SUNNI-SYIAH… dlm diskusi akidah… (1) Posted: 3 Juli 2009 in - TopicsExpress



          

SUNNI-SYIAH… dlm diskusi akidah… (1) Posted: 3 Juli 2009 in Firoq Kaitkata:ali bin abi thalib, bahaya syiah, hakekat syiah, husain, imamah, kesesatan syiah, kritis syiah, pertanyaan kepada syiah, sesatnya syiah, Syiah, takiyah 8 Rate This questionsBismillah… was sholatu wassalamu ala rosulillah… wa’ ala alihi wa shohbihi wa man tabi’a hudah… amma ba’du: Perbincangan untuk mengkritisi ajaran syiah, memang sangat menarik untuk disimak. Apalagi di masa sekarang ini… masa dimana mereka lagi gencar-gencarnya menyebarkan paham sesat itu ke seantero dunia… terutama negara kita tercinta INDONESIA… Dengan NEGARA IRAN sebagai pusat kekuatan jasmani dan rohaninya… mereka tidak ragu-ragu untuk mendakwahkan idiologinya dengan dinar dan dolar yang besar… Karena pada akhirnya nanti, mereka akan meraup keuntungan yang berlipat ganda… mereka akan tajir bin kaya raya, dengan kewajiban membayar seperlima kekayaan dari setiap pengikutnya… Tidak hanya itu, mereka juga akan mampu dengan bebas merenggut kehormatan setiap wanita super cantik yang diinginkannya, dengan iming-iming pahala kawin mut’ah yang mereka buat-buat dan palsukan… Memang, sekarang kita belum banyak melihat perbedaan antara SUNNI dan SYIAH… Itu karena mereka selalu berlindung di balik tabir TAKIYAH (baca: kedustaan)… tabir yang mereka gunakan untuk menghalangi sinar matahari yang akan menampakkan wajah buruk mereka… Tapi kita tak perlu khawatir… bi idznillah dengan berjalannya waktu, kita yakin tabir itu akan rapuh dan koyak… kita yakin, -dengan pertolongan Alloh, usaha dan sumabangsih umat sunni- sinar matahari hidayah itu, akan dapat menembus tabir setan itu… dan kita akan tahu, siapa sebenarnya mereka…?!! Tulisan ini ibarat lentera kecil, yang akan membantu anda menerangi dalam menjelajahi alam kelabu ajaran sesat ini, semoga bisa memberikan tambahan pencerahan dalam pikiran… sehingga kita bisa melihat dan mengerti… mana yang benar yang harus diikuti… dan mana yang batil, yang harus dijauhi… Selanjutnya, kami persilahkan anda menyimak diskusi antara SUNNAH dengan SYIAH…, semoga bermanfaat… amin (1) Al-Kulainiy menyebutkan dalam kitabnya al-Kafi (1/258): “Sebenarnya para imam kita itu tahu kapan mereka akan meninggal, dan mereka tidak akan meninggal kecuali setelah mereka memilihnya”. Di sisi lain, Al-Majlisiy dalam kitabnya Biharul Anwar (43/364), menyebutkan sebuah hadits yang berbunyi: “Tidak ada imam yang mati, melainkan dibunuh atau diracun”. Seandainya seorang imam itu mengetahui hal yang ghaib, sebagaimana dikatakan oleh Kulainiy, tentunya ia akan tahu setiap makanan dan minuman yang disuguhkan kepadanya. Apabila makanan itu mengandung racun, tentunya ia tahu hal tersebut dan akan menjauhinya. Karena apabila ia tetap memakannya, berarti matinya bunuh diri! Mengapa? Karena ia tahu bahwa makanan itu mengandung racun, dan ia akan membunuh dirinya sendiri jika memakannya. Padahal Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah mengabarkan bahwa orang bunuh diri tempatnya di neraka! Apakah kaum syiah rela hal ini diterapkan kepada para imam mereka??!! (2) Apabila Ali r.a. mengetahui, bahwa dirinya adalah kholifah dari Alloh (langsung sepeninggal Rosul -shollallohu alaihi wasallam-) yang termaktub dalam wasiat beliau. Pertanyannya: Mengapa Ali r.a. malah membaiat Abu bakar r.a., kemudian Umar r.a., kemudian Utsman r.a., untuk menjadi kholifah??! Apabila kalian mengatakan: “Pada waktu itu ia sedang lemah”. Maka kami katakan: Seharusnya orang yang lemah tidaklah pantas menjadi kholifah, karena kholifah hanya khusus bagi mereka yang mampu mengembannya. Apabila kalian mengatakan: “Ia mampu, tapi tidak melakukannya”. Maka kami katakan: itu berarti sebuah penghianatan… padahal seorang penghianat tidak pantas menjadi kholifah, tidak pula dapat dipercaya. –sungguh Ali r.a. bersih dari semua tuduhan mereka itu-. Jika demikian, lalu apa jawaban kalian…??! (3) Kaum Syiah berkeyakinan bahwa Ali r.a. adalah imam yang ma’shum (bebas dosa). Tapi disisi lain, kita dapati fakta –yang juga diakui oleh kaum syiah[1]- bahwa dia mengawinkan putrinya, Ummu Kultsum (yang juga saudari kandung Hasan dan Husein), dengan Umar bin Khottob!!! Menyikapi fakta ini, ada dua kemungkinan jawaban, yang dua-duanya bertentangan dengan keyakinan mereka: Kemungkinan Pertama, Ali r.a. tidak ma’shum. Mengapa?? Karena ia telah menikahkan putrinya dengan orang yang (mereka anggap) telah kafir. Dan ini bertentangan dengan dasar-dasar keyakinan mereka. Kemungkinan Kedua , Umar r.a. itu seorang muslim, yang telah diridhoi oleh Ali r.a. sebagai menantunya!! (Ini juga bertentangan dengan keyakinan mereka). Dua jawaban… yang sungguh sangat membingungkan… (4) Kaum Syiah beranggapan bahwa Abu Bakar dan Umar r.a. itu kafir. Tapi di sisi lain kita dapati fakta bahwa Ali r.a., -yang dianggap ma’shum oleh kaum syiah-, telah rela dengan kekhilafahan keduanya, Ali r.a. juga membaiat mereka berdua, satu demi satu, dan tidak pernah keluar dari pemerintahan mereka. Fakta ini melazimkan ke-tidak ma’shum-an Ali r.a., Mengapa? Karena ia telah setuju dan bersedia membaiat dua orang yang menurut keyakinan mereka adalah kafir, dholim, dan memusuhi ahlul bait. Padahal perbuatan tersebut dapat merusak ke-ma’shum-an seseorang, karena sama saja menolong orang yang dzolim dalam melakukan kedzolimannya, dan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang ma’shum. Atau, mereka akan mengatakan bahwa perbuatan tersebut benar, karena Abu bakar dan Umar r.a. adalah kholifah yang mukmin, jujur, dan adil. Dan jika fakta ini benar adanya, berarti kaum syiah telah menyelisihi imam mereka dalam mengkafirkan, menghujat, melaknat dan tidak rela dengan kekhilafahan keduanya. Kenyataan ini, tentunya membuat kita bingung sendiri, kita akan mengikuti jalan siapa? jalan yang dipilih oleh Ali r.a. (yang ma’shum), atau kita akan mengikuti jalan pengikutnya yang bergelimang kemaksiatan??! (5) Setelah meninggalnya Fatimah r.a. Ali telah menikah dengan baberapa wanita, dan lahir dari mereka banyak anak, diantaranya: Lahir dari rahim Ummul Banin binti Hizam: Abbas, Abdulloh, Ja’far, Utsman. Lahir dari rahim Laila binti Mas’ud: Ubaidulloh dan Abu Bakar. Lahir dari rahim Asma’ binti Umais: Yahya, Muhammad al-Ashghor, dan Aun. Lahir dari Ummu Habib binti Robi’ah: Ruqoyyah dan Umar yang meninggal pada usia 35 tahun. Lahir dari Ummu Mas’ud binti Urwah: Ummul Hasan dan Romlah al-Kubro. Lihatlah bagaiman Ali menamai Anaknya dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Pertanyaannya: Apakah seorang ayah akan memberikan nama kepada buah hatinya dengan nama musuh bebuyutannya?! Apalagi jika ayah tersebut adalah sang Ali r.a. [2] Bagaimana mungkin Ali r.a. menamai anak-anaknya dengan nama orang yang kalian anggap sebagai musuhnya?! Apakah orang yang berakal mau menamai anak kesayangannya dengan nama-nama musuhnya??! (6) Pengarang kitab Nahjul Balaghoh -yakni salah satu kitab sandaran kaum syiah- meriwayatkan, bahwa Ali telah mengundurkan diri untuk menerima tampuk khilafah, ia mengatakan: “Tinggalkan aku, dan carilah orang selainku”.[3] Fakta ini menunjukkan batilnya pemahaman syiah, mengapa?? Karena, bagaiamana mungkin ia mengundurkan diri untuk menerima tampuk khilafah, padahal menurut kalian, pengangkatan dirinya sebagai imam dan kholifah adalah sebuah kewajiban dari Alloh, bahkan menurut anggapan kalian ia pernah meminta kekhilafan tersebut kepada Abu bakar r.a.??! (7) Kaum syiah beranggapan bahwa, Fatimah r.a. adalah buah hati Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- yang di masa Abu Bakar r.a., telah dihinakan, dipatahkan tulang rusuknya, hendak dibakar rumahnya, dan hendak digugurkan kandungannya yang dinamai Muhsin!! Pertanyaanya: Dimanakah Ali saat terjadinya semua peristiwa ini??! Mengapa ia tidak membela Fatimah, padahal ia adalah seorang yang dikenal sangat dan sangat pemberani sekali??! Ini menunjukkan bahwa kabar tersebut, hanyalah kebohongan yang disebar-sebarkan oleh syiah, untuk menghujat ahlus sunnah… semoga Alloh membalas keburukan mereka dengan balasan yang setimpal… amin. (8) Kita dapati banyak fakta, yang mengatakan bahwa para sahabat telah menikahkan keluarga mereka dengan keluarga Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, mereka menikahinya, dan juga sebaliknya. Terutama Abu Bakar r.a dan Umar r.a. (syaikhoin = julukan untuk keduanya). Dan fakta ini telah disepakati oleh para sejarahan dan ahli riwayat, baik dari kalangan syiah maupun dari Ahlus Sunnah. Lihatlah bagaimana Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah menikah dengan Aisyah r.a., puterinya Abu Bakar r.a. Beliau juga menikahi Hafshoh r.a., putrinya Umar r.a. Sebaliknya, beliau menikahkan dua puterinya (Ruqoyyah r.a. dan Ummu Kultsum r.a.) dengan kholifah ketiga, yang dermawan dan tinggi rasa malunya, yakni Utsman r.a. karenanya ia mendapatkan julukan dzunnuroin (peraih dua cahaya). Kemudian, anaknya Utsman r.a. juga menikah dengan Ummu Kultsum r.a., yakni putrinya Abdulloh bin Ja’far bin Abu Tholib. Begitu pula Marwan bin Aban bin Utsman r.a., juga menikah dengan Ummul Qosim binti Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Tholib r.a. Lalu Zaid bin Amr bin Utman bin Affan r.a., juga menikah dengan Sakinah binti Husain r.a. Dan Abdulloh bin Amr bin Utsman bin Affan r.a., telah menikah dengan Fatimah binti Husain bin Ali r.a.. Di sini kami hanya akan menyebutkan tiga sahabat, yang termasuk khulafaur rosyidin, yakni Abu Bakar r.a, Umar r.a, dan Utsman r.a., padahal sebenarnya banyak pula para sahabat lain yang menjalin hubungan saudara dengan keluarga melalui pernikahan. Tujuan kami tidak lain ingin menjelaskan, bahwa sebenarnya keluarga Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu sangat simpati dengan mereka, Inilah yang mendasari dijalinnya persaudaraan dengan pernikahan-pernikahan tersebut.[4] Kita juga dapati, para Keluarga Nabi -shollallohu alaihi wasallam- (ahlul bait), banyak memberikan nama kepada anak-ankanya dengan namanya para sahabat Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, sebagaimana disepakati oleh para sejarawan dan ahli riwayat, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun syiah. Lihatlah bagaimana Ali, -sebagaimana disebutkan dalam literatur kaum syiah-, menamai salah satu anaknya, yang lahir dari rahim Laila binti Mas’ud, dengan nama Abu Bakar. Yang dengannya, ia menjadi orang pertama kali dari bani hasyim, yang menamai anaknya dengan nama Abu Bakar.[5] Hasan bin Ali, juga menamai anak-anaknya dengan nama: Abu Bakar, Abdur Rohman, Tholhah, dan Ubaidulloh.[6] Demikan pula Hasan bin Hasan bin Ali, ia juga menamai anaknya dengan nama Abu Bakar.[7] Ada juga kalangan ahlul bait yang memakai kunyah (panggilan kesayangan yang diawali dengan abu atau ummu) Abu bakar, seperti: Zainul Abidin bin Ali[8] dan Ali bin Musa (ar-Ridho).[9] Ahlul bait juga banyak yang menamai anaknya dengan nama Umar r.a. diantaranya: Ali r.a., ia menamai anaknya dengan nama Umar al-Akbar, yang lahir dari rahim Ummu Habib binti Robiah, ia meninggal di Althof bersama saudara kandungnya Husain r.a. Ali r.a. juga memiliki anak lain dengan nama Umar al-Ashghor, yang lahir dari rahim as-Shohba’ at-Taghlibiyyah, dan anak ini diberikan umur panjang sehingga setelah saudara-saudaranya meninggal, ia mewarisi mereka.[10] Hasan bin Ali r.a, menamai kedua anaknya dengan nama: Abu Bakar dan Umar.[11] Diantara ahlul bait lainya yang menamakan anak dengan nama Umar antara lain: Ali Zainal Abidin, Musa al-Kazhim, Husain bin Zaid bin Ali, Ishaq bini Hasan bin Ali bin Husain, Hasan bin Ali bin Hasan bin Husain bin Hasan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kami cukupkan sekian penyebutan namanya, agar tidak lebih menambah panjang tulisan ini.[12] Disamping itu, ada juga Ahlul bait yang memberikan nama Aisyah kepada putrinya, seperti: Musa al-Kazhim[13] dan Ali al-Hadi.[14] Diantara putra Ali, ada juga yang diberi nama Utsman r.a, ia lahir dari istrinya yang bernama Ummul Banin binti Hizam. Fakta-fakta di atas, menunjukkan kepada kita akan besarnya kecintaan dan kedekatan ahlul bait terhadap ketiga kholifah pertama itu. Apakah syiah masih mengingkari fakta nyata yang teramat banyak ini??! (9) Hasan bin Ali r.a telah mengalah kepada Muawiyah dan menyerahkan tampuk pimpinan kepadanya, di waktu kaum anshor dan pasukannya bersatu mendukungnya, padahal sangat mungkin baginya untuk meneruskan peperangan itu. Di sisi lain saudaranya Husain r.a. malah keluar dari pemerintahan Yazid, ketika sedikit pendukungnya, padahal seharusnya ia bisa mengurungkan niat tersebut dan berdamai dengannya. Dua keputusan itu, tentunya ada yang benar dan ada yang salah. Mengapa?? Karena seandainya keputusan Hasan r.a. untuk mengalah, -di saat ia mampu meneruskan peperangan itu- benar, berarti keluarnya Husein r.a. yang tanpa dukungan kekuatan, -di saat ia mampu untuk berdamai- itu salah. Sebaliknya, apabila keluarnya Husein r.a. ketika sedang lemah itu benar, berarti tindakan Hasan r.a. yang mengalah ketika sedang kuat itu salah..! Fenomena ini, menjadikan syiah berada pada posisi yang mengambang, karena selama ini mereka mengatakan, bahwa keputusan yang diambil keduanya itu benar. Dengan begitu, mereka telah mengumpulkan dua hal yang sangat bertentangan dan tak dapat disatukan. Sungguh fenomena ini benar-benar meluluhkan dasar-dasar keyakinan mereka. Seandainya mereka mengatakan bahwa tindakan Hasan r.a. itu salah, berarti sama saja mengatakan bahwa ke-imam-annya pudar, dan jika dikatakan ke-imam-annya pudar berarti sama saja membatalkan ke-imamah-an dan ke-ma’shum-an ayahnya, mengapa?? Karena ayahnya telah mewasiatkan kepemimpinan itu kepadanya, dan imam yang ma’shum tidak akan mewasiatkan kecuali kepada imam yang ma’shum, sebagaimana anggapan mereka. Sebaliknya, seandainya mereka mengatakan bahwa tindakan Husein r.a. itu salah, berarti sama saja mengatakan bahwa ke-imam-an dan ke-ma’shum-annya pudar, padahal pudarnya ke-imam-an dan ke-ma’shum-annya itu berakibat pada pudarnya ke-imam-an dan ke-ma’shum-an seluruh anak dan keturunannya, mengapa?? Karena pokok seluruh ke-imam-an mereka itu berasal darinya, dari dirinya-lah ke-imam-an itu bercabang-cabang. Dan jika sudah pudar pokoknya, berarti pudar pula apa yang berasal darinya..! (10) al-Kulainiy menyebutkan dalam kitabnya al-Kafi (1/239): Abi Bashiroh mengatakan: suatu saat aku pernah menemui abu abdilloh a.s. Aku mengatakan kepadanya: “Diriku menjadi tebusan untukmu! Sungguh aku ingin menanyakan sesuatu, dan tidak ada orang yang mendengar perkataanku ini”. Ia mengatakan: Maka abu abdillah a.s. pun mengangkat tirai yang menutup antara dia dan rumah sebelahnya, ia lalu memeriksa sekitarnya. Lalu ia mengatakan: “Wahai Abu Muhammad, tanyakan apa saja yang ada dalam benakmu!”. Aku menjawab: “Diriku menjadi tebusan untukmu…” ia diam sejenak, lalu mengatakan: “Sungguh kami memiliki Mushaf Fatimah. Tahukah mereka apa mushaf fatimah itu?”. Ia mengatakan lagi: “Itu adalah mushaf yang di dalamnya berisi tiga kali lipatnya qur’an kalian ini, demi Alloh tidak ada (dalam mushaf tersebut) satu huruf pun yang sama dengan qur’an kalian ini”. Aku pun mengatakan: “Sungguh demi Alloh, ini benar-benar ilmu”. (Tapi) ia malah menimpali: “Memang benar itu adalah ilmu, tapi itu belum seberapa!”. Untuk mengkritisi kisah tersebut, maka kita tanyakan kepada mereka: Apakah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dahulu tahu tentang mushaf fatimah itu?! Seandainya beliau tidak mengetahuinya, bagaimana ahlul bait yang derajatnya dibawahnya bisa mengetahuinya?! Dan Seandainya beliau mengetahuinya, mengapa beliau menyembunyikannya dari umatnya?! Padahal Alloh telah men-firman-kan: “Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya” (al-Maidah:67). (11) Pada juz pertama kitab al-Kafi karangan al-Kulainiy, terdapat banyak nama yang meriwayatkan hadits Rosul -shollallohu alaihi wasallam- untuk kaum syiah, mereka juga banyak menukil perkataan ahlul bait, diantara banyak nama itu adalah: Mufadh-dhol bin Umar, Ahmad bin Umar al-Halabiy, Umar bin Aban, Umar bin Udzainah, Umar bin Abdul Aziz, Ibrohim bin Umar, Umar bin Handzolah, Musa bin Umar, Abbas bin Umar dst… Coba anda perhatikan nama-nama tersebut, tidakkah anda melihat bahwa semuanya berkisar pada satu nama yang sama, yakni nama Umar?! Pertanyaannya: Mengapa Para Ahlul bait itu menamakan dirinya dengan nama Umar?! (12) Alloh ta’ala berfirman: “Sampaikanlah kabar gembira kepada mereka yang bersabar (.) Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan: “Inna lillah wa inna ilaihi rojiun” (sesungguhnya kami milik Alloh dan kepada-Nyalah kami akan kembali). (.) Mereka itulah orang yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan-Nya, dan mereka itulah orang yang mendapat petunjuk”. (al-Baqoroh 156-157) Dalam kitab Nahjul Balaghoh juga disebutkan: Setelah wafatnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, Ali r.a. berkata: “Andai saja engkau tidak melarang untuk bersedih yang berlebih (karena kematian), tidak memerintahkan untuk bersabar, tentunya kami akan habiskan air mata ini”.[15] Ia juga menyebutkan: bahwa Ali r.a. mengatakan: “Barangsiapa ketika dirundung musibah memukulkan tangannya ke pahannya, maka sirnalah (pahala) amalnya”.[16] Pengarang kitab Muntahal Aamal menyebutkan: Bahwa Husein r.a. ketika di Karbala, berpesan kepada saudarinya Zainab r.a.: “Wahai saudariku, aku memohon kepadamu dengan nama Alloh, untuk menghormati permohonanku ini, apabila nantinya aku dibunuh, maka janganlah engkau merobek-robek saku bajumu karena kematianku, jangan pula engkau lukai wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan pula engkau meneriakkan hujatan dan cemoohan atas syahidnya aku!”.[17] Abu Ja’far al-Qummiy menukil, bahwa Amirul Mukminin (Ali) r.a. mengatakan kepada para sahabatnya: “Janganlah kalian berpakaian hitam, karena itu adalah pakaiannya Fir’aun!”.[18] Di dalam kitab as-Shofi, menafsiri ayat (yang artinya): “…dan (apabila para wanita itu berbaiat untuk) tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik” dikatakan: Sesungguhnya Nabi membaiat para wanita itu, untuk tidak berpakaian hitam, tidak merobek-robek sakunya, dan tidak meneriakkan hujatan (saat ada kematian). Dalam kitab Furu’ul Kafi (5/527), karangan Kulainiy dikatakan: Bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- berwasiat kepada Fatimah r.a.: “Jika aku nanti mati, maka janganlah kau lukai wajahmu, jangan kau lepas rambutmu, jangan kau teriakkan hujatan, dan jangan pula meratapi kematianku!”. Syaikhnya kaum syiah Muhammad bin Husain bin Babawaih al-Qummiy, -yang berjuluk as-Shoduq (yang dipercaya)- mengatakan: Termasuk sabda-sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- yang belum pernah dikatakan oleh orang sebelumnya adalah: “Meratapi mayit adalah termasuk perbuatan orang jahiliyyah”.[19] Para ulama mereka, (diantaranya: al-Majlisiy, an-Nuriy, dan al-Brujardiy), meriwayatkan bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: “Dua amalan yang terlaknat dan dibenci Alloh: Menangis keras ketika musibah, dan suara ketika naghmah, yakni ratapan dan nyanyian”.[20] Sekarang pertanyaannya adalah: Mengapa kaum syiah menyelisihi riwayat-riwayat di atas?! Lalu siapa yang kita percaya, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- dan Ahlul bait… atau para malaliy (pemuka syiah)?! (13) Apabila tathbir (melukai kepala ketika upacara di bulan Asyuro),[21] meratap, dan memukul-mukul dada itu fadhilah dan keutamaannya sangat besar,[22] lalu mengapa para malaliy (pemuka syiah) tidak melakukannya??! (14) apabila syiah beranggapan bahwa peristiwa ghodir khom itu dihadiri oleh ribuan sahabat, dan semuanya mendengar wasiat beliau untuk menjadikan Ali sebagai kholifah langsung setelah beliau wafat. Pertanyaannya: Mengapa tidak ada satu pun dari ribuan sahabat itu yang protes untuk membela Ali r.a.??! Bahkan Ammar bin Yasir r.a., Miqdad bin Amr r.a. dan Salman al-Farisiy r.a. pun tidak melakukannya??! Mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan: “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau rampas kekhilafahan itu dari Ali, padahal engkau tahu wasiat Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- di ghodirkhom itu?! Sungguh itu merupakan kebohongan besar yang digembar-gemborkan oleh para malaliy (baca: gembong syiah) (15) Di akhir hayatnya, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- meminta untuk menulis wasiat, yang dengannya umatnya akan selamanya terjaga dari kesesatan setelah beliau wafat. Pertanyaannya: Mengapa ketika itu Ali r.a. tidak mengatakan apa-apa??! Padahal kita tahu bahwa dia adalah orang yang sangat dan sangat pemberani, tidak takut apapun selain Alloh. Mengapa ia tidak mengingatkan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- akan prihal kekhilafahannya??! Bukankah ia tahu bahwa menyembunyikan kebenaran adalah setan bisu??! (16) Bukankah syiah mengatakan, bahwa sebagian besar riwayat yang ada dalam kitab al-Kafi itu lemah?! Mereka juga mengatakan bahwa: Kita (kaum syiah) tidak memiliki riwayat yang shohih kecuali Alqur’an?! Pertanyaannya: Lantas, mengapa mereka mengaku bahwa dalam kitab yang agung itu (al-Kafi) terdapat tafsiran Tuhan untuk Alquran, padahal mereka mengakui sendiri banyak riwayat yang lemah di dalamnya??! (17) Penghambaan hanyalah khusus bagi Alloh, sebagaimana firmannya (yang artinya): “Hanya kepada Alloh-lah kalian menghamba (menyembah)!” (az-Zumar:66) Pertanyaannya: Mengapa kaum syiah menggunakan nama: Abdul Husain (hambanya Husain), Abdul Ali (Hambanya Ali), Abduz Zahro (Hambanya Fatimah az-Zahro), Abdul Imam (Hambanya Imam Ali) dll??! Apakah nama Abdul Husain (Hamba Husain) bisa dimaknai dengan Khodimul Husain (Pelayan Husain) padahal dia sudah mati syahid??! Apakah dia akan menyuguhkan kepadanya makanan dan minuman, atau dia akan mengambilkan air wudhu ke makamnya, agar bisa dikatakan sebagai pelayannya??! (18) Ketika Ali r.a. memimpin sebagai kholifah, ia tidak menyelisihi para kholifah sebelumnya (Abu Bakar r.a., Umar r.a. dan Utsman r.a.). Bahkan telah mutawatir pujian Ali r.a. yang mengatakan: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya, adalah Abu Bakar dan Umar”. Ia juga tidak mengeluarkan Qur’an yang berbeda dengan Qur’an mereka, tidak men-syariatkan kawin mut’ah, tidak mewajibkan mut’ah kepada umat ketika berangkat haji, tidak mengumumkan ucapan “hayya ala khoiril amal” ketika adzan, dan tidak pula ia membuang lafal “as-sholatu khoirum minan naum” dalam adzan shubuh. Pertanyaannya: Seandainya Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. itu kafir dan telah merampas kekhilafahan -sebagaimana anggapan kalian-, mengapa Ali r.a. tidak menjelaskan hal itu kepada umat islam, ketika kekuasaan berada di tangannya??! Bahkan sebaliknya ia malah memuji dan menyanjung keduanya! Bukankah seharusnya kalian menirunya?! Atau kalian akan mengatakan bahwa ia telah menghianati umat ini, karena tidak memberitahukan hal itu kepada mereka??! Sungguh Ali r.a. tidak akan melakukan apa yang mereka tuduhkan itu… (19) Kaum syiah berkeyakinan bahwa tiga kholifah pertama itu kafir. Pertanyaannya: Mengapa Alloh memberikan kemuliaan dan kekuatan kepada mereka?! Mengapa di zaman mereka banyak negara ditaklukkan, Islam menjadi kuat dan disegani musuh. Bahkan tidak ada dalam sejarah, dimana Alloh menguatkan Islam melebihi zaman pemerintahan mereka!! Apakah fakta ini sesuai dengan hukum Alloh, yang akan selalu menghinakan kekufuran dan kemunafikan?! Di sisi lain, kita dapati masanya al-Ma’shum, yang -sebagaimana kalian katakan- Alloh menjadikan kekuasaannya rahmat bagi seluruh alam, malah terjadi perpecahan umat dan peperangan!! Hingga keadaan itu menumbuhkan harapan kepada musuh-musuh Islam untuk menaklukkan umat islam. Lantas, rahmat apa yang didapat oleh umat Islam pada masanya al-Ma’shum itu??! Tidakkah kalian merenungkannya…?! (20) Kaum syiah menganggap bahwa Mu’awiyah r.a. itu kafir, tapi di sisi lain kita dapati Hasan bin Ali r.a. malah mengalah untuk menyerahkan kekholifahannya kepadanya, padahal ia adalah imam yang ma’shum. Hal ini melazimkan mereka untuk mengatakan: bahwa Hasan r.a. menyerahkan kekholifahan kepada orang kafir, dan ini sangat bertentangan dengan ke-ma’shum-annya. Atau akan mengatakan, bahwa Muawiyah r.a. adalah seorang muslim, dan ini bertentangan juga dengan keyakinan dasar mereka. Lalu apa yang akan mereka katakan…?! (21) Apakah Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah sujud kepada turbah husainiyyah (tanah karbala, tempat terbunuhnya Husain r.a.), yang dibuat sujud oleh kaum syiah?! Jika mereka mengatakan: “Pernah”, maka sungguh demi Tuhannya Ka’bah, itu kedustaan yang nyata. Tapi jika mengatakan: “Tidak pernah”, maka kita katakan: apabila demikian, apakah jalan kalian itu lebih lurus dari pada jalannya Rosul -shollallohu alaihi wasallam-?! Meskipun kita tahu, riwayat-riwayat mereka mengatakan bahwa Jibril pernah datang kepada Rosul -shollallohu alaihi wasallam- dengan membawa tanah dari karbala. (22) Kaum syiah berkeyakinan bahwa sepeninggal Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, para sahabat keluar dari Islam dan berbalik memusuhi beliau. Pertanyaannya: Apakah para sahabat sebelum Rosul -shollallohu alaihi wasallam-wafat memeluk syiah, kemudian setelah itu memeluk agama Ahlus Sunnah?! Atau mereka itu asalnya Ahlus Sunnah, kemudian beralih ke syiah?! (23) Kita semua tahu, bahwa Hasan r.a. adalah putra pasangan Ali r.a. dan Fatimah r.a., ia termasuk imam yang ma’shum menurut keyakinan syiah, keadaannya sama dengan Husain r.a.. Pertanyannya: Mengapa pangkat imamah-nya Hasan r.a. terputus dan tidak turun kepada anak-anaknya?! sedangkan pangkat imamah-nya Husein r.a. terus turun-temurun kepada keturunannya??! Bukankah kita tahu dua-duanya adalah dari bapak dan ibu yang sama?! Bukankah keduanya adalah sayyidnya pemuda surga??! Bahkan Hasan r.a. melebihi Husain r.a. dalam segi usia dan juga lebih dahulu memimpin! Adakah jawaban yang memuaskan….??! (24) Mengapa pada saat sakitnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam- yang terakhir, Ali r.a. tidak pernah sekalipun menjadi imam memimpin sholatnya kaum muslimin??! Seandainya ia adalah orang yang paling berhak memimpin sepeninggal beliau, seharusnya sekali-kali ia pernah menjadi imam utama dalam sholat!! Bukankah kepemimpinan dalam sholat itu merupakan cabang dari kepemimpinan dalam khilafah, sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-??! (25) Kalian mengatakan bahwa penyebab menghilangnya imam kalian yang ke-12 dari negeri Sardab adalah ketakutan terhadap pemimpin yang dholim. Pertanyannya: Mengapa ia sampai sekarang masih bersembunyi, padahal bahaya tersebut telah lama hilang dengan berdirinya banyak negara syiah dalam sejarah, seperti: Negara Ubaidiyyin, Negara Buwaihiyyin, Negara Shofawiyyin, dan yang sekarang masih kuat dan eksis adalah Negara Iran…??! Mengapa ia tidak keluar sekarang??! Padahal kaum syiah sekarang tentunya mampu membelanya mati-matian dan melindunginya di negara mereka (Iran)??! Ditambah lagi jumlah mereka yang jutaan dan mereka juga bersedia mengorbankan jiwanya kapan pun diminta…!! Sekali lagi mengapa ia tidak keluar sekarang??! (26) Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menjadikan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. sebagai rekan hijrahnya dan mengusahakan agar ia tetap selamat… Di sisi lain beliau menjadikan Ali bin Abi Tholib r.a. dalam posisi yang bisa mengancam hidupnya di atas ranjang beliau… Pertanyaannya: Seandainya Ali r.a. itu imam dan kholifah yang diwasiatkan, maka apakah beliau akan membahayakan hidup Ali r.a., di saat beliau mengusahakan agar Abu Bakar r.a. tetap selamat…??! Padahal seandainya Abu Bakar r.a. yang mati, maka tentunya tidak akan membahayakan ke-imamah-annya, karena menurut kalian ia tidak ada hubungannya sama sekali dengan imamah…! Siapakah yang lebih pantas hidupnya selamat, dan siapakah yang lebih pantas untuk menanggung bahaya pembunuhan di atas ranjang maut itu…?! Jika kalian mengatakan: “Ali r.a. mengetahui yang ghaib”, lalu keutamaan apa yang diraihnya dengan tidur di ranjang beliau?! (27) Takiyah tidak disyariatkan kecuali karena adanya rasa takut, sedangkan takut itu disebabkan dua hal: (1) Takut akan keselamatan diri (2) Takut memberatkan diri, karena dianiaya, dihujat, dicerca, dan dirusak kehormatannya. Kita katakan: Adapun ketakutan yang pertama (takut mati), maka itu tidak ada dalam diri para imam. Mengapa?? Karena dua hal: (a) Karena kematian para imam itu -sebagaimana keyakinan syiah- adalah atas kehendak para imam sendiri, jika mereka tidak menghendaki mati, mereka tidak akan mati. (b) Karena para imam -sebagaimana keyakinan syiah-, itu tahu apa yang telah dan akan terjadi. Mereka tahu kapan ajal menjemput, cara matinya dan waktu matinya dengan sangat detail… Jika keadaanya demikian, seharusnya mereka tidak akan takut akan keselamatannya! Dan tidak ada gunanya mereka bertakiyah, yakni berlaku munafik dalam agama dan menipu para awamnya kaum muslimin!! Adapun ketakutan yang kedua (takut cobaan), tentunya mereka tahu bahwa hal tersebut adalah akibat yang banyak dialami oleh para ulama, dan ahlul bait tentunya orang yang paling pantas untuk mendapatkan keutamaan bersabar dalam cobaan itu, apalagi untuk membela agama kakek mereka Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-. Jika faktanya demikian, lalu untuk apa takiyah itu tetap diterapkan??! (28) Kewajiban mengangkat imam yang ma’shum –menurut syiah- adalah untuk tujuan menghilangkan kelaliman dan kejahatan dari seluruh penjuru dunia, dengan menjujung tinggi nilai keadilan. Pertanyaannya: Apakah kalian mengatakan bahwa di setiap kota dan desa, akan selalu ada orang ma’shum yang akan terus memerangi kelaliman?! Apabila kalian mengatakan: “Ya”. Maka itu merupakan pengingkaran yang jelas terhadap kenyataan yang ada! Apakah kalian melihat ada orang yang ma’shum di daerah kafir yang dihuni oleh para musyrikin dan ahlul kitab (yahudi nasrani)??!… Apakah di negeri syam ketika pemerintahan Mu’awiyah juga ada orang yang ma’shum??! Apabila kalian mengatakan: “Orang yang ma’shum hanya satu, tapi dia mempunyai banyak asisten di seluruh penjuru kota dan desa”. Maka kami jawab: “Dia memiliki asisten di seluruh kota dan desa, yang ada di muka bumi ini, atau sebagiannya saja?” Jika jawaban kalian “Di seluruh kota dan desa, yang ada di muka bumi ini”, maka kami katakan: Ini juga pengingkaran yang jelas, seperti jawaban kami yang pertama. Dan jika jawaban kalian “Asisten itu hanya ada di sebagian kota atau desa”, maka kami katakan: seluruh kota dan desa di bumi ini, mempunyai kebutuhan yang sama terhadap imam yang ma’shum, lalu mengapa kalian beda-bedakan??! …. (bersambung) [1] Kaum syi’ah sendiri mengakui terjadinya pernikahan ini, diantara menetapkannya adalah: al-Kulainy dalam al-Kafi fil Furu’ (6/115), at-Thusiy dalam Tahdzibul Ahkam (8/148 dan 2/380), juga dalam Alistibshor (3/356), al-Mazandaroniy dalam Manaqib Aalu Abi Tholib (3/162), Murtadho Ilmil Huda dalam asy-Syafi (111), Ibnu Abil Hadid dalam Syarhu Nahjil Balaghoh (3/124), al-Ardubailiy dalam Hadiqotusy Syi’ah (277), asy-Syusytariy dalam Majalisul Mukminin (76, 82), dan al-Majlisiy dalam Biharul Anwar (621). Untuk tambahan silahkan untuk merujuk kitab Zawaju Umar bin Khottob min Ummi Kultsum binti Ali bin Abi Tholib -haqiqotun waftiro’-, karya Abu Mu’adz al-Isma’iliy. [2] Lihat keterangan ini dalam Kasyful Ghummah fi Ma’rifatil Aimmah, karya Ali al-Irbiliy (2/66) [3] Nahjul Balaghoh (hal. 136, 366-367, dan 322) [4] Keterangan lebih luas tentang masalah perkawinan para sahabat dengan keluarga nabi (ahlul bait), dapat dirujuk ke kitab ad-Durrul Mantsur min Turotsi Ahlil Bait, karangan al-Faqih al-Imamiy Alauddin al-Mudarris. [5] al-Irsyad karya al-Mufid (354), Maqotilut tholibiyyin karya Abul Faroj al-Ashbahaniy as-Syi’iy (91), dan Tarikhul Ya’qubiy as-Syi’iy (2/213). [6] At-Tanbih wal Isyrof karya Mas’udi as-Syi’ie (263) [7] Maqotilut Tholibiyyin karya Abul Faroj al-Ashbahaniy as-Syi’ie (188) [8] Kasyful Ghummah karya Arbiliy (2/317) [9] Maqotilut Tholibiyyin karya Abul Faroj al-Ashbahaniy as-Syi’ie (561-562) [10] Al-Irsyad karangan al-Mufid (354), Mu’jamu Rijalil Hadits karangan al-Khu’iy (1351), Maqotilut Tholibiyyin karangan Abul Faroj al-Ashbahaniy (84), Umdatut Tholib (361), Jala’ul Uyun (570). [11] Al-Irsyad karangan al-Mufid (194), Muntahal Amal (1/240), Umdatut Tholib (81), Jala’ul Uyun karangan al-Majlisiy (582), Mu’jamu Rijalil Hadits karangan al-Khu’iy (13/29), Kasyful Ghummah (2/102) [12] Keterangan lebih detail bisa anda rujuk ke kitab Maqotilut Tholibiyyin dan kitab-kitab syiah imamiyyah lainnya, seperti kitab ad-Durrul Mantsur, karangan Ala’uddin al-Mudarris (hal. 56-69) [13] Al-Irsyad (302), al-Fushulul Muhimmah (242), Kasyful Ghummah karya Arbiliy (3/26) [14] Al-Irsyad karya al-Mufid (2/312) [15] Nahjul Balaghoh (576), Mustadrokul Wasa’il (2/445) [16] Al-Khishol karangan as-Shoduq (621) dan Wasa’ilus Syiah (3/270) [17] Muntahal Amal (1/248) [18] Man la yahdhuruhul faqih, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Babawaih al-Qummiy (1/232), Wasa’ilus Syiah (2/916) [19] Diriwayatkan oleh as-Shoduq dalam kitab Man la Yahdhuruhul Faqih (4/271-272), juga diriwayatkan oleh al-Hurrul Amiliy dalam kitab Wasailus Syiah karangan (2/915), Yusuf al-Bahrony dalam al-Hadaiqun Nadhiroh (4/149), Hajj Husain al-Brujardiy dalam Jami’ Ahaditsus Syi’ah (3/488), Muhammad Baqir al-Majlisiy dalam Biharul Anwar 82/103) [20] Dikeluarkan oleh al-Majlisiy dalam Biharul Anwar (82/103), Mustadrokul Wasa’il (1/143-144), Jami’ Ahaditsus Syi’ah (3/488), Man la Yahdhuruhul Faqih (2/271). [21] Shirotun Najah karangan at-Tibriziy (1/432) [22] Irsyadus Sa’il (184) addariny.wordpress/2009/07/03/sunni-syiah-dlm-diskusi-akidah-1/#more-695
Posted on: Thu, 01 Aug 2013 07:50:18 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015