Rumah Bersalju — Upasaka Li Bingnan 雪廬 — - TopicsExpress



          

Rumah Bersalju — Upasaka Li Bingnan 雪廬 — 李炳南老居士 Murid Master Yin-guang & Guru Master Chin Kung Jejak Agung ini dipersembahkan oleh Tjahyono Wijaya Latar Belakang Upasaka Li Bingnan (1890-1986), bermarga Li dengan nama kecil Yan, nama dewasa Bingnan, menyebut diri sebagai Xuelu (Rumah Bersalju), serta bernama Buddhis: Deming. Lahir di kota Jinan, Shandong, Tiongkok, pada tahun 1890 (Imlek tanggal 7 bulan 12). Sejak kecil dikenal cerdas, senang belajar kitab-kitab klasik kuno, puisi, bisa meniup seruling, ilmu pedang, dan pengobatan tradisional Tiongkok. Selain Sukhavati, Li Bingnan juga mempelajari aliran Yogacara, Chan, Tantrayana, Konfusianisme, pun ahli dalam pengobatan tradisional Tiongkok. Mengagumi Konfusianisme dan Belajar Buddhisme Pendidikan awal yang dikenyam oleh Li Bingnan adalah sistem pendidikan tradisional Tiongkok, baru setelah itu mulai menginjakkan kaki di lingkungan dunia pendidikan modern. Di usia 23 tahun, Li Bingnan bersama dengan kaum intelektual Jinan membentuk Perkumpulan Pemasyarakatan Pendidikan, Li terpilih sebagai ketuanya. Perkumpulan ini bertujuan memasyarakatkan pendidikan modern dan memperbaiki adat istiadat tradisional. Selama kurun waktu 6—7 tahun, karena pengaruh Perkumpulan Pemasyarakatan Pendidikan ini, Li terbawa arus ikut melecehkan Konfusianisme dan Buddhisme. Tahun 1920, Li menjadi kepala lembaga pemasyarakatan di Juxian, Shandong. Li meningkatkan kesejahteraan para narapidana dalam hal tempat tinggal, pendidikan rohani, pengobatan, dan pemakaman bagi narapidana yang tidak berkeluarga. Di sinilah awal mula Li mengagumi ajaran Konfusianisme. Li kemudian melanjutkan pendidikan di bidang ilmu hukum. Waktu itu pendidikan ilmu hukum di Tiongkok berorientasi pada ilmu hukum di Jepang. Ilmu hukum di Jepang banyak didasarkan pada ajaran Buddha, sebab itu dalam menjelaskan ilmu hukum, guru yang mengajar kadang juga menggunakan pandangan Buddhisme, khususnya hukum karma. Demikianlah Li mulai berkenalan dengan Buddhisme. Waktu itu pulalah Li mengenal Upasaka Mei Guangxi yang sedang membabarkan ajaran Weishi (Buddhisme Yogacara). Meskipun di belakang hari Li berkiblat kepada ajaran Sukhavati, namun ajaran Yogacara tetap tak terlupakan oleh Li. Memasuki Gerbang Sukhavati Tahun 1930, terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan Kuomintang, Juxian terkepung oleh pemberontak dan setiap hari dihantam meriam. Persediaan bahan makanan sangat menipis. Waktu itu Li melihat sebuah komik bergambar “Komik Melindungi Kehidupan” karya Feng Zikai, murid Master Hongyi. Komik ini menyadarkan Li, peperangan akan sirna jika kita tidak melakukan perbuatan membunuh. Li berikrar: jika tetap selamat dalam bencana kali ini, selanjutnya tidak akan membunuh makhluk hidup dan tidak makan daging. Di tahun yang sama, akhirnya Juxian bebas dari kepungan dan kembali normal seperti sedia kala, semenjak itu Li menjadi vegetarian. Waktu itu Master Yin-guang—Sesepuh ke-13 aliran Sukhavati, berdiam di Suzhou, salah satu program pembabaran Dharma yang dilakukan oleh organisasi Buddha yang didirikan oleh Yin-guang adalah mencetak dan mengirimkan buku-buku Dharma ke seluruh pelosok negeri. Demikianlah, melalui rekomendasi dari Kepala Kantor Telegrap, Li mulai mendapatkan buku-buku Dharma dari Yin-guang. Sebelumnya Li menganggap ajaran Sukhavati hanya sesuai bagi para nenek tua, tetapi semenjak membaca buku-buku dari Yin-guang ini, Li mulai berubah dan belajar melafalkan nama Buddha, meskipun masih secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu kalau diketahui oleh orang lain. Melalui rekomendasi seorang umat perumah tangga yang menjadi murid Yin-guang, Li menerima surat dari Yin-guang yang menyatakan Yin-guang menerima Li sebagai murid dengan nama Dharma: Deming. Tepat di hari peringatan Bodhisattva Mahasthamaprapta, sesuai dengan petunjuk dalam surat, Li melakukan ritual penerimaan Trisarana di depan altar Buddha. Bimbingan Dharma yang dituliskan dalam surat oleh Yin-guang antara lain berbunyi: orang yang belajar Buddhisme, harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang manusia yang beretika, membasmi pikiran buruk menjadi orang yang jujur, jangan berbuat jahat, lakukan kebajikan, lakukan praktik spiritual demi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, bersama-sama berlatih dan mempraktikkan metode Sukhavati. Sejak itu, Li menerima bimbingan Dharma dari Yin-guang melalui surat menyurat. Tahun 1933, Li menuju Vihara Baoguo di Suzhou dan bertatap muka langsung dengan Yin-guang yang waktu itu sedang melakukan praktik penyunyian diri. Menjelang akhir tahun 1940, Yin-guang wafat. Sekretaris Jenderal Dinas Pelestarian Konfusianisme Tahun 1934, Li diangkat sebagai pejabat negara Sekretaris Jenderal Dinas Pelestarian Konfusianisme. Tahun 1935, Li memperoleh izin praktik sebagai dokter pengobatan tradisional Tiongkok. Agustus 1936, menerima Panca Sila dari Master Keguan di Vihara Jingju di Jinan, Shandong. September 1936, menerima Sila Bodhisattva dari Master Dayun di Komunitas Teratai di Jinan. Belajar Trantrayana Tahun 1937, meletuslah insiden Jembatan Lugou yang mengawali 8 tahun perlawanan Tiongkok terhadap invasi Jepang, Li mengikuti Dirjen Dinas Pelestarian Konfusianisme, Kong Decheng—keturunan Konfusius generasi ke-77, berpindah ke Chongqing. Selama di Chongqing, Li membantu Master Taixu, Ketua Organisasi Buddha Tiongkok waktu itu, membabarkan Dharma di kota Chongqing. Selama di Chongqing ini, Li tidak sepenuhnya mempraktikkan metode Sukhavati, Li masih menyempatkan diri belajar Trantayana dari aliran Kagyu. Bahkan sebelumnya sewaktu masih menetap di Jinan, selama 8 tahun Li belajar metode Chan dari Master Zhenkong dan Keguan. Lalu apa yang menyebabkan Li akhirnya hanya berfokus kepada metode Sukhavati? Penjelasan Li adalah sebagai berikut. “Sebelum perjuangan melawan imperialisme Jepang, saya pernah belajar Chan dari Master Zhenkong yang berasal dari Beijing, pun selama 8 tahun berlatih Chan dari Master Keguan pimpinan Vihara Jingju di Jinan. Selama perjuangan melawan invasi Jepang, saya mengungsi ke Chongqing, lalu belajar mantra Tantrayana dari Master Gong Ga Hu Tu Ke Tu aliran Kagyu, juga selama 8 tahun, tetapi saya merasa malu gagal mencapai hasil yang diinginkan, sebab itu saya kemudian benar-benar yakin akan petunjuk Master Yin-guang, kembali melakukan praktik metode pelafalan nama Buddha.” Upasaka Li Bingnan setelah belajar Chan dan Tantrayana, lalu kembali lagi ke metode Sukhavati, penyebab sesungguhnya adalah “gagal mencapai hasil yang diinginkan”, sebab itu di kemudian hari setiba di Taiwan, Li mengajarkan kepada para murid, “Di zaman Dharma Akhir ini, sangatlah sulit untuk bisa memutuskan kekotoran batin, yang baik adalah lahir di Sukhavati dengan membawa benih karma.” Membabarkan Dharma di Formosa Tahun 1949, Li mengikuti Kong Decheng pindah ke Taiwan menetap di kota Taichung. Sewaktu baru menapakkan kaki di pelabuhan Keelung di bulan 2 Imlek tahun 1949, Li mengucapkan ikrar akan mengupayakan agar nama Buddha Amitabha bisa tersebar hingga ke seluruh pelosok pulau Formosa itu. Sebelum kepindahan ke Taiwan, Li sudah tidak asing lagi dengan aktivitas pembabaran Dharma, khususnya selama di Chongqing saat-saat mendampingi Master Taixu, tokoh revolusioner Buddhisme Tiongkok kontemporer dan pencetus filosofi Buddhisme Humanisme, sebuah filosofi yang kemudian dilanjutkan oleh Master Yinshun, lalu diwujudkan secara nyata oleh Master Chengyen dari Organisasi Tzu Chi. Li tidak menunda-nunda lagi, sejak bulan 4 Imlek telah mulai menggulirkan program mulia melalui bakti sosial pengobatan tradisional Tiongkok secara gratis dan pembabaran Sutra. Sutra yang pertama kali dibabarkan oleh Li adalah Sutra Hati bertempat di Vihara Fahua di kota Taichung. Saat itu usia Li sudah sekitar 60 tahun. Pembabaran Sutra Hati ini, dalam segi kuantitas pendengar, sangat tidak sukses. Jumlah hadirin pernah merosot hingga hanya menyisakan tiga orang: pimpinan Vihara Fahua merangkap penerjemah dari Mandarin ke Taiwanese—Master Dharma Zhixiong, Xu Yandun—umat, dan seorang pembantu yang bertugas mengemasi bangku dan meja seusai pembabaran Dharma. Hal ini terjadi mungkin karena pembabaran yang terlalu dalam maknanya, atau juga karena kurangnya sosialisasi atas program ini. Sebelumnya, Taiwan merupakan wilayah pendudukan Jepang selama 50 tahun (1895—1945), selama kurun waktu itu vihara-vihara di Taiwan mengikuti pola Buddhisme Jepang, tidak ada aktivitas pembabaran Buddha Dharma, sehingga sedikit sekali penduduk Taiwan yang mengerti akan Buddha Dharma. Mendengar bahwa ada upasaka dari daratan Tiongkok yang membabarkan Buddha Dharma, berita ini dengan cepat menyebar luas, para umat yang datang mendengarkan ceramah Li semakin hari semakin banyak. Setelah Sutra Hati, Li selanjutnya membabarkan Sutra 42 Bagian. Pembabaran Dharma yang dilakukan Li akhirnya semakin meluas, tidak hanya di vihara saja, namun juga meliputi kelenteng. Selama di Vihara Fahua, selain membabarkan Sutra, Li juga menjalankan program gratis pengobatan tradisional Tiongkok. Dalam tahun pertama, Li telah memberikan lebih dari 1.400 lembar resep obat. Dua bulan lebih sejak hari pertama pembabaran Sutra di Vihara Fahua, Li mendirikan pusat pembabaran metode Sukhavati di Vihara Lingshan, di sanalah Li membabarkan Sutra-Sutra aliran Sukhavati. Pembabaran Dharma yang dilakukan oleh Li meluas hingga ke kota-kota di sekitar kota Taichung. Nama Li Laoshi (Guru Li) mulai dikenal dalam kalangan Buddhisme di pulau Formosa itu. Tahun 1950, bersama beberapa upasaka mendirikan Komunitas Teratai Buddhis kota Taichung, untuk sementara masih menumpang di Vihara Fahua, Li terpilih sebagai ketuanya. Komunitas yang didirikan Li ini mempunyai pedoman Sepuluh Perilaku dan Tiga Misi yang harus dijalankan oleh setiap anggotanya. Sepuluh Perilaku: 1, Setulus hati mempraktikkan Buddha Dharma, mencapai KeBuddhaan berlandaskan kebijaksanaan, membimbing makhluk hidup berlandaskan cinta kasih dan welas asih. 2, Sepenuh hati menjalankan peraturan Trisarana dan Panca Sila, meskipun tidak menerima Panca Sila, tetap harus berikrar mematuhi Sila. 3, Yakin akan hukum karma, banyak menimbun kebajikan, tidak mencari nama dan keuntungan. 4, Berlatih bersama, tidak membedakan aliran dan tidak saling menyerang. 5, Tidak mempraktikkan ajaran di luar Buddha Dharma yang menyesatkan. 6, Dalam komunitas, baik anggota Sangha maupun umat perumah tangga, harus memuji dan melindungi setiap aktivitas pembabaran Dharma, jangan iri hati. 7, Tidak memperbincangkan kesalahan setiap anggota komunitas, kecuali demi kepentingan pembahasan Buddha Dharma. 8, Tenangkan diri dan introspeksi setiap kali menghadapi fitnah dan celaan! Perbaiki jika memang benar melakukan kesalahan itu, ubah sebagai motivasi jika tidak melakukan kesalahan itu, jangan melakukan pertengkaran. 9, Selalu mawas diri, selalu merasa bahwa baik moral, praktik, maupun pengetahuan diri sendiri sangatlah minim, jangan merasa sombong. 10, Harus bersemangat dan berdaya upaya dalam berlatih diri, lakukan kebajikan dan rajin belajar, kerahkan segenap tenaga baik lahir maupun batin; danakan segala yang dimiliki demi kebahagiaan semua makhluk. Sedangkan Tiga Misi adalah sebagai berikut: 1, Membabarkan Kitab-Kitab Buddhisme dan Konfusianisme dengan tujuan memurnikan hati manusia. 2, Berkumpul bersama melafalkan nama Buddha Amitabha dengan tujuan agar setiap individu bisa terlahir di alam Sukhavati dalam kehidupan ini juga. 3, Menyelenggarakan aktivitas budaya dan kemanusiaan dengan tujuan meningkatkan moral dan memperbaiki adat istiadat. Bagi para pembaca yang berminat, bisa mengakses situs Komunitas Teratai Buddhis Taichung (Taichung Buddhist Lotus Society) di tcbl.org.tw/. Tahun 1952, berdirilah kantor resmi Komunitas Teratai Buddhis Taichung. Sejak tahun 1955, Li secara berturut-turut mendirikan banyak tempat pembabaran Dharma dan pusat pelatihan metode Sukhavati di seluruh Taiwan, sebagian besar di antaranya masih terpusat di Taiwan bagian tengah. Pembabaran Dharma ini kemudian berkembang tidak hanya bagi masyarakat umum, tetapi juga meluas hingga para mahasiswa. Guru Li kemudian berturut-turut mendirikan Perpustakaan Ciguang (Sinar Cinta Kasih), Taman Kanak-Kanak Ciguang, Rumah Sakit Bodhi, Rumah Penampung Fakir Miskin Bodhi, serta Organisasi Majalah Buddhis Bodhi. Beliau juga menjadi dosen pengajar di Tunghai University, Chung Hsing University dan Chinese College of Medicine dalam bidang filsafat Konfusian, pengobatan tradisonal Tiongkok, dan Buddhisme. Oleh karena menguasai baik Konfusianisme maupun Buddhisme, Guru Li membabarkan Dharma dengan berpedoman pada kesusilaan Konfusian dan metode Buddhisme Sukhavati. Pembabaran Dharma yang beliau lakukan mengukuhkan Taichung sebagai pusat pembabaran Dharma di Taiwan bagian tengah, pengaruhnya meluas dari masyarakat awam, perguruan tinggi, kelenteng, hingga anggota Sangha. Pembabaran Dharma yang beliau upayakan meliputi bidang budaya Tionghoa, rumah sakit, fangsheng, pembabaran Sutra, pencetakan media tulis Buddhisme, pendidikan, bea siswa, penjelasan Kitab Konfusius Lunyu, stasiun radio Dharma, perpustakaan Buddhisme, komunitas pelafalan nama Buddha membantu umat yang membutuhkan bantuan iringan pelafalan nama Buddha, pembinaan rohani bagi para narapidana, dan lain sebagainya. Kontroversi Upasaka Semenjak menginjakkan kaki di Taiwan di tahun 1949, kalangan Buddhisme di Hongkong dan Taiwan pernah menyarankan kepada Li untuk menjalani kehidupan sebagai bhiksu, mungkin sudah ada yang bisa menebak bahwa status Li sebagai upasaka kelak akan menimbulkan permasalahan dalam kegiatan pengembangan Buddha Dharma. Sebenarnya tidaklah sulit bagi Guru Li untuk meninggalkan kehidupan sebagai perumah tangga lalu berkiprah dalam aksi pembabaran Dharma dengan mengenakan jubah bhiksu. Penyebab Guru Li tidak menjadi bhiksu, mungkin ada hubungannya dengan profesi beliau sebagai Sekretaris Jenderal Dinas Pelestarian Konfusianisme, sebab jika menjadi bhiksu maka tidaklah sesuai jika memegang posisi sebagai Sekjen dalam badan pemerintahan tertinggi yang menangani Konfusianisme. Selain itu, begitu tiba di Taiwan, Li menjadi dosen pengajar di beberapa Universitas dan Akademi, khususnya mengajar dalam bidang Konfusianisme, sehingga akan terasa ganjil jika seorang bhiksu mengajar tentang Konfusianisme. Di samping itu, istri dan putra beliau masih hidup, meskipun hidup terpisah karena mereka berada di Tiongkok. Meskipun berstatus sebagai upasaka, namun kehidupan Guru Li sehari-harinya selama di Taiwan tak berbeda jauh dengan kehidupan seorang bhiksu, hidup sendirian tanpa sanak keluarga, menjalankan sila, dan vegetarian. Meskipun demikian, tetap saja berdengung suara-suara negatif, seperti: menganggap Guru Li menentang para murid beliau untuk menjadi anggota Sangha, tidak menghormati anggota Sangha, Guru Li adalah Ratna keempat (setelah Triratna), umat perumah tangga namun memberikan Trisarana, dan lain sebagainya. Berbicara tentang Trisarana, Guru Li hanya mewakili Master Buddhis menyampaikan wejangan tentang Trisarana bagi para murid. Guru Li memberi batasan yang jelas mengenai tugas dan kewajiban antara umat perumah tangga dan anggota Sangha. Sebenarnya Guru Li tidak memberikan Trisarana, beliau hanya mewakili bhiksu pemberi Trisarana membacakan ayat-ayat Trisarana kepada umat yang akan menerima Trisarana dari bhiksu tersebut. Pada awal kedatangan di Taiwan, Guru Li menulis surat merekomendasikan umat yang ingin menerima Trisarana kepada Master Rucen di Sichuan, Tiongkok, lalu membacakan wejangan Trisarana yang tertulis dalam surat balasan Master Rucen kepada umat/murid bersangkutan di Taiwan. Setelah putusnya hubungan Taiwan dengan daratan Tiongkok, Guru Li kemudian mewakili Master Zhenglian, Master Nanting, dan Master Yinshun di Taiwan, menyampaikan wejangan Trisarana kepada umat/murid dari Master bersangkutan di depan altar Buddha. Satu contoh lagi tentang kontroversi yang muncul adalah ketika Chin Kung belajar Buddha Dharma dari Guru Li, suara-suara negatif pun bermunculan, mana boleh seorang bhiksu belajar Dharma dari seorang umat perumah tangga? Amanat Terakhir Guru Li hidup sangat sederhana dan hemat. Tempat tinggal Guru Li di kota Taichung, sangatlah sempit dan kecil, tetapi beliau tetap merasa nyaman. Guru Li tidak akan membuang pakaian yang dikenakan kecuali bila telah tidak dapat ditambal lagi. Makan tepat waktu dengan porsi sedikit. Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1930 Guru Li telah menjalani kehidupan vegetarian. Pernah seorang murid memberi persembahan dana emas, tetapi Guru Li kemudian menyumbangkan emas itu bagi kegiatan kemanusiaan atas nama murid tersebut. Di tahun 1966, karena menganggap Guru Li patut menerima penghargaan sebagai warga negara teladan di Taiwan, ada yang mengajukan nama Guru Li kepada dinas pemerintah terkait. Pengajuan tersebut mendapatkan persetujuan. Mengetahui akan mendapat penghargaan, Guru Li memohon agar namanya dicoret dari daftar penghargaan tersebut. Inilah suri teladan tanpa pamrih yang Guru Li contohkan kepada kita. Guru Li aktif dalam pembabaran Dharma hingga usia lebih dari 90 tahun dan tak menampakkan kepenatan sedikit pun. Di usia yang begitu lanjut, suara Guru Li tetap lantang. 19 Maret 1986 merupakan terakhir kalinya Guru Li membabarkan Sutra, yaitu Sutra Avatamsaka. Saat itu Guru Li berpesan, “Jangan terlalu banyak berbicara, banyak-banyak melafalkan nama Buddha, pukul pikiran hingga mati, agar Tubuh Dharma yang kau miliki menjadi hidup.” 12 April, Guru Li memanggil murid pendamping—Upasaka Zheng Shengyang, lalu berkata, “Aku akan pergi.” Zheng menjawab, “Kami semua masih ingin mendengarkan Guru meneruskan pembabaran tentang Sutra Avatamsaka.” Guru Li tidak menjawab sepatah pun. 13 April dini hari, Guru Li melafalkan nama Buddha dan meninggalkan amanat terakhir kepada para murid yang berada di sekitar beliau: “Pikiran terpusat dan terkendali”, Guru Li wafat dengan tenang pada pukul 05:45 dini hari dengan posisi berbaring miring ke kanan dan tangan memegang tasbih, di tengah iringan pelafalan nama Buddha yang dikumandangkan oleh para murid. Guru Li meninggalkan istri, putra, dan dua cucu wanita di Tiongkok.
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 05:46:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015