SISTEM PEWARISAN HARTA DI MENTAWAI Harta dalam sebuah suku maupun - TopicsExpress



          

SISTEM PEWARISAN HARTA DI MENTAWAI Harta dalam sebuah suku maupun Uma di Mentawai memiliki arti penting, selain berfungsi ekonomis juga menjadi lambang kebanggaan dan kehormatan sebuah Uma. Harta yang dimaksud adalah harta produktif dan harta pusaka yang dimiliki Uma. Harta bagi masyarakat tradisional Mentawai khususnya yang tinggal di Siberut terbagi dua; pertama, harta yang dikumpulkan atau didapat dari lingkungan sekitar mereka dengan bekerja. Kedua, harta yang didapatkan dari luar atau dibeli. Harta yang dikumpulkan dan didapat dari lingkungan sekitar dengan bekerja adalah; Mone, memiliki pengertian yang luas sebagai harta di suatu Uma. Mone bisa diartikan hutan yang belum diolah atau dibuka atau hutan yang sudah ditanami beberapa jenis tanaman. Mone juga berarti sejumlah tanaman yang bernilai tinggi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tradisional Mentawai seperti durian, lansat/duku dan kelapa. Beberapa tanaman diatas juga menjadi pembayar mas kawin (alat toga) dan denda adat (tulou). Pohon durian bahkan memiliki nilai sakral ketika digunakan sebagai kirekat atau tanda kenangan bagi kaum kerabat yang sudah meninggal. Pohon durian yang dijadikan kirekat tidak boleh lagi dijadikan alat toga atau pembayar tulou. Kini sejumlah komoditi baru juga telah menjadi tanaman produktif masyarakat seperti pohon coklat (kakao) dan cengkeh. Saina’, memiliki pengertian binatang peliharaan yang terpenting bagi masyarakat tradisional Mentawai seperti babi. Saina’ juga dijadikan alat toga dan diperlukan dalam upacara adat serta upacara pengobatan tradisional. Karena itu masing-masing anggota suku atau sipauma (khususnya kaum lelaki dewasa) merasa berkewajiban beternak babi, bahkan dalam jumlah banyak. Dahulu seorang sipauma bisa memiliki puluhan bahkan ratusan ekor ternak babi. Sementara harta yang didapatkan dari luar atau dengan cara membeli dan memiliki nilai yang penting dalam Uma adalah: Ngong atau gong, merupakan benda sakral di dalam Uma dan hanya dipakai atau dibunyikan pada saat lia atau upacara adat di Uma. Ngong atau gong ini merupakan harta pusaka atau harta yang memiliki sejarah yang diwarisi turun temurun dari nenek moyang suatu Uma. Kali atau kuali, merupakan salah satu harta di Uma. Kuali yang bisa disebut harta di Uma adalah kuali besi dengan ukuran besar, biasanya nomor 20 dan nomor 30. Kuali ini benda yang sangat berguna saat ada perayaan adat sebagai wadah untuk memasak makanan pesta. Pembagian Harta Warisan Harta yang diwariskan dari leluhur atau nenek moyang disebut mone teteu, yang umumnya berupa mone yaitu pohon durian dan sagu serta polak (hutan). Mone teteu merupakan lambang kebanggaan dan kekayaan suatu Uma karena itu mone teteu tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik pribadi. Mone punuteteu merupakan harta yang dikumpulkan orangtua semasa hidupnya untuk diwariskan kepada anak-anaknya untuk dikelola langsung. Dalam aturan adat hanya sipauma laki-laki yang berasal dari satu garis keturunan patrilineal yang sama yang berhak menjadi ahli waris. Sipauma perempuan memang tidak berhak menjadi ahli waris namun dalam aturan adat, saudara laki-laki yang menjadi ahli waris berkewajiban melibatkan saudara perempuan mereka ketika menikmati hasil dari harta warisan misalnya saat panen durian. Sinappit, siurau (anak angkat), sinupsup (orang yang dianggap anak) tidak berhak menjadi ahli waris. Dalam sistem pembagian harta warisan berdasarkan adat, harta warisan diwariskan dari satu keturunan ke keturunan berikutnya. Seorang ayah akan mewariskan hartanya kepada anak laki-lakinya, kemudian kelak si anak tersebut akan mewariskan lagi harta tersebut kepada anak laki-lakinya dan demikian seterusnya. Saudara laki-laki kandung dari si ayah (bajak) juga merupakan orangtua dari ahli waris. Hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan yang menempatkan posisi ayah dan saudara laki-lakinya sekandung adalah sama atau setara. Sehingga meskipun orangtua kandung si ahli waris sudah meninggal, selama masih ada saudara laki-laki ayah (bajak si anak) yang masih hidup maka untuk sementara bajak si anak itulah yang berhak atas harta peninggalan orangtua mereka. Namun hak si bajak hanyalah merawat, mengelola dan memanfaatkan sementara harta warisan itu. Ketika semua bajak sudah meninggal dunia, baru kemudian harta warisan itu akan dibagi secara adil dan merata kepada saudara laki-laki sekandung yang berhak menjadi ahli waris. Jika harta yang akan dibagi berjumlah ganjil atau tidak dapat dibagi merata, maka dapat dilakukan penyelesaian dengan beberapa cara misalnya sisa harta itu dibeli salah seorang ahli waris atau harta itu tidak dibagi melainkan menjadi milik bersama. Sumber; buku Uma Fenomena Keterkaitan Manusia dengan Alam, Tarida Hernawati, YCM, 2007.
Posted on: Wed, 17 Jul 2013 04:25:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015