakan teman saya yang sedang bersekolah S2 di luar negeri. Teman kuliahnya, seorang yang lebih senior dibanding teman-teman sekelasnya, mengambil kuliah. Ketika semua kuliahnya sudah selesai, dia pun keluar, tak meneruskan untuk mengerjakan tesis, sebab dia tak butuh gelar, hanya butuh ilmu. Kan bisa belajar sendiri, mengapa mesti begitu. Dia bukan tipe orang yang bisa belajar sendiri, dan ingin belajar juga dari pengalaman guru-guru bagus yang memang mengajar di perguruan tinggi itu. Ada tidak mahasiswa S2 seperti begitu di sekolah-sekolah S2 kita, mungkin jarang ya… Menutup tulisan ini, ada kisah lain yang saya pikir bagus buat direnungkan. Seorang teman junior saya yang sudah selesai S2 (S2-nya diambil langsung setelah S1) bercerita, dia menyesal dulu mengambil S2 langsung setelah S1. Bagusnya, dia bekerja dulu paling tidak lima tahun agar berpengalaman. Sebab menurutnya bekerjalah yang mematangkan keahliannya (benar itu). Kalau dia ambil S2 setelah bekerja dulu lima tahun, mestinya saat menjadi mahasiswa S2 dia sudah matang dan akan lebih bermanfaat buat dirinya sebab kekritisannya dan penguasaannya sudah lebih baik daripada seorang fresh graduate S1 yang langsung mengambil S2. Begitulah, semoga bermanfaat, dan tak perlu tersinggung ya buat para S2 dan S3 yang saya tulis seperti pengamatan saya tersebut sebab pengamatan saya bisa salah, dan tentu tak semua S2 dan S3 begitu. Banyak yang baik, sayangnya banyak juga yang asal-asalan saja S2 atau setelah S3 tak menunjukkan prestasi apa pun. Buat rekan-rekan atau adik-adik saya yang hendak meneruskan sekolah ke S2, lanjutkanlah, semoga melanjutkannya bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena senang akan suatu ilmu. Untuk rekan-rekan atau adik-adik saya yang hendak meneruskan sekolah ke S3, lanjutkanlah, semoga kelak bisa berkontribusi banyak kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia untuk keluhuran Indonesia dan kemakmuran bangsa sesuai bidang keahlian. Secara nyata, tak sedikit S2 bahkan S3 yang sudah saya bimbing, entah formal atau nonformal, saat para mahasiswa ini hendak mengajukan nama saya ke perguruan tingginya untuk ditulis sebagai pembimbing ke-2 atau ke-3 misalnya, oleh peraturan di perguruan tinggi itu saya ditolak sebab seorang S1 konon tak boleh membimbing S2 apalagi S3. Si mahasiswa tak enak hati kepada saya. Saya hanya tersenyum sambil berkata, tak perlu tak enak hati dengan saya, saya sudah biasa menghadapi hal seperti itu, kalau mau tulis nama saya di dalam tesis/disertasi, tulis saja nama saya di ucapan terima kasih, aman kan… Sebagai seorang S1 yang tak pernah bekerja di perguruan tinggi atau lembaga penelitian, tetapi 10 tahun bekerja sebagai exploration geologist dan 13 tahun berikutnya sebagai seorang birokrat, saya dalam 20 tahun terakhir telah menghasilkan 312 publikasi (87 makalah ilmiah untuk berbagai konferensi nasional/internasional, 54 artikel untuk berbagai jurnal, 6 bab undangan untuk 6 buku, 92 bahan presentasi undangan/keynotes, 42 bahan kuliah tamu/kuliah umum di berbagai perguruan tinggi, 31 manual kursus dalam berbagai bidang geologi dengan satu manual setebal > 400 halaman). Itu tidak termasuk artikel2 populer saya sekitar 400 artikel untuk diskusi milis dan internet yang telah saya tulis sejak tahun 1998. Cukup banyak yang telah saya tulis sebagai pertanggungjawaban saya sebagai seorang S1. Saya menulisnya tak dalam 1-5 tahun, tetapi 20 tahun. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah konsistensi. Semua publikasi saya tak dinilai untuk kenaikan pangkat, jadi saya menulis dan menyiapkannya hanya karena saya harus menulis sebagai bagian kecintaan saya kepada profesi yang saya tekuni: geologi. Passion. Itu saja pendorongnya. Jumlah publikasi saya itu saya tulis sebagai tantangan untuk dikejar dan didahului oleh para S2 dan S3, sebab saya menulisnya sebagai seorang S1. Ayo, banyaklah menulis, jangan kalah oleh saya. “Saya cukup sebagai S1” (Awang Satyana, 1989).
Posted on: Mon, 08 Jul 2013 09:05:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015