Tentang Perkawinan Dalam Suku Dayak Mualang Suatu Tinjauan - TopicsExpress



          

Tentang Perkawinan Dalam Suku Dayak Mualang Suatu Tinjauan Antropologis: Agama dan Kebudayaan Pengantar Era globalisasi merupakan hasil suatu proses yang panjang dalam sejarah hidup manusia. Setiap orang mengharapkan suatu perubahan dan perkembangan dalam kehidupannya. Dan dengan perubahan serta perkembangan itu diharapkan hidup itu lebih bermakna, bukan sekedar objek dari perubahan atau perkembagan ilmu tekhnologi. Hal ini mungkin saja terjadi bila dalam kehidupan ini manusia sudah kehilangan nilai yang dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidupnya. Nailai apa yang dimaksudkan, tak lain dari pada nilai-nilai budaya yang mampu membentuk pola kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada yang lebih baik. Akan tetapi suatu budaya tidak hanya berhenti pada dirinya sendiri. Ia harus berkembang sesuai tuntutan jaman. Pengalaman ini lah yang terjadi dalam diri masyarakat dayak Mualang ketika mereka berhadapan dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh ajaran Kristiani. Proses univikasi yang panjang telah membawa masyarakat dayak Mualang kepada perubahan dan perkembangan di segala aspek kehidupan. Maka dalam tulisan ini, kami mencoba memberikan uraian bagaimana nilai-nilai budaya tradisional masyarakat dayak Mualang bisa berhadapan dengan budaya baru, budaya yang memberikan nilai-nilai Injili. PENDAHULUAN Latar Belakang Pemilihan Tema Tema yang kami pilih adalah Unifikasi Nilai Agama dan Budaya Tentang Perkawinan Dalam Suku Dayak Mualang. Kami memimil tema ini karena harus diakui bahwa nilai-nilai Kristiani yang ditanamkan dalam diri masyarakat dayak Mualang telah mengubah kehidupan masyarakat dayak Mualang di segala aspek, baik itu pola pikir, tata kemasyarakatan, tata hukum, pendidikan, dan juga perekonomian. Perubahan ini telah membawa masyarakat dayak Mualang kepada suatu kemajuan baik dalam bidang materiil maupun spirituil, dalam hal ini ke-religiousitas-annya. Ini bukan mau mengatakan bahwa masyarakat dayak Mualang telah meninggalkan budaya leluhur. Sama sakali tidak demikian, sebab dalam hidup sehari-hari masih ada nilai-nilai budaya leluhur yang digunakan sejauh itu membantu. Maka tema yang kami pilih ini merupakan suatu usaha untuk mengerti budaya masyarakat dayak Mualang secara lebih dekat. Tujuan Pembahasan Pembahasan ini bertujuan untuk melihat kembali bagaimana budaya yang ada dan berkembang dalam masyarakat dayak Mualang itu bisa berinteraksi dengan nilai atau paham dari budaya luar. Di sini diketengahkan pertautan antara budaya trasisional masyarakat dayak Mualang dengan nilai-nilai Kristiani yang merupakan buah dari pengkabaran Injil. Keduanya ternyata membawa suatu perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat dayak Mualang. Pembatasan Masalah Konteks pembahasan adalah masyarakat dayak Mualang yang berintegrasi dengan nilai-nilai Kristiani. Sebagai tuan rumah, budaya yang berkembang dalam masyarakat dayak Mualang mengalami perubahan yang juga membawa mereka kepada persatuan dengan suku-suku bangsa lainnya (contoh, dalam hal agama). Metode Pembahasan Pembahasan yang kami lakukan merupakan hasil studi kepustakaan. Selain itu, tulisan ini merupakan interpretasi pengalaman penulis sendiri, yang secara langsung hidup dalam budaya tersebut. Sistematika Penulisan Pembahasan ini kami bagi dalam empat pokok pikiran. Pertama, merupakan gambaran umum wilayah Kalimantan yang akan membantu untuk mengerti keadaan dan budaya Dayak. Kedua, poin yang mengajak kita untuk masuk ke dalam konteks budaya Dayak. Ketiga, merupakan inti pembahasan, yang menerangkan konteks budaya masyarakat dayak Mualang yang bertemu dengan kebenaran ajaran Kristiani. Di sini juga diberikan secara garis besar nilai budaya yang mengalami perubahan yang disebabkan oleh masuknya ajaran Kristiani. Keempat, merupakan sebuah aplikasi dan kontekstualisai nilai Injil dalam budaya masyarakat dayak Mualang, yang sekaligus juga merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan. 1. Situasi Geografis dan Ekologis Situasi geografis dan ekologis yang dimaksudkan adalah menyangkut situasi pulau Kalimantan pada umumnya. Pulau Kalimantan, dengan luas 736.561 km2, adalah pulau ketiga yang terbesar setelah Greenland dan Irian. Secara geologis, P. Kalimantan terbagi dalam dua kelompok besar: 1). Kalimantan Barat – Tengah – Selatan – dan Kalimantan Utara/Malaysia Timur, merupakan kelompok batu tua yang sangat dominan, yang terbentuk pada jaman Karbon (± 275 juta Thn.). 2). Daratan Kalimantan selebihnya: terdiri dari lapisan-lapisan batuan lebih muda sebagai hasil bentukan-bentukan geologis pada jaman Tersier. Iklim P. Kalimantan dilalui garis Ekuator, tepatnya di Pontianak (atau lebih dikenal Garis Khatulistiwa. Pada garis ini sering kali terjadi hujan zenithal, dan akibat rotasi bumi terjadi pembelokan arah angin, khususnya angin muson. Iklim P. Kalimantan adalah Tropik Basah. Suhu udara mendapai rata-rata 24 – 250C. Curah hujan terbesar ada di Kalimantan Barat – Tengah – dan Selatan, yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 203 cm. Angka penyebaran kependudukan di Kalimanta belum merata, tidak terlalu padat dan tersebar ke pedalaman-pedalaman, terutama di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Keadaan alam yang ditutupi oleh hutan tropis sangat membantu masyarakat dalam bidang perekonomian, terutama sistem perladangan, yang kemudian dikenal dengan sistem perladangan berpindah yang sering dimengerti secara keliru. Sistemm perekonomian dimungkinkan oleh keadaan alam. Contoh, Hasil hutan, terutama kayu, rotan, damar. Juga dengan adanya perkebunan karet. Keberagaman hasil hutan didukung juga oleh kapasitas sungai yang lebih dari memadai, sehingga masyarakat bisa menggunakannya sebagai sarana transportasi. Dari sistem perekonomian ini, jelas bahwa mayoritas masyarakat Suku Dayak masih berada dalam garis kemiskinan yang harus mendapat perhatian khusus oleh instansi-instansi yang terkait di dalamnya. 2. Latar Belakang Kehidupan dan Kebudayaan Suku Dayak Mayoritas suku adalah suku Dayak, yang tersebar di seluruh Kalimantan. Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan, dan memiliki ribuan sub-suku, dengan bahasa dan gaya bahasa tersendiri. Suku Dayak bukanlah merupakan suku tunggal, tetapi terdiri atas sub-suku bangsa. Biasanya bahasa juga dipengaruhi oleh keadaan wilayah tempat ia berada. Memang ada penggolongan bahasa sesuai besarnya suku yang mempengarusi sistem kemasyarakatan setempat. Misalnya bahasa Dayak Iban, bahasa Dayak Ngaju, bahasa Apu Kayan, bahasa Kanayatn, basaha Kelemantan, bahasa Punan, dan bahasa Ot-Danum. Kehidupan masyarakat Dayak tradisional erat dihubungkan dengan alam, dalam artian sistem pertanian masih mengandalkan alam yakni dengan sistem perladangan berpindah. Mata pencaharian adalah hasil alam, kayu, rotan, damar, karet, penangkapan ikan, dan berburu. Masih ada juga dijumpai gaya hidup meramu. Sistem tempat tinggal berpindah atau tidak tetap (nomaden) dijumpai dalam masyarakat perladangan berpindah. Selain bentuk nomaden, masyarakat Dayak menetap dengan sebuah kebersamaan yang erat, yang berkumpul dalam satu Rumah, atau Betang Panjang. Tata hukum yang dominan berperan dalam masyarakat suku Dayak adalah pranata atau hukum adat. Dalam hukum adat, tata nilai kehidupan bersama diatur sedemikian rupa dengan segala bentuk sanksi atas pelanggarannya. Ada pola pengaturan yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Misalnya adat perkawinan, adat kelahiran, adat kematian, adat pertanian (maksudnya ritual-ritual yang digunakan dalam kegiatan bertani), adat penerimaan tamu, sampai pada Perayaan Akbar, yang merupakan bentuk pengungkapan kebersamaan dan ungkapan rasa syukur atan hasil panen yang melimpah, atau lebih dikenal dengan Gawai Dayak Telah disebutkan bahwa suku yang dominan adalah suku Dayak, sebagai suku asli. Ia berdampingan dengan suku-suku lain. Melayu, sebagai suku asli Kalimantan, yang lebih menyebar di sepanjang daerah pesisir pantan dan pusat-pusat kota. Selain bergandengan dengan suku Melayu, suku Dayak juga berrelasi dengan suku-suku pendatang: Jawa, Madura, Bugis, Batak, Padang, Flores, dan juga Cina yang telah mendiami pulau Kalimantan sejak permulaan abad XVII. Religiuousitas masyarakat suku Dayak (asli) menyimbolkan suatu hubungan akrab dengan alam. Alam dilihat sebagai sumber kekutan karena arwah para leluhur yang tinggal di sana. Kekuatan alam bisa membantu, juga bisa membawa malapetaka apabila satu dari kesepakatan tidak dipenuhi, terutama dari pihak manusia. Roh-roh jahat memang ada, dan ini dipandang sebagai pengganggu keharmonisan manusia dengan alam itu sendiri. Masyarakat suku Dayak juga mempercayai akan adanya satu kekuatan yang mengatasi kekuatan lain, yang disebut Jubata. Dia,yang tinggal di tempatnya yang mulia, sebayan, yang berkuasa mengatur pola hidup manusia. Dalam suku Dayak terdapat ribuan sub-suku dengan gaya bahasa masing-masing. Hal ini juga mempengaruhi sistem kemasyarakatan masing-masing daerah. Di antara sekian banyak suku dalam tubuh Dayak, adalah sebuah suku kecil yang membentang sepanjang bagian Barat Kabupaten Sanggau sampai ke Kabupaten Sintang bagian Utara (Kal-Bar). Mereka adalah Dayak Mualang, satu di antasa ribuan sub-suku Dayak. 2.1. Suku Dayak Mualang di Antara Suku-suku Dayak pada Umumnya Keberadaan masyarakat Dayak Mualang tidak bisa dipisahkan dari rumpun suku-suku Dayak lainnya. Itu menyangkut tata cara dan tindakan serta tingkah laku diatur dan diarahkan dalam tata nilai yang berlaku juga bagi suku-suku Dayak lainnya. Demikian juga dalam tata upacara yang lain, perkawinan, kelahiran, kematian, pertanian, dan hal-hal yang menyangkut ritus doa. Kendala utama bagi masyarakat dayak pada umumnya adalah persoalan bahasa yang berbeda-beda. Ini mengalami kesulitan, karena memang terdiri dari ribuan sub-suku dengan bahasa yang berlainan pula. 2.2. Sekilas Tentang Suku Dayak Mualang Dayak Mualang adalah bagian dari Dayak Besar. Luas wilayahnya hanya menjangkau dua kabupaten (Sanggau dan Sintang), juga, dalam hal bahasa, hampir sampai ke Putussibau, Kapuas Hulu, Kal-bar. Bahasa yang digunakan masuk dalam rumpun bahasa Iban . Pola hidup masyarakat Dayak Mualang tidak jauh berbeda dengan hidup suku-suku Dayak yang lain. Misalnya, dalam tata kemasyarakatan, ada semacam hukum adat yang mengatur. Dalam melangsungkan perkawinan, upacara kelahiran, kematian, pertanian, dan segala aspek hidup diatur oleh hukum yang disebut hukum adat. Perberlakuan hukum juga disesuaikan dengan berat dan besarnya suatu pelanggaran. 2.2.1. Susunan Masyarakat Dayak Mualang Masyarakat Dayak Mualang, sama seperti masyarakat suku Dayak lainnya, mempunyai semacam tata atau susunan dalam kemasyarakatan. Yang dimaksud adalah dalam susunan masyarakat terdapat pembagaian klas , yang terdiri dari dua golongan, yaitu golongan Balian (imam) dan golongan biasa (masyarakat biasa). 1. Golongan Balian (imam), merupakan golongan yang sangat dihormati dalam masyarakat karena pengaruh dan fungsinya yang sentral dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tugas atau funsi mereka dalam tata kemasyarakatan adalah:  Memimpin ibadat atau upacara ritual yang berkenaan dengan pengusiran roh-roh (jahat).  Memimpin upacara adat yang berkenaan dengan perayaan syukur, misalnya syukur atas hasil panen, syukur atas kelahiran, upacara perkawinan.  Mereka juga punya keahlian (kharisma) dalam dalam hal penyembuhan atau perdukunan. Mereka dapat berhubungan dengan dunia gaib, dunia roh-roh. 2. Golongan Biasa (rakyat biasa). Yang temasuk golongan ini adalah para pemuka adat dan para petani. Peran mereka jelas berbeda dengan peran seorang imam. Namun dalam urusan kemasyarakatan, mereka memainkan peranan penting, sebab kelangsungan hidup dan tata laksana kemasyarakatan sangat tergantung pada mereka. Pemuka adat, berfungsi sebagai pemimpin, hukum adat, yang menuntun masyarakat ke dalam tata masyarakat yang teratur. Mereka juga biasa disebut Temengung’ (Temenggung), yang memiliki kharisma dan mengerti hukum-hukum adat dan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Para petani, dikatakan demikian, karena sebagian besar mayarakat dayak Mualang adalah para petani, artinya mereka berurusan dengan pertanian, perdagangan. Mereka memiliki fungsi yang vital. Dalam hubungannya dengan para imam, merekalah yang menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam peribadatan. Dalam hubungannya dengan pemuka adat, mereka sekaligus sebagai pelaksana (pemilik) sekaligus juga membantu sejauh proses hukum adat yang diberlakukan. 2.2.2. Pandangan Hidup Suku Dayak Mualang Dalam kehidupannya, suatu masyarakat memiliki paham yang menjadi pola pikir untuk mengarahkan masyarakat pada tujuan hidup bersama. Sistem ini menyatukan pandangan, mengatur dan membentuk sikap hidup mereka, sehingga mereka memiliki paham yang sama untuk menilai situasi yang mereka alami dalam keseharian hisup mereka. Harus diingat bahwa pandangan hidup ini sangat tergantung pada tempat di mana mereka tinggal menetap. Segala hasil pemikiran, moralitas, adat-istiadat, dan tingkah laku yang dialami dan dijumpai dalam masyarakat disebut kebudayaan. Ada empat hal penting yang mendasar dalam kehidupan masyarakat dayak Mualang: Tentang Hidup. Masyarakat suku dayak Mualang memiliki suatu keyakinan bahwa segala apa yang ada di alam ini adalah kepunyaan Petara yang tinggal di Sebayan. Hidup merupakan suatu anugerah dari Petera Senta. Karena hidup (nafas) berasal dari Yang Suci itu, maka hidup itu akan kembali kepada Asal Kehidupan itu. Maka hidup itu harus dibaktikan seluruhnya, seutuhnya, dengan menghargai kehidupan itu sendiri. Artinya hidup itu suatu keutamaan yang harus dipelihara dan dibaktikan baik kepada Asal Kehidupan maupun kepada sesama. Hidup bukanlah suatu kesempatan yang disia-siakan. Bukan untuk memuaskan diri dengan tuntutan atau desakan hawa nafsu sehingga mudah dikuasai oleh roh-roh jahat. Kesadaran akan nilai hidup itu tampak dalam tanggung jawab melaksanakan tata nilai yang terkandung dalam hukum adat yang diberlakukan. Tentang Kematian. Hidup yang disadari oleh Masyarakat dayak Mualang sebagai anugerah dari Petara Senta itu hanya bersifat sementara, dalam arti bahwa setelah hidup yang bersifat jasmani ini berakhir ia akan beralih kepada hidup yang kekal, bersatu dengan roh para leluhur yang telah dimuliakan. Peralihan ini melalui kematian secara jasmani. Setelah kematian inilah, sesuai dengan bagaimana orang Mualang itu menjalani kehidupannya, rohnya masuk dalam: persekutuan dengan roh para leluhur, bila hidupnya dibaktikan sesuai dengan kewajibannya selama di dnunia; dibuang atau diasingkan, bila selama hidupnya ia tidak menunjukkan penghormatan atas hidup. Ia akan diserahkan ke dalam dunia siksaan abadi. Tentang Alam. Memelihara hidup yang suci bagi Masyarakat dayak Mualang sama halnya dengan memelihara hubungan yang selaras dengan alam. Oleh karena itu jika terjadi pembunuhan atau ada orang yang mati karena dibunuh menandakan telah terjadi ketidaksinambungan dan ketakseimbangan dalam kehidupan ini. Maka adalah tugas bagi masyarakat dayak Mualang untuk menjaga keharmonisan dalam hidup dengan alam itu sendiri. Menurut masyarakat dayak Mualang, alam semesta ini dikuasai, diatur, dan dipelihara oleh Punyang Gana, dewa Penunggu Tanah. Oleh karena itu, Masyarakat dayak Mualang harus selalu minta restu (penselan) kepada Puyang Gana bila melakukan aktivitas berkenaan dengan alam (hutan), misalnya membuka hutan untuk berladang, berburu. Bila tidak min restu terlebih dahulu, maka konsekuensi yang diterima seorang tersebut adalah badi. Atas restu dari Puyang Gana yang mendatangkan hasil (misalnya hasil ladang), masyarakat dayak Mualang kembali melakukan upacara adat nyemaru, sebagai ucapan syukur dan terima kasih. Tentang Tuhan. Sikap masyarakat dayak Mualang dan Dayak pada umumnya terhadap Yang Tertinggi tumbuh dari pengalaman sehari-hari. Pengalaman itu terus menerus direfleksikan sampai mereka berkesimpulan bahwa ‘ada sesuatu’ yang menaungi, membantu, dan memelihara hidup mereka, yang dikenal dengan nama Petara. mereka belum sampai pada kesimpulan bahwa ‘ada sesuatu’ itu adalah Tuhan. Petara merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius yang bersifat hierofani , di mana pancaran kekuasaan itu tampak dalam gejala-gejala dan kekuatan alam. 3. Masyarakat Dayak Mualang di Antara Agama-agama dan Penyebarannya 3.1. Agama-agama dan Penyebarannya Masyarakat dayak Mualang memiliki keyakinan akan adanya Kekuatan Tertinggi yang menjadi penyelenggara kehidupan di alam semesta ini. Pandangan ini juga ada pada Masyarakat Dayak pada umumnya. Kekuatan Tertinggi ini mereka namakan secara berbeda, namun punya makna dan pengertian yang sama dalam tata kehidupan mereka. Boleh dikatakan bahwa di sinilah letak persamaan mereka dalam religiousitas, di mana mereka memiliki pandangan akan kekuatan yang tertinggi sebagai junjungan, sebagai yang berkuasa atas kehidupan di alam semesta ini. Dengan mengakui adanya Kekuatan Tertinggi, mereka menujukannya kepada kekuatan yang ada hubungannya dengan alam, roh para leluhur yang harus dijunjung dengan segala konsekuensi dan akibatnya. Pandangan tentang adanya Kekuatan Tertinggi ini kemudian secara perlahan mengalami perubahan yang juga mempengaruhi perubahan gaya hidup mereka. Perubahan pandangan ini tak lain karena disebabkan oleh masuknya agama-agama dengan segala pengajarannya dalam kehidupan masyarakat dayak Mualang. 3.1.1. Agama Islam• Sebenarnya masyarakat dayak Mualang tidak memeluk agama Islam. Bahwa ada Masyarakat Dayak yang memeluk agama Islam itu benar, tetapi mereka sudah digolongkan ke dalam kelompok masyarakat Melayu yang secara tradisi dan ritus memeluk agama Islam. Mereka tidak lagi disebut Dayak, tetapi Melayu. Mereka pada umumnya tinggal menetap di daerah pesisir pantai dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Nuansa perbedaan juga ditunjukkan dalam adat istiadat, misalnya motif pakaian adat, pernikahan, pergaulan (cendrung eksklusif) atau tingkat relasional, dan tata nilai. 3.1.2. Agama Katolik Penyebaran Injil di daerah Kalimantan pada umumnya mengalami kesulitan. Tetapi itu hanya dialami pada permulaan. Ini disebabkan karena Masyarakat Dayak masih memegang teguh nilai-nilai leluhur, dan menganggap suatu unsur atau nilai baru yang masuk adalah ancaman bagi nilai-nilai leluhur. Dalam perjalanan waktu, masuknya agama Katolik dalam kehidupan Masyarakat Dayak pada umumnya dan masyarakat dayak Mualang khususnya, telah melewati proses yang panjang. Agama Katolik tidak dengan sendirinya diterima. Ini disebabkan karena masyarakat dayak Mualang menganggap agama Katolik adalah ancaman bagi ritus religi yang selama ini mereka anut. Agama Katolik membahayakan kelangsungan dan kelanggengan adat istiadat mereka, sistem religi, paham ketuhanan, pola dan tata kehidupan. Kedatangan agama Katolik ke daerah Mualang dibawa oleh Misionaris Pastor Wilbertus de Wit. Beliau dibantu oleh tiga orang muda, yang diangkat sebagai katekis, di antaranya Petrus Denggol yang berasal dari daerah Kab. Ketapang (Kal-Bar). Perkembangan yang terjadi selanjutnya adalah suatu buah dari kemauan keras, baik dari pihak para misionaris maupun dari pihak masyarakat setempat. Mereka menyadari bahwa anggapan terhadap agama Katolik sebelumnya adalah keliru. Ternyata apa yang mereka anut tetap dipertahankan, adat istiadat, tata nilai hidup bersama tetap berlaku seperti biasa. Akan tetapi perubahan yang terjadi adalah pemahaman mereka tentang Tuhan. Tuhan bukan lagi dianonimkan sebagai Yang Tertinggi (dewa), melainkan TUHAN, yang adalah Pencipta, Sumber Kehidupan. Asal dan Tujuan hidup manusia. Tuhan mengatasi kekuatan alam. Mengenai Yang Tertinggi itu hanyalah sifat keilahian-Nya. Dan hanya ada satu TUHAN. Masuknya agama Katolik yang diterima dengan baik dalam masyarakat dayak Mualang telah membuka cakerawala baru, baik itu menyangkut tata hukum adat, pola pikir, pendidikan, pembangunan, kesehatan, dan juga tata laksana hidup bersama. 3.1.3. Agama Protestan Selain memeluk agama Katolik, masyarakat dayak Mualang juga ada yang memeluk agama Kristen Protestan. Hal ini tidaklah mengherankan karena para Misi Protestan sudah memperkenalkan Injil di Kalimantan hampir bersamaan dengan Katolik. Keberadaan dan pengaruh ajaran Protestan juga sangat menetukan perkembangan pola kehidupan masyarakat dayak Mualang. Misi mereka menanamkan pendidikan dan kesehatan. Kemungkinan besar bisa dikatakan bahwa pengaruh ajaran Protestan terhadap adat istiadat dan nilai-nilai budaya leluhur cukup keras, maksudnya secara tegas menghapus nilai-nilai yang berbau tahayul atau magis. Terdapat juga cara menterjemahkan Kitab Suci yang terlalu ekstrem. Misalnya mereka tidak diperkenankan mengkonsumsi darah hewan, sebagaimana lazim dibuat oleh sebagian besar Masyarakat Dayak. Atau tidak diperbolehkan meminum minuman yang mengandung alkohol, termasuk tuak yang merupakan minuman khas masyarakat dayak, sehingga dalam perayaan atau upacara adat seperti perkawinan, gawai (pesta panen), syukuran. tidak dijumpai lagi unsur-unsur budaya leluhur. 3.2. Unifikasi Nilai-Nilai Kitab Suci dalam Budaya Suku Mualang 3.2.1. Pengaruh Kitab Suci Dalam Adat Perkawinan Dayak Mualang Pewartaan Injil telah membawa perubahan besar dalam kahidupan masyarakat dayak Mualang. Salah satunya adalah dalam perkawinan. Integritas budaya dan agama dalam masyarakat dayak Mualang tampat dalam, misalnya dalam perkawinan yang tetap menggunakan tata cara yang diatur dalam adat perkawinan, tetapi lebih dimaknai oleh terang Injil. Peran Injil dalam perkawinan ini memaknai kesucian dan keluhuran martabat perkawinan itu sendiri. Masyarakat dayak Mualang memandang pernikahan itu sebagai suatu bakti dalam kehidupan. Perkawinan itu suci. Maka ada hukum yang menjadi jaminannya. Jika hukum itu dilanggar, maka sanksi yang diberikan sangat keras. Masuknya agama Katolik yang mengajarkan nilai-nilai kasih, semakin menegaskan kesucian perkawinan yang diimani oleh masyarakat dayak Mualang. 3.2.1.1. Hukum Adat Perkawinan Dayak Mualang Terminologi hukum hendak menunjukkan bahwa itu dibuat oleh sistem kekuasaan untuk mengatur tata kemasyarakatan. Hukum itu berupa peraturan-peraturan yang mengikat: memperbolehkan dan melarang. Maka suatu hukum yang diberlakukan memiliki daya ikat, bahwa setiap orang punya kewajiban dan tanggung jawab atas hukum. Hukum Adat Perkawinan Dayak Mualang merupakan suatu hukum yang melalui proses panjang megalami perubahan karena terjadi proses asimilasi dengan nilai-nilai baru: agama, ilmu pengetahuan, dan budaya lainnya. 3.2.1.2. Latar Belakang Adat Perkawinan Dayak Mualang Latar belakang Adat Perkawinan dayak Mualang berawal dari sebuah hikayat yang terjadi di sebuat kampung yaitu Benua Tampun Juah. Konon dari sinilah Orang Mualang berasal dan di snilah mereka berdomisili untuk pertama kali. Selama suku dayak Mualang berada di Benua Tampun Juah belum ada hukum adat perkawinan yang resmi seperti sekarang ini. Dalam hikayat dikisahkan telah terjadi suatu pelanggaran dalam hubungan perkawinan ‘mali’ . Ini merupakan suatu pelanggaran berat. Oleh karena itu konsekuensinya adalah hukum ‘tampun’ yang diberlakukan, yang waktu itu belum ada dispensasinya, yakni menggantikannya dengan “menyembelih babi pemali†sebanyak tujuh ekor dengan ukuran yang berbeda. Ukuran besarnya babi yang biasa digunakan dalam perkara adat adalah tujuh renti. Dalam proses yang panjang, hukum adat perkawinan masyarakat dayak Mualang mengalami perkembangan. Adat mali masih berlaku hanya sanksi atas pelanggarannya saja yang diubah dengan sebuah dispensasi hukuman menyembelih babi pemali. Jadi hukum tampun sudah tidak berlaku lagi. Perkembangan ini juga disebabkan oleh unsur-unsur luar yang masuk, yakni ketika mereka berhadapan dengan suku-suku lainnya. Perubahan dan perkembangannya juga terlihat dari adat yang bersifat lisan serta turun-temurun ini ditetapkan sebagai hukum adat yang berlaku untuk seluruh daerah dayak Mualang. Selain Hukum Adat mengenai kawin mali, juga terdapat Adat Buis dan ‘bangkit pinang’, atau lebih dikenal dengan adat ‘bepintak’ yaitu proses pertunangan atau peminangan. Adat ‘bekibau’ dan ‘berapik’, yakni proses pengesahan dan penyatuan kedua mempelai. Adat ‘berangkat’, yakni berhubungan dengan proses adat untuk perkawinan lari (kawin lari). Hukum ‘butang’, suatu hukum adat yang ditetapkan bagi mereka yang melakukan perselingkuhan. ‘Butang’, yakni semacam perselingkuhan antara meraka yang terikat perkawinan. Jenis adat yang disebutkan tadi memiliki ukuran sanksi yang tidak sama, sesuai dengan beratnya perkara masing-masing adat atau ketentuan hukum. 3.2.2. Proses Adat Perkawinan Masyarakat Dayak Mualang Proses adat dimulai dari masa pertunangan, yaitu dengan menjalani dua tahap yaitu meminang dan ‘bepintak’, yaitu kesepakatan nikah. Dalam masa pertunangan ini kedua calon mempelai berada dalam suatu pengawasan guna menjaga hal-hal yang dilarang oleh hukum adat. Di sana ada tata cata meminang dan ada aturan yang diberikan kepada kedua calon mempelai, misalnya mengunjungi atau mengundang pinangan. Demikian halnya dengan ‘bepintak’. Ada ketentuan yang diberlakukan, seperti persiapan menjelang ‘bepintak’, halangan ‘bepintak’, dan membicarakan ‘bepintak’. Tahap berikutnya yang merupakan inti penetapan hukum adat perkawinan adalah Peneguhan dan Pesta Perkawinan. Tahap ini dibagi dalam lima bagian. Pertama, bagi Perkawinan Biasa. Proses adat pada Perkawinan Biasa ini dibagi menjadi dua yaitu Proses Penegunan dan Pesta Perkawinan dan Saat Peneguhan dan Pesta Perkawinan. Kedua proses ini memiliki makna dan nilai tersendiri. Kedua, Perkawinan Sederhana. Maksudnya ialah proses hukum adatnya tidak seketat dan sedetail proses hukum adat pada Perkawinan Biasa. Perkawinan Sederhana menunjukkan suatu proses hukum adat yang dilangsungkan secara sederhana, tidak perlu dipestakan. Perkawinan Sederhana ini berlaku untuk kasus-kasus tertentu, misalnya perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang duda dan janda. Ketiga, Kawin ‘Mali’, yang dibagi dua yaitu Kain Mali antara dua orang ‘mandal’ (sepupu) atau saudara kandung dan kawin mali lainnya. Keempat, Kawin ‘Betaban’, yaitu kawin lari. Ada dua jenis yaitu ‘beramau’ dan ‘berangkat’. ‘Beramau’, yaitu terjadi antara mereka yang masih lajang, belum terikat perkawinan. Ini terjadi karena mungkin tidak mendapat restu dari orang tua. Atau bisa saja mereka sudah terikat pertunangan hanya belum meresmikan perkawinan di muka umum. ‘Berangkat’, yaitu terjadi antara mereka yang salah satunya (perempuan) suadah terikat perkawinan yang sah. Ini dicap sebagai suatu kejahatan yang luar bisa karena mencuri hak milik orang lain. Kelima, Penundaan Perkawinan dan Alasan Penundaan. Penundaan yang dimaksudkan karena setelah terjadi Peneguhan ternyata dalam perjalanannya didapati halangan-halangan yang memberatkan kedua calon mempelai untuk melangsungkan pernikahan. Ketentuan-ketentuan hukum ini tidak semuanya berlaku sama. Maka harus dilihat dari besar kecilnya suatu perkara atau pelanggarannya. 3.2.3. Pelanggaran Atas Hukum Adat Perkawinan Sub tema ini hendak memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang muncul akibat pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Hukum Adat Perkawinan. Di sini dibagi beberapa bentuk pelanggaran. Pertama, Pelanggaran dalam pertunangan. Ini menyangkut pelanggaran terhadap sopan santun dalam pertunangan. Kedua, Pelanggaran dalam hidup perkawinan. Ketiga, Perceraian , yang dibagi dalam lima bentuk perceraian: perceraian biasa karena habis jodoh, perceraian karena ‘barak’ (menyeleweng), perceraian karena ‘butang’ (lebih mengarah pada perzinahan), perceraian karena mati, dan perceraian sementara. Keempat, sanksi yang diberikan kepada orang yang ‘ngampang’ (hamil di luar nikah atau tidak ada pengakuan yang sah dari seorang lelaki sebagai yang bertanggung jawab). Hukuman yang diberikan adalah menjalani adat ‘pemali ngampang’. Adat ini dibayar kepada semua orang kampung. Dalam kesempatan itu si gadis yang hamil itu diberi kesempatan untuk menyebutkan dengan nama lelaki yang menghamilinya agar memberikan pertanggungan jawab atas perbuatannya itu. Jika ia enggan atau tidak bersedia menyebutkannya maka tanggunggan hukuman dibebankan kepada phak gadis tersebut. Kelima, pelanggaran yang ditebus dengan ‘babi pemali’. Ada lima jenis, yaitu, kawin ‘beramau’ (kawin lari), kawin ‘berangkat’ (melarikan isteri orang lain), ‘ngampang’ (hamil di luar pernikahan), ‘butang’ (perzinahan), dan kawin mali antara ‘mandal’ atau saudara sepupu yang masih memiliki hubungan darah. 3.3. Pengaruh Injil Dalam Adat Perkawinan Dayak Mualang Pemberlakuan Hukum Adat Perkawinan dalam masyarakat dayak Mualang menunjukkan bahwa masyarakat dayak Mualang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur perkawinan. Bagi mereka perkawinan itu suci, oleh karena itu setiap pelanggaran atas perkawinan merupakan suatu tindakan imoral karena menyangkut nilai dasar hidup manusia. Dengan pendasaran ini, muncul suatu keyakinan bahwa jauh sebelum nilai-nilai Injili ditanamkan dalam kehidupan masyarakat dayak Mualang, mereka mengerti sebuah perkawinan sebagai wujud cinta terhadap Tuhan, sesama, diri sendiri, alam semesta, dan roh para leluhur. Keluhuran perkawinan dimaknai dengan hormat kepada kesucian perkawinan itu sendiri. Masyarakat dayak Mualang memaknai suatu perkawinan sebagai suatu panggilan dan hanya satu kali untuk selamanya. 3.3.1. Perkawinan Merupakan Suatu Panggilan Keluhuran martabat perkawinan dalam pengertian masyarakat dayak Mualang bukan hanya sebatas menjalaninya sesuai dengan Hukum Adat yang diberlakukan. Mereka melihat bahwa perkawinan itu merupakan suatu panggilan. Panggilan apa. Panggilan bukan dibatasi dalam pengertian hidup selibater. Panggilan yang dimaksudkan ialah suatu bentuk tanggung jawab atas tugas yang telah dipercayakan kepada mereka. Dengan perkawinan mereka membaktikan hidup mereka seluruhnya, bukan demi kesenangan atau desakan hawa nafsu. Maka setiap bentuk penyelewengan dalam hidup perkawinan merupakan suatu kejahatan, bahkan ini bisa dijadikan label yang negatif bagi orang tersebut dalam pergaulannya sehari-hari, dan tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan ditolak oleh masyarakat. 3.3.2. Perkawinan Yang Satu Kali untuk Selamanya Keluhuran martabat perkawinan juga diungkapkan dalam penghayatan hidup perkawinan yang satu kali untuk selamanya. Masyarakat dayak Mualang menganut sistem perkawinan monogami. Maka sanksi yang diberlakukan bagi yang melakukan pernikahan lebih satu kali, apa lagi secara tidak sah menurut Hukum Adat (terlebih menurut ajaran moral kristiani), sangat berat. Sanksi yang paling berat adalah ia dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Ia boleh menikah lagi dengan alasan kematian yang disertai alasan-alasan yang memadai. Lantas bagaimana dengan perceraian, yang dibenarkan dalam tata Hukum Adat Perkawinan Dayak Mualang? Pandangan ini sudah tidak dibenarkan lagi. Alasannya, sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan ini, masyarkat dayak Mualang adalah Kristen (Katolik) yang mengimani ajaran Kristiani dalam segala aspek kehidupannya, termasuk perkawinan. Bahwa dalam upacara perkawinan masih ada proses Hukum Adat yang berlaku, itu benar, sejauh itu merupakan legalitas dan dalam hubungannya dengan kepemerintahan. Bagaimanapun suatu adat tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Yang ditinggalkan adalah nilai-nilai yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Dengan terang iman Kristiani, masyarakat dayak Mualang menganut suatu perkawinan yang satu kali untuk selamanya. Dengan demikian tidak boleh bercerai, kecuali karena kematian. Di sinilah peran dan pembaharuan Injili, di mana nilai Kristiani lebih meresap dalam segala aspek kehidupan. 4. Aplikasi dan Kontekstualisasi Injil Dalam Budaya Kita telah melihat bagaimana sumbangan nilai-nilai Injili dalam tata hidup masyarakat dayak Mualang. Penggandengan nilai Kristiani dan Hukum Adat merupakan suatu dampak perubahan yang meresapi aspak aspek hidup, misalnya dalam lingkungan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan juga religiousitas masyarakat dayak Mualang. Ada dua hal yang merupakan hasil pertautan antara nilai-nilai Injili dan Hukum Adat bagi masyarakat dayak Mualang: Pertama, menyangkut perubahan tata strktur kehidupan. Maksudnya, masyarakat dayak Mualang menerima perubahan itu dan melaksanakannya, bukan karena suatu keterpaksaan, melainkan karena mereka dituntun kepada suatu pembaharuan di segala aspek kehidupan. Kedua, perubahan ini ternyata tidak melepaskan masyarakat dayak Mualang dari adat-istiadat yang merupakan warisan para leluhur. Identitas mereka justru ditampakkan di sana, karena bagaimana pun esensi nilai suatu budaya tidak mungkin hilang begitu saja. Agama dan budaya itu memang harus bisa berjalan bersama untuk mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik. PENUTUP Keberadaan suatu suku bangsa memang tidak bisa dilepaskan dari adat istiadat yang menjadi jati diri dan identitasnya. Namun ternyata dalam perjalanannya ia mengalami suatu perubahan yang cukup mendasar. Hal ini dialami oleh masyarakat dayak Mualang. Dengan masuknya agama Katolik yang menyebarkan ajaran Kristiani, segala nilai yang telah ditanamkan oleh adat-istiadat leluhur mengalami perombakan bahkan di segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah pergeseran nilai yang ditanamkan dalam Hukum Adat Perkawinan Dayak Mualang, terutama tentang sanksi dan perceraian yang dibenarkan oleh hukum itu dengan alasan yang memadai. Tetapi masuknya nilai-nilai Injil bukanlah suatu ancaman bagi kelestarian budaya setempat. Ini dibuktikan bahwa sampai sekarang masyarakat dayak Mualang masih meyakini nilai-nilai adat leluhur sebagai suatu nilai yang ‘mendidik’ dan patut di hormati. Mereka berusaha mengimbanginya dengan tuntutan jaman yang semakin maju. Maka dari kenyataan ini, penulis mau mengatakan bahwa Injil bukanlah suatu ‘bom’ yang memusnahkan nilai budaya leluhur. Hanya tergantung bagaimana orang menjalaninya dalam keseharian hidupnya. Sejauh mana ia menyadari bahwa antara nilai-nilai kebenaran suatu agama dan budaya setempat membentuknya, dan bagaimana ia berperan di sana sebagai salah satu bagian dari budayanya itu.
Posted on: Sun, 28 Jul 2013 05:59:17 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015