Tidak ada satu pun catatan yang pasti dari para sejarawan tentang - TopicsExpress



          

Tidak ada satu pun catatan yang pasti dari para sejarawan tentang berapa usia keberadaan Kesultanan Bima. Hal itu disebabkan oleh perbedaan versi-versi tafsiran para ahli tentang sumber referensi historis yang menjadi rujukannya. Mungkin yang paling pelik ialah menetapkan kapan permulaan Kesultanan Bima berdiri dan mendapat pengakuan resmi. Pernyataan ini pun menjadi ironi di tengah kegamangan eksistensi kita sebagai generasi Bima masa kini yang menghendaki adanya ketegasan-ketegasan historis baik secara tekstual maupun kontekstual. Mempermasalahkan pengakuan sama halnya menarik keterlibatan pihak ketiga dalam riwayat kesultanan ini. Tentang awal mula Kesultanan Bima berdiri, maka ada dua pihak yang selalu disebut- sebut dalam hampir semua catatan sejarah kita. Yakni Kerajaan Gowa dan Pemerintah HindiaBelanda. Pemerintah Belanda. Keduanya berperan penting dalam perbincangan sejarah Bima. Belanda sendiri pada masa itu tidaklah harus dilihat dalam proporsinya sebagai Imperialis, tetapi lebih sebagai pendatang baru di gugus nusantara menggantikan hegemoni Portugis. Catatan lama pelaut Belanda Stephen Van Hagen yang bertarikh tahun 1605 misalnya, menceritakan sedikit tentang kontaknya dengan masyarakat pesisir Bima. Secara terminologis, kesultanan adalah sebuah daerah yang dihuni oleh masyarakat banyak, dipimpin oleh seorang Raja yang disebut Sultan, dengan menerapkan sistem pemerintahan monarki berdasar garis keturunan, serta memberlakukan hukum- hukum yang berdasarkan Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad para Ulama secara mutlak dalam batas-batas wilayah kekuasaanya. Postingan sederhana saya kali ini akan mencoba untuk menelisik tentang berapa lama Kesultanan Bima ini berdiri, baik secara de jure maupun de facto. PERIODE LAHIR Sedikitnya hanya dua catatan yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui kapan awal mula Kesultanan Bima ini berdiri. Pertama, menurut catatan Noorduyn, La Kai masuk Islam pada tanggal 7 Februari 1621. Kedua, tanggal mangkatnya Sultan Abdul Kahir Ma ‘Bata Wadu dalam naskah Melayu Bo’ ialah 15 Rabbiul Awwal 1050 H, momentum ini kemudian juga selanjutnya direfleksikan oleh Sultan Abi’l Khair Sirajuddin sebagai tanggal masuknya Islam di Bima sekaligus perayaan Maulid Nabi, perayaan ini dikemas dalam bentuk Ua Pua yang berisi dzikir maulid (pembacaan barzanji) dan penghormatan kepada guru-guru agama keturunan Melayu. Saya sendiri sejauh ini menerima bahwa secara de facto, Kesultanan Bima itu berdiri seiring dengan penobatan La Kai sebagai Raja baru di tanah Bima menggantikan pemerintahan syiwaistis nagari Bima yang selama ini berkuasa. Saya sedari awal tidak meletakkan bahwa sosok La Kai sebagai Muallaf yang menjadi muslim atas dakwah Gowa, tetapi La Kai dari segi nama saja memang terlahir sebagai Abdul Kahir, putera dari tokoh penting ber-trah bangsawan di kerajaan Bima yang lebih dulu masuk Islam. Sehingga tanggal 7 Februari yang ditulis oleh Noorduyn lebih saya pahami sebagai tanggal pengukuhan Abdul Kahir sebagai Sultan, mengikuti tradisi Gowa yang sudah dua belas tahun lebih awal menjadi kerajaan Islam. Pada masa kepemimpinan Abdul Kahir ini, Bima masih harus sibuk menghadapi pemberontakan internal dan penataan (restrukturisasi) kerajaan, bahkan tahun 1633 kepemimpinan Abdul Kahir diserang oleh rakyatnya sendiri atas bantuan dari Raja Dompu. Sehingga pada masa Abdul Kahir, kesultanan Bima sedang dalam fase perintisan. Sedangkan secara de jure, penerapan hukum-hukum Islam dan penegakan konstitusi yang diadopsi dari Gowa baru resmi dijalankan setelah Sultan Abdul Kahir mangkat, itu pun puteranya Abil Khair Sirajuddin dilantik menjadi Sultan pada saat berusia sebelas tahun. Boleh jadi, pengelolaan administrasi kerajaan dilakukan secara kolektif kolegial oleh perangkat-perangkat Kesultanan lain seperti Tureli Nggampo dan para Bumi. Jadi, saya menyimpulkan, secara de facto Kesultanan Bima berdiri pada tanggal 7 Februari 1621. Sedangkan secara de jure, kesultanan ini berdiri pada tanggal 15 Rabbiul Awwal 1050 Hijriyyah, atau menurut konversi H. Abdullah Tajib, BA (mantan Ketua DPRD Kab. Bima) bertepatan dengan 5 Juli 1640. PERIODE AKHIR Menentukan kapan berakhirnya periode Kesultanan di Bima membutuhkan sebuah kehati- hatian, karena bukan mustahil hal tersebut akan memantik perdebatan baru. Saya menulis ini tidak lain dengan tujuan menampilkan fakta sejarah yang sudah tersaji, dengan mempertimbangkan aspek- aspek rasionalitas berdasarkan teks. Dalam hal menentukan kapan berakhirnya era itu, maka kita dihadapkan pada ranah de facto dan de jure sekaligus. De Jure maksudnya sesuai dengan catatan resmi secara tekstual yang diakui oleh banyak orang, atau dalam istilah kita berkedudukan hukum legal-formal. Sedangkan De Facto ialah penegasan secara faktual dari banyak aspek semisal historiografi, filosofi, sosiologi dan pengakuan khalayak yang kemudian diterima sebagai realita sosial. Dalam beberapa referensi sejarah, Sultan Bima terakhir adalah Sultan Muhammad Salahuddin. Meskipun catatan semasa pemerintahan beliau lebih banyak diperoleh dari rangkuman perjuangan semasa hidupnya. Sedangkan Sultan-sultan yang dicatat dalam Bo Sangaji Kai, terhitung dari Sultan Abil Khair Sirajuddin sampai Sultan Ismail. Besar kemungkinan, pasca letusan Tambora tahun 1815, penulisan catatan resmi Kesultanan praktis berhenti, sehingga ada beberapa Sultan yang tidak diceritakan secara jelas masa pemerintahannya. Berbicara tentang kapan berakhirnya Kesultanan Bima, maka itu sama halnya mencari tahu kapan Kabupaten Bima ini berdiri. ‘Berdiri’ dalam artian dicatat sebagai lembaran negara dan ditetapkan oleh konstitusi resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena dengan menyepakati tanggal berdirinya pemerintahan kabupaten Bima, maka secara de jure kita sepakat juga bahwa Kesultanan Bima telah berakhir, karena hukum- hukum yang menjadi konstitusi kesultanan sudah tidak berlaku lagi, meskipun secara kultural, masyarakat Bima masih menerapkan pranata lama dan kontak- kontak sosial yang tardisional mengikuti kelaziman sebelumnya. Menurut H. Abdullah Tajib, BA dalam buku Sejarah Bima Dana Mbojo, bahwa tanggal 2 Oktober 1950 merupakan tonggak berdirinya Daerah Swapraja Bima, Daerah Swatantra Tingkat II Bima dan Daerah Swapraja Tingkat II Bima, berdasarkan Undang- Undang NIT No. 44 / 1950 (Pada tahun yang sama pula, Sri Sultan Bima Muhammad Salahuddin Bin Ibrahim juga mangkat di Jakarta) Maka secara de jure, Kesultanan Bima berakhir seiring dengan penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar yang digelar pada bulan Oktober 1949, serta rekomendasi pembentukan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 (Selanjutnya disusul dengan pemberlakuan Undang-Undang NIT tentang Daerah Tingkat II Bima tahun 1950) Satu hal yang tidak boleh kita abaikan pula ialah eksistensi Kesultanan yang bergerak secara kultural dan secara de facto kemudian hari. Meskipun Sultan Muhammad Salahuddin telah mangkat, dan Kerajaan Bima telah berubah status menjadi Daerah Swapraja Tingkat II Bima, tetapi Putera Abdul Kahir yang merupakan putera beliau sudah dilantik menjadi Raja Muda (Ruma Jenateke) pada tanggal 13 November 1945. Ini menjadi isyarat bahwa Sultan Salahuddin masih menghendaki agar Kesultanan (nilai-nilai lama) tetap diterapkan dalam daerah Bima walaupun secara de jure tetap menjadi bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Putera Abdul Kahir selaku Raja Muda kemudian dilantik menjadi Bupati Daerah Tingkat II Bima pada tahun 1958. Setahun sesudah beliau mangkat pada tahun 2001, Majelis Hadat Bima menggagas upacara adat Pengukuhan Sultan Bima Putera H. Abdul Kahir pada tahun 2002 di halaman ASI Mbojo dalam sebuah perhelatan besar, sekaligus penobatan Ferry Zulkarnain menjadi Jenateke (Raja Muda) dan Drs. H. Harun Al Rasyid sebagai Rato Bicara, serta beberapa pejabat hadat lainnya dalam lingkup ‘kesultanan Bima’. Sehingga secara de facto, Kesultanan Bima berakhir pada tahun 2001 seiring mangkatnya H. Abdul Kahir, yang setahun kemudian dikukuhkan sebagai Sultan (anumerta). DARI KAHIR KE KAHIR Bagi saya, periodesasi Kesultanan Bima mengisyaratkan sebuah transmisi mistik yang kuat, yang dapat ditelusuri dengan perspektif fenomenologis. Jika kita merujuk secara de jure, maka Kesultanan Bima ini berjalan selama 309 tahun (5 Juli 1640 - 27 Desember 1949). Rentang waktu 309 tahun mengingatkan kita pada lamanya waktu Ashabul Kahfi terlelap dalam goa. Selama 309 tahun ini, Kesultanan Bima dipimpin oleh 13 Sultan yang dimulai oleh Abi’l Khair Sirajuddin dan berakhir pada Sultan Muhammad Salahuddin. Sedangkan secara de facto, kesultanan Bima berdiri tegak selama 379 tahun (7 Februari 1621 – 4 Mei 2001), dengan menetapkan bahwa periode Abdul Kahir I (1633 – 1640) sebagai periode rintisan (periods of genesis), dan periode Abdul Kahir II (1958 – 2001) sebagai periode akhir (periods of breakdown). Selama 379 tahun itu pula Kesultanan Bima dipandu, dipimpin dan dibangun oleh 15 Sultan, yang secara kebetulan Sultan pertama dan terakhir bernama sama, yakni Abdul Kahir. Kita menyebutnya secara kebetulan, padahal semua ini adalah skenario Allah bagi tanah Bima. Coba perhatikan di Bukit Danatraha, bukankah hanya ada dua Sultan yang dimakamkan di sana dengan makam yang bersanding di timur dan barat (?). Bukankah keduanya bernama sama, yakni Abdul Kahir. Makam bernisan batu di sebelah timur adalah Abdul Kahir Ma’bata Wadu, Sultan pertama yang memulai dan merintis Kesultanan Bima. Di sebelah baratnya terdapat makam berpagar ukiran kayu, adalah tempat peristirahatan Abdul Kahir Mawa’a Busi ro Mawo, yakni Sultan Bima yang terakhir. Semoga postingan singkat ini dapat menggairahkan kembali semangat kita untuk mencintai sejarah tanah leluhur yang hebat ini, sekaligus menuntun hati kita untuk senantiasa mengenang dan mendoakan arwah-arwah para Sultan yang telah bersusah payah membangun daerah ini selama hampir empat abad lamanya. Sekiranya kita sebagai generasi masa kini yang hidup di zaman yang jauh dari mereka, bersedia untuk menceritakan ini secara turun temurun kepada anak cucu kita, lalu mengajak anak-anak dan adik-adik kita untuk mengidolakan para Sultannya sendiri, mengambil sisi manfaat dan hikmah yang baik untuk diterapkan dalam perikehidupan kita yang sarat dengan kemajuan teknologi. Bagaimana pun juga, sejarah selalu berbicara dengan gaya dan tempatnya yang tepat secara bijaksana, sejarah adalah pusaka termahal bagi anak-anak bangsa yang menjadikan masa lalunya sebagai cermin tindak bagi hari ini dan masa depan. The Emperor Of Bimanese, Begin by Kahir, End by Kahir.
Posted on: Thu, 04 Jul 2013 17:17:46 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015