Save Our Soul Seberapa jauh manusia harus berjalan untuk - TopicsExpress



          

Save Our Soul Seberapa jauh manusia harus berjalan untuk bisa disebut sebagai manusia? Sebutlah desa ini Kali Bokong, sebuah perkampungan nelayan tradisional di daerah pantai utara Jawa yang mulai tergerus laju modernitas. Secara demografis, masyarakat kali Bokong terbagi ke dalam dua kelas yang berbeda; daerah Selatan Kali Bokong merupakan kompleks perumahan elit yang dihuni masyarakat kelas menengah-atas, sementara daerah Utara merupakan daerah pemukiman kumuh para nelayan yang miskin. Kedua daerah itu dipisahan oleh sebuah sungai kecil (kali) yang karena banyak dari para penghuni pemukiman nelayan biasa mandi di sana dan kelihatan bokongnya, maka kampung ini dikenal sebagai kampung Kali Bokong. Sebuah kali eksotis yang kalau kau iseng nongkrong di pinggirnya akan mendapatkan sajian bokong gratis dari mulai ABG sampai nenek- nenek! Mandira, di sinilah ironi kali Bokong baru bisa kita baca. Segmentasi Utara-Selatan, yang sekaligus juga mencerminkan perbedaan kelas sosial miskin-kaya, ternyata juga menunjukan pola dan kultur keagamaan yang berbeda. Masyarakat dari kompleks perumahan elit rajin berjamaah di masjid sekaligus rutin menghadiri pengajian mingguan, sementara masyarakat nelayan yang miskin justru jangankan shalat berjamaah di masjid sedangkan shalat pun mereka tak! Saat ibu-ibu kompleks menyelenggarakan pengajian mingguan, ibu-ibu nelayan tak pernah menghadirinya. Saat remaja-remaja kompleks menggelar kegiatan-kegiatan keagamaan, remaja- remaja anak nelayan malah sibuk menimbang ikan dan sesekali memasang taruhan kecil di pertandingan sepak bola. Nggak mengherankan, Mandira, itulah sebabnya Pak Ustadz seringkali mengutuk mereka sebagai orang yang miskin di dunia dan akan menderita di akhirat., “Kaadza al-faqaru an yakuuna kufran ,” pekik Pak Ustad, “Sesungguhnya kefakiran itu memang dekat dengan kekufuran – dan itu dekat dengan neraka!” sambungnya berapi-api. “Bukankah mereka yang selama ini merusak citra kampung kita, Pak Ustadz?” seseorang bertanya dalam acara pengajian, “Merekalah yang dengan bebas mengumbar aurat setiap sore saat mandi di tepian kali, dengan bokong ke mana-mana!” Para hadirin terkekeh. “Cih! Sungguh merusak tatanan moral!” kata Pak Ustadz sambil menggeleng-gelgnkan kepalanya. Para hadirin turut menggelengkan kepala. Rutuk dan serapah membrudal dari mulut mereka. “Bukankah mereka pantas masuk nerak, Pak Ustadz?” seseorang tak sabar menghakimi. “Betul,”kata pak Ustadz, lalu mengutip ayat-ayat yang panjang, dalil-dalil yang panjang, “Merekalah yang dilaknat dan pantas masuk neraka!” sambungnya. Pause. Samapi disini, cerna dulu ceritaku, Mandira. Tarik napas dan pikirkan baik-baik apa yang sudah aku ceritakan. Lalu, kalau pertanyaan yang sama kuajukan kepadamu: Benarkah para nelayan miskin dan keluarganya ini merupakan pendosa yang pantas masuk neraka? Kira-kira apa jawabmu, Mandira? *** Sebelum kau terburu-buru memberi jawaban, Mandira, mari terlebih dahulu kita lanjutkan ceritanya; Mandira yang baik, asal kamu tahu, kemiskinan yang mereka derita mau tidak mau memaksa mereka untuk bekerja siang-malam (dan karena mereka ini nelayan, tentu saja mereka ngantor ke tengah lautan) sehingga mereka kesulitan mengakses masjid dan melakukan shalat apalagi berjamaah –di saat yang bersamaan, mereka tidak memiliki pemahaman keagamaan yang cukup memadai. Apalagi kemampuan ijtihad faqhiyah untuk men-jama ’ shalatnya atau melakukan shalat di lepas pantai. Ini semacam kutuk yang berat: Sudah miskin, mereka nggak ngerti… Pertanyaannya, kalau begini, (si) apakah yang salah? Kemiskinan dan ketidakmengetian mereka? Atau jangan-jangan mereka yang kaya dan berkecukupan yang terus-menerus memelihara kemiskinan dan ketidakmengertian mereka? Bukankah para nelayan miskin ini nggak tahu caranya bagaimana bisa kaya sekaligus pandai? Kalau mereka tahu caranya, dan kalau mereka bisa memilih, tentu saja mereka nggak akan memilih untuk miskin dan bodoh, bukan? Menjadi miskin dan bodoh itu menyakitkan, Mandira -- Sementara itu para istri dan keluarga nelayan-nelayan miskin ini pun mesti berjuang mati-matian mendirikan tiang-tiang kehidupan mereka yang rapuh! Kenyataannya, setiap kali jadwal pengajian tiba, selalu bertepatan dengan tugas mereka menggarami atau menjemur ikan –yang kalau nggak mereka lakukan, bagaimabna lagi caranya melanjutkan hidup? Nah, sampai di ini, jadi salah ibu-ibu yang nggak ikut pengajian atau salah Pak Ustadz yang bikin jadwal pengajian? Barang kali, inilah yang dikeluhkan Jefferey Lang dalam sebuah bukunya Aku Beriman, Maka Aku Bertanya (2006) bahwa dalam kondisi – kondisi berat (seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan) sulit sekali menjalankan agama yang dikunci oleh rigiditas – rigiditas figh. Misalnya, soal mereka yang terbiasa mandi di kali dan terlihat bokongnya, kita segera tahu jawabnya bahwa jangankan kamar mandi pribadi sedangkan rumah yang layak pun mereka nggak punya! Jadi, kalau mereka mandi di kali dan kelihatan auratnya, sebenarnya itu bukan 100% salah mereka donk, toh mereka nggak punya pilihan lain, ‘kan? *** Mandira, sampai di sini barangkali suratku ini memang akan terbaca sebagai kritik yang nyinyir. Atau setidaknya kemarahan yang naif. Setidaknya samapai kita membaca relaitas oposisionalnya – Di pemukiman masyarakat menengah dan kaya di Kali Bokong, kita akan melihat pemadangan yang benar- benar kontras dengan apa yang tadi kita bicarakan tentang kehidupan kaum nelayan ; (1) masjid yang berdiri megah menghabiskan dana yang hampir menembus bilangan miliar hasil sumbangan para warga, (2) koperasi yang dikelola oleh pejabat desa yang justru berorientasi pada pengembangan ekonomi yang sama sekali tak menyentuh para nelayan – alih- alih merumuskan skema ekonomi yang bisa meringankan kehidupan para nelayan, mereka malah sibuk arisan mobil atu arisan umroh, (3) masyarakat yang menyelesaikan makan siang dan makan malamnya dengan perut kenyang dan berpiring-piring makanan sisa, berbelanja tiap akhir pekan, dan merayakan pesta ulang tahun anak mereka yang masih balita dengan biaya puluhan juta rupiah, (4) Ustadz yang memiliki rumah megah, mobil mewah, harta berlimpah, dan dengan seenaknya menunjuk hidung mereka yang (di)-miskin(-kan) sebagai kaum yang tak pandai bersyukur dan lebih dekat pada kekufuran, juga (5) tentu saja pejabt-pejabt kaya yang tak pernah mau mengerti dan menyadari bahwa keimanan tidak semat- mata diukur dengan kemampuan menjalankan ibadah dengan kemampuan harta! Ah, Mandira, bukankah mereka ini yang diam-diam sepakat untuk memelihara (jurang) kemiskinan dan membuat para nelayan terus-menerus berdosa? Kalau para nelayan pantas masuk neraka, bukankah mereka ini yang telah menjerumuskannya, Mandira? Entahlah! Di sinilah, Mandira, barangkali pertanyaan Abou Filali- Anshari (2009) sangat relevan untuk konteks Kali Bokong, “Bukankah semua agama pada mulanya hadir untuk membela mereka yang tertindas? ” Jadi, kalau agama dijadikan sebagai instrumen pendukung untuk melanggengkan kekayan dan kekuasaan dan memelihara kemiskinan dan kebodohan, dengan iming-iming pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, siapakah sebenarnya yang pantas masuk neraka? ... Terlepas dari setuju atau tidak, Kali Bokong adalah potret yang mengajarkan kita untuk melihat masalah – masalah dan tantangan keagamaan yang dewasa ini jauh lebih kompleks, Mandira. Agama bukan semata – mata hitam-putih figh yang melulu pahala dan dosa, halal dan haram; Agama adalah risalah yang diturunkan Tuhan kepada para Rasul dan Nabi dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kehidupan dunia dan akhirat! Tak tertolak! *** Mandira yang baik, maafkan kalau suratku kali ini membuatmu mengerutkan dahi. Tapi, inilah keresahanku. Sebelum aku akiri surat ini, ada baiknya kau melihat Kali Bokong dalam spectrum dan kenyataan yang lebih luas lagi... Benar rasanya lirik sebuah lagu, Save Our Soul (S.O.S.). Lagu itu, menurutku, bukan hanya mempersoalkan ketidakadilan sosial ditengah-tengah kita—tetapi juga absennya nurani dan kepekaan jiwa dari kehidupan masing-masing kita. Kita semua, Mandira, kau dan aku, mau tak mau harus bergerak merubah dunia yang salah. Meski tampak naïf, setidaknya bias kita mulai dengan bersikap adil pada diri sendiri, berkasih saying dan tolong-menolong pada sesama—menyelamatkan rasa kemanusiaan yang tersisa! Sumber : Novel Hidup Berawal Dari Mimpi – Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black
Posted on: Sat, 31 Aug 2013 23:17:51 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015