SAMUDERA ILMU YANG TIADA BERTEPI DARI SEORANG KYAI YANG RENDAH - TopicsExpress



          

SAMUDERA ILMU YANG TIADA BERTEPI DARI SEORANG KYAI YANG RENDAH HATI “Sekilas Pandang Profil KH. Maimun Zubair” Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik. Dalam forum seperti itu, diantara pondok pesantren yang amat disegani adalah Pondok Pesantren al-Anwar Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah KH. Maimoen Zubair. Meski sudah sangat sepuh, alumnus Lirboyo dan Ma’had Syaikh Yasin al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da Shubuh dan Ashar, Mbah Moen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren. Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi. Beliau memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya. Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh- tokoh nasional, terutama dari kalangan NU, yang sowan minta fatwa politik, nasihat atau sekadar silaturahim. Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing- masing di kampung halaman. Beberapa diantara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti al-Habib Abdullah Zaki bin Syaikh al-Kaff (Bandung), KH. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), KH. Hafidz (Mojokerto), KH. Hamzah Ibrahim, KH. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), KH. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), KH. M. Hasani Said (Giren, Tegal), al- Habib Shaleh bin Ali Alattas (Pangkah, Tegal) dan masih banyak lagi. Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928 (dalam hal ini masih terdapat perselisihan). Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syuaib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Mbah Moen adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun. Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu sharaf, nahwu, fiqih, manthiq, balaghah dan bermacam ilmu syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Posted on: Sat, 19 Oct 2013 13:57:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015