SK 1727 Langgar Hukum Gubernur Pastika Bisa Dipidanakan - TopicsExpress



          

SK 1727 Langgar Hukum Gubernur Pastika Bisa Dipidanakan Denpasar (Bali Post) - Aspek hukum terbitnya SK Gubernur Bali Made Mangku Pastika Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa kepada PT TWBI dipereteli dengan gamblang oleh Koordinator ForBali (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) Wayan 'Gendo' Suardana dalam diskusi publik 'Menyoal Pro-Kontra SK Gubernur Jilid Dua', Rabu (18/9) kemarin di Sanur. Gendo mengungkapkan, SK 1727 sejatinya adalah izin kegiatan perencanaan reklamasi. Jadi SK 1727 melanggar hukum, sama dengan SK 2138 yang telah dicabut. Sebab, mengacu Perpres No. 45/2011 tentang Penataan Ruang Kawasan Sarbagita dan Perpres 122/2012 soal Reklamasi di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka reklamasi tak boleh dilakukan di kawasan konservasi. Dengan demikian, Gubernur Pastika melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengeluarkan izin yang berkaitan dengan rencana reklamasi di kawasan terlarang reklamasi. Tindakan itu mengandung konsekuensi pidana maksimal lima tahun sebagaimana yang diatur dan ditentukan oleh UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Secara rinci Gendo memaparkan argumen bahwa SK 1727 sejatinya merupakan SK reklamasi jilid 2, bukannya semata SK izin penelitian. Pertama, SK 1727 bersumber dari surat permohonan PT TWBI yang sama dengan sumber penerbitan SK reklamasi jilid 1 (SK 2138). Artinya SK tersebut berasal dari permohonan PT TWBI yang pada salah satu surat permohonannya kepada Gubernur Bali Nomor: 009/TWBI/L/XI/2012 tentang permohonan audiensi tertanggal 5 November 2012 pada paragraf 2 menyebutkan 'Bersama ini kami mengajukan Permohonan Izin Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa, Bali seluas kurang lebih 838 hektar. Dari total area tersebut akan dibentuk pulau baru, pendalaman alur, penataan sendimentasi dan penghijauan.' 'Jadi yang perlu dicatat adalah tidak ada satu pun surat permohonan yang baru dari PT TWBI bagi penerbitan SK reklamasi jilid 2 ini, baik berupa permohonan izin melakukan kajian atau lainnya,' kata Gendo yang juga Ketua Walhi Bali itu. Kedua, SK 1727 bersumber dari dokumen FS (Feasibility Study) LPPM Unud dan Rekomendasi DPRD Bali No. 660.1/142781/DPRD tertanggal 20 Desember 2012, walaupun tidak secara tersurat di dalam SK reklamasi jilid 2. Ketiga, frase 'studi kelayakan' hanya dikenal dalam Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Studi kelayakan adalah salah satu bagian dari perencanaan reklamasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Perpres 122 Tahun 2012 bahwa perencanaan reklamasi dilakukan melalui kegiatan penentuan lokasi, penyusunan rencana induk, studi kelayakan dan penyusunan rencana detail. Pada Pasal 17 ayat (5) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa studi kelayakan bagian dari izin lokasi. Disebutkan pula setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat dua tahun wajib menyusun rencana induk, studi kelayakan dan rencana detail reklamasi. Hal itu ada kaitannya dengan jangka waktu berlakunya SK 1727 selama dua tahun. 'Berdasarkan keempat argumentasi itu, sangat sulit untuk tidak menyatakan bahwa SK 1727 adalah SK yang tidak berhubungan erat dengan kegiatan reklamasi, sehingga pantas disebut sebagai SK reklamasi jilid 2,' tegas Gendo lantas menambahkan, argumentasi Gubernur Bali beserta SKPD-nya yang menyatakan bahwa SK 1727 hanyalah sebatas izin penelitian (apalagi survei) merupakan kekeliruan besar dan upaya mengelabui publik. 'Memang Gubernur sangat cerdik dengan menghindarkan kata-kata reklamasi, baik dalam SK 2138 atapun SK 1727, tetapi sebenarnya maksudnya untuk reklamasi,' imbuh Gendo. Oleh karena SK 1727 termasuk sebagai kegiatan reklamasi dan objeknya adalah kawasan konservasi perairan Teluk Benoa yang terlarang direklamasi sesuai Perpres No. 45/2011 dan Perpres 122/2012 maka SK 1727 adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) bertentangan dengan peraturan perundangan, baik bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 jo. Perpres 45 Tahun 2012 dan UU No. 27 Tahun 2007 jo. Perpres No. 122 Tahun 2012. 'SK 1727 ini juga melanggar tata ruang. Oleh karenanya hal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa dalam hal ini Gubernur Pastika dan bisa dipidakan mengacu pada UU 26/2007 tentang penataan ruang ,' ungkap Gendo. Pasal 73 UU 26/2007 menyebutkan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Selain sanksi pidana, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Kalaupun SK 1727 itu hanya memberikan izin penelitian bukan dimaksudkan bagian rencana reklamasi maka mengacu pada Pasal 43 UU 27/2007, imbuh Gendo, SK itu tetap melanggar hukum yakni UU 27/2007. Pada Pasal 43 disebutkan bahwa penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PT TWBI bukanlah subjek hukum yang dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengingat PT TWBI bukanlah lembaga penelitian dan pengembangan swasta melainkan perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan, pembangunan dan jasa pengelolaan jasa usaha yang berhubungan dengan properti. 'Oleh karenanya argumentasi Gubernur Bali yang menyatakan penelitian dapat dilakukan siapa saja, telah gugur dengan sendirinya. Artinya, SK tersebut adalah SK studi kelayakan reklamasi dan bukan sebatas izin penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,' pungkas Gendo. (kmb29)
Posted on: Thu, 19 Sep 2013 01:49:05 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015