SINAMOT SINAMOT adalah harga atau uang beli yang diberikan - TopicsExpress



          

SINAMOT SINAMOT adalah harga atau uang beli yang diberikan paranak (mempelai lelaki) kepada parboru (mempelai perempuan) jika ingin menikah dalam adat orang batak. Itu sudah menjadi adatnya dan bila ada yang tidak mengikutinya berarti dia tidak memiliki adat! Sinamot ini pun sebenarnya sudah menjadi suatu kebanggan bagi kedua belah pihak. Dimana anak borunya (anak perempuannya) dihargai dengan harga tinggi, maka berbahagialah keluarga si perempuan. Begitu juga dari pihak paranak, bisa memberi sinamot banyak maka rasa banggalah yang ia dapatkan. Tetapi lepas dari itu, seharusnya melihat kondisi pihak lelaki terlebih dahulu. Karena ada pernikahan yang gagal karena harga sinamot yang ditawarkan pihak lelaki tidak sesuai hati keluarga perempuan. Misalnya pihak perempuan meminta sinamot diluar kesanggupan pihak laki-laki. Jika tidak ada kesepakatan (dos ni roha), bagaimana caranya sukses pernikahan? Jadi kedudukan sinamot sangat vital menuju pesta pernikahan adat Batak. Tidak jarang pernikahan menjadi tertunda atau gagal hanya karena sinamot. Pada zaman sekarang, anak gadis bila sudah memiliki gelar (kuliahan), maka harga sinamotnya akan naik. Kira-kira begitulah persepsi masyarakat banyak saat ini. Maka jika anaknya sudah bergelar S1 atau S2 atau S3 maka nilai sinamotnya juga akan semakin tinggi sesuai dengan gelar kependidikannya. Demikian juga, jika anak gadisnya mempunyai pekerjaan yang lumayan bagus, maka orang tuanya juga akan meminta sinamot yang tinggi. (bahkan terkadang angka yang sangat fantastis dan tidak masuk akal) Cukup banyak saya dengar kasus gagal nikah disebabkan sinamot. Ini dikarenakan Antara pihak laki-laki (paranak) dengan pihak perempuan (parboru) tak berhasil menyepakati sinamot. Impian sepasang anak manusia untuk mengarungi bahtera rumahtangga pun kandas sebelum layar mengembang. Kita tak juga berani mengambil sikap dan mencerahkan lingkungan terdekat bahwa perkawinan putra-putri tak boleh gagal hanya disebabkan ketidakcocokan sinamot. Semua itu karena orang tua, disadari atau tidak, telah ikut jadi tawanan gengsi. Kita lebih mendahulukan puja-puji ketimbang harmoni. Kebanyakan orang tua hanya memikirkan gengsi/harga diri dengan sinamot yang besar tanpa memikirkan kebahagiaan Putra Putrinya kelak setelah menikah. Karena orang-orang memestakan pernikahan anak mereka di gedung besar dan mengundang banyak orang, kita pun ingin demikian. Karena sinamot anak perempuan orang lain besar maka orang tua juga ingin sinamot anak perempuannya terdengar besar. Tak terlalu kita pedulikan kemampuan finansial putra-putri, calon besan, bahkan diri kita, yang sebenarnya mungkin hanya pas-pasan. Tak kita khawatirkan proses tawar-menawar yang dapat membuat calon mempelai perempuan tersinggung karena dibuat seperti barang komodity untuk dijual. Kita lebih terpesona pada kemasan dan tak peduli bahwa di pihak sana harus ngos-ngosan untuk mewujudkannya. Orang tua pun tak lagi peka menanggapi keluhan kaum muda, khususnya kalangan pria, yang memilih menunda atau belum berani menikah disebabkan sinamot. Sangat mungkin pula kita tak mau tahu efek buruk ketegangan saat memutuskan jumlah sinamot, bentuk ulaon, pada rumahtangga putri atau putra kita kelak. Sikap kita yang tak simpatik atau terkesan materialistis akan membuat menantu dan besan mengurangi rasa hormat pada diri kita, yang dampaknya mengimbas pada putri kita. Kengototan menentukan jumlah sinamot akan pula memberi kesan bahwa orang tua telah menjual anak perempuannya dengan sejumlah uang. Pemberontakan umumnya perempuan Batak modern (yang mandiri dari aspek finansial) terhadap adat Batak pun acap dipicu ketidakterimaan atas konsep jual-beli itu. Mereka menolak diperlakukan layaknya komoditi yang bisa ditawar-tawar. Padahal, para orangtualah yang salah termasuk parsinabul, parhata, atau juru bicara marga. Mereka terbiasa menggunakan istilah ‘tuhorni boru’ (harafiahnya: harga jual anak perempuan). Konotasi tuhor ini tak manusiawi, melecehkan, melabrak kaedah-kaedah HAM. Ini pula dasar dan senjata para agamawan fundamentalis mengobrak-abrik adat, apalagi banyak di antara mereka non-Batak, yang tak paham makna sinamot. Esensi sinamot itu wujud penghormatan orangtua dan (calon) pengantin pria kepada pihak orangtua perempuan karena putri mereka akan dijadikan istri, menantu, dan ibu bagi keluarga batih serta marga. Meski berkedudukan sebagai orangtua kandung, mereka tak boleh begitu saja mengiyakan permintaan pihak pria yang disampaikan keluarga dekat bapaknya. Saking tak sembarangan memberi izin, sebenarnya, selain persetujuan orangtua kandung, saudara lelaki, paman kandung dari ayah calon pengantin perempuan (amangtua, amanguda), harus ada pula restu dari tulang (saudara lelaki ibu). Itu sebabnya ‘suhini ampang naopat’ (elemen utama dalam hajatan adat perkawinan) menyertakan tulang. Sayangnya, syarat penting ini sudah banyak yang tak menaati; tulang seolah diperlukan saat pesta unjuk saja (saat acara adat pernikahan). Panjangnya tahapan menuju perkawinan itu (kini disederhanakan dengan: hori-hori dinding-patua hata, marhusip-pudun saut, mandapothon tulang, tonggo raja) membuktikan bahwa pernikahan dalam masyarakat adat Batak bukan soal kawin semata. Ada kesesuaian, kesepakatan, konsekwensi hukum (adat), dan ikatan yang tercapai, terjalin dan berlaku sepanjang masa bagi kedua belah pihak dan kemudian mengimbas pada kerabat. Mestinya, makna penting berpindahnya anak gadis mengikuti klan suami (jadi istri atau parsonduk bolon, parumaen, yang juga berposisi jadi ibu bagi keluarga batih) dan persetujuan dari tulang dengan simbol pemberian sinamot sebagai wujud penghormatan itulah yang lebih ditonjolkan. Bukan dimensi transaksi jual beli hingga terkesan melecehkan wanita. Bila makna dan filosofi penghormatan dikedepankan, tak sepatutnya lagi menonjol pembahasan nilai sinamot, namun lebih pada kesungguhan pihak lelaki untuk menyunting gadis pujaan hatinya untuk dijadikan teman hidup hingga kakek nenek/ ajal memisahkan (saur-matua), seiring sejalan ke berbagai arah (tu dolok tu toruan). Meriahnya pesta pun hanya aksesori atau pelengkap. Maka bila memang tak cukup mampu merayakan secara besar-besaran, kenapa pula harus dipaksakan. Bukankah yang terutama adalah kebahagiaan dan kesejahteraan anak sesudah menikah? Nampaknya kita sudah dicengkeram gengsi sedemikian kuat, ditindas perasaan tak enak pada kerabat dan kawan bila undangan tak meluas dan pestanya tidak mewah, namun jadi mengorbankan anak. Marilah kita dahulukan kebahagiaan dan kesejahteraan anak, yang penting tetap terjaga martabat, yang tercermin dari sikap, perilaku, cara bicara. Adat kian dibenci kaum muda, terutama akibat ulah para orangtua yang tak cukup paham makna dan filosofinya. Saatnya kita ubah cara pandang yang tak benar itu, mengenyah anggapan-anggapan keliru yang akhirnya bikin susah, agar sinamot tak lagi momok dan penghalang impian setiap anak. Sebenarnya pada konsepnya yang harus menikahkan anaknya adalah orang tua termasuk semua biaya-biaya yang dikeluarkan dalam acara adat tersebut, akan tetapi zaman sekarang sudah mulai bergeser dimana yang membiayai pesta pernikahan adalah mempelai laki-laki dan perempuan dengan maksud supaya tidak membebani orang tua. Tapi walaupun demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa uang itu adalah uang si laki-laki atau perempuan karena selama seseorang belum menikah uang yang ada padanya adalah uang orang tua jadi biaya pernikahan itu tetap biaya orang tua meskipun dengan bantuan dari calon mempelai. Jadi kenapa harus memaksakan sinamot yang tinggi. Toh kalau biaya yang dikeluarkan untuk pesta sangat besar, sebenarnya yang dirugikan adalah orang tua dan kedua mempelai, apakah mereka harus sampai berhutang hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tua yang hanya mementingkan gengsi, tapi setelah pernikahan mereka akan dibebani untuk membayar hutang. Ada istilah orang batak adat do nagelleng jala adat do na balga. Kalau kesanggupan kita hanya pesta kecil ya marilah kita selengarakan pesta kecil yang tanpa mengurangi makna adat batak itu sendiri. Jadi untuk para orang tua tolong direnungkan lagi mengenai sinamot ini, jangan karena pembahasan sinamot yang alot dan cenderung berdebat yang tidak ada ujungnya jadi mengabaikan kebahagian putra putri yang mau membina rumah tangga yang bahagia. Tolong buang jauh gengsi-gengsi yang tidak penting karena kita tidak hidup dari gengsi. Tolong perhatikan perasaan anak-anak kalian. Terimakasih...
Posted on: Mon, 11 Nov 2013 15:26:24 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015