Sebuah Cerita Tentang Marwal Iskandar October 6, 2013 at 1:36 pm - TopicsExpress



          

Sebuah Cerita Tentang Marwal Iskandar October 6, 2013 at 1:36 pm by Pradipta Riphan Tags: Boas Solossa, Cult Hero, Juan Paez, Marwal Iskandar, Mauli Lessy, yayan Sundana Sebelumnya saya tidak cukup mengenal banyak tentang sosok gelandang bertahan ini. Pun ketika dia pernah memperkuat Persib Bandung di tahun 2003. Saya hanya mengetahui seorang Marwal Iskandar dari layar televisi. Tidak istimewa, lengan kaos dilinting, berpostur pendek, serta suka menghalangi-halangi penendang tendangan bebas dengan raut muka cengar-cengir. Perkenalan saya dengan Marwal hanya sebatas itu. Hingga tiba di suatu malam Marwal turun dari mobil Avanza hitamnya Encang Ibrahim (mantan kapten Persikab dan legenda Persikab). Kebetulan malam itu saya sedang nongkrong – nongkrong di Viking Fanshop jalan Riau. Marwal dan Encang bersama Sutan Harhara memang sedang bersama-sama mengerjakan proyek Frenz United. Semacam diklat untuk pesepakbola muda yang digembleng di tiga negara, Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Marwal turun dan menyampaikan bahwa dia kangen bobotoh, dan dia menyempatkan diri untuk menyambangi bobotoh yang baginya telah memberikan dukungan luar biasa ketika dia berada di Persib. Di sisi lain, saya menangkap kesempatan, kesempatan untuk menanyakan hal-hal tentang sisi lain sepakbola yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, hal yang tidak pernah ada di google. Kesempatan berharga nih, ucap saya dalam hati. Saya lalu mencoba menanyakan semua yang saya bisa tanya, malam itu Marwal saya kuras habis-habisan. Untungnya beliau cukup berbaik hati untuk menjawab semua pertanyaan saya. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya bermain di lima klub besar Indonesia (Persebaya, Persib, Persija, PSMS, PSM) Saya mencoba merangkumnya hanya dalam dua bagian yaitu ketika di Persipura dan Persib. Tidak ada alasan khusus kenapa hanya menuliskan di dua klub itu, kalaupun harus benar-benar dicari alasannya, karena di Persib ada Alejandro Tobar dan di Persipura ada Boas Solossa. Dua pahlawan masa kecil saya yang secara ketertarikan menjadi lebih menarik ketika membicarakannya. Berikut kira-kira rangkuman pembicaraan saya dengan Marwal Iskandar saat itu. Marwal Iskandar tergabung di tim Persipura 2005. Tim yang hingga saat ini menjadi pondasi Persipura bisa merajai persepakbolaan nasional. Bersama Jack Komboy, Jendri Pitoy, Eduard Ivakdalam, Eric Mabenga, Cristian Lenglolo, Victor Igbonefo, dan pemain ‘junior’ jebolan PON Papua seperti Christian Worabay, K.K Fingkrew, Ian Kabes dan Boas Solossa membawa Persipura menjadi juara Liga Indonesia 2005 mengalahkan Persija Jakarta 3-2 di Senayan. Tahun itu adalah tahun debutnya Boas di kancah liga. Boas, yang kelak tumbuh menjadi kapten Persipura dan tim nasional Indonesia saat ini baru bergabung di tim setelah menjuarai PON. Karir Boas memang cenderung unik, dia lebih dulu masuk tim nasional senior Indonesia (Tiger Cup 2004) sebelum masuk klub. Hampir mirip seperti karirnya Bambang Pamungkas yang baru mempunyai klub setelah terlebih dahulu bergabung di timnas (Sea Games 1999). Malam sebelum pertandingan, Ortizan Solossa menelpon Marwal, Ortizan adalah kakak kandung dari Boaz yang ketika itu bermain untuk Persija. “Marwal, besok adikku debut di liga, aku titipkan adik aku kepadamu dan Edu (panggilan untuk Eduard Ivakdalam). Tolong dibimbing ya Marwal, saya sayang Boas, saya ingin dia bermain baik seperti di timnas” ucap Ortizan kepada Marwal. “Hei Orti, kau tenang sajalah, urusan Boas percayakan saja padaku dan Edu, saya dan Edu yang akan bagi bola untuk Boas, sudahlah, kau jangan khawatir, saya yang jamin Boas disini”. Timpal Marwal mengakhiri percakapan di telfon dengan jarak Jakarta – Papua itu. Keesokan harinya sebelum bertanding Boas mendatangi kamar Marwal. “Patua (panggilan Marwal di Papua), saya grogi, saya takut patua” ucap Boas. “sudahlah Boas, kau minum saja dulu sana biar tenang, saya dan Edu yang akan bagi bola buat kamu, kau suka bola yang seperti apa?”, “bola daerah Patua” ucap Boas. Lalu Marwal mendatangi kamar Eduard Ivakdalam sambil merencanakan apa yang Boas tadi sampaikan. Marwal, Eduard Ivakdalam dan Eric Mabenga lalu membuat strategi bahwa bola dimainkan dulu ditengah oleh ketiganya, jika ada ruang kosong di sisi kiri, langsung berikan killing pass ke Boas. Ketiganya sepakat melakukan itu. Hari penghakiman untuk Boas tiba. Dia menggunakan nomor punggung 26. Sama dengan yang dipakai oleh Ortizan Solossa dan Nehemia Solossa dimusim itu dengan klub yang berbeda. 15 menit pertama Boas masih grogi. Sekitar dua sampai tiga kali through ball kepadanya selalu lepas dari kontrol Boas. “Gimana Boas, sudah enak mainnya?” Tanya Marwal. “Belum patua, saya masih bingung”. Marwal lalu menghampiri Edu agar suplai bola tetap diberikan kepada Boas. Ini dimaksudkan agar sentuhan Boas terhadap bola semakin sering dan membuat Boas menjadi nyaman. Akhirnya sekitar setengah jam permainan Boas sudah bisa beradaptasi. Umpan-umpan daerah kepadanya mulai bisa diselesaikan dengan baik. “kalau ada ruang kosong di sisi kiri, dan Boas sudah miring-miring siap untuk berlari, kasih saja bola kedaerahnya, sudah pasti dapat oleh dia” ucap Marwal. Gol yang ditunggu akhirnya tiba. Boas melakukan debut golnya di liga dan debut golnya bersama Persipura. Marwal menjadi saksi sejarah. Tiba dipartai delapan besar, Marwal mencetak gol di menit 76’ ketika melawan Persik Kediri. Untuk orang-orang Papua, gol yang Marwal cetak inilah yang sebenar-benarnya membawa Persipura bisa juara ditahun itu. Beberapa orang Papua bilang gol Marwal melawan Kediri yang mengantarkan Persipura ke Senayan dan menjadi juara. Tanpa gol Marwal di delapan besar,Persipura tidak akan bisa ke Senayan. Sebuah hal yang akan selalu diingat Marwal Iskandar, ketika dia memutuskan untuk pindah dari Persipura ke Persija dimusim berikutnya, ada seorang ibu-ibu menghampiri dan memeluknya sambil menangis di bandara. “Marwal, terimakasih sudah membawa Persipura juara, tanpa gol kamu di delapan besar kami tidak akan juara, asal kamu tahu, ketika anak saya meninggal, saya tidak menangis, tetapi ketika melihat kamu meninggalkan Persipura saya menangis” ucap ibu-ibu yang sampai saat ini kejadiannya selalu dikenang oleh Marwal Iskandar. Layaknya seorang gelandang bertahan di era itu, tugas Marwal adalah menjaga trequartista lawan. Pola 3-5-2 memang menjadi ikonik untuk sepakbola Indonesia yang mawabah sampai sekitar tahun 2008. Pola yang membuat secara matemastis mengharuskan gelandang bertahan bertemu gelandang serang pihak lawan secara langsung. Malam itu, 25 September 2005 adalah final Liga Indonesia. Persipura melawan ‘tuan rumah’ Persija Jakarta di Senayan. Rahmad Darmawan secara khusus memberikan instruksi kepada Marwal untuk menjaga Lorenzo Cabanaz. Seorang maestro pembagi bola flamboyan asal Paraguay. Anjing! Gumam Marwal dalam hati ketika itu. Saya pernah menjaga Ronald Fagundez, saya pernah menjaga M. Affan Lubis, saya pernah menjaga hampir semua trequartista di Liga Indonesia dan saya tidak pernah gagal. Tetapi lain untuk kasus Cabanaz. Saya belum pernah benar-benar bertemu langsung dengan Cabanaz. Persija bermain di wilayah barat sedangkan Persipura di wilayah timur. Marwal hanya bisa melihat semuanya melalui televisi. Dia tidak tahu bagaimana karakter main Cabanaz. Tetapi dengan lantang Marwal berjanji kepada Rahmad Darmawan “jika sampai Cabanaz mencetak gol, saya pensiun dari sepakbola” ucapnya. Final pun berlangsung, ternyata Persija memainkan dua gelandang serang sekaligus. Agus Indra Kurniawan dan Lorenzo Cabanaz yang ditopang Deca Dos Santos sebagai peyeimbang lini tengah. Agus Indra pemain yang cepat, Cabanaz pemain stylish. Dan Marwal harus bertugas menjaga keduanya. Akhirnya Agus Indra ‘dipilih’ Marwal untuk menjadi korban pertamanya. Dia hajar semua pergerakan Agus Indra selama menguasai bola. Hajar lagi, lagi dan terus dihajar. Selesai. Satu tabrakan antara Marwal dengan Agus Indra menyebabkan engkel Agus Indra bengkak. Menit 22’ Agus Indra pun harus mengakhiri final lebih cepat karena cedera dan digantikan oleh Francis Wewengkang. Saya mendapatkan kartu kuning, jikapun saya harus mendapatkan kartu merah saya sudah tidak takut lagi. Saya harus mengorbankan semuanya untuk membawa Persipura juara. Ucapnya. Satu tugas lagi menanti, Enzo Cabanaz ternyata memang hebat. Marwal sempat kehabisan cara mengehntikan Paraguay yang satu ini. Sampai ada kejadian ketika wasit sedang tidak melihat, saya meludahi cabanaz. Cuh! saya ludahi muka Cabanaz dan dia jatuh berguling-guling mengadu kepada wasit. Saya harus menghancurkan mental Cabanaz saat itu, dia gelandang terbaik Persija. Meleng dikit Persipura bisa kecolongan. Semua cara termasuk cara kotor dengan mengintimidasi mental dia harus saya lakukan. Lagipula ini final. Sekarang atau tidak sama sekali. Cabanaz akhirnya menyerah, menit 80’ dia digantikan Mulki Hakim, pemain muda Persija saat itu. “anjing siapa lagi nih, tadi Agus Indra, lalu Cabanaz, sekarang ada pemain cepat lagi, sialan, tugas belum selesai” ucap Marwal dalam hati ketika final itu. Mauly Lessy yang tepat berada dibelakang Marwal menjadi stopper menghampiri Marwal sambil bercanda lalu bilang “sudah, kau patahkan sajalah itu anak kecil, masa jaga Cabanaz bisa jaga anak kecil gak bisa”. Menurut Marwal. Lessy ini pemain pendiam yang permainannya memang keras, tetapi sering bercanda. Sama seperti apa yang dia lakukan di final ini, menginstruksikan saya untuk membabat Mulki sambil cengengesan. Mulki Hakim pun mendapat ospek selama sekitar sepuluh menit hingga peluit akhir berbunyi dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Persipura juara untuk pertama kalinya di era Liga Indonesia. Kisah manis Marwal di Papua sedikit berbeda ketika dia berada di Persib. Marwal bergabung di Persib pada tahun 2003 diparuh musim kedua. Dia pindah dari Perseden Denpasar asuhan Nandar Iskandar. Persib ditahun ini adalah Persib yang terpuruk di zona degradasi. Marwal masuk pada putaran dua bersama Alejandro Tobar, Claudio Lizama, Juan Paez dengan misi menyelamatkan Persib dari zona degradasi. Berhasil. Marwal berhasil membawa Persib lolos dari degradasi. Yang lebih menyenangkan baginya adalah Perseden Denpasar klub yang membuang Marwal akhirnya terdegradasi. Saya main dibelakang Tobar, saya bekerja untuk dia. Dia Fantastis, selama karir sepakbola saya, hanya ada dua orang pemain tengah yang saya kagumi. Yang pertama Eduard Ivakdalam, yang kedua Alejandro Tobar, ucapnya. Mereka sangat tenang dan berkelas. Tugas saya simple, hanya merebut bola, berkelahi, lalu memberikan bola kepada Tobar. Selebihnya dia tahu apa yang harus dia lakukan. Di Persib saya tidak juara, tetapi saya merasa juara karena berhasil meloloskan tim ini dari degradasi. Saya masih ingat bagaimana kami disambut oleh puluhan ribu bobotoh di gerbang tol Pasteur setelah berhasil lolos dari play off degradasi di Solo. Teman baik saya selama di Persib itu si ublag (Yayan sundana) dan M. Yusuf. “wah, mereka itu kalo udah disuruh maen keras paling semangat. M. Yusuf pernah menghajar muka Ortizan Solossa dengan kaki hingga Ortizan memar di Siliwangi ketika Persib melawan PSM Makassar. Kalau si ublag misalnya main lembek sedikit, saya pasti teriakin, hey ublag, kamu takut? Dia pasti langsung menjawab, enak aja, siapa yang takut, dan seketika responsnya langsung menghajar siapa saja lawan didepannya”. Persib di zaman itu memang terpuruk, tapi tidak secara tim. Kebersamaan sangat terbangun rapi. Satu makan, semua makan. Tidak ada pemain yang makan sendirian dikamar mess. Seorang Asep Dayat pun kalau sedang makan ya bareng-bareng. Karena kami tahu, tugas kami sedang berat. Harus menyelamatkan tim ini dari degradasi. Modalnya hanya kebersamaan. Secara materi tim kita tidak terlalu bagus. Untungnya Juan Paez pelatih cerdas. Dia sangat dihormati. Membuat tim ini selalu tampil total. Saya sangat menghormati dia. Respek saya juga untuk Dadang Hidayat, dia mampu menjadi komando yang tegas. Pernah satu kesempatan Dadang menghampiri saya dan bilang “Marwal, kamu saja yang jadi kapten”, langsung saya jawab “tidak Dadang, kamu orang sini, kamu orang Bandung, kamu yang harusnya jadi kapten, bukan saya”. Satu beban tersendiri bagi Marwal adalah dia orang Sulawesi pertama yang bergabung di Persib. Marwal sadar, pemain luar Bandung sering tidak diterima oleh bobotoh, dan ini menjadi beban tersendiri, tetapi bagaimanapun cita-citanya bermain di lima klub besar Indonesia harus terwujud. Dan mau tidak mau Marwal harus menghadapi resiko ini. “Saya bekerja keras untuk Persib, lengan baju dilinting ini ada filosofinya. Ini artinya pekerja keras”. Saya berhasil menjalankan tugas. Ini membuat keran pemain Sulawesi lain seperti Zulkifli Syukur, Hendra Ridwan menjadi seperti dibukakan jalan untuk bergabung di Persib. Saya sempat berpesan ke Zulkifli, Jangan malu-maluin abang yah kalo main di Persib. Saya juga sangat menghargai pemain-pemain muda Bandung. waktu itu ada Eka Santika, Gilang Angga, Aji Nurpijal. Saya sering bilang ke Paez, jika sudah menang besar mainkan saja anak-anak muda itu. Saya kadang suka pura-pura cedera agar diganti oleh mereka. Buktinya, sejak dapat kesempatan main di zaman saya, Gilang Angga jadi pemain inti buat tahun-tahun kedepannya. Anak-anak muda hanya butuh jam terbang, bukan uang. Malam dengan Marwal akhirnya harus diakhiri. Tidak terasa waktu sudah sangat larut. Pemain yang selama karirnya tidak pernah menjadi pemain cadangan itu lalu kembali ke hotel untuk meneruskan pekerjaannya di Frenz United. Cult hero. Marwal Iskandar! Leave a Reply Your email address will not be published. Required fields are marked * Name * Email * Website Comment 1 Comment to “Sebuah Cerita Tentang Marwal Iskandar” chici M.Liem Marwal iskandar is increadible person,,salut kk..wish ur carrier always on Top..Love u Reply
Posted on: Sat, 26 Oct 2013 23:44:10 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015