Sejarah Jumat, 06 Februari 2004 Ihwal Perang Melawan Gerilya di - TopicsExpress



          

Sejarah Jumat, 06 Februari 2004 Ihwal Perang Melawan Gerilya di Aceh OPERASI militer di Aceh yang sempat melahirkansejenis eforia dan mengangkat citra TNI tiba-tiba senyap begitu saja ketika TNI mulai mengisolasi daerah ini. Apa yang berlangsung menjelma mirip "perang yang dirahasiakan". Akuntabilitasnya samar, atau bahkan mustahil. Sebab, kecuali TNI,tidak satu pun orang luar tahu persis yang terjadi di Aceh. Kalangan pers sendiri memilih menjauh dari Aceh setelah penguasadaruratmiliter membuatberbagai ketentuan yang membatasi gerak wartawan. Lebih parah lagi nasib lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia (HAM) danhukum. Sejumlah aktivisnya digelandang ke sel tahanan. Bahkan ada yang terjungkal ditembus peluru. Sementara semua warga negara asing, termasuk diplomat, dilarang memasuki Aceh. Penguasa Darurat Militer Aceh (PDMA) menyebutalasan keamanan. Tetapi semua orang tahu bahwa Pemerintah RI memang sengaja mengisolasi Aceh untuk memadamkan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam doktrin perang melawan gerilya disebut sebagai proses memisahkan ikan dari air. Pemerintahan Presiden Megawati bukannya tidak tahu bahwa kebijakan seperti ini cenderung lepas kendali. Terbukti, kritik internasional atas pelanggaran HAM dan isolasi Aceh makin marak akhir-akhir ini di forum internasional. Lantas, apa yang dicapai melalui kebijakan darurat militer tersebut? OPERASI militer menghadapi gerilya disebut sebagai perang asimetris. Dua kekuatan yang tidak berimbang terlibat dalam konflik terbuka dengan menggunakan kekerasan. Atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai perang silemah melawan si kuat. Dalam konflik demikian, si lemah akan menghindari konfrontasi langsung dengan si kuat. Namun, pada saat lengah, ia akan melakukanpenyerangan dan penghadangan. Tujuannya merontokkan moral pasukan pemerintah, sekaligus propaganda kepada rakyat bahwa pasukan pemerintah tidak sekuat yang dibayangkan. Kekuatan pasukan gerilya bukan pada skala kemampuan militernya, melainkan pada dukungan rakyat. Rakyat menyembunyikan mereka, menyiapkan logistik, dan menyampaikan informasi intelijen. Singkatnya, rakyat merupakan sumber kehidupan gerilya. Di India, Myanmar, dan Amerika Selatan, usia perlawanan bersenjata ini mencapai puluhan tahun akibat dukungan dan simpati rakyat. Kendala operasi militer pemerintah terkait dengan sulitnya mengidentifikasi gerilyawan yang hidup di tengah masyarakat biasa. Sebaliknya, gerilyawan mengetahui gerak-gerik lawannya. Bahkan, seperti di Aceh beberapa tahun lalu, misalnya, mereka duduk di kedai kopi bersama prajurit TNI. Dukungan dan simpati rakyat terhadap gerilyawan merupakan fungsi kontradiksi karakter rezim berkuasa dengan ideologi perjuangan gerilya. Jeff Goodwin (The Limit of Repression: A Qualitative Comparative Analysis of Counter-Insurgency, 2001) menulis, makin represif suatu rezim akan makin luas dukungan atau simpati rakyat terhadap perjuangan gerilyawan. Dalam sistem yang represif, gerilyawan tampil sebagai pembela rakyat. Mereka menawarkan alternatif masa depan, di samping sekaligus menggerogoti legitimasi pemerintah melalui aksi bersenjata. Akan tetapi, pemerintah kerap mengabaikan bahwa perlawanan gerilya bukanlah perang dalam arti sesungguhnya. Ia hanyalah bagian dari perjuangan politik. Kecuali revolusi komunisdi Cina, Kuba, negara-negara di Asia Tenggara, danKongo, pimpinan gerilyawan tidak pernah bermimpi mengalahkan pemerintah berkuasa secara militer. BAPAK perang gerilya modern, Mao Tse Tung, menganalogikan hubungan gerilyawan dengan rakyat ibarat ikan dengan air. Menurut Mao, ikanhanya dapat tumbuh dan berkembang di air yang bersih. Ini artinya, gerilyawanwajibmenjaga air agar tidak tercemar. Mao menyebutmereka yang merugikan rakyat sebagai kriminal. Mao tidak banyak membicarakan soal taktik dan kekuatan bersenjatagerilya. Bahkan tiga tahap perang gerilya yang disebutnya–defensif, kebuntuan, dan ofensif–bukan diukur dari kekuatan bersenjata gerilyawan, melainkan tingkat kesadaran rakyat. Pemikiran Mao Tse Tung menginspirasikan para teoretikus perang melawan gerilya. Mereka beranggapan, hal sebaliknya akan berlaku. Mengalahkan gerilyawan harus dilakukan dengan memisahkan atau mengisolasinya dari rakyat. Pemikiran ini dibakukan dalam doktrin perang melawan gerilya. Dalam praktik, isolasi ini tidak semudah mengucapkannya karena menyangkut upaya merebut hati rakyat. Untuk itu dibutuhkan kesabaran dan kerendahan hati militer. Masalahnya, apakah mungkin hal ini dilakukan tentara pemerintah? Ho Chi Minh, Jenderal Nasution atau Mao Tse Tung, memang menyebutnya demikian. Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) menganggap cara ini kuno dan dapat merusak kebanggaan korps militer. Lantas untuk itu ditempuh jalan pintas tanpa meninggalkan metode militer, yakni dengan menciptakan kontragerilya dan kontrateror. Ataulebih umum dikenal sebagai pseudo- gerilya. Dalam pemikiran militer AS, pelaku gerilya melakukan teror dan intimidasi untuk beroleh dukungan rakyat. Lantas bersama dengan anggota gerilya yang berhasil ditangkap dandicuci otaknya, pasukan pemerintahmembentuk sejenis kelompok gerilyawan gadungan. Mereka kemudian melakukan aksi kekerasan, penculikan, pemerasan, pembunuhan, peledakan bom, pembakaran rumah-rumah penduduk, dan konflik horizontal. Teror terhadap penduduk dimaksud untuk menciptakan ketakutan. Warga mengira pelakunya anggota gerilya. Mereka akan mencari perlindungan kepada pasukan pemerintah. Jika kondisinya demikian, ikan berhasil dipisahkan dari air. Langkah berikutnyamembentuk pengamanan swakarsa dan kelompok milisi. Inggris dan Perancis juga menggunakan cara demikian, namun didukung dengan kebijakan politik dan penegakan hukum. Sebab, dalam banyak kasus, metode demikian berakibat burukterhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Lebih parah lagi dampaknya pada mental dan disiplinprajurit. Mereka menjadi mirip "raja-raja perang". Kasus pasukan liar yang sempat dihebohkan tahun 1998-1999 di Acehmerupakan bagian daripenerapan metode perang melawan gerilya tersebut. Eksesnya, pembunuhan massal, termasuk kasus pembantaian Teungku Bantaqiah dan para santrinya. KITA tidak mengatakan peledakan bom serta pembakaran gedung-gedung pemerintah dan sekolah di Aceh beberapa tahun lalu merupakanbagian dari metode pseudo-gerilya tersebut. Namun, tertangkapnya sejumlah anggota militer aktif dan desertir, yang kemudian divonis dalam kasus peledakan bom Gedung Bursa Efek Jakarta, cukup mengejutkan masyarakat. Demikian pula ketika aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya berhasil mengungkap jaringan peledakan bom yang sebelumnya disebut-sebut dilakukan GAM di Jakarta dan kota lain. Mereka ternyata para "desertir" TNI. Sementara dalam peristiwa pembakaran gedung sekolah yang marak ketika operasi militer dimulai di Aceh, siaran radio BBC dan media internasional, mengutip saksi mata, melihat anggota militer sebagai pelakunya. Sumber: Kompas
Posted on: Sun, 07 Jul 2013 08:24:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015