TRADISI YASINAN Hadits Fadhilah Surat Yasin Salah satu - TopicsExpress



          

TRADISI YASINAN Hadits Fadhilah Surat Yasin Salah satu tradisi yang hampir merata di negeri kita adalah tradisi Yasinan. Yaitu, tradisi membaca surat Yasin bersama-sama, baik membacanya sendiri-sendiri maupun membacanya secara berjamaah dengan dipandu oleh seorang qari yang dianggap paling baik bacaannya. Tidak jarang, tradisi Yasinan ini dilakukan di makam para wali dan ulama ketika ziarah ke makam mereka. Dalam sebuah diskusi di Jl. Sekar Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama Suwarno, Ketua Forum Studi Islam Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin. Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau tidak. Mendengar pertanyaan itu, saya balik bertanya, mengapa Anda bertanya demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku kecil dengan cover biru berjudul “Yasinan, Kajian Meluruskan Aqidah”, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Setelah melihat nama penulis buku kecil tersebut, saya teringat cerita teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat, Lc., seorang kiai muda yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika beberapa pemuda Ahlussunnah wal Jamaah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah acara selesai, beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat secara terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban Yazid memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka dengan siapapun. Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan mudah dipatahkan dalam arena perdebatan ilmiah. Setelah buku kecil bersampul biru itu saya baca, temyata dalam buku tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam menyembunyikan kebenaran tentang fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi, di kalangan ahli hadits ada dua kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits fadhilah surat Yasin. Pertama, kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudhu’at. Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya al-Imam al-Hafidz Abu Hatim bin Hibban dalam Shahihnya, al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsinya, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-Majmu’ah dan lain-lain. Menurut keyakinan saya, sebenarnya Yazid mengetahui hadits-hadits shahih tersebut, karena dalam buku kecil itu Yazid juga merujuk terhadap kitab Tafsir al-Hafidz Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah karya asy- Syaukani. Akan tetapi, keshahihan hadits-hadits fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut agaknya dapat merugikan kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang sangat kencang memerangi tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua kitab tersebut dan sebagai solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan komentar-komentar yang memaudhukan dan mendhaifkan saja. Berikut ini saya kutipkan hadits-hadits (shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir yang menjadi rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya. Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi harinya ia diampuni oleh Allah. Barangsiapa yang membaca surat ad-Dukhan, maka ia diampuni oleh Allah. (HR Abu Yala). Menurut al-Hafidz Ibn Katsir, hadits ini sanadnya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam asy-Syaukani dalam tafsimya Fath al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih. Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya. (HR. Ibn Hibban dalam Shahihnya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsirnya, al- Hafidz Jalahiddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, dan al-Imam asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-Majmu’ah. Asy-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut: Hadits, Barangsiapa membaca surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dan al-Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits maudhu’). (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah halaman 302-303). Demikian hadits-hadits fadhilah surat Yasin yang dishahihkan dalam Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam bukunya tersebut di atas. Berikut ini akan saya kutip sebuah pernyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abdurrahman bin Mahdi, yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan Wahhabi seperti Yazid Jawas. Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: Ahlussunnah akan menulis apa saja, baik menguntungkan maupun merugjkan mereka. Tetapi ahli bidah hanya akan menulis apa yang menguntungkan saja. Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dhaif Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara. Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum Muslimin itu hadits dhaif?. Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu dhaif, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal. Syaikhul Islam al-Imam Hafidz al-’Iraqi berkata: Adapun hadits dhaif yang tidak maudhu (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedhaifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib seperti nasehat, kisah-kisah, fadhail al-amal dan lain-lain. Adapun berkaitan dengan hukum-hukum syari berupa halal, haram dan selainnya, atau akidah seperti sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil bagi Allah, maka para ulama tidak melihat kemudahan dalam hal itu. Diantara para imam yang menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut. (Al-Hafidz al-‘lraqi, at-Tabshirah wa at-Tadzkirah juz 1 halaman 291). Sebagai bukti bahwa hadits-hadits dhaif itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-amal dan sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi pendiri aliran Wahhabi. Dalam catatan sejarah, orang yang pertama kali menolak hadits dhaif dalam konteks fadhail al-amal dan sesamanya adalah Syaikh Nashir al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan kemudian diikuti oleh para Wahhabi di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh al-Albani menyalahi pandangan para ulama sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits. Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengerjakan Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah Saw. tidak pemah mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bidah dan tidak boleh dilakukan. Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api. Pernyataan HA tersebut saya jawab: Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah Saw., atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi Saw., al-Hafidz Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. mengandung beberapa kemungkinan: Pertama, Nabi Saw. meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi Saw. pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi Saw. bermaksud menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada beliau: Itu daging biawak yang dipanggang. Mendengar perkataan itu, Nabi Saw. tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, Apakah daging tersebut haram? Beliau menjawab: Tidak haram, tetapi daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera. Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Kedua, Nabi Saw. meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi Saw. lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, Apakah terjadi sesuatu dalam shalat? Beliau menjawab: Saya juga manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku. Ketiga, Nabi Saw. meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi Saw. meninggalkan shalat Tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau. Keempat, Nabi Saw. meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi Saw. berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berdiri ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya. Kelima, Nabi Saw. meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Quran dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman Allah: Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hajj ayat 77). Keenam, Nabi Saw. meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah: Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Kabah itu aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma. Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi Saw. tidak merekonstruksi Kabah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah. Kemungkinan juga Nabi Saw. meninggalkan suatu hal karena alas an-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi Saw. meninggalkan sesuatu karena hal itu diharamkan.” Demikian pernyataan al-Hafidz Abdullah al-Ghumari dengan disederhanakan. Berkaitan dengan membaca al-Quran atau dzikir secara bersama, al-Imam asy-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath ar-Rabbai fi Fatawa al-Imam asy-Syaukani sebagai berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Quran ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh asy-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani halaman no. 5945). Pernyataan asy-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Quran, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Quran dan hadits. Berdasarkan pernyataan asy-Syaukani di atas, membaca al-Quran bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara apapun.
Posted on: Wed, 16 Oct 2013 11:54:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015