Teknobudaya: teknologi merayakan budaya dan tradisi Without - TopicsExpress



          

Teknobudaya: teknologi merayakan budaya dan tradisi Without culture, and the relative freedom it implies, society, even when perfect, is but a jungle. This is why any authentic creation is a gift to the future. Albert Camus Sains selalu menjanjikan rekayasa teknologi sebagai ekses eksplorasi dan observasinya. Demikian pula halnya dengan metodologi sains yang diginakan untuk melakukan apresiasi budaya dan tradisi. Teknobudaya diperkenalkan dalam lingkup budaya dan tradisi. Ini yang dirayakan oleh taman akademia dalam merayakan keberagaman eksistensial etnis dan bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia. Secara etimologis, “teknologi” berkenaan dengan kata dalam bahasa Yunani, “tekhnologia”, yang maknanya menunjukkan upaya sistematis dalam rangka kegiatan seni, kerajinan, dan teknik. Kata “teknik” sendiri berkaitan dengan kata “techne”, yang berarti “sistem, metode, skill, seni, dan kerajinan”. Di sisi lain, “budaya” memiliki pengertian yang sangat luas, bahkan melingkupi teknologi itu sendiri. Kebudayaan dikatakan sebagai hal kompleks yang mencakup sistem kepercayaan, seni, moralitas, hukum, norma, adat-istiadat, dan semua aspek yang meliputi kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki seorang manusia sebagai anggota masyarakat [6]. Budaya merupakan semua hasil karya, rasa , dan cipta masyarakat. Budaya melingkupi semua perilaku manusia dalam masyarakat, yang oleh ilmu-ilmu warisan abad pencerahan dipandang dalam perspektif keilmuan ekonomi, sosiologi, politik dan sebagainya. Pembedaan-pembedaan yang berusaha mereduksi kompleksitas budaya manusia yang memiliki kecerdasan kolektif [1]. Memandang sistem sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, seperti halnya memandang sistem sosial tersebut sebagai suatu keutuhan organis yang hidup dan dinamis. Masyarakat memiliki “kecerdasan” sendiri yang terwujud dalam pengaturan hidup, norma, nilai, hingga estetika. Sistem ini berkembang dan “teruji” melalui perubahan di detail-detailnya dari generasi ke generasi. Perkembangan evolusioner yang big picture-nya hari ini membuatnya terlihat sebagai sistem dengan kecerdasan [2]: kecerdasan kolektif! Tradisi berfikir yang terwujud dalam berbagai elemen-elemen rekayasa arsitektural, pengobatan tradisional, tata dan norma sosial, hingga produksi estetis kreatif di satu kelompok budaya pun bisa “berbenturan”. Tata kelola hutan dan ladang masyarakat baduy, di Jawa Barat, kini terasa lebih ramah terhadap ekosistem daripada tradisi kapitalisme modern yang cenderung menomorduakan ikhwal lingkungan hidup. Tata arsitektur tradisional Nias, Toraja, dan sebagainya, mulai diperhatikan kembali dengan strukturnya yang terlihat lebih “akrab bencana gempa”, misalnya. Berbagai seni tradisional, entah lagu, motif, dan sebagainya menjadi sumber pola seni kontemporer yang beberapa bahkan sudah mendunia. Jika “techne” dikaitkan dengan “sistem” dan “metode”, yang justru menjadi jiwa struktural bagi budaya modern yang lahir dari keinsyafan abad pencerahan, maka kini berbagai penelitian modern perlahan-lahan mengungkap kebijaksanaan di balik tradisi yang tadinya kuno, dan memberi perspektif baru bagi cara pandang kita atas sains dan teknologi yang kita ziarahi sebagai masyarakat modern. Telaah budaya dan tradisi memberi peluang kritis sekaligus konstruktif terhadap cara kita berteknologi. Penggalian-penggalian budaya tradisional dengan menggunakan berbagai perangkat sains modern pun dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan hal yang menarik untuk dicermati, sebagai pertemuan antara apa yang modern dan mutakhir. Penelaahan akuisisi kolektif geometri fraktal dalam seni lukis batik, teknik ukir gorga arsitektural batak, dan pola konstruksi Candi Borobudur, sifat-sifat statistik dalam sekuen-sekuen nada-nada lagu-lagu asli Indonesia, dan banyak lagi berpadu padan dengan narasi tradisi adi luhung negeri. Semua detail hasil penelitian tersebut ditambah lagi dengan tingginya tingkat keberagaman etnis di Indonesia. Melihat Indonesia seperti melihat hamparan diversitas antropologis dan sosiologis yang berlapis-lapis keberagamannya. Masuk akal, karena bukan hanya ribuan suku, tapi di kepulauan Indonesia terdapat pula keberagaman bangsa-bangsa juga – suatu hal yang tentunya menjadi konsekuensi logis dari bentuk geografinya yang berbentuk kepulauan. Studi-studi antropologis komputasional menjadikan keberagaman etnografi yang membuka peluang-peluang analitik untuk menguak evolusi kebudayaan yang ber-koevolusi dengan dinamika sosio-ekologis tempat etnis dan bangsa di kepulauan ini tumbuh. Penelitian-penelitian sains ingin mengungkap ketakjuban akan kompleksitas etnografi yang telah ber-evolusi dari dulu, dan kini masih berlangsung, bahkan memberikan narasi inspiratif baru dalam apa yang kondang disebut-sebut sebagai “ekonomi kreatif”. Yang menarik untuk diperhatikan dari hampir semua perkembangan penelitian sains adalah peluang untuk melakukan rekayasa teknologi untuk obyek-obyek yang dikenali. Inilah yang kemudian membentuk aras baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi saat ia melakukan observasi dan eksplorasi pada obyek-obyek kebudayaan dan tradisi manusia. “Teknobudaya”, mungkin adalah nama yang tepat untuk itu. Teknobudaya merupakan langkah sains untuk membaca dan mengeksplorasi detail aspek dan elemen kebudayaan. Penelitian aspek geometris dari permotifan batik, misalnya, melahirkan “batik fisika” yang memungkinkan akuisisi perangkat lunak “batik fraktal komputasional” di kalangan para industriwan kreatif [3]. Penelitian aspek antropo-arsitektural candi, memperkaya khazanah komputasional dalam “ilmu arsitek eksperimental”. Studi karakteristik statistika lagu tradisional memungkinkan perangkat lunak musik generatif yang memiliki fundamen dalam studi kreatif “musik generatif”. Eksplorasi elemen budaya dan tradisi telah memperluas domain kerja teknologi rekayasa. Teknobudaya menjadi sebuah jalan baru untuk memahami selaligus eksploitasi atas rekayasa yang dilakukan dalam domain kebudayaan dan akuisisi kreativitas modern manusia. Teknobudaya menjanjikan upaya pembalikan krisis sosial ekologis yang makin lama makin kerap terdengar dalam kehidupan modern kita [4]. Teknobudaya sebagai studi rekayasa atas elemen budaya tentu tak hanya berhenti pada tradisi. Ia juga memperhatikan dinamika budaya modern. Perkembangan interaksi manusia dengan komputer di era informasi telah memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi ilmiah atas bagaimana interaksi manusia dalam kolektivitasnya. Dinamika opini dan interaksi melalui web 2.0 dan social media yang ramai belakangan ini [5], dapat pula dipandang sebagai sebuah aspek mutakhir dari Teknobudaya. Manusia berbudaya dan lalu berteknologi dalam menghadapi tantangan alam dan sosialnya. Ketika kemudian hari teknologi bersentuhan dengan rekayasa informasi, Teknobudaya pun menjadi satu aspek yang memperkaya studi-studi rekayasa tersebut. Merayakan kekayaan interaksi manusia dalam budaya dan tradisi, adalah mendalami eksplorasi Teknobudaya. Kerja Yang Disebut Brown, P. & Hugh, L. (2000). “Collective intelligence”. dalam Baron, S., Field, J., & Schuller, T. Social Capital: Critical Perspectives. Oxford UP. Hall, W. (2005). “Biological Nature of Knowledge in the Learning Organizations”. The Learning Organization 12 (2): 169-88. Situngkir, H. & Dahlan, R. (2007). Fisika Batik. GramediaPustaka Utama. Situngkir, H. (2010). “Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis(?)”. Pengantar sebagai Penelis pada Seminar Pemaparan “Imperatif Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik, Institut Teknologi Bandung, 11 Februari 2009. URL: qact.wordpress/2010/02/12/sains_dasar/#more-154 Situngkir, H. (2012). “The Science of Twitter”. Blog Posting: qact.wordpress/2011/06/23/the-science-of-twitter/ Taylor, E.B. (1871). Primitive Culture. New York: J.P. Putnam’s Sons.
Posted on: Tue, 10 Jun 2014 23:21:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015