Rasanya tidak terlalu mengejutkan hasil survey Global Corruption - TopicsExpress



          

Rasanya tidak terlalu mengejutkan hasil survey Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis beberapa hari lalu dimana untuk Indonesia, parlemen dan kepolisian dinyatakan terkorup dengan skor sama-sama 4.5. Kemudian disusul lembaga peradilan (4.4) dan partai politik (4.3). Penempatan lembaga parlemen di urutan pertama dan partai politik di urutan ketiga dengan selisih sangat kecil tentulah merupakan hasil logis karena anggota parlemen merupakan anggota partai politik, jadi keduanya saling terkait. Hasil survei ini tentunya juga sejalan dengan apa yang menjadi berita di berbagai media massa. Fenomena korupsi dipartai politik ini persis seperti judul buku yang ditulis seorang anak muda dari Yogyakarta, A.Yusrianto Elga berjudul Apapun Partainya, Korupsi Hobinya. Memang persoalan korupsi para politisi sudah seperti jingle iklan sebuah produk minuman, yaitu apapun partainya, korupsi kecenderungannya; apapun partainya, korupsi tabiatnya; dan apapun partainya, korupsi hobinya.Perilaku korupsi ini nampaknya tidak ada kaitannya dengan ideologi partai, tidak penting apakah cenderung kiri, kanan,ataupun tengah, perilaku anggota dan elitnya tidak jauh berbeda.Banyak yang menjadikan uang sebagai ideologinya,sebagai tujuannya, dan sebagai motivasinya. Sehingga uang adalah segala galanya. Ringkasnya ideologi yang dianut tidak berbanding lurus dengan cita-cita luhur yang mesti diperjuangkan mereka yaitu kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial,dan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.Praktik korupsi di partai politik tumbuh subur seiring terbukanya kran demokrasi di negeri ini yang merupakan buah dari bergulirnya reformasi yang ternyata justru memberi kesempatan bagi para koruptor untuk melakukan korupsi sebebas-bebasnya. Para aktor yang tampil di panggung politik dalam era reformasi ini banyak didominasi bandit-bandit demokrasi yang ditopang pemilik modal untuk menjalankan dan mengendalikan kekuasaan yang berdampak pada budaya korupsi yang mengakar. Jika demikian halnya, maka batas-batas kekuasaan dan kewenangan akan diterabas, nilai-nilai kejujuran akan tersumbat, tak akan ada lagi moral, etika,nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai agama. Sehingga yang muncul adalah praktik keculasan, transaksi busuk, suap,dan penyalahgunaan kewenangan. Akhir-nya, jadilah politik sebuah pertarungan menuju kekuasaan untuk meraih kepuasan, menumpuk kekayaan, dan merasakan layanan unggulan. Keadaan ini memunculkan persepsi masyarakat bahwa siapa saja yang masuk partai politik orientasinya adalah kekuasaan. Partai politik sudah seperti arena bisnis dan tempat mengais rezeki yang secara umum menjadikan para pelakunya hanya berpikir mendapatkan untung dan menghindari rugi. Sehingga dalam menjalankan tugas dan melakoni perannya,terminologi yang digunakan adalah modal,investasi, penghasilan, biaya, penerimaan,pendapatan, pengeluaran, keuntungan,hutang, dan pelunasan sebagaimana terminologi yang ditemukan dalam pembicaraan bisnis. Dengan demikian, wajar jika para politisi rela mengeluarkan dana banyak guna menggerakkan massa sesuai keinginan,termasuk untuk membeli suara mereka.Jika tidak karena orientasi pragmatis, berupa keuntungan materi, tidak mungkin para politisi ini mau mengeluarkan dana banyak. Karena bagi mereka dana yang keluar adalah modal, baik yang bersumber dari dana sendiri maupun melalui “cukong”,ataupun pinjaman yang akan dikembalikan jika terpilih. Tentunya pengembalian modal ini tak mungkin dilakukan kecuali dengan cara korupsi dan kolusi. Jika demikian, saat politisi ini menduduki posisi yang diincarnya, pastilah prioritas utamanya adalah mengumpulkan uang agar modal kembali,hutang terlunasi, dan selebihnya mencari keuntungan. Jadi bagi para koruptor yang bercokol di partai politik dan yang memiliki jabatan politik, jabatan dan kedudukan yang diperoleh bukanlah sebagai amanah dan panggilan hati nurani tetapi lebih kepada tempat menumpuk kekayaan. Sehingga mungkin bagi mereka, hanya politisi “bodoh” saja yang mau hidupnya bertambah melarat setelah masuk partai politik. Sebagaimana dalam dunia bisnis,meminjam istilah A.Yusrianto Elga, dalam perpolitikan kita hadir juga para broker atau agen politik, yang menjembatani dan mempertemukan penjual jasa dan pengguna jasa. Agen politik ini ada yang berperan menyediakan, mengumpulkan, dan menggerakkan massa yang akan bekerja sesuai pesanan—baik untuk kepentingan menghadiri kampanye, demonstrasi menentang atau mendukung isu tertentu,ataupun untuk menolak atau menerima kebijakan tertentu. Bentuk lainnya adalah memertemukan pejabat daerah dengan pejabat atau penentu di tingkat pusat, mempertemukan pengusaha dengan pejabat pengambil keputusan, menjembatani politisi dengan birokrat, dan menyiapkan jalur bagi politisi yang bermimpi sebagai pejabat. Tentu saja komoditas yang dimediasi para broker ini dapat berupa proyek, suara, tekanan, jabatan, kedudukan, pengaruh, atau sekedar menunjukkan jalan.Jadi tidak perlu heran jika aspirasi rakyat tidak benar-benar diapresiasi, kecuali dijadikan kenderaan oleh para partai politik untuk melanggengkan kekuasaan partai mereka dan para kadernya. Kita juga tidak usah heran jika para kader tersebut tidak banyak yang betul-betul paham akan makna ideologi dan idealisme partainya. Bagi mereka, secara praktis, ideologi adalah uang dan idealisme adalah kekayaan dan kekuasaan. Partai politik telah berubah dari penyambung hati nurani rakyat menjadi penyumbat hati nurani rakyat.Partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi telah berubah menjadi pilar korupsi. Walaupun hampir semua partai mengaku anti korupsi dan mengutuk praktik korupsi, namun semua hanya wacana,teori, dan instrumen politik untuk mengambil simpati rakyat. Karena kenyataannya satu persatu elit dari hampir semua partai politik terjerat kasus korupsi. Mereka seakan mengartikan bebas korupsi sebagai bebas melakukan korupsi. Bahkan ada kader partai yang meneriakkan “katakan tidak untuk korupsi” justru terlibat korupsi.Harusnya jargon yang mereka teriakkan adalah “katakan TIDAK tapi lakukan YA untuk korupsi”. Para politisi ini menunjukkan perilaku hipokrit yang lain di mulut lain di hati dan maling teriak maling.Tambahan lagi, ketika korupsi dilakukan secara berjamaah, hukum seakan tidak berdaya, kasus korupsi yang sampai ke pengadilan hanya merupakan puncak gunung es, itupun tidak sedikit yang divonis ringan bahkan bebas oleh hakim yang mengadilinya.Mungkin karena yakin akan bebas atau hanya akan divonis ringan. Para koruptor yang tertangkap korupsi masih berani senyum-senyum dengan percaya diri tampil di televisi seakan tidak bersalah. Padahal mereka telah sewenang-wenang terhadap rakyat, mengkhianati rakyat, mencuri uang rakyat, dan berpesta pora dengan menggunakan uang rakyat.Menyongsong tahun 2014, saat dilakukannya perhelatan menentukan pengisi parlemen dan pengisi jabatan politik tingkat nasional, sudah seharusnya kita tidak terkecoh dengan asesori, tapi amati substansi. Jangan terjebak dengan bungkus tapi periksa isi, jangan terperdaya dengan kulit tapi pahami komposisi. Walaupun dikatakan apapun partainya, korupsi hobinya, mungkin masih ada meski sedikit yang konsisten menggunakan hati nurani,masih memiliki hati, anti korupsi, dan pandai menjaga diri. Jadi jangan biarkan mereka mengorupsikan partai dan jangan memartaikan korupsi. Hentikan politisi dari praktik korupsi tingkat tinggi dengan menghentikan koalisi koruptor dan para politisi. Oleh Zulkarnain Lubis Penulis adalah Guru Besar UMA Dan UISU
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 06:08:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015