Rebutan Pulau Weh di Aceh Oleh Wulung Dian Pertiwi Ada mimpi besar - TopicsExpress



          

Rebutan Pulau Weh di Aceh Oleh Wulung Dian Pertiwi Ada mimpi besar di Pulau Weh, Sabang, Provinsi Aceh. Di sana rencananya akan dibangun pelabuhan bebas berskala internasional. Nama kerennya International Free Port. Penggagasnya ingin menyaingi Singapura. Jika kedalaman laut di dermaga Singapura hanya 15 meter, di Pulau Weh bisa sampai 22 meter. Selain pelabuhan kelas dunia, juga akan dibangun Free Trade Zone (FTZ). Dengan status kawasan perdagangan bebas, maka semua barang yang keluar masuk di Pulau Weh akan bebas komponen pajak –mulai dari bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, sampai cukai. Ini satu-satunya pelabuhan di Indonesia yang punya fasilitas ini. Dasarnya UU Nomor 37 Tahun 2000. Mimpi besar, tantangannya juga besar. Mengapit Teluk Sabang di Pulau Weh, ada dua kawasan konservasi alam: Taman Wisata Alam Laut Pulau Rubiah dan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur. Pulau Rubiah sudah jadi kawasan cagar alam sejak 1982, sedangkan pesisir timur baru ditetapkan sebagai daerah konservasi sejak tiga tahun lalu. Sulit membayangkan sebuah pelabuhan internasional yang super sibuk tidak mempengaruhi kelestarian alam di dua kawasan konservasi itu. Ada alasan kuat mengapa dua kawasan di Pulau Weh ini ditetapkan jadi daerah konservasi. Pada 2006 silam, dua peneliti ikan kelas dunia: G.R. Allen dan M.V. Erdmann, menemukan spesies ikan baru di perairan Weh. Temuan mereka dimuat di jurnal ilmiah Aqua International Journal of Ichthyology. Tak hanya itu, pada April lalu, Kementerian Kelautan melakukan survey sponge di perairan Weh. Buat yang belum tahu, sponge adalahg jenis biota laut yang bisa dikembangkan menjadi bahan obat kanker. Perairan pulau ini memang kaya keragaman hayati. Beberapa spesies ikan karang Indonesia yang langka hidup di sini. Bagaimana nasib mereka jika Weh menjadi pelabuhan kelas dunia dengan ratusan kapal-kapal kargo berukuran raksasa hilir mudik di sana? Tapi mereka yang mendukung Sabang menjadi pelabuhan bebas juga punya alasan. Sejak 1881, penjajah Belanda sudah membangun Teluk Sabang menjadi pelabuhan pengisian air dan batu bara di kawasan. Limabelas tahun kemudian, Sabang sudah berkembang menjadi pelabuhan tempat berlabuhnya kapal-kapal lintas negara. Ketika Jepang masuk pada 1942, pelabuhan ini termasuk titik strategis yang dilumpuhkan. Setelah kemerdekaan, Indonesia berupaya mengembalikan kejayaan Sabang. Presiden Soekarno menetapkan Sabang menjadi pelabuhan bebas pada 1963. Keputusan ini diperkuat di era Orde Baru dengan sebuah undang-undang pada 1970. Sejak itu, Sabang berjaya. Menurut banyak saksi hidup, perekonomian Sabang melonjak di era itu. Uang gampang dicari, pendatang mengalir, banyak pekerjaan. Semua barang murah. Tapi dampak buruknya juga ada. Karakter asli orang Sabang tergerus, banyak nilai tradisional yang berubah. Selain itu, aksi penyelundupan juga marak. Pada 1985, Jakarta memutuskan mencabut status pelabuhan bebas Sabang. Sejak itu, pamor Sabang perlahan meredup di bawah bayang-bayang Batam. Baru setelah reformasi, pada 2000, Sabang kembali ditetapkan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Keputusan ini dikuatkan dengan sebuah undang-undang pada tahun yang sama. Tapi aturan itu tak membawa perubahan apapun. Konflik militer di Aceh menghalangi pembangunan pelabuhan. Barulah di era perdamaian pasca MoU Helsinki, Sabang menggeliat. Gubernur Aceh membuat master plan kawasan pelabuhan, lengkap dengan kawasan industri, pariwisata, perdagangan dan perikanan. Kompleksitas Weh tak hanya itu. Selain dilema antara konservasi alam dan tuntutan perkembangan ekonomi, ada faktor militer yang juga jadi pertimbangan. Sebagai kawasan perbatasan, Tentara Nasional Indonesia membutuhkan kawasan ini sebagai bagian dari strategi pertahanannya. Itu artinya harus ada lahan yang cukup buat pangkalan militer TNI di sana. Tarik menarik berbagai kepentingan ini membuat Pulau Weh seperti gadis cantik yang diincar banyak pria. Situasi makin buruk karena nyaris tidak ada koordinasi di antara tiga kepentingan ini. Lihat saja kawasan konservasi Pulau Rubiah yang dikelola Kementerian Kelautan, kawasan pelabuhan jadi tanggung jawab Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, sementara kawasan konservasi Pesisir Timur diurus pemerintah Kota Sabang. Semuanya tak punya garis koordinasi satu sama lain. Walhasil, Pulau Weh jadi rebutan. Satu bumi, sarat potensi, banyak misi. Apapun yang terjadi, mudah-mudahan kelak berarti. Terutama bagi pewaris asli. Pendatang boleh tiba dan pergi, tapi pewaris asli tinggal menempati hingga nanti. Inginnya teraih obsesi, lestari, dan tanpa menanggal jati diri. Mudah-mudahan sinergi. Semoga terjalin harmoni. So Weh, just stay a Weh. (sumber: Tempointeraktif).
Posted on: Mon, 29 Jul 2013 00:33:34 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015