“Saya sadar bahwa saya tidak mungkin berdiri di depan Anda hari - TopicsExpress



          

“Saya sadar bahwa saya tidak mungkin berdiri di depan Anda hari ini, sebagai Presiden Amerika Serikat, kalau bukan untuk Gandhi dan pesan yang ia berbagi dengan Amerika dan dunia. “ (Barack Obama-dalam pidato di Sidang Gabungan dengan Parlemen India, 2010). Nama Mahatma Gandhi tak bisa lepas dari “kitab sejarah” peradaban dunia. Sebagai salah satu bapak bangsa India, beliau dikenal sebagai tokoh gerakan kemerdekaan dan pelopor filosofi politik anti kekerasan yang dikenal Satyagraha dan Ahimsa. Lahir dengan nama asli Mohandas Karamchand Gandhi pada 2 Oktober 1869, wafat pada 30 Januari 1948 dalam usia 78 tahun, dunia lebih mengenalnya dengan nama Mahatma Gandhi. Mahatma berasal bahasa Sanskerta yang berarti “jiwa besar,” atau dalam bahasa Jawa Kuno, Mahatma bisa diartikan sebagai bentukan dua kata “maha” (besar) dan “atma” (manusia). Maka tak salah jika Gandhi diakui oleh dunia sebagai salah satu “manusia besar” yang perjuangan dan pemikirannya menginspirasi gerakan non-kekerasan, hak-hak sipil dan kebebasan di seluruh dunia. Salah satu pemikiran dari Mahatma Gandhi adalah 7 dosa sosial yang dikenal dengan social sins, yang ditulis pada 1925, dan masih tetap relevan dengan kondisi kekinian di banyak negara, termasuk Indonesia. Dosa-dosa sosial akan terlihat nyata ketika kita dihadapkan pada realita problematika sosial-politik-budaya masyarakat-negara-bangsa Indonesia. Oleh sebagian, dosa-dosa sosial ini diterjemahkan sebagai dosa-dosa negara, pemerintah atau kekuasaan. Namun jika mengacu pada fitrah kosa katanya, dosa-dosa sosial akan lebih tepat jika diterjemahkan sebagai dosa-dosa (dan kesalahan) komunal yang melibatkan seluruh komunitas sebagai “kutukan karma” berjama’ah-massal-nasional. Maka, manusia sebagai komponen utama dari negara-bangsa, yang menempati wilayah nusantara, baik rakyat jelata maupun pemerintah-penguasa, memikul beban dosa yang sama. Ada sedikit “benang merah” dari “kedurhakaan sejarah,” yang berakibat pada krisis multi dimensial nan carut-marut negeri kita, seperti yang telah Gandhi diagnosakan sebagai “penyakit najis bathin” sosial kemasyarakatan. Adalah dia korupsi, yang telah dunia sepakati sebagai salah satu extraordinary crime (kejahatan luar biasa) di samping terorisme dan narkoba. Dengan sedikit pula meminjam tata-sila sebab-akibat dari rumusan Pancasila, sebagaimana literatur dosa muncul dari ranah agama, maka 7 dosa sosial ini bisa dibabar dengan menempatkan agama sebagai kausa pertama. Secara berurutan, (agak berbeda dengan tulisan asli Gandhi), 7 dosa sosial itu adalah worship without sacrifice (agama tanpa pengorbanan), education without character (pendidikan tanpa watak), science without humanity (pengetahuan tanpa kemanusiaan), wealth without work (kaya tanpa karya), commerce without morality (niaga tanpa etika), politics without principle (politik tanpa prinsip), pleasure without conscience (kesenangan tanpa nurani). Sebagaimana Pancasila yang dirumuskan dengan tata urutan mekanisme reaksi berantai sebab-akibat, 7 dosa sosial juga bekerja dengan cara yang sama. Secara sederhana, Pancasila adalah fondasi filosofi negara untuk mencapai rakyat adil sejahtera secara sosial. Dan mekanisme kerja Pancasila bermula dari keyakinan beragama dalam ketuhanan sebagai kesalehan ritual-vertikal. Lalu berkombinasi dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai kesalehan sosial-horisontal. Terciptalah ikatan kuat jama’ah rakyat dalam persatuan kebangsaan, yang dengan kendaraan berpolitik di atas prinsip-ideologi kerakyatan berbasis hikmah kebijaksanaan, tercapailah tujuan akhir dari negara merdeka, keadilan sosial merata sejahtera. Terkait dengan 7 dosa versi Gandhi, dosa pertama yang menjadi sumber dosa seanjutnya adalah agama tanpa pengorbanan. Sekadar menyegarkan ingatan, hari raya Idul Adha yang belum sebulan berlalu bisa kita jadikan sebagai pelajaran berharga untuk refleksi kita bersama. Potret kelam wajah bangsa terkini, Paradoks Negeri “Sejuta Satu Haji.” Dalam sejuta haji hanya ada satu haji sejati, 999.999 sisanya belum paripurna menunaikan haji. Sebagai umat-bangsa, kita telah memasuki fase gagal agama dan gagal negara, muara dari gagal keluarga dan gagal manusia. Keberagamaan hanya sebatas kesalehan simbol-simbol pagan, casing dan ritual-seremonial, namun gagal mengeja-wantah dalam kesalehan esensial, fitur dan sosial-komunal. Zuhijjah bulan haji yang berpuncak dalam hari raya Idul Adha menjadi saksi paradoks dan ironi. Negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, dengan 85% penduduk muslim sebagai mayoritas dari 240 juta jiwa, praktis agama (Islam) Indonesia hanya terlihat indah di atas teks, terma, dogma dan wacana, namun gagal mentransformasi dalam perilaku nyata. Lebih ironis, ketika sebuah penelitian sosial tentang Keislaman Indonesia menempatkan negara ini dalam urutan ke-140 sebagai islami di antara 108 negara. Negara Barat yang non muslim, secara umum justru dinilai lebih islami. Selandia Baru ter-islami dalam ranking 1, Kanada (7), Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25). Apa penyebabnya? Agama tanpa altruisme-pengorbanan. Padahal, altruisme Idul Adha telah diwariskan oleh Bapak Para Nabi Ibrahim (atau Abraham) dalam ritual penyembelihan Ismail (atau pembakaran Ishak) sekitar 4.000 tahun silam. Altruisme ini lalu dijadikan sebagai rukun penyempurna agama Islam dengan ibadah haji ke “Tanah Suci” dan penyembelihan hewan kurban. Agama di negeri ini telah dikorupsi. Departemen Agama yang seharusnya menjadi “Masjidil Haram”-nya lembaga negara yang seharusnya suci, justru terindikasi sebagai salah satu lembaga terkorup. Dengan adanya korupsi di Depag, Tuhan telah terdepak dari bumi Indonesia. Agama tanpa pengorbanan adalah sumber dari segala sumber bencana. Kerusakan jiwa, mental-spiritual, moral, norma-etika, tata krama keadaban manusia Indonesia menjadi efek domino buah karma kutukan sejarah nusantara. Berdirilah bangunan pendidikan nir-watak yang hanya memproduksi ilmuwan berintelijensi tinggi tapi kosong dari budi pekerti. Gagal dalam pembangunan karakter, bangsa ini justru melakukan “blunder sosial” dengan saling tikam dalam pembunuhan karakter massal. Intelektual miskin spiritual dwi arah (vertikal-horisontal), plus gap lebar pelaku agama antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial, lantas melahirkan para ahli-praktisi-profesi cerdas dalam otak, tapi pandir dalam watak. Alhasil, sains-teknologi membentuk “komunitas zombie.” Raga-material-jasad wadag memang tampak sempurna. Namun tanpa ruh kemanusiaan sejatinya manusia telah bermetamorfosa menjadi kanibal yang saling memangsa sesama. Pengetahuan yang seharusnya menjadi jembatan pendakian ke “langit ketuhanan” dan berimbas pada kemaslahatan kemanusiaan, justru menjerumuskan ke jurang kehancuran-kehina-dinaan. “Korupsi agama, Tuhan dan kebenaran” mengantarkan bangsa ini menjadi penjajah di negeri sendiri, dari dan kepada saudara sendiri. Tak pelak, “panggung ekonomi” didominasi aktor-aktor berwatak kotor dari komunitas koruptor. Antek nekolim bertebaran dalam libatan korporatokrasi lokal-global kaum hedonis-kapital, dengan daya rusak pada bangunan bangsa ribuan kali lipat ketimbang penjajahan kolonial. Semakin hari, bermunculan generasi instan para pengejar harta-kekayaan tapi enggan bekerja dan berkarya. Generasi potong kompas, main terabas dan saling bilas-saling libas dengan berahi korupsi tak terkendali, ganas, buas, dan nggragas tanpa kenal batas-batas kata puas. Sudah niscaya, lahirlah pebisnis-pengusaha korup yang berkompetisi memburu laba dalam niaga tanpa moral dan etika. Ketika semuanya tumpah ruah ke “lapangan politik” kekuasaan, “setan korupsi” mencapai klimaks untuk beraksi-reaksi. Sindikasi, konspirasi, kompilasi, atau segala bentuk kerja sama hitam “kesepakatan setan” pusaran jahiliyyah-oligarki kekuasaan. Politik tanpa prinsip terhidang. Demokrasi kamuflase dalam pesta-pesta fiesta budaya extravaganza. Politisi-politikus imitasi berlomba mengejar kekuasaan dan jabatan dengan memperalat partai sebagai kendaraan tumpangan. Oportunis tumbuh subur menjamur. Para kutu loncat menjadi hama dan penyakit akut perusak tanaman demokrasi di ladang politik negeri ini. Politik disulap menjadi industri kapitalistik, tanpa tujuan suci, tanpa ideologi, tanpa basis massa yang jelas, tanpa altruisme “berdarah-darah” memperjuangkan kemaslahatan rakyat-publik. Akhirnya, semua bermuara pada satu naluri dasar primata spesies manusia, kesenangan dan kenikmatan “surga dunia.” Hanya demi “orgasme” semata. Kesenangan tanpa nurani, mengejar kenikmatan duniawi abai kehormatan dan harga diri. Harta-tahta-cinta di puncak piramida segitiga, dengan berahi-hasrat-syahwat sebagai pilarnya, dan korupsi sebagai pembangkit energi bangunannya. Berahi dan orgasme pada fitrahnya bukanlah dosa, ketika ia terjaga dan diletakkan pada tempatnya. Namun berahi dan korupsi bisa menjadi dosa berbuah petaka, ketika ia menyeret manusia lupa pada kemanusiaannya. Berahi korupsi dan orgasme politik yang telah menghipnotis kita, hanyalah sebagian dari dosa-dosa sosial kita sebagai bangsa. Dan korupsi sebagai sumber dari segala sumber dosa manusia, selalu hadir dalam setiap dosa-dosa sosial, pengiring abadi perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Gandhi telah mengajarkan agar kita berusaha menjadi manusia “mahatma” berjiwa besar untuk bisa menangkap setiap mutiara hikmah dan peristiwa. Semoga masih ada ruang di dada kita untuk bangkitnya kesadaran akan dosa-dosa bersama, demi terciptanya tujuan akhir umat-bangsa negara merdeka, sesuai sila ke-5 Pancasila, rakyat adil makmur merata sejahtera.
Posted on: Sat, 23 Nov 2013 02:59:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015