Sejarah kemudian memunculkan setiap apa yang dipelajari oleh - TopicsExpress



          

Sejarah kemudian memunculkan setiap apa yang dipelajari oleh manusia sebagai sebuah kebenaran dengan berbagai kemungkinan pergeseran nilai (value shift) atas setiap apa yang dikatakan pada sebuah periode sejarah sebagai sebuah kebenaran,setiap relativitas baik nilai ataupun makna atas sesuatu yang disebut sebagai sebuah kebenaran,dengan berbagai keterkaitan setiap apa yang dikatakan benar ataupun salah dengan setiap sisi lain yang mungkin terkait atasnya kemudian menjadi salah satu motif munculnya filsafat manusia yang menurut pandangan pada sisi tersebut,filsafat manusia merupakan pandangan filsafat yang paling subjektif dalam melihat berbagai perspektif filsafat yang lain sebagai cabang dari pusat titik pandang manusia sebagai mahluk yang senantiasa belajar dari setiap kemungkinan dari setiap apa yang terkait pada dirinya sebagai subjek dengan berbagai kisi-kisi lain,namun mengada pada sebuah perspektif yang terpusat pada diri manusia sebagai subjek dalam menyimpulkan setiap variabilitas menjadi satu konklusi sebagai sebuah teori yang dapat diacu pada setiap perubahan serta ketidaktetapan manusia pada setiap perbedaan yang mempengaruhi keberadaan dirinya dengan yang lain,sebagai sebuah teori yang dapat disahkan sebagai sebuah kebenaran filsafat yang diraih karena adanya sejarah manusia. Bahwa manusia senantiasa belajar dalam setiap kemungkinan perubahan yang fana atas setiap segala apapun yang terkait dengan sudut pandang manusia dalam melihat sesuatu tak hanya sebagai sebuah kebenaran Ilahiah semata ataupun sebuah dosa (malum) yang dimulai dari adanya manusia awal hingga kejatuhan manusia abadi dalam kehidupan manusia dengan segala kefanaan yang mampu merubah setiap kesalahan menjadi kebenaran ataupun sebaliknya,dapat disebutkan bahwa filsafat manusia adalah sebuah bagian dari kesadaran manusia bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki kebebasan dalam setiap apapun hanya karena adanya sebuah akibat dari apa yang disebut sebagai sebuah sebab semata,maka dengan kata lain sesuatu disebut sebagai akibat bilamana manusia mendefinsikan sesuatu sebagai sebuah sebab,bilamana terjadi pada manusia,sebuah kemungkinan bagi adanya suatu ketidakmampuan definisional manusia atas awal dari sebab ataupun akibat dari akhir,maka hal tersebut adalah hanya merupakan keterbatasan manusia dalam memahami sebuah masalah kehidupan manusia,terutama masalah manusia sebagai mahluk filsafat yang harus senantiasa tak hanya melihat setiap apapun dari perspektif yang dualistis (paradoks). Namun melalui berbagai perspektif yang ada pada diri manusia,subjektivitas sebagai titik acu utama filsafat manusia,mesti melihat setiap apapun dengan berbagai pendekatan (approach) ataupun metode (method) dan sistematisasi yang mungkin bagi munculnya sebuah kebijaksanaan (sophism) atas setiap apa yang mesti dihadap manusia sebagai sebuah bagian dari sebuah penyesalan manusia atas setiap apapun yang pernah terjadi pada sejarah adanya manusia sebagai mahluk yang berfilsafat untuk memahami dirinya sendiri sebagai landasan utama bagi kehadiran perspektif yang lain yang dapat mematangkan dirinya sebagai manusia yang berfilsafat dalam mengenal dirinya sendiri,terutama sebagai mahluk filsafat,manusia adalah mahluk yang berfilsafat dari dirinya sendiri sebagai titik pangkal bagi kesadaran dirinya sebagai mahluk yang senantiasa berfilsafat karena manusia adalah bagian dari filsafat sekaligus merupakan filsafat itu sendiri dengan berbagai keanekaragaman serta keunikan manusia dalam setiap proses yang tak habis untuk menjadi sebagaimana apa yang pernah terjadi pada manusia awal dalam setiap kehendak ataupun dendam serta penyesalan untuk selalu terus-menerus mencari kemungkinan bagi penebusan dosa ataupun penyempurnaan dirinya atas setiap kesalahan ataupun dosa yang pernah terjadi pada sejarah masa lalu,terutama dosa asal dari kebebasan pilihan beresiko bagi manusia pada hukum Tuhan atas Eden hingga adanya manusia pada saat kini dengan segala perubahan yang ada pada aras filsafat manusia. Manusia adalah mahluk yang berpikir,meskipun pikiran bukan satu-satunya potensi manusia,namun pada umumnya naluri manusia mengkondisikan pikiran sebagai potensi utama manusia ketika perasaan manusia merasakan sesuatu untuk direspon oleh pikiran yang ada pada manusia,naluri manusia secara alamiah senantiasa merespon setiap apapun yang dirasakan olehnya sebagai sebuah stimulus (katexis),apa yang dipikirkan oleh manusia adalah adalah apa yang dirasakan olehnya,manusia adalah subjek yang berpikir sekaligus juga subjek yang merasa dengan segala apa yang ada pada jiwa ataupun tubuhnya dalam menyadari adanya sebuah masalah untuk dicari solusi bagi penyelesaian sebuah masalah,termasuk apatis terhadap masalah tersebut sebagai bentuk pelampauan ketimbang mengatasi masalah tersebut,namun hal tersebut kembali pada seberapa jauh manusia dapat mengukur sebuah tingkat kepentingan terhadap respon dirinya (anti-katexis) terhadap sebuah masalah tertentu. Moralitas adalah sebuah keputusan yang dihasilkan dari sebuah kondisi dilematik mengenai apa yang merupakan prioritas dan apa yang bukan prioritas untuk dipikirkan olehnya untuk kembali dirasakan atau ditindaklanjuti oleh sebuah tindakan tubuh,namun hal tersebut tak menutup sebuah kemungkinan untuk dijiwai manusia terlebih dahulu,dirasakan terlebih dahulu atau bahkan manusia kadang mungkin sama sekali tiada berpikir selain bertindak dengan naluri yang ada pada dirinya semata sebagai sebuah spontanitas yang reflektual serta alamiah dan manusiawi,namun hal ini adalah sebuah kondisi eksistensial manusia sebagai mahluk alamiah,bukan sebagai mahluk yang berpikir,apa yang disebut dengan moralitas adalah hasil ketegasan dari sebuah kondisi pikiran manusia yang dilematik,terutama menyangkut nilai kebenaran,berdasarkan pertimbangan kedalaman perasaan manusia,kelembutan jiwanya serta ketajaman pikiran yang ada padanya dalam memutuskan sebuah dilema rasionalitas dalam sebuah tingkat kecepatan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman (experience) ataupun seberapa jauh manusia dapat mampu belajar dari,setiap apapun yang dapat dipahami olehnya lepas dari setiap empirisitas ataupun sejarah yang tak dialaminya sebagai sebuah empiritas. Imanuel Kant mengutarakan bahwa adanya moralitas manusia menyangkut moralitas imperatif (moralitas sosial) serta moralitas hipotesis (moralitas individual) dimana keduanya adalah nilai kebenaran atau kesalahan yang diolah oleh pikiran manusia setelah memutuskan sebuah ketegasan dari setiap dilema pertimbangan pikiran manusia dalam memutuskan apa yang benar ataupun apa yang salah berdasarkan segala aspek pertimbangan yang terkait pada suatu penyelesaian terhadap sebuah masalah moralitas bagi pikiran dirinya untuk cepat serta tegas menyimpulkan sebuah nilai kebenaran ataupun sebuah nilai kesalahan dari perspektif manusia secara subjektif baik untuk dirinya sebagai mahluk individual ataupun juga setiap sisi dari dirinya sebagai mahluk sosial melalui pertimbangan eksistensi ke dalam (noumena moralia) ataupun ke luar dirinya (phenomena moralia) atau malahan keduanya atau tidak sama sekali selain kebebasan,keberanian serta kepasrahan dirinya dalam menegaskan sebuah nilai bagi pikiran dirinya sebagai sebuah keputusan moralitas. Adam Smith dalam bukunya”Theory of Moral Sentiment”,mengatakan bahwa sebuah keputusan moral menyangkut keutamaan yang pantas,keutamaan yang mengutama,serta kepantasan yang utama ataupun kepantasan yang pantas,apa yang merupakan moralitas yang utama kadang bukan suatu yang pantas,apa yang merupakan kepantasan juga demikian bahwa apa yang pantas bukan berarti yang utama,namun hendaknya apa yang pantas adalah apa yang utama,serta apa yang utama adalah apa yang pantas,maka Adam Smith kemudian mengambil kesimpulan tentang keutamaan yang utama sebagai sebuah kepantasan yang pantas dari setiap apapun yang mengutama,dengan kata lain moralitas mesti merupakan moralitas yang legitimatif tak hanya bagi ilmu akademial (individu) namun juga bagi pengetahuan intelektualitas (masyarakat),moralitas hendaknya selaras tak hanya pada keutamaan serta kepantasan individual,namun juga menjadi keutamaan yang pantas bagi masyarakat,bukan sebagai kepantasan,namun sebagai keutamaan manusia yang tak lepas dari berbagai sisi lain dari dirinya sebagai manusia yang mesti tegas dengan setiap pertimbangan yang ada pada dirinya sebagai bagian dari moralitas yang paling utama dari setiap pelampauan manusia atas setiap keputusan moral yang diatasi olehnya sebagai sebuah ketegasan subjektif. Hingga pada akhirnya ketegasan manusia atas Tuhan sebagai Tuhan (omnijektif) atas dirinya adalah merupakan moralitas yang utama dan tertinggi (prima suprema moralia) yang disebut dengan “Prima Moralia”,sebuah moralitas ke-Tuhanan,sebuah keputusan tegas perpaduan antara keputusan manusia yang berani tiada ragu dan beresiko dengan kepasrahan dirinya yang penuh atas Tuhan sebagai sebuah kuasa yang pasti dan mutlak,namun demikian hal ini tetap dihadapkan pada sebuah konsep legitimasi struktural,naturalitas serta kultural hingga,sebuah moralitas yang berkeputusan dianggap adalah sebagai sebuah kebenaran moral (moral truth) pada setiap perbedaan rentang ruang ataupun waktu dalam setiap proses bersejarahan manusia sebagai moralitas universal dengan berbagai variabilitas yang ada padanya dan legitimatif dalam setiap definisi moral sebagai bagian dari sebuah filsafat moral. Setiap manusia memiliki perasaan,untuk merasakan sesuatu dengan hatinya bahwa dia bernalar dengan pikiran dirinya serta merasa bahwa dia berpikir untuk menjadi sesuatu yang diinginkan olehnya sebagai sesuatu yang berarti bagi dirinya,ketika seseorang dapat menjadi dirinya sendiri,maka dia memiliki kekuasaan yang berarti bagi dirinya sendiri dengan berbagai barometer yang berarti bagi dirinya sendiri sebagai seorang manusia yang hidup atas nama ruang ataupun waktu dimana dia tinggal serta mengada untuk sesamanya,perasaan manusia (l’emotion) adalah sebuah kenyataan yang teramat indah untuk dipahami dan dimengerti sebagai sebuah kebebasan manusia atas sebuah paham,sebuah rasionalitas yang dianggapnya memiliki arti bagi dirinya yang berperasaan bagi setiap apapun yang dapat berarti bagi dirinya sebagai manusia,setiap apapun adalah merupakan sebuah kebaikan jika manusia dapat memahami dirinya sendiri sebagai sebuah pencipta keindahan (kebaikan) bagi pikran serta perasaanya,apa yang baik adalah apa yang indah,yang dapat dihasrati untuk dimengerti sebagai sebuah bagian dari lahan hati,meskipun kerap kali manusia dihadapkan pada pertentangan untuk mengatakan kebaikan ataupun keburukan hal tersebut dikarenakan adanya sebuah cita rasa yang membedakan karena berbagai pedoman perseptual dari tiap keunikan individual yang ada pada setiap manusia. Kebaikan (good) ataupun keburukan (evil) adalah masalah perasaan bagaimana kita memikirkan sesuatu dengan berbagai kemungkinan yang diperbandingkan oleh perasaan kita,sesuatu yang dapat dipertimbagkan oleh perasaan sebagai sebuah nilai dualitas adalah apa yang dihasilkan dari pertentangan antara keduanya sebagais ebuah keputusan nuraniah,keputusan nurani adalah sebuah dilema perasaan yang ditegaskan oleh sedikit keputusan yang berpikir,namun hal tersebut bukan rasionalitas yang ada pada sebuah keputusan moral yang dihasilkan dari dilema rasionalitas antara benar atau salah yang diputuskan berdasarkan sedikit pertimbangan perasaan untuk memutuskan sebuah kebenaran yang baik,kebenaran yang buruk,kesalahan yang baik ataupun kesalahan yang buruk,demikian juga halnya dengan keputusan nurani yang dihasilkan oleh sedikit keputusan pikiran untuk memberikan pertimbangan adanya kebaikan yang benar,kebaikan yang salah,keburukan yang benar ataupun keburukan yang salah,apa yang benar bukan berarti baik apa yang salah belum berarti buruk,demikian pula sebaliknya bahwa apa yang dikatakan nurani sebagai sebuah kebaikan ataupun keburukan tak selamanya merupakan sebuah penilaian moralitas (moral judgment) bagi kesalahan ataupun kebenaran pada keduanya sebagai kebaikan yang benar ataupun kesalahan yang salah. Apa yang baik tak dapat dinilai moral sebagaimana apa yang benar tak dapat dinilai oleh nurani selain pertimbangan atas integralitas dari berbagai sisi baik ataupun sisi benar dari setiap negativitas yang ada pada sebuah kesalahan ataupun keburukan,atau positivitas,integralitas dari sisi buruk dari sisi salah dari setiap apa yang diasumsikan sebagai hal yang positif yang ada pada sebuah kebaikan ataupun kebenaran,manusia tak hidup dari pemikiran manusia semata dalam menjalani setiap masalah dalam kehidupan dirinya,pikiran lebih mengutamakan individualitas manusia sebagai kepentingan dalam menjalani setiap apa yang mesti dipikirkan bagi pemenuhan dirinya sebagai mahluk individual ketimbang mahluk sosial,meskipun moralitas lebih merupakan sisi kebernilaian individual dari subjektivitas manusia dalam berpikir,namun demikian ketika manusia dihadapkan pada dirinya sendiri sebagai magluk sosial maka sebuah moralitas individu dihadapkan pada sebuah moralitas majemuk dari banyak keunikan manusia yang mesti disepakati sebagai norma moralitas (moralitas publik) sebagai sebuah hasil dari sebuah kontrak sosial dalam sebuah masyarakat (social contract) dengan keunikan serta barometer moralitas yang berbeda-beda satu sama lain. Namun adanya sebuah kontrak sosial (socio contractu) menjadikan adanya keseragaman moralitas individu menjadi moralitas bersama berdasarkan sebuah kompromi moralitas sebagai wujud adaptasi (adaptation form) moralitas antar manusia dalam masyarakat yang dinamik dengan berbagai kemungkinan yang mampu merubah sebuah moralitas pada sebuah kenisbian perubahan karakter manusia yang hidup pada ruang ataupun waktu sosial yang ada pada perkembangan sebuah situasi sosial ataupun kondisi sosial yang ada pada sebuah masyarakat,moralitas yang dihasilkan oleh pertimbangan pikiran akan sebuah kebenaran atas kesalahan kemudian akan dihadapkan pada perasaan serta sisi manusia sebagai mahluk sosial ketimbang manusia sebagai mahluk individual dengan moralitas individu yang ada pada dirinya,perasaan manusia yang memberikan penilaian kebaikan ataupun keburukan kemdian dihadapkan pada sebuah moralitas sosial (moralitas publik) dimana dilema perasaan manusia akan adanya kebenaran ataupun kesalahan dihadapkan pada kebaikan ataupun keburukan yang ada pada nurani dirinya. Nurani bukan sikap individual,namun adalah sikap kompromis serta adaptasi manusia kepada sisi dirinya sebagai mahluk sosial,maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa nurani manusia identik dengan moralitas publik,meskipun moralitas publik (moralitas sosial) kerap tak sesuai dengan moralitas individual (moralitas privat) pada pikiran manusia dalam memutuskan sebuah ketegasan sebagai sebuah keputusan eksistensial seorang individu,namun sebuah keputusan nurani,adalah sebuah keputusan moral bilamana adaptasi dan kompromi individu terhadap sebuah masyarakat mendapat legitimasi dari suatu moralitas dari sebuah masyarakat,meskipun hal tersebut bukan berarti nurani sosial ataupun moralitas individual,namun sebuah pengorbanan eksistensial manusia mesti dilakukan dalam sebuah proses adaptasi untuk sebuah kepentingan moralitas yang lebih baik dan bilamana sebuah moralitas yang buruk memaksakan sebuah kondisi moralitas pada seorang individu,maka nurani individu bukan nurani ataupun moralitas sosial. Moralitas dan nurani akhirnya mesti dihadapkan pada sebuah pemberontakan manusia antara dirinya sebagai mahluk individual dengan dirinya sebagai mahluk sosial (rebellion),namun bila terdapat adanya moralitas masyarakat yang salah,maka perasaan manusia mesti mempertimbangkan kebaikan ataupun keburukan sebagai kepantasan atau keutamaan bagi moralitas yang ada pada dirinya sebagai mahluk yang rasional tanpa tidak meninggalkan sisi nurani yang ada pada dirinya untuk menilai kebaikan serta keburukan yang ada pada masyarakat ataupun juga sisi kekurangan yang ada pada dirinya sebagai mahluk yang tak hanya bermoralitas, namun juga bernurani dalam memutuskan setiap apapun berdasarkan ketegasan kebenaran dan kebaikan dari keduanya,yaitu moralitas ataupun nurani individu sebagai landasan utama dalam menjalani hidup yang laras,yaitu manusia sebagai mahluk individual (bermoral) serta manusia sebagai mahluk sosial (bernurani). Adanya dinamika dalam kehidupan manusia menyangkut moralitas yang bernurani ataupun nurani yang bermoralitas adalah apa yang mencakup berbagai pertimbangan bagi diambilnya sebuah keputusan tegas bagi setiap manusia sebagai mahluk Tuhan yang juga hidup tak hanya dengan masyarakat (manusia) semata,namun juga hidup dengan alam bersama moralitas Tuhan serta nurani Tuhan yang melampaui serta mengatasi setiap nurani ataupun moralitas apapun yang ada pada pikiran ataupun perasaan manusia baik sebagai manusia itu sendiri ataupun sebuah bagian dari alamNya,Tuhan adalah moralitas ataupun juga sekaligus nurani sejati manusia yang menghubungkan segala sesuatu pada sebuah kuasa absolud dalam berkehendak dalam memutuskan apapun berdasarkan apa yang menjadi kehendak Tuhan sebagai awal dari adanya moralitas ataupun nurani pada manusia sekaligus sebagai moralitas dan nurani tertinggi dan paling mengutama sama sekali,moralitas manusia sebagai eksistensi subjektivitas tertinggi adalah moralitas Tuhan sebagai acuan,ataupun nurani manusia tertinggi dan mengutama adalah apa yang menjadi nurani Tuhan yang ada pada manusia itu sendiri sebagai mahluk Tuhan. Dalam setiap masyarakat dengan berbagai macam bentuk serta keunikan yang ada pada masyarakat senantiasa terdapat berbagai macam kerangka aturan perilaku normatif yang terciptakan dari moraliotas bersama dan juga nurani sosial sebagai dua buah kontruksi yang membentuk fondasi sosial dalam sebuah masyarakat,apa yang merupakan fondasi sosial (social element) pada sebuah masyarakat adalah norma sosial (mores) yang ada karena adanya aspek tradisionalitas yang turun-temurun (communalitas) ataupun karena adanya sebuah kekuasaan yang menggunakan sarana otoritas sebagai sebuah penciptaan bagi adanya sebuah barometer atau batasan moralitas sosial (publik) ataupun juga suatu nurani sosial yang membentuk sebuah pola perilaku adaptasi normatif (customization) baik secara antrop[ologis ataupun juga sosiologis hingga pada akhirnya moralitas sosial ataupun nurani sosial menjadikan sebuah pola hegemonial terhadap keunikan individual (ideosinkretisitas) dalam moralitas ataupun nurani yang dimilikinya sebagai sebuah potensi eksistensial yang mendasar bagi kesadaran diri manusia akan subjektivitas individu yang ada pada dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan dalam otoritas dirinya untuk berpikir,merasakan,menjiwai ataupun bersikap dan bertindak atas dasar sebuah pilihan bebas bagi sebuah penilaian (aksiologis) bagi sebuah kebenaran ataupun kesalahan pada aras moralitas pribadinya ataupun aras nurani yang menilai kebaikan ataupun keburukan. Namun apa yang merupakan potensi manusia dalam memiliki keunikan tersebut pada akhirnya menjadi sebuah moralitas (mores) ataupun juga nurani kolektif (custom) yang meniadakan potensi nilai-nilai subjektivitas dari sebuah pribadi manusia sebagai seorang individu yang otonom,adanya kontrak sosial ataupun kontrak politik (political contract) membentuk adanya struktur moralitas ataupun juga struktur nurani dengan berbagai kadar barometer penilaian dengan tingkat kedalaman ataupun ketajaman yang berbeda karena menyangkut adanya sebuah ideologi yang membatasi seberapa jauh sebuah nilai moralitas ataupun nurani dapat dilegitimasikan sebagai sebuah bagian dari sebuah etika sosial ataupun malahan sebuah etika politik,dimana masyarakat ataupun juga sebuah pemerintahan yang tak lepas dari sebuah kondisi kekuasaan merupakan sebuah pencipta utama adanya sebuah moralitas ataupun nurani yang tidak asasli datang dari manusia sebagai individu dengan otoritas dirinya atas setiap apapun yang dapat didefinisikan oleh dirinya sendiri sebagai sebuah moralitas ataupun sebuah nurani,moralitas adalah medan filsafat,sementara nurani adalah medan psikologi,antara filsafat dengan psikologi adalah dua keterkaitan antara roh (psike) dengan perasaan yang merupakan kajian psikologi untuk menilai setiap apapun dari perspektif kebaikan ataupun keburukan pikiran ataupun materi melalui perspektif roh ataupun rasa yang menjadi cikal adanya nurani sebagai sebuah barometer bagi moralitas,dengan lahan filsafat dengan titik berat penempatan fungsi pikiran serta tubuh dalam kerangka kebenaran yang bijaksana dalam menilai setiap kelengahan yang ada pada psikologi sebagai pendekatan bagi menilai kebenaran ataupun kesalahan nuraniah. Pikiran ataupun perasaan adalah sebuah keterkaiatn roh yang mengaitkan hubungan antara keduanya dalam kerangka materi (tubuh),maka kemudian nurani atau juga moral lalu terjebak pada kategorisasi pada seberapa jauh keduanya dapat menempati sebuah ruang diskursus atas tubuh,jiwa,perasan serta pikiran sebagai sebuah proporsi bagi sebuah kenyataan bagi adanya sebuah pembaharuan bagi setiap relativitas nilai yang senantiasa berubah seiring adaptasi manusia atas alam yang berkaitan dengan ambisi manusia yang tak lepas dari berbagai penyempurnaan yang justru merupakan sebuah destruksi bagi alam bahkan keberadaan manusia itus endiri,hingga nilai-nilai yang pernah ada akan juga mengalami perubahan,etika adalah sebuah nilai normatif yang dihasilkan dari pertentangan antara moralitas dengan nurani individu,yang kemudian memunculkan adanya etika individual yang menempatkan manusia pada setiap aras dimana etika yang diciptakan oleh dirinya sebagai sebuah keputusan normatif dapat menempati dirinya pada sebuah ruang sosial yang pantas (social space),dimana etika individual tersebut dapat menempati komposisi yang tepat bagi dirinya. Namun dari perspektif lain dapat dikatakan bahwa etika juga muncul dari adanya pertentangan antara nurani sosial (nurani kolektif) kaum intelektual serta ketua (adat) dalam masyarakat dengan moralitas kolektif yang didominasi oleh kaum akademisi di pemerintahan yang kemudian disepakati bersama sebagai sebuah norma hukum yang lalu menjadi etika hukum sosial (sittlicheit) ataupun tak menutup kemungkinan menjadi etika hukum pemerintahan (habitus) yang lebih berhaluan politis ketimbang sosialis,meski keduanya adalah satu bagian dalam etika negara yang merupakan gabungan dari kesepakatan masyarakat serta kesepakatan pemerintahan yang membentuk negara dengan setiap norma etika yang ada pada negara tersebut sebagai unsur pembentuk hukum, terutama etika hukum dalam sebuah negara pada sebuah negara yang memiliki hukum (rechtstaat). Pada dasarnya dalam setiap perkembangan jaman,etika adalah hasil dari sejarah dan tradisi masyarakat terutama yang ada pada tradisionalitas (adat) serta budaya (etika budaya),namun dalam perkembangan yang ada etika individu yang memiliki otoritas sebagai sebuah eksistensi yang memiliki kebebasan (asasi) yang juga diacu dalam penempatan setiap manusia pada sebuah ruang etika sosial ataupun suatu etika politik (etika pemerintahan) untuk kerangka etika bernegara (etika kenegaraan) yang melekat dengan adanya etika pemerintahan (etika warga negara) serta etika masyarakat (etika individu) yang saling terkait satu sama lain sebagai unsur pembentuk utama negara yang memiliki etika sebagai landasan perilaku bernegara dan juga bermasyarakat dalam sebuah kerangka sistem etika kebersamaan yang tak lepas dari struktur moralitas ataupun juga nurani pada warga negara ataupun juga individu pada sebuah masyarakat (society) ataupun pemerintahan (government) dalam sebuah negara (state),etika adalah aras naturalitas,kultural serta struktural yang muncul karena adanya penyempurnaan manusia yang senantiasa belajar terus-menerus dari sejarah betapa pentingnya sebuah etika tak hanya bagi sebuah kebudayaan (tabu),namun juga pada ruang peradaban (habitus) hingga etika (ethica) kemudian senantiasa semakin membaharu menyempurnakan kaidah-kaidah norma (norm) ataupun juga hukum (law) yang ada pada setiap keterkaitan alamiah manusia pada setiap sektor di berbagai ragam ataupun lapisan (struktur) serta keunikan kebudayaan dalam kehidupan manusia di segala bidang. Alam diciptakan Tuhan sebelum Tuhan menciptakan manusia dengan setiap apapun yang hidup di dalamnya,dunia ada terlebih dahulu dari manusia karena adanya dunia adalah juga adanya semesta,namun karena semesta (alam) terlampau luas serta masih merupakan sebuah misteri bagi apapun selain Tuhan,makaadalah merupakan masih menjadi pertanyaan mengenai kesamaan adanya terciptanya alam dengan dunia,sebagaimana manusia mesti memberikan pertanyaan mengenai adanya mahluk lain sebelum manusia ada,termasuk teori evolusi dari kaum Darwinian,yang lebih mendahulukan keberadaan kera dibanding manusia atau,sebuah kepercayaan yang diyakini oleh banyak ilmuwan bahwa semesta dan dunia terbentuk secara bersamaan melalui sebuah dentuman besar kesemestaaan (big bang theory) yang memunculkan susunan semesta seperti apa yang dipahami oleh manusia pada saat sekarang,meski karena perkembangan dinamika keilmuan dalam peradaban senantiasa menyempurnakan dirinya,maka setiap apapun tetap mesti mengacu pada adanya relativitas pada setiap apapun,sebab dari dulu hingga adanya teori yang masih dianggap sebuah kemutlakkan justru di dalam teori tersebut yang diutarakan adalah mengenai adanya relativitas (anicca) pada setiap apapun dan atau segala apapun yang ada pada semesta sebagai sesuatu yang tidak tetap dan senantiasa berubah-ubah tanpa bisa ditebak,diketahui ataupun dipahami dan dimengerti sebagai sebuah kepastian yang tidak berubah,apa yang berubah dalam alam semesta akan memberikan pengaruh pada setiap sistem yang terkait pada semesta alam (kosmik) sebagai sebuah kesatuan formasi pada sebuah rotasi yang mengatur dirinya sendiri pada setiap kehancuran (deconstruct) dan kebangunan (reconstruct). Adalah menjadi sebuah ketetapan dari kekuasaan Tuhan yang pasti bahwa hingga kapanpun semesta tak akan pernah habis untuk dipahami,sebuah misteri yang tetap justru berada pada ketidaktetapannya,ketidaktetapan yang kekal dari sebuah kekuasaan yang juga tak dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan,sebagaimana apa yang berada pada kekuasaan tersebut,setiap apapun yang berjalan sebagaimana semestinya adalah sesuatu yang belum tentu sebagai sesuatu yang diharapkan (das sein),sesuatu yang telah diduga ataupun sesuatu yang menjadi sebuah realitas juga demikian pula halnya,bahwa apa yang merupakan kenyataan yang terjadi bukan berarti ataupun tidak selamanya merupakan sebuah harapan bagi setiap apapun yang menyadari adanya jarak antara realitas dengan harapan (das sollen),sebuah jarak antara apa yang berkuasa dengan apa yang menguasai,sebagaimana apa yang diciptakan dengan apa yang menciptakan sesuatu untuk ada (being) ataupun tiada sama sekali (nothingless),sebuah rentang diantara dualitas (paradoksikalitas) adalah sebuah pelampauan atas keduanya,sebuah spasi dimana manusia mesti mengada dengan segala kecerdikan yang ada pada dirinya untuk mencari dualitas lain yang ada pada sebuah ruang antara dualitas yang satu dengan dualitas yang lain,satu titik acu atomik uatama dari apapun yang dapat dipahami selain Tuhan yang tak terpahami adalah ketidakpahaman manusia atas keseluruhan apa yang ada pada alam pada rasionalitasnya serta setiap potensi yang ada pada manusia sebagai sebuah kebodohan filsafat yang utama. Namun demikian dapat dikatakan kalau titik acu apa yang ada sebagai ada adalah manusia yang paham sepeuh-penuhnya ilmu pengetahuan dapat dipahami oleh manusia sebagai bagian dari penyemputrnaan dari setiap kesalahan sebagai sebuah kebodohan yang mesti diatasi menjadi sebuah kepintaran baharu,meskipun sejarah telah membawa manusia pada sebuah dialektika kebodohan,namun sebuah kesalahan senantiasa menjadikan adanya sebuah kebenaran dari yang lain,maka adalah diri manusia sebagai subjek pergerakan apapun (antropokosmik),sebuah cipta dan angkara manusia (mara) dalam menjadi apapun dalam menciptakan sesuatu seperti Tuhan yang menciptakan dirinya (zur mach),namun apa yang diciptakan oleh manusia hanya ada karena adanya perbarengan kehendak untuk mengada pada keduanya dalam sebuah harapan untuk adanya sebuah kehadiran (present) dari setiap potensi dari keduanya sebagai satu ciptaan yang dikehendaki,sebuah perpaduan dualitas antara baik ataupun buruk,benar ataupun salah,atau bahkan sebuah dualitas pasangan antara Iblis (evil) dengan Tuhan (good) dalam iman (faith) serta kebebasan manusia (human freedom) yang senantiasa menjadi pada setiap apapun sebagai dirinya yang berkuasa dalam menciptakan (being create),memelihara (krisnam),membangun (brahman),atau menghancurkan segala apapun (shivam) hanya dapat karena oleh atas sebuah kesamaan kehendak (cetana) yang berbarengan,manusia ataupun juga Tuhan sebagai satu cipta kata untuk ada ataupun menjadi,maka sesuatu akan ada ketika dua aras menyatu pada kondisi alam yang direstui oleh keduanya sebagai sesuatu yang diharapkan untuk sebuah realitas. Sebuah hakekat dari setiap segala keterkaitan apapun pada apapun adalah yang telah diciptakan Tuhan dan menyadari akan adanya waktu (time) yang membatasi serta melekat pada dirinya akan adanya saat kelahiran (jati),kehidupan serta kematian (marana),apa yang disebut dengan takdir (suratan) tiada hanya melekat serta terkait pada waktu (kala),namun juga pada tempat (pada),sebagian kecil dari apa yang menyadari dirinya melekat pada keduanya,memungkinkan dirinya untuk lepas dari dua kemelekatan tersebut bilamana,khususnya manusia telah mampu tak lagi membedakan siang atau malam karena dalam kegelapan senantiasa ada terang dan dalam terang senantiasa ada kegelapan,terang dan gelap hanya masalah pandangan karena kita tak pernah bersyukur dan memahami setiap kedipan mata kita sebagai sebuah anugerah dari Tuhan untuk membedakan gelap dalam terang serta terang dalam gelap,namun bukan untuk membedakan terang (cahaya) ataupun gelap (bayang),namun menyatukan kedua paradoksikalitas yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang tampak atau tak tampak,apa yang dilihat sebagai bukan yang terlihat serta apa yang terlihat sebagai bukan yang terlihat,apa yang tampak baik sebagai sesuatu yang buruk,apa yang tampak buruk sebagai sesuatu yang baik,sebagaimana juga halnya apa yang sebenarnya dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran (truth) adalah sebuah kesalahan (false). Demikian pula sebaliknya bahwa apa yang sebenarnya salah adalah justru sebuah kebenaran jika kita dapat senantiasa mencari setiap kemungkinan dari setiap apa yang tidak kita sukai ataupun kita harapkan sebagai sebuah keberuntungan dan terlebih adalah sebuah syukur agung bagi setiap apa yang memberikan kesadaran akan setiap apapun yang tampak sebagai sesuatu yang ada sebagai sebuah ketiadaan semata dan maya,sesuatu yang ada sebenarnya adalah sesuatu yang tak ada,dan sesuatu yang tak ada sebenarnya adalah ada,manusia terjebak pada sebuah fenomena (phenomenon) tanpa bisa memahami apa yang merupakan noumena (noumenon) ataupun sebaliknya bahwa apa yang dipahami sebagai noumena tak dipahami sebagai sebuah fenomena,manusia telah terlampau memilah setiap apapun menjadi sebuah paradoksikalitas (dualitas) tanpa dapat menyatukan keseluruhan sistem yang ada menjadi sebuah realitas holistik (monistik) dimana persepsi manusia seharusnya ada diantara kedua pilahan sisi (polar) dari setiap pertentangan antar dualitas (ruwabineda) dimana manusia ada di tengahnya baik imanen (celestrial) ataupun transenden (terrestrial),sesuatu yang diharapkan ataupun juga diyakini sebagai sebuah kenyataan yang ada di luar ataupun dalam diri manusia untuk mengada bersama keseluruhan yang dapat meniada seiring dengan keberadaanya sebagai “ada” itu sendiri,kepasrahan ataupun keberanian manusia adalah sama dalam mengatasi ataupun melampaui takdirnya (destiny),kelahiran (birth),kehidupan (life),kematian (death) adalah sesuatu yang mesti diatasi,atau bahkan dilampaui oleh sebuah otoritas kebebasan diantara pasrah dan berani,apapun yang berani senantiasa pasrah adanya,demikian pula sebaliknya bahwa apa yang berani adalah sebuah kepasrahan,keduanya adalah satu diantara ruang ataupun waktu,kelahiran,kehidupan,kematian adalah keterkaitan manusia akan pikiran dirinya,perasaan dirinya serta tubuh yang ada pada dirinya. Namun bila kita dapat menyadarinya ketiganya tak memiliki arti apapun dibanding jiwa yang sadar bahwa jiwa tak mengalami apapun yang terkait dengan takdir manusia pada ruang ataupun waktu yang pada umumnya melekat pada dirinya sebagai sebuah kenyataan bahwa manusia akan mati ataupun hidup yang sebenarnya adalah sebuah kemayaan dari sisi material manusia (virtuality),namun adalah sebuah kenyataan dalam perspektif rohaniah,lepas dari apa yang terasakan ataupun juga apa yang dipikirkan sebagai sesuatu yang melekat pada apa yang disebut dengan takdir (destiny) bagi setiap apapun yang berwujud ataupun tidak berwujud,bahwa sesuatu yang tak disadari sebagai bagian dari sebuah “KEHENDAK MUTLAK” akan mengalami kefanaan,kelahiran ataupun juga kematian,maka manusia sesungguhnya dapat melampaui kematian ataupun kehidupan ketika kesadaran manusia menginginkan itu atas dasar sebuah “KEHENDAK”,untuk lahir atau tidak,untuk berani atau pasrah,namun setiap apapun akan menjadi sebuah kebebasan untuk menjadi apapun ketika sebuah restu agung merestuinya untuk menjadi apapun yang dikehendaki olehNya tanpa batas iman sama sekali,bahwa sesuatu adalah sebuah kemungkinan bagi setiap apapun yang mau berpijak pada sebuah keagungan.”TUHAN”. Kodrat manusia adalah berpikir,merasakan,menjiwai dan mencipta dengan tubuhnya sebagai sarana pembentukan sebuah materi baru sebagai sebuah hasil kreasi manusia,manusia adalah mahluk yang berkreasi (homo creatum),sebuah kondisi kodratiah manusia bahwa manusia mesti melakukan aktivitas,terutama untuk tetap hidup dengan debar (dentum) ataupun hirupan nafas yang ditariknya sebagai sebuah harmoni (breath) yang membatasi hidup dengan kematian,kodrat manusia yang utama dalam kehidupan dirinya adalah bernafas,lalu manusia dihadapkan pada tubuhnya untuk tetap sehat,sebuah kesadaran untuk lapar,sebuah kesadaran untuk haus adalah kodrat manusia untuk menjalani kehidupan dirinya bersama keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri,setiap apa yang menjadi kekurangan serta keterbatasan manusia adalah kodrat,sebuah peran yang terbatas (parole),sebuah fungsi (langue) yang semestinya tak dilampaui oleh karena adanya hukum kodrat. Namun dalam fenoemna sosial budaya yang ada hukum kodrat telah dilampaui bukan oleh hukum alam,namun oleh hukum manusia (human law) dalam menciptakan harmoni antara hukum alam dengan hukum Tuhan untuk kepentingan manusia sendiri namun harmonisasi ini tak berhasil sehingga manusia mesti tetap kembali pada naturalitas serta tradisionalitas agar tetap dapat memenuhi setiap keharusan yang ada pada hukum kodrat bersama alam serta Tuhan dan dirinya sendiri,pelanggaran atas hukum kodrat adalah sebuah pemberontakan tak hanya pada hukum alam,namun juga hukum Tuhan,meski hal tersebut diciptakan oleh karena adanya hukum manusia,namun setiap sanksi atas setiap apa yang tidak kodratiah adalah sebuah keberanian atas sebuah suatu dosa atas sebuah penciptaan Tuhan sebagai suatu hukum Tuhan,atau sebuah kondisi yang kemudian akan khaotik (hukum alam) ataupun juga tak menutup kemungkinan bagi situasi anarkis (hukum manusia). Dalam perspektif filsafat,terutama dari penganut Emanuel Levinas,apa yang disebut dengan kodrat diawali oleh penciptaan Tuhan atas alam serta setiap apa yang diciptakan olehNya berdasarkan peran yang semestinya,maka adalah hukum bagi sebuah peran (fungsi) natural (alamiah) dari apa yang semestinya seiring serta sejalan dengan apa yang semestinya terjadi pada alam sebagai sebuah bagian dari suatu keseimbangan (equilibirium) dari peran tersebut terhadap hubungan dirinya dengan alam serta keselarasan dirinya dengan apa yang ada di dalam serta di di luar dirinya sebagai suatu kesatuan interaktif dari sebuah kenyataan alamiah yang mesti dijalani demi adanya sebuah harmoni yang menyehatkan hubungan antara (manusia) dengan yang lain,apa yang menyangkut kodrat adalah apa yang semestinya dijalani bersama dengan apa yang terjadi juga pada alam (naturaliras),hidup dengan alam sebagai mahluk alamiah adalah hidup dengan cara kodratiah,maka dengan kata lain apa yang dikatakan kodratiah adalah kebersamaan setiap apapun yang diciptakan Tuhan untuk berjalan seiring dengan pergerakan alam sebagaimana mestinya itu terjadi,namun demikian adanya kebudayaan telah merombak sebagian kodrat menjadi sebuah adapt tradisi yang masih merangkul kodrat sebagai sebuah bagian dari sebuah kebudayaan pada sebuah masyarakat tertentu,pada masyarakarakat yang primitif manusia cenderung hidup dengan alam,artinya manusia pada saat itu lebih menjalani pola perilaku kehidupan dengan cara yang natural dan simplistik (praxis) bersama naluri dirinya sebagai manusia yang alamiah sepenuhnya (pragmatish). Perkembangan pola pikir manusia (cogni-pattern) kemudian membawa kesederhanaan manusia yang natural serta primitif pada aras yang lebih tak mengandalkan sisi naliruah belaka,manusia pada jaman tradisional telah belajar dari alam untuk hidup lebih teratur dan menciptakan setiap apa yang diciptakan dengan alam serta sejarah sebelumnya sebagai titik acuan dalam menciptakan sebuah kerangka pikir ataupun perilaku sebagai s ebuah kebudayaan yang tak lepas dari peran ataupun fungsi manusia sebagai mahluk alam yang tak lepas dari penciptaan dengan alam sebagai modal utama bagi kreasi mausia sebagai sebuah kodrat dalam mengolah setiap apapun yang ada di dalam,namun adanya tradisi membatasi setiap pengelolaan potensi yang ada tak hanya pada diri manusia sendiri,namun juga apa yang ada pada alam sebagai sebuah harmoni antara apa yang diciptakan Tuhan sebagai modal dengan apa yang diciptakan manusia sebagai sebuah hasil dari sebuah ucapan syukur manusia demi harmoni dirinya, tak hanya dengan alam sebagaimana pada masa primitif, namun juga menjadikan adanya harmoni antara dirinya dengan Tuhan sebagai sebuah hubungan kodratiah antara alam,dirinya dengan Tuhan,budaya menjembatani hubungan ketiganya sebagai satu. Namun sebelum adanya kebudayaam ataupun sejarah,manusia hanya hidup dengan naluri alamiah dengan alam,manusia hanya hidup harmoni dengan alam,namun tidak harmoni dengan Tuhan sebagai siapa yang menciptakan keduanya,hubungan manusia dengan alam adalah sebuah harmoni (kodratiah),ataupun juga hubungan manusia dengan Tuhan juga adalah sebuah harmoni (kodratiah),apapun yang merupakan sebuah upaya harmoni manusia dengan apapun yang disadarinya sebagai sebuah eksistensi,tak terkecuali Tuhan (omnisistensi) adalah sebuah hubungan kodratiah yang kemudian menciptakan hukum Tuhan dan juga hubungannya dengan hukum alam sebagai hukum kodrat,hukum kodrat terbagi atas hukum Tuhan serta hukum alam,dengan kata lain hukum kodrat menengahi hubungan harmoni diantara keduanya,yatiu hukum Tuhan serta hukum alamiah sebagai landasan sejarah yang harmoni untuk pedoman bagi berlakunya hukum manusia yang dibuat oleh manusia itu sendiri untuk mengatur keseimbangan (equalibiriasi) antara tiga kategori hukum tersebut,yaitu:hukum Tuhan,hukum alam serta hukum manusia,keselarasan antara ketiganya adalah sebuah kesadaran manusia atas dirinya sebagai mahluk yang tak lepas dari kodrat dirinya dalam menciptakan hukum,sebagai mahluk hukum (subjek hukum) atau yang terpenting adalah sebagai manusia yang tak lepas dari kodratnya,manusia tiada lepas dari keterbatasan dan kekurangan dirinya atas setiap apa yang ada pada alam serta kekuasaan Tuhan atas dirinya sebagai ciptaan dan sebuah kodrat bahwa, manusia diciptakan oleh sebuah kekuasaan yang mengharapkan kesadaran setiap apapun terhadap adanya Tuhan,Tuhan pencipta hukum utama yang tak lepas dari kodratNya sebagai Tuhan. Setiap apa yang diharapkan oleh manusia adalah setiap apa yang diharapkan menjadi sebuah kenyataan,sebuah harapan yang ternyata kadang tidak menjadi sebuah kenyataan atau tidak sesuai dengan kenyataan yang diharapkan kadang dianggap oleh manusia sebagais sebuah nasib buruk,sementara sebuah harapan yang terwujudkan dalam sebuah realitas atau sesuai dengan realitas yang ada kadang disebut manusia sebagai sebuah nasib buruk (bad luck),sebagaimana dikatakan oleh George Ritzer,seorang sosiolog periode post-modern,bahwa harapan ataupun kenyataan memiliki subjektivitas ataupun obejektivitas yang bersifat makro ataupun juga mikro,sebuah harapan yang mikro adalah sebuah harapan dari individu,harapan makro adalah harapan dari masyarakat yang mana apa yang merupakan sifat dari karakter sebuah harapan adalah merupakan sebuah kondisi yang subjektif ketimbang sebuah kondisi yang objektif dari sebuah realitas,hal ini identik dengan apa yang pernah dikatakan Karl Manheim mengenai adanya ideologi dan utopia yang berkaitan dengan kenyataan dan harapan manusia akan adanya perwujudan ataupun ketidakberwujudan dari sebuah ideologi dalam sebuah harapan (utopia). Sebuah kegagalan dari sebuah harapan ataupun hasrat dan kehendak manusia adalah sebuah ideologi yang mana dalam aras keputus-asaan,apa yang menjadi sebuah ketidakberhasilan akan sebuah harapan yang tidak terwujud kerap dikatakan sebagai sebuah bagian dari nasib manusia,sebuah keburukan dari sebuah nasib ataupun sebuah kebaikan dari apa yang disebut sebagai nasib itu sendiri,sebuah nasib memiliki nilai aksiologis menyangkut kebenaran ataupun kesalahan penempatan manusia atas nasib sebagai sesuatu yang dapat digubah ataupun tak dapat digubah oleh manusia sebagai sebuah subjek otonom atas apa yang menjadi sebuah hasil dari sebuah ketidakputusasaan manusia akan sebuah harapan yang terwujud ataupun tak terwujud,kebaikan ataupun keburukan bukan sebuah keputusasaan untuk mengatakan sebuah kondisi sebagai sebuah absurditas,sebuah absurditas adalah sebuah bagian dari keputusasaan manusia dalam menghadapi sebuah kemandegan,sebuah kemandegan (cul de sac) dimana manusia tak mampu bersikap lain lagi selain mengatakan suatu hal sebagai sebuah absurditas,apa yang disebut absurditas adalah keputuasaan manusia dalam berpikir pada sebuah kemandegan atas adanya sebuah dialektika ataupun penemuan-penemuan baru,absurditas adalah sebuah nasib dari sebuah perspektif kebodohan berpikir manusia dalam berfilsafat (philosophical false) terutama dalam mengusahakan dirinya untuk keluar dari sebuah lingkaran dosa yang terus-menerus dalam sebuah rotasi kosmik (samsara). Anggapan manusia atas sebuah afirmasi kehidupan sebagai sebuah nasib adalah sebuah absurditas yang justru menjadikan manusia mandeg (static) serta terjebak pada sebuah dilema,Horkheimer mengatakan adalah sebuah keburukan ketika sebuah rasionalitas tak menghasilkan sebuah irasionalitas ataupun sebaliknya bahwa sebuah irasionalitas tak menghasilkan sebuah rasionalitas baru,maka hal tersebut berbanding terbalik (mirror obscura) dengan adanya rasionalitas yang menghasilkan irasionalitas baru ataupun irasionalitas yang menghasilkan rasionalitas baru sebagai sebuah kebaikan,namun adalah sebuah keburukan ketika irasionalitas tak menghasilkan sebuah irasionalitas baru ataupun sebuah rasionalitas tak menghasilkan sebuah rasionalitas baru sementara sebuah rasionalitas baru justru memunculkan sebuah rasionalitas yang lebih baru serta dialektis dari rasionalitas ataupun irasionalitas yang pernah ada sebelumnya sebagai sebuah revolusi paradigma sejarah empirik manusia dalam dirinya yang melampaui nasib sebagai sebuah nilai yang yang memiliki sisi ambiguitas,terutama disaat manusia mesti menghadapi apa yang disebutkan sebagai sebuah nasib. Dan ketika irasionalitas memungkinkan manusia untuk merubah sebuah irasionalitas menjadi sebuah rasionalitas ataupun sebaliknya sebagai sebuah kebaikan,maka apa yang dikatakan sebagai nasib manusia adalah sebuah keputusasaan bersikap (menubuh),menjiwai,berpikir ataupun merasakan sesuatu sebagai sebuah kemandegan yang tak mungkin untuk dirubah sebagai keterputusan dari sebuah usaha manusia untuk keluar dari jebakan absurditas (ambiguitatik) yang ada pada ketidakmampuan manusia dalam menilai sebuah kegagalan sebagai sebuah paradigma sejarah bagi sebuah keberhasilan ideologi (realitas) ataupun juga sebuah harapan manusia bagi adanya sebuah pembaharuan bagi sejarah manusia yang berkelanjutan bagi hancurnya absurditas,kemandegan serta keterputusan manusia yang menilai kehidupan dari sebuah perspektif pernasiban belaka,sebuah fatalitas manusia yang utama dibandingkan pemahaman manusia sepenuhnya atas sebuah kodrat dan ataupun juga takdir dirinya sebagai manusia dengan segala potensi kebebasan beresiko yang dimilikinya sebagai sebuah awal dari sebuah kehendak untuk menjadi (memiliki) dalam kesenantiasaan semata yang tiada percuma untuk sebuah kuasa diri,sebagai otoritas eksistensial yang bebas selain atas sebuah “KEHENDAK” bukan nasib ataupun absurditas yang statis dan putus asa dari manusia yang paham akan dirinya sendiri sebagai subjektivitas individual atas setiap apapun yang terkait dengan dirinya sebagai manusia dengan segala keterbatasanya yang bebas.
Posted on: Mon, 09 Sep 2013 06:45:38 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015