SALAFIYYAH YAHUDIYYAH Oleh: Abu Sulaiman Aman - TopicsExpress



          

SALAFIYYAH YAHUDIYYAH Oleh: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi, keluarga dan para sahabat semuanya. Wa ba’du: Mungkin sekilas pembaca kaget dan mengingkari judul di atas, tapi perlu diketahui bahwa judul di atas tidak ada kaitan dengan generasi As Salaf Ash Shalih dan yang mencontoh mereka yang telah menegakkan dien ini dengan tinta dan darah, yang berlepas diri dari orang-orang kafir dan orang-orang murtad lagi menjihadi mereka dengan jiwa, harta dan lisan. Namun yang saya maksudkan di sini adalah sekte yang mengklaim dirinya sebagai salafiyyah atau salafi yang menurut pengakuan palsu mereka bahwa mereka itu memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai manhaj As Salaf Ash Shalih, namun hampir di semua negara mereka menjadikan para penguasa murtad yang berhukum dengan hukum thaghut sebagai imam atau ulil amri mereka yang wajib diberikan loyalitas, dan mereka hampir di semua tempat selalu menuduh mujahidin muwahhidin yang mengkafirkan para penguasa itu, menentangnya dan memeranginya sebagai khawarij yang lebih busuk daripada para penguasa yang menerapkan hukum thaghut itu. Sehingga pada akhirnya mereka damai dengan para thaghut dan para thaghut pun aman dari tangan dan lisan mereka yang panjang lagi tajam. Damai dengan penyembah berhala dan perang terhadap orang-orang Islam yang mereka tuduh sebagai Khawarij. Mereka memiliki kesamaan dengan orang Yahudi dalam pemahaman tauhid dan dalam sikap terhadap penganut tauhid. Adapun dalam masalah tauhid yaitu dalam masalah iman dan kufur, maka sesungguhnya sekte salafi maz’um menganggap bahwa Undang-undang, menerapkan hukum thaghut, merampas hak khusus Allah yaitu pembuatan hukum dan melimpahkannya kepada para anggota Parlemen dengan sistem Demokrasinya, menjadikan UUD 1945 sebagai kitab hukum tertinggi yang menjadi rujukan di dalam segala permasalahan sebagai pengganti Kitabullah, menjadikan ideologi (dien) Pancasila sebagai dien yang lebih tinggi dari Islam dan sebagian ajaran Islam boleh diamalkan kalau tidak menyelisihi Pancasila dan sebagian lainnya tidak boleh karena menyelisihinya sehingga penguasa negeri ini loyal penuh kepada Pancasila bukan kepada Islam, dan memberikan loyalitas kepada lembaga-lembaga kafir lokal maupun internasional. Sekte salafi maz’um menganggap kemusyrikan dan kekafiran besar yang berlapis-lapis itu hanyalah kufrun duna kufrin[1] atau kafir ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam. Padahal kekafiran dan kemusyrikan pada penguasa yang sifat-sifatnya seperti itu dengan kufur akbar yang berlapis-lapis yang mengeluarkan dari Islam adalah permasalahan yang nyata jelas lagi terang benderang yang lebih terang dari matahari di siang bolong karena dalilnya sangat banyak dari Al Kitab, As Sunnah dan ijma yang telah kami paparkan di tempat lain. Sedangkan kelompok yang pertama kali menganggap syirik akbar sebagai syirik ashghar yang tidak akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka adalah orang-orang Yahudi, di mana mereka menganggap penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri yang merupakan syirik akbar hanya sebagai syirik asghar yang tidak mengekalkan di dalam neraka, sebagaimana yang Allah ta’ala kabarkan tentang mereka: Dan mereka (orang-orang yahudi yang menyembah anak sapi) berkata: "Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali selama beberapa hari saja." (QS. Al Baqarah: 80) Juga firman-Nya ta’ala: “Mereka berkata: “Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja.” (QS. Ali Imran: 24) Mereka beranggapan bahwa andaikata mereka masuk neraka, maka hanya empat puluh hari saja yaitu selama waktu empat puluh hari mereka menyembah anak sapi. Dan para pengklaim salafi-pun demikian, di mana apa yang dilakukan para penguasa thaghut dan ansharnya berupa syirik hukum, penyembahan Undang-Undang, kesetiaan kepada UUD ’45 dan Pancasila, penganut dien Demokrasi dan kekufuran lainnya –menurut para pengklaim salafi– hal itu tidaklah membatalkan keislaman dan tentunya andaikata mati di atas hal itu tidak akan mengekalkan di neraka, karena itu hanya sebatas kefasikan dan kufrun duuna kufrin dan pelakunya tetap dianggap muslim dan bahkan sebagai ulil amri yang wajib ditaati dan kebejatannya tidak boleh dibicarakan di hadapan umum, dan orang-orang yang mengkafirkannya adalah Khawarij dan yang memberontak untuk menjatuhkannya adalah anjing-anjing neraka yang sangat besar pahala membunuhnya. Ini berkaitan dengan kesamaan pemahaman aqidah dalam al iman dan al kufru. Sedangkan kaitan dengan kesamaan sikap, maka perhatikanlah firman Allah ta’ala ini: "Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al kitab (Taurat)? Mereka beriman kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 51) Ayat ini berkaitan dengan para tokoh Yahudi yang datang kepada musyrikin Mekkah dalam rangka memprovokasi mereka agar memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin di Madinah. Allah ta’ala menyebutkan bahwa mereka itu ahli ilmu dan Al Kitab, mereka beriman kepada Jibt (yaitu apa yang manusia tunduk kepadanya selain Allah) dan Taghut (segala yang melampaui batas dan segala yang diibadati selain Allah seraya ridla dengannya), dan mereka menganggap bahwa kaum musyrikin Mekkah yang menyembah berhala itu lebih baik daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang bertauhid yang menentang segala thaghut dan menolak loyal kepada kekuasaannya. Dan realita sikap Yahudi terhadap kaum musyrikin dan terhadap kaum mukminin ini adalah sama persis dengan sekte salafi maz’um hari ini, di mana para tokoh mereka itu diberi bagian dari ilmu Al Kitab dan As Sunnah, namun mereka itu beriman kepada thaghut dengan bentuk mereka menjadikan para penguasa kafir murtad (yang menurut mereka adalah pemimpin muslim) –yang memberlakukan hukum thaghut, menganut agama (dien) Demokrasi, menjadikan Pancasila sebagai pijakan, menjadikan UUD ’45 sebagai kitab rujukan hukum tertinggi, dan loyal kepada lembaga-lembaga kafir regional dan internasional– sebagai ulil amri dan pemimpin kaum muslimin yang wajib diberikan kesetiaan dan loyalitas, sedangkan Allah ta’ala telah menggolongkan sikap menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin itu sebagai bentuk sikap kafir kepada Allah ta’ala, kepada Nabi-Nya dan Kitab-Nya, dan itu semakna dengan sikap iman kepada thaghut. Seperti apa yang dikandung dalam firman-Nya ta’ala: “Seandainya mereka beriman kepada Allah, Nabi dan apa yang telah diturunkan kepadanya (Nabi), tentu mereka tidak menjadikan orang-orang kafir itu sebagai pemimpin.” (QS. Al-Maidah: 81) Ayat ini menjelaskan bahwa iman kepada Allah ta’ala itu tidak bisa bersatu dengan sikap menjadikan orang kafir sebagai pemimpin yang mana sikap semacam ini adalah di antara salah satu makna iman kepada thaghut. Kemudian setelah meyakini bahwa para penguasa kafir murtad semacam tadi itu adalah kaum muslimin yang maksiyat yang tidak batal keislamannya sesuai aqidah Salafiyyah Yahudiyyah-nya itu, dan sedangkan kaum muwahhidin yang mengkafirkannya lagi membangkangnya dan menolak loyal kepadanya adalah Khawarij ahli bid’ah yang sesat –versi aqidah Salafiyyah Yahudiyyah di atas– maka mereka (sekte salafi maz’um) itu mengambil kesimpulan dan sikap bahwa para penguasa thaghut yang berhukum dengan undang-undang buatan, yang menganut sistem Demokrasi, yang berfalsafah Pancasila, yang merujuk kepada UUD ’45, yang memerangi wali-wali Allah dan loyal kepada wali-wali syaithan itu adalah lebih baik dan lebih lurus jalannya daripada kaum muwahhidin yang hanya loyal kepada Allah dan hukum-Nya dan berlepas diri dari para thaghut, pemerintahannya, Demokrasinya, pancasilanya, UUD ’45-nya dan kebejatan-kebejatan lainnya. Karena para penguasa dan ansharnya hanyalah ahli maksiat dan sedangkan kaum muwahhidin yang menentangnya itu adalah Khawarij lagi ahli bid’ah, sedangkan sesuai manhaj Ahlusunnah Wal Jama’ah bahwa ahli bid’ah itu lebih buruk dari ahli maksiat. Halal mengghibah ahli bid’ah dan haram mengghibah penguasa muslim yang maksiat. Oleh sebab itu hendaklah mereka secara tegas dan mantap memasukkan di dalam point-point manhaj aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah versi Salafiyyah Yahudiyyah ini bahwa: wajib loyal kepada penguasa yang mengaku muslim walaupun dia memberlakukan Undang-undang buatan, berpaham Demokrasi, berfalsafah Pancasila dan merujuk kepada UUD ’45! Apakah ini manhaj salaf atau manhaj Yahudi?? Sadarlah wahai para pengklaim salafi! Itulah aqidah irja kalian, oleh sebab itu sebagian salaf berkata: “Murjiah adalah Yahudi Ahli Kiblat.” Pertengahan Rajab 1431 H Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Rutan Polda Metro Jaya [1] Diambil dari Mutiara dari Balik Penjara: Penyejuk Orang yang Beriman (P-TA Press, Banten, 2013. Hal. 79-84) [2] Kufrun duna kufrin adalah keyakinan bahwa hukum Islam adalah yang paling utama dan menjadi rujukan namun keputusan akhir diambil dengan selain apa yang dituntut hukum Islam setelah memanipulasi fakta yang sebenarnya atau karena dorongan hawa nafsu agar hukum Islam tidak menjerat sebagai mana mestinya. Jika hal ini (1) terjadi dalam kasus tertentu saja, (2) tetap meyakini hukum Islam adalah yang paling utama dan (3) merasa berdosa lagi maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka sang hakim atau qadliy yang memutuskan perkara tidak kafir yang mengeluarkannya dari Islam. Namun jika salah satu dari ketiga syarat itu tidak ada, maka sang hakim yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia telah kafir dengan kufur akbar. footnote : 1. Kufrun duna kufrin adalah keyakinan bahwa hukum Islam adalah yang paling utama dan menjadi rujukan namun keputusan akhir diambil dengan selain apa yang dituntut hukum Islam setelah memanipulasi fakta yang sebenarnya atau karena dorongan hawa nafsu agar hukum Islam tidak menjerat sebagai mana mestinya. Jika hal ini (1) terjadi dalam kasus tertentu saja, (2) tetap meyakini hukum Islam adalah yang paling utama dan (3) merasa berdosa lagi maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka sang hakim atau qadliy yang memutuskan perkara tidak kafir yang mengeluarkannya dari Islam. Namun jika salah satu dari ketiga syarat itu tidak ada, maka sang hakim yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia telah kafir dengan kufur akbar. Sumber : Diambil dari Mutiara dari Balik Penjara: Penyejuk Orang yang Beriman (P-TA Press, Banten, 2013. Hal. 79-84)
Posted on: Thu, 11 Jul 2013 02:11:53 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015