Rumahku Istanaku Arsip 19 Desember 2012 Penulis :septapa KAtegori - TopicsExpress



          

Rumahku Istanaku Arsip 19 Desember 2012 Penulis :septapa KAtegori : Kisah Nyata Kalian bisa memanggilku dengan nama “Dika” atau “Septapa”, nama tengah dan belakang yang telah diberikan oleh ke 2 orang tuaku. Aku bisa dibilang apa yang orang-orang sebut dengan mahasiswa perantauan. Sekarang ini aku sedang mengenyam pendidikan sarjana di salah satu perguruan tinggi negeri yang terletak di Jatinangor, Sumedang. Sebuah kota kecil yang yang disematkan sebagai kota pendidikan yang terletak di perbatasan Bandung-Sumedang. Kampusku terletak di areal perbukitan yang masih menyisakan sedikit hutan-hutan penuh cerita, tentu saja bukan cerita-cerita drama ala korea. Sebuah cerita lain dari mereka-mereka yang telah berlainan alam. Akan tetapi bukan cerita tentang kampusku yang akan aku ceritakan kali ini, tetapi cerita yang terjadi kurang lebih Sembilan tahun yang lalu di kediaman keluarga kecil orang tuaku. Silakan disimak cerita yang dulu ku alami ini, dan tolong sikapi dengan bijak dan jadikan pelajaran. Tahun ini aku resmi menanggalkan atribut merah putih yang selalu ku pakai setiap hari Senin sampai Kamis, untuk hari Jumat-Sabtu tetap pakaian Pramuka yang dipakai di semua jenjang pendidikan di daerah tempat ku tinggal. Putih-Biru yang telah disiapkan oleh ibuku sebentar lagi akan menemui tuannya yang baru, diriku. Jarak dari rumah menuju sekolah tempat aku belajar sekitar 200-300 meter, itu juga kalau dihitung dari gerbang rumah ke gerbang sekolah yang memutar. Jarak sebenarnya sih cuma 3 meter karena rumahku terletak tepat di belakang sekolah, tepatnya di belakang persis kelas 2E yang terhalang pagar beton setinggi 3 meter. Kelas yang terletak paling pojok dan merupakan kelas paling gelap di sekolahku. Konon katanya sebelum berdiri bangunan kelas 2E tersebut, lokasi itu merupakan sebuah kolam ikan di mana pernah ditemukan mayat perempuan korban pemerkosaan dan pembunuhan di sana. Meski belum dapat dibuktikan. Berawal dari sana, masih konon, sering terlihat bayangan perempuan tersebut melayang terbang dan terjun masuk ke dalam kolam yang sekarang sudah dibangun kelas di atasnya, kelas yang tepat berada di depan rumahku sekarang ini. Aku akan menceritakan sedikit tentang rumah yang kami tinggali, setidaknya untuk mempermudah membayangkan ketika membaca tulisan ini. Tidak mewah namun tidak juga kumuh, tidak besar dan juga tidak kecil itulah rumahku. Di halaman depan terdapat sebuah pohon jambu air yang sangat tua, lebih tua dari rumahku. Berbagai tanaman hias koleksi ibuku juga berjejer dengan rapi diatas raknya di halaman. Di teras samping terdapat halaman kecil tempat menjemur pakaian yang sering aku dan adik-adikku pakai bermain. Kemudian di halaman belakang juga terdapat sebuah pohon jambu tua dan tanaman bayam milik ibuku. Rumahku memang agak terkesan angker menurut tetangga-tetangga karena pohon-pohon besar dan tua yang berada di halamannya. Singkat cerita, semester pertama di kelas 1 pun berakhir. Di akhir semester itu aku berhasil mencatat prestasi yang cukup membanggakan yaitu menjadi nomor 1 di seluruh kelas anak kelas 1. Yah, meski hanya untuk satu semester saja aku cukup senang. Semester selanjutnya justru menjadi mimpi paling buruk yang ku alami. Terlalu sulit untuk mengingat kapan mimpi buruk itu dimulai untuk pertama kalinya, karena jujur aku tidak sadar. Semua berubah begitu drastis hanya dalam beberapa bulan, terutama perubahan sikap ayahku kepada ibu,dan kami anak-anaknya. Ayah yang seorang family-man sebelumnya seakan berubah menjadi ayah yang orang lain. Beliau yang bekerja sebagai tenaga medis ahli memang mengharuskannya berjaga malam di puskemas seminggu sekali, namun sekarang seperti setiap malam adalah gilirannya berjaga malam. Meski sekitar tengah malam pulang. Malam itu ayahku kembali mendapat giliran berjaga malam di bangsal puskesmas tempat beliau bekerja. Aku sebagai anak sulung secara tidak langsung memiliki tanggung jawab menjaga ibu dan adik-adikku yang masih kecil ketika beliau bertugas. Waktu itu masih marak acara-acara misteri yang ditayangkan di tv, mulai dari ekspedisi alam gaib, dunia lain, gentayangan, percaya ga percaya sampai penampakan. Aku tergolong anak yang cukup pemberani di usiaku yang baru menginjak bangku sekolah menengah pertama, sehingga acara-acara seperti sudah menjadi tontonanku hampir di setiap jam tayangnya. Acara-acara tersebut kebanyakan tayang di atas jam sepuluh malam, kurang lebih 1 jam setelah ayahku berangkat. Setelah puas, akupun pergi tidur. Kamarku terletak tepat di samping ruangan tv dengan jendela yang menghadap langsung ke tv. Di dalam kamarku terdapat 2 buah tempat tidur single. 1 untukku dan 1 lagi untuk adikku, sayang sekali ia masih belum berani dan akhirnya ditempati oleh uyutku beberapa saat. Sekarang tempat tidur tersebut kosong karena uyutku meninggal beberapa bulan sebelumnya. Tempat tidur yang aku tiduri tepat berada di depan pintu sehingga ketika berbaring kepalaku menghadap ke pintu kamar, pojok sebelah kirinya adalah tempat tidur bekas almarhumah uyut. Di depannya terdapat lemari pakaian, dan di samping lemari pakaian adalah meja belajar yag tidak pernah aku pakai belajar. Beberapa menit setelah berbaring mataku tetap tidak mau memejam. SREEEEEKKKK…sebuah suara seperti pasir dan kerikil meluncur di atas genteng tepat diantara kamarku dan kamar ibuku di sebelah. Ku tajamkan pendengaranku dan berusaha meyakinkan diri sendiri kalu itu cuma salah dengar saja. SREEEEEKKK….suara itu terdengar lagi dan sangat nyata. Akal sehatku masih mencoba mencari alasan-alasan logis yang mungkin, tapi sayangnya tidak ada. Semua logika-logikaku terpatahkan oleh cerita-cerita mistis yang telah aku konsumi melalui cerita-cerita para tetangga dan acara-acara misteri yang sering aku tonton. Seketika aku menjadi waspada menunggu apa lagi yang akan mucul selanjutnya. Bantal guling ku pakai menutup setengah wajahku hingga hidung, memungkinkanku untuk mengintip sekitar namun tetap merasa terlindungi. Setelah bunyi kedua suasana menjadi sangat sunyi, hanya suara bising dari deru mesin kipas angin yang tetap bekerja. Serangga-serangga juga terdiam seakan memberi kesempatan pada malam untuk mempertajam pendengaranku akan suara-suara asing yang berkunjung. Setelah ditunggu beberapa saat suara-suara tersebut tidak muncul lagi. Rasa lega dan sedikit tenang mulai aku rasakan kembali. Meski hanya beberapa saat. Baru saja napas lega aku hirup muncul kembali suara yang berbeda, bukan suara pasir dan kerikil lagi yang terdengar. Suara tangisan seorang perempuan samar-samar ku dengar. Aku tersentak kaget karena suara tangisan tersebut begitu aneh. Perempuan itu menangis dengan nada datar, tanpa emosi, dingin. Sekali lagi mencoba menajamkan pendengaran untuk mencari dari mana sumber suara tersebut berasal. Ah ..sungguh aneh, suara tangisan tersebut bergaung di kamarku, seakan perempuan tersebut menangis sambil mengitari aku yang bersembunyi di bawah bantal guling. Seketika tangan dan kaki terasa kaku, ingin aku singkirkan guling ini dan melihat ke sekeliling kamar tapi rasa cemas akan apa yang mungkin muncul menahanku. Aku mencoba menutup kupingku dengan ujung guling yang sedari tadi menjadi perisaiku dengan harapan suara tangisan tersebut tidak terdengar lagi. ANEH! Begitu kuping ku tertutupi seakan tangisan tersebut semakin kencang dan terpusat, tepat di ke 2 kupingku. Kehabisan akal, akhirnya aku baca surat-surat pendek dari Al-Qur’an berkali hingga suara tangisan tersebut perlahan menghilang. Aku mencoba untuk tidur kembali, dan berhasil. Tidak terasa pagi menjelang, terdengar suara perempuan di luar kamar menyuruhku bangun untuk sekolah. Suara ibuku ternyata, aku bersyukur pagi sudah tiba. Rutinitas pagi pun ku jalani sebelum berangkat ke sekolah. Kejadian semalam tidak ku ceritakan kepada ibu karena khawatir beliau menjadi cemas. Pada jam sekolah aku benar-benar lupa akan teror tangisan yang semalam. Setidaknya untuk sejenak aku melupakannya. Yah, meski sementara karena sepulang sekolah secara tidak sengaja aku mendengar percakapan ibu dengan teh Neneng, tetangga sebelah rumah sedang membicarakan suara tangisan tersebut. Awalnya ibuku bertanya kepada teh Neneng kenapa malam tadi nangis. Teh Neneng menjawab dengan nada bingung bahwa ia mengira justru ibuku yang menangis. Keduanya terdiam beberapa saat. Tetanggaku itu membuka kembali obrolan bahwa disamping suara tangisan perempuan ia juga mendengar tangisan bayi. Secara instan perpustakaan yang berisi cerita-cerita mistis tentang sekitar rumahku pun terbuka, dan aku ingat sebuah cerita tentang pohon jambu belakang rumahku. Aku lupa siapa orang yang pertama memberi tahu cerita tentang pohon jambu di belakang rumahku, yang pasti pertama kali mendengarnya justru ku anggap hanya sebagai candaan untuk menakut-nakuti saja. Tapi anehnya hampir semua tetangga bercerita yang sama, kompak sekali mereka mengerjaiku. Cerita yang ku dengar adalah bahwa dulu jauh sebelum aku dan keluargaku membangun rumah di sana, pohon itu sudah berdiri tegak. Namun itu bukan fokus mereka. Mereka menyebutkan tentang seorang perempuan yang meninggal ketika melahirkkan dan ia dikuburkan tepat di samping pohon jambu tersebut, tepatnya di bawah dahan tempat ayahku membuat ayunan. Hingga cerita ini terjadi aku masih menganggap cerita tersebut hanya candaan, tapi tidak setelah malam ini. Malam berikutnya aku bisa tidur dengan tenang karena ayahku ada di rumah dan suara tersebut tidak muncul lagi. Selama beberapa malam aku bisa memejamkan mata dengan tenang dan tidur dengan nyenyak. Setelah agak lama, suara tangisan tersebut muncul kembali dan semakin menjadi. Frekuensi munculnya sudah hampir setiap malam. Tapi aku masih bersyukur suara tersebut tidak menampakkan wujudnya. Tidak hanya sampai di sana, suara tangisan tersebut ternyata hanya permulaan dari mimpi buruk selanjutnya. Pernah suatu malam aku sedang sendirian di ruangan tv, dan aku sangat yakin tidak ada seorangpun lagi karena semua anggota keluargaku sudah masuk kamar semuanya. Aku yang sedang asik menonton tv dikagetkan oleh suara menghardik “WOY!” yang berasal dari atap di kanan atas tv. Suara tersebut serak dan berat. Seingatku tidak pernah mendengar suara seperti itu dan baru sekarang saja. Aku tidak ambil pusing dan terus menonton sampai tiba-tiba channel tv yang aku tonton berubah dengan sendirinya. Remot yang ku simpan di atas sofa tidak mungkin tombolnya tertekan tak sengaja karena aku tidur-tiduran di bawah. Tanpa memikirkan itu siapa atau apa akhirnya aku pergi ke kamar untuk tidur. Seiring dengan gangguan-gangguan yang menimpa keluargaku, ayahku justru menjadi lebih sering keluar dan pulang tengah malam. Sungguh sangat menyedihkan melihat kondisi keluargaku saat itu. Hampir setiap hari ibuku menangis karena ayah seperti orang lain yang bersikap layaknya orang asing pada keluarnya sendiri. Aku mengingat betul suatu malam aku yang sedang bermain playstation di ruangan tengah, tentu saja ditemani suara tangisan itu lagi, kini suaranya berasal dari tembok luar ruangan tv. Kebal sudah sekarang diriku saking seringnya ‘ditangisi’. Namun keluargaku ternyata tidak mendapat gangguan apapun lagi setelah yang pertama, hanya pada diriku. Ada apa ini tanyaku dalam hati. Saat aku asyik bermain terdengar suara logam beradu, suara gerbang depan yang dibuka oleh ayahku. Saat itu waktu menunjukkan jam satu malam. Dengan enteng ayahku berjalan masuk dan melewati ruanganku bermain menuju dapur sambil bertanya “itu mama kamu kenapa nangis? Terus ngapain nangisnya di depan pohon mangga di depan rumah?” Aku dengan bingung balik bertanya “mama di pohon mangga?.” Lalu aku jelaskan kalau mama sudah tidur di kamar dari jam 11 malam, dan aku tegaskan kepada beliau kalau suara tangisan itu hampir setiap hari aku dengar. Lalu kamipun terdiam. Hampir 6 bulan lebih sejak gangguan pertama, kini bukan hanya aku dan ayahku yang diganggu tapi ibuku juga. Saat itu sudah musim hujan, dan seperti biasa ayah tidak di rumah. Hanya aku, ibu, dan kedua adikku saja. Hujan deras mengguyur membahasi sejak sore, akupun tertidur dari jam 9, tidak seperti biasanya tengah malam. Dini hari di tengah tidurku, aku merasakan guncangan di tubuhku. Perlahan ku buka mataku yang masih mengantuk, ternyata itu ibuku, tapi kenapa wajah beliau panik sekali. Aku pun beranjak dan bertanya, beliau menjawab katanya ketika hendak mengambil wudhu untuk solat tahajud beliau mendengar ada orang tepuk tangan dari teras samping. Awalnya suara tepuk tangan tersebut tidak dihiraukan karena ibuku menganggap mungkin suara daun kena hujan. Meski aku yakin itu hanya usaha beliau saja menenangkan diri dari rasa takut. Kemudian beliau mengatakan ternyata suara tepu tangan tersebut mengikutinya, yang awalnya berasal dari teras samping kini suaranya terdengar dari tembok luar kamar mandi. Setelah itu ibuku berlari ke kamarku. Aku tidak mungkin tidak mempercayainya, karena selama 6 bulan terakhir saja begitu banyak keanehan-keanehan yang aku alami. Tidak perlu waktu lama untuk mencapai tempat yang dimaksud oleh ibu, benar saja suara tepuk tangan itu jelas sekali suara tangan, bukan suara daun terkena hujan. Istigfar meluncur deras dari mulutku. Akhirnya aku menemani beliau mengambil wudhu dan solat tahajud. Sempat kutanyakan kepada adikku apakah ia merasakan hal-hal aneh di rumah dan dijawabnya tidak, cuma ia hanya merasakan rasa tidak nyaman dan hawa rumah yang panas, bukan panas karena gerah tapi panas yang lain yang sulit dijelaskan. Mungkin lebih mirip panas dan sesak seakan rumahku itu seperti pasar malam yang penuh dengan orang belanja. Tapi di rumah yang hanya berisi 5 orang ini terasa sesak apakah mungkin? Sudah tidak terhitung lagi banyaknya kejahilan-kejahilan mereka lewat suara, hingga akhirnya mereka menampakkan diri padaku satu persatu. Pertama kalinya si pemilik suara tangisan tersebut muncul di kamarku, tepatnya di atas lemari baju yang berada di depan tempat tidur uyutky yg telah meninggal. Wujudnya tentu saja seorang wanita, tipikal kuntilanak. Berambut panjang dan bergaun putih. Perwujudan tersebut muncul seperti orang sedang menangis dengan posisi bersujud. Saat itu rasa takut benar-benar menguasai, badan kaku seperti terbuat dari kayu. Aku tidak bisa berbuat banyak selain memperhatikan mahluk itu sampai ia benar-benar menghilang 15 menit kemudian. Setidaknya malam itu aku masih beruntung karena ia tidak memperlihatkan mukanya. Entah berapa lama setelah penampakan itu muncul di atas lemari, ia muncul kembali. Ia muncul dari pintu kamarku memperlihatkan wajahnya. Warna kulitnya seperti orang yang telah meninggal tenggelam selama seminggu lebih, alisnya tebal dan kasar, mata seperti manusai tapi tatapannya kosong, mulutnya robek hingga sebatas kuping sehingga rahangnya terlihat jelas. Mahluk itu hanya berdiri di sana menatapku yang duduk terpaku. Seperti yang sebelumnya,aku harus bertahan menghadapi pemandangan horor tersebut sampai ia bosan memperlihatkan diri. Masih tentang perempuan bermulut sobek itu, ia pernah menunjukan diri ke sepupu yang menginap di kamarku. Seperti yang ku alami sebelumnya, ia muncul dari pintu, tetapi kejadian yang menimpa sepupuku agak berbeda. Perempuan pucat itu menghampirinya dan mencekiknya. Aku tahu mahluk halus tidak bisa melukai manusia secara langsung, tapi bisa saja ia memberikan sugesti misalkan perasaan sedang tercekik kepada orang yang sedang menjadi korban kejahilannya. Pada saat kejadian itu aku memang sedang terlelap, paginya sepupuku bercerita dan siangnya hari itu juga ia pulang. Rentetan penampakan semakin sering terjadi, bahkan mahluk-mahluk itu menampakkan diri dengan meminjam wujud uyutku, gangguan suara bahkan setiap malam terjadi di jam yang sama, jam 2.15 AM. Sedikit demi sedikit mulai terkuak siapa atau apa saja pemilik suara yang hampir setahun ini mengganggu. Setelah sebelumnya kuntilanak menangis menunjukkan dirinya, sekarang giliran dari suara serak dan berat yang menggeram dan menghardik ketika menonton tv tempo hari. Malam itu aku tertidur di atas sofa depan tv, posisi aku tertidur tepat menghadap dapur. Aku tidak ingat jam berapa yang pasti dini hari aku merasa ad tangan kasar yang dingin mengusap kakiku yang terjuntai di ujung sofa. Usapan-usapan tersebut berlangsung cukup lama hingga aku terbangun dan dengan jelas melihat mahluk yang hanya terlihat sebatas pinggang ke bawah, dari pinggang menuju kepala tidak terlihat karena saking tingginya. Perwujudan mahluk tersebut mirip dengan genderuwo, Cuma yang satu ini berbulu merah. Entahlah sebenarnya mahluk apa itu. Setelah melihat genderuwo merah itu, aku seperti pingsan dan terbangun esoknya dengan kepala yang sangat berat. Rasa takut yang awalnya ku rasakan berubah menjadi rasa marah kepada mahluk-mahluk yang meneror kami sekeluarga. Aku tidak peduli lagi dengan tangisan, geraman atau penampakan mereka. Pernah aku suatu malam marah-marah di kebun belakang gara-gara jengkel dengan suara tangisan gaib tersebut. Anehnya setelah itu tangisan itu menghilang selama beberapa lama. Sampai saat itu terjadi, ayahku masih bersikap seperti orang lain. Aku yang paling banyak menerima gangguan berubah perangai menjadi pemarah dan pemberontak. Ibu yang menangkap sinyal-sinyal dari aku anaknya akhirnya berinisiatif memanggil temannya, seorang paranormal. Beliau diundang ke rumah untuk mendeteksi dan akhirnya disimpulkan bahwa keluarga kami terkena teluh atau guna-guna. Sasarannya adalah ibu saya, namun karena ibu sangat rajin dan taat beribadah membuatnya terhindar dari efeknya. Namun konsekuensinya mahluk kiriman tersebut membuat rumah kami tidak nyaman ditempati dan merubah perangai orang di dalamnya. Pantas saja setaun belakangan sikap ayah menjadi berbeda. Tanpa berpikir panjang ibu meminta rumah kami dibersihkan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana prosesi pembersihan tersebut. aku tidak begitu ingat awalnya, hanya akhirnya saja. Prosesi berakhir dengan pemotongan buah kelapa muda. Kamisemua begitu kaget karena isi dari buah kelapa tersbut airnya sudah mongering dan digantikan dengan 3 buah bulatan tanah merah yang berbau busuk. Dijelaskan oleh sang paranormal bahwa itu adalah jin yang disuruh mengganggu. Kemudian bulatan tanah tersebut dibungkus dengan kertas berajah dan dibakar. Setelah terbakar abu dari pembakaran tersebut digosokkan ke tangan sang paranormal, ajaib muncul sebuah nama. Itulah nama dari sang pengirim. Setelah prosesi tersebut Alhamdulillah rumah keluargaku berangsur membaik. Dan ternyata kenapa hanya aku yang diganggu paling banyak adalaha karena jin-jin tersebut sadar bahwa aku punya kelebihan yang saat itu terpendam. Dan karena gangguan mereka lah akhirnya aku sadar. FIN Begitulah pengalaman yang telah lama ku alami dan merupakan awal petualanganku yang lain. Aku tidak bisa menyebutkan nama pengirimnya karena ia telah meninggal karena katanya teluh yang ia kirim berbalik. Promo Cerita Terbaru mistik.reunion.web.id/6085/sekedar-cerita.htm
Posted on: Wed, 21 Aug 2013 04:35:43 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015