Saturday, January 21, 2012 at 11:16pm UTC+07 Saniah Ls wrote on - TopicsExpress



          

Saturday, January 21, 2012 at 11:16pm UTC+07 Saniah Ls wrote on your timeline. Parsel Buat si Miskin Analisis - 26 August 2011 | 0 Komentar Beberapa hari lalu saya mendapatkan SMS dari seorang teman yang juga pengurus Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh. Mereka berencana mengumpukan bantuan untuk bingkisan lebaran bagi masyarakat miskin. Agar proses itu lancar, mereka meminta sumbangan dalam bentuk uang, sirup, atau gula yang akan dijemput di rumah sang pemberi. Tentu karena pekerjaan mulia saya ikut membantu. Bantuan dalam bentuk uang akan dibelikan keperluan paket, sedangkan dalam bentuk barang akan langsung dijadikan bagian dari bingkisan itu. Saya pun memberikan advis untuk keluarga yang ada di lingkungan saya yang berhak menerimanya. Mereka membuat kualifikasi bahwa yang akan menerima bantuan itu adalah kelompok keluarga miskin, korban tsunami, anak yatim, dan janda tua. Beberapa hari kemudian mereka datang ke kampung saya untuk memberikan bantuan langsung ke tempat. Setelah diidentifikasi bantuan dibagikan secara langsung. Menjelang lebaran, menerima paket seperti sirup, gula, minyak goreng, biskuit kaleng, dan kain sarung menjadi kebahagiaan yang besar bagi masyarakat yang tidak berpunya. Mungkin di antara mereka baru sekali menerima bantuan seperti itu. Betapa tidak? Paket lebaran dalam bentuk parsel (Inggris : parcel, Italia : pocco) selama ini hanya menjadi tradisi masyarakat kelas menengah. Pemberian hadiah biasanya dilakukan sesama teman atau keluarga. Paket model ini sebenarnya juga mentradisi dalam sistem birokrasi kita. Biasanya berasal dari bawahan kepada atasan atau rekanan kepada pejabat. Sejak KPK menganggap model pemberian ini sebagai gratifikasi (secara etimologis berarti ungkapan terima kasih tapi secara konsepsional dianggap sebagai suap), maka tradisi berparsel-ria di kalangan pejabat dihilangkan atau disunyikan dari mata publik. Walaupun secara riil hal itu masih terjadi di dunia birokrasi kita. Tidak percaya? Silakan pergi ke rumah pejabat pada hari pertama lebaran. Mungkin kita masih menemukan “barang bukti†berupa kotak kemasan yang belum dibuang. Syukur-syukur masih ditemukan nama pengirimnya. Kalau tidak bawahan yang sedang menjilat untuk dipromosikan maka itu berasal dari rekanan proyek yang berterima-kasih. Besaran pemberian akan menunjukkan volume kepentingan yang akan/telah diambil. Jika tidak seimbang biasanya akan menerima konsekuensi: ke depan tidak akan mendapatkan proyek/promosi lagi. Atau ada juga model kedermawanan lain yang dilakukan oleh pejabat. Biasanya mereka memberikan parsel, namun hanya kepada bawahan atau teman yang setia. Pemberian itu sebagai ungkapan syukur telah konsisten membela sang pejabat ketika dikritik oleh masyarakat. Pemberian seperti ini menurut saya tidak tepat dikatakan sedekah. Mungkin hanya “semi sedekahâ€. Karena bawahan dan teman yang diberikan tidak cukup miskin untuk menerima sedekah. Lebih tepat disebut hadiah. Namun jika kita bicara tentang kedermawanan sosial, pemberian seperti itu seharusnya diberikan kepada sang miskin. Model pemberiannya pun harus tepat kepada yang memerlukan. Model yang dilakukan oleh FJPI itu bisa dikatakan baik, karena mereka melakukan assessment langsung dan mendistribusikan tanpa perlu membuat sentral pemberian bantuan. Melalui layar televisi kita juga kerap melihat pembagian sedekah atau zakat yang diberikan oleh keluarga kaya dengan menjadikan rumahnya sebagai pusat pemberian bantuan. Model seperti ini memang lebih mudah dikenang masyarakat sebagai orang dermawan. Namun kerap menjadi praktik merendahkan sang penerima bantuan. Sering terlihat masyarakat miskin yang telah antri dalam panas siang hari harus berebutan, hingga terinjak-injak. Ironis bantuan Ramadhan! Membuat parsel untuk sang miskin sebenarnya tidak perlu mengambil uang negara, karena jelas tidak dapat dinikmati semua. Lagi pula dengan mengambil uang negara untuk keperluan seperti ini yang sulit diaudit akan disangkakan sebagai korupsi. Bisa jadi ada bantuan yang diberikan kepada masyarakat, tapi kita tak pernah tahu berapa yang masuk ke kantong pribadi pejabat. Alternatifnya, sang pejabat dapat menggunakan tunjangan yang diterimanya (tunjangan jabatan dan kemewahan lainnya), yang jelas berkali-kali lipat besarnya dibandingkan kumulasi gaji setahun. Harta itulah yang harusnya disedekahkan kepada masyarakat miskin. Pemberiannya pun tidak perlu harus menjadikan pendopo gubernur/walikota/bupati sebagai posko pengambilan parsel. Mereka harus mau bergerilya ke sudut-sudut kota, yang kemungkinan tidak terdandani pembangunan dan kemajuan, dan membagi dengan tangan sendiri atau tangan bawahan yang tepercaya. Seperti Omar bin Khatab yang biasa berjalan di malam hari melihat masyarakat miskin di wilayah kekuasaannya atau Robin Hood yang menyamar sebagai masyarakat biasa untuk mengetahui percakapan masyarakat paling bawah dari deret ukur bahagia itu. Saatnya para pejabat melakukan hal yang biasa dilakukan oleh aktivis LSM dan komunitas filantropi lainnya dalam membantu masyarakat. Lagi pula memberi tidak akan menyebabkan sang pejabat jadi miskin-papa. Sebaliknya mampu mengasah sikap sensitif dan tidak berlebihan dalam segala hal. Kehidupan sejatinya memang tidak seimbang, seharusnya kita menjadi bagian yang tidak membuatnya semakin jomplang. Penulis Teuku Kemal Fasya adalah : Antropolog Aceh.
Posted on: Fri, 26 Jul 2013 13:39:31 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015