Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Bodhisattva Karya: - TopicsExpress



          

Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Bodhisattva Karya: Bodhisattva Wu Zhuo Xian (Thogmey Zangpo) Alih bahasa dari Bahasa Tibet ke Bahasa Mandarin: Master Zhixue (智学法师) Alih bahasa dari Bahasa Mandarin ke Bahasa Indonesia: Tjahyono Wijaya Buku ini secara khusus dipersembahkan kepada semua teman bajik yang telah menghadirkan berbagai macam kondisi perusak yang tidak menyenangkan untuk membantu kemajuan pelatihan batin di Jalan Bodhi. KATA PENGANTAR “Putra Buddha” adalah nama lain dari Bodhisattva, karena dalam beberapa Sutra Mahayana menyebut Bodhisattva sebagai “adalah putra sulung para Buddha”. Selain itu, Bodhisattva juga bisa disebut sebagai “Ibu para Buddha”, karena dalam beberapa Sutra Mahayana menyebutkan bahwa “para Buddha terlahir dari Bodhisattva”. Oleh sebab itu, Praktik Bodhisattva bisa disebut sebagai “Praktik Putra Buddha”, juga bisa disebut “Praktik Ibu Buddha”. Meski memiliki nama yang berbeda bak langit dan bumi, namun pada hakikatnya adalah sama. Singkatnya, praktik Putra Buddha adalah praktik “kesabaran tertinggi” dan “paling sulit” yang dijalankan oleh para Buddha semasa masih menjadi Bodhisattva. Praktik Mahayana yang paling menuntut kesabaran dan paling sulit dijalankan adalah tidak mencampakkan bodhicitta. Karena “tidak mencampakkan bodhicitta” itu berarti “tidak mencampakkan makhluk hidup”, sedangkan “tidak mencampakkan makhluk hidup” berarti Anda tidak boleh mencampakkan makhluk hidup jahat, yang ibaratnya ibu kandung sendiri, yang menghalangi, menghina, atau bahkan mungkin membunuh Anda berulang kali. Di saat muncul kondisi pendukung yang menyenangkan, penghalang terbesar dalam pencapaian KeBuddhaan adalah – keakuan. Mara satu ini mudah menipu kita dengan berpura-pura tampil sebagai seorang yang santun dan agung, dengan demikian mudah bergaul dan menjadi teman kita. Sedangkan di saat muncul kondisi yang merusak yang tidak menyenangkan, ketika seseorang memancing kemarahan Anda sehingga Anda mengumpat, berteriak, mengepalkan tinju, atau bahkan membuat Anda menarik pedang dari sarungnya, saat itu harus disadari bahwa Mara keakuan yang “berlagak santun” itu sudah mulai menampakkan wujud aslinya, mulai melepaskan kedok wajahnya yang amat sangat menyeramkan dan tersembunyi itu. Saat itu Anda harus mawas diri dan mengingat ajaran “Syair Pujian Praktik Bodhisattva”, lepaskan kepalan tinju Anda, buang pedang Anda, berlututlah dengan penuh penyesalan, lalu setulus hati berterima kasihlah kepada orang yang membantu Anda mengekspos Mara keakuan. Orang itu adalah juru penolong Anda yang sejati, jangan menganggapnya sebagai penghalang pelatihan batin Anda. — Zhixue Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Judul buku ini “佛子行三十七颂 Fo Zi Xing San Shi Qi Song”, yang secara harfiah berarti “Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Putra Buddha”. Seperti yang dijelaskan dalam Kata Pengantar ini, “Putra Buddha” adalah nama lain dari Bodhisattva. Selain itu, mengingat bahwa sebutan “Bodhisattva” lebih umum dibandingkan “Putra Buddha”, maka alih bahasa ke Bahasa Indonesia menggunakan istilah Bodhisattva, sehingga judul buku ini menjadi: “Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Bodhisattva”. PETUNJUK TENTANG PENERJEMAHAN DAN PENJELASAN 1. Bagian Syair Pujian menekankan kelancaran pembacaan, untuk aksara yang tidak sesuai dengan naskah asli Bahasa Tibet, ditandai dengan garis bawah putus-putus “_ _ _”. Jika ingin mengetahui teks aslinya, pembaca bisa membacanya di bagian Bait Panjang yang ditandai dengan garis bawah putus-putus. 2. Bagian Bait Panjang [berbentuk prosa/puisi bebas] membantu pembaca untuk dapat memahami dengan benar makna sesungguhnya dari naskah asli Bahasa Tibet. Ini merupakan bagian tambahan yang menampilkan makna tersirat dari naskah asli, pun demi kelancaran pembacaan dan pemahaman isi syair. Tambahan yang diberikan ditandai dengan kurung kurawal ( ). 3. Bagian Petunjuk Pembacaan, bukan merupakan penjelasan yang detail, melainkan penjelasan singkat tentang hubungan antar bait-bait syair, juga menjelaskan beberapa pandangan dari penerjemah Bahasa Mandarin. 4. Bagian Penjelasan Penerjemahan, memperbandingkan antara versi terjemahan lama dan baru, pun menampilkan beberapa pandangan penerjemah tentang terjemahan Mandarin yang lebih akurat, sebagai ajang diskusi demi kesempurnaan lebih lanjut. 5. Oleh karena “Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Bodhisattva” ini berasal dari “Bodhicharyavatara (Sastra Memasuki Praktik Bodhisattva)”, adalah satu sistem “pelatihan batin” yang sama dengan “Delapan Syair Pujian Pelatihan Batin” dan “Tujuh Jenjang Sebab Akibat” hasil karya para sesepuh Sekte Kadam, maka di bagian Petunjuk Pembacaan, penerjemah Mandarin berulang kali menganjurkan pembaca untuk juga membaca beberapa Sastra di atas yang berkaitan dengan buku ini. Namun ini bukan berarti bahwa semua Sastra di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam menjelaskan makna “Tiga Puluh Tujuh Syair Pujian Praktik Bodhisattva”. Sebenarnya, metode ajaran Buddhisme Tiongkok dan Tibet, serta “Lam-rim (Jalan Bodhi Berjenjang)” dari berbagai Sekte, semua itu dapat membantu kita dalam memahami dan memperluas makna buku ini. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia 1. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, demi kelancaran pembacaan, penerjemah tidak menampilkan garis bawah putus-putus maupun tanda kurung kurawal seperti yang tersebut di poin 1 dan 2 di atas. 2. Demikian pula bagian Penjelasan Penerjemahan tidak diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Indonesia, mengingat bagian ini menekankan pada perbandingan dan pembahasan antara terjemahan Mandarin yang telah ada sebelumnya dengan terjemahan versi Master Zhixue ini. 3. Untuk bagian “Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia” adalah penjelasan tambahan dari penerjemah Bahasa Indonesia mengenai makna syair dalam buku ini, maupun istilah dan Sastra referensi yang dianjurkan oleh Master Zhixue. Selain itu, jika di bagian Syair Pujian dan Bait Panjang terdapat huruf atau kalimat dalam kurung < >, itu adalah tambahan singkat dari penerjemah Bahasa Indonesia. PEMBUKA A. Syair Pujian Perlindungan dan Penghormatan, Memuji Guru dan Bodhisattva Avalokitesvara Yang Mulia menampak segala dharma tidak datang pun tidak pergi, Namun selalu berupaya melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi makhluk hidup, Oleh sebab itu di hadapan Guru Mulia dan Bodhisattva Avalokitesvara, Berikrar senantiasa memberi hormat melalui tiga pintu gerbang! Bait Panjang Kalian yang termuliakan meski telah melihat bahwa wujud sejati segala dharma itu tidak datang dari mana pun, juga tidak pergi ke mana pun, namun senantiasa tekun berusaha tiada henti melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, terhadap Guru Mulia dan Bodhisattva Avalokitesvara yang memiliki sifat mulia ini, saya akan selalu bernamaskara dengan penuh hormat melalui tiga pintu gerbang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran! Petunjuk Pembacaan Syair ini disebut sebagai “Syair Pujian Perlindungan dan Penghormatan”, adalah sebuah ritual konvensional yang lazim diterapkan para Guru Sastra di India dan Tibet sebelum memberikan penjelasan Sastra. Ini adalah perwujudan penghormatan terhadap Guru dan Dharma dalam Buddhisme. Dua bait awal dari syair pujian pada umumnya merupakan pujian terhadap keluhuran Guru dan Buddha (Bodhisattva), yang juga merupakan penjelasan mengapa dalam dua bait terakhir kita melakukan penghormatan kepada Guru dan Buddha (Bodhisattva). Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Sastra adalah penjelasan dan analisa tentang Sutra Buddhis (Buddha Dharma). B. Sebab Musabab Penggubahan Syair Pujian Manfaat dan kebahagiaan berasal dari Buddha yang mencapai Pencerahan Sempurna, Terlahir dari praktik Dharma yang benar, Praktik Dharma harus memahami metode praktik yang benar, Oleh sebab itu dibabarkanlah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Manfaat dan kebahagiaan bagi diri sendiri maupun makhluk lain adalah berasal dari para Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna. Mereka, , terlahir dari menjalankan praktik Dharma yang benar dan indah. Selain itu, jika ingin menjalankan praktik Dharma yang benar maka harus paham akan metode praktik yang dijalankan. Oleh sebab itu, berikut ini saya akan membabarkan metode praktik yang harus dijalankan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Syair ini menjelaskan tentang “sebab musabab digubahnya syair ini”. Penggubahnya memulai pembabaran Dharma ini dari tujuan akhir tradisi Mahayana yaitu Buddha [yang terlahir dari praktik Dharma]. Kemudian dari sini menuju pada “praktik Dharma harus memahami metode praktik yang benar”, kemudian lebih jauh lagi dijelaskan tentang pentingnya “dibabarkanlah Praktik Bodhisattva”. 1. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (1) Bebas Sempurna Bermakna Mulia Dalam kehidupan saat kini beruntung memperoleh kapal bebas sempurna, Harus menyeberangkan diri sendiri dan makhluk lain keluar dari samudra tiga alam, Oleh sebab itu siang dan malam tidak tergoyahkan pun tidak bermalas-malasan, Mendengarkan, merenungkan, dan menerapkan adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Kapal tubuh manusia yang bebas dan sempurna adalah sangat sulit didapatkan. Ketika beruntung mendapatkan kondisi bebas sempurna ini, harus berusaha agar diri sendiri dan makhluk lain dapat menyeberangi samudra tumimbal lahir. Oleh sebab itu, siang dan malam kita harus menjaga agar pikiran tidak tergoyahkan dan tidak bermalas-malasan. Mendengarkan, merenungkan, dan menerapkan Buddha Dharma, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Makna syair ini adalah menjelaskan bahwa ketika sangat beruntung bisa memperoleh tubuh manusia bebas sempurna yang sulit didapatkan, kemudian agar supaya diri sendiri serta makhluk lain terbebas dari samudra tumimbal lahir, maka para Bodhisattva hendaknya siang dan malam tiada henti giat mendengarkan, merenungkan, dan menerapkan Buddha Dharma. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia 1. “Bebas” adalah mempunyai waktu dan kondisi untuk melakukan praktik Dharma, sedangkan “sempurna” adalah mendengarkan dan yakin pada Buddha Dharma. 2. Tiga alam adalah Alam Nafsu, Alam Wujud (Rupa), dan Alam Tanpa Wujud (Arupa). a. Alam Nafsu adalah alam kehidupan para makhluk yang memiliki wujud tubuh dan terikat pada nafsu pemuasan panca indera. Nafsu terbesar yang membuat terciptanya alam ini adalah nafsu terhadap makanan dan hubungan seksual. Alam Nafsu ini meliputi alam kehidupan manusia, hewan, hantu, neraka, asura, dan 6 alam dewa/surga. Alam dewa yang tergolong dalam Alam Nafsu, berjenjang dari bawah ke atas, yaitu: Alam Empat Raja Dewa, Alam Tiga Puluh Tiga Dewa, Alam Yama, Alam Tusita, Alam Nirmanarati, dan Alam Paranirmitavasavartin. Mereka yang melakukan praktik sila dan kebajikan akan terlahir di alam-alam dewa/surga Alam Nafsu ini. b. Alam Wujud adalah alam kehidupan di atas Alam Nafsu, para Brahma penghuni alam ini meskipun memiliki wujud tubuh namun tanpa perbedaan jenis kelamin. Mereka yang melakukan praktik meditasi Dhyana (Pali: Jhana) akan terlahir di Alam Wujud yang terdiri dari empat Alam Dhyana, dengan total 18 alam, namun ada juga yang menyebutkan 16 alam. Alam Dhyana Pertama, para makhluk hidup di alam ini tidak lagi memerlukan makanan seperti di Alam Nafsu sebab itu tidak memiliki indera hidung dan lidah. Mereka merasakan kenikmatan melalui indera mata, telinga, dan kulit, serta merasakan perasaan menyenangkan melalui kesadaran batin. Alam Dhyana Kedua, para Brahma di alam ini tidak memiliki panca indera, yang ada hanya kesadaran batin yang bisa merasakan perasaan menyenangkan dan netral (bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan). Alam Dhyana Ketiga, kondisinya hampir mirip dengan Alam Dhyana Kedua, namun perasaan menyenangkan yang mereka alami jauh lebih murni dan menyenangkan. Alam Dhyana Keempat, para Makhluk hidup di alam ini tidak memiliki panca indera, yang ada hanya kesadaran batin yang bisa merasakan perasaan netral (bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan). Ketika datang tiga bencana besar yang menghancurkan sistem tata surya, hanya Alam Dhyana Keempat yang terhindar dari bencana api, air, dan angin yang maha dahsyat itu. Bencana api dahsyat yang disebabkan oleh menumpuknya kebencian akan membakar alam-alam kehidupan hingga Alam Dhyana Pertama. Setelah itu, bencana air dahsyat yang timbul dari timbunan keserakahan akan menenggelamkan alam-alam kehidupan hingga Alam Dhyana Kedua. Setelah bencana api dan air datang silih berganti selama 63 kalpa, pada kalpa ke-64 datanglah bencana angin dahsyat, yang merupakan buah dari kebodohan batin, menyapu alam-alam kehidupan hingga Alam Dhyana Ketiga. c. Alam Tanpa Wujud adalah alam kehidupan di atas Alam Wujud, hanya memiliki kesadaran batin, tanpa wujud tubuh, sehingga tidak lagi membutuhkan istana dewa ataupun tempat tinggal. Mereka yang melakukan praktik meditasi tanpa wujud kekosongan tiada batas akan terlahir di alam ini. Alam Tanpa Wujud ini terdiri dari 4 alam yang berbeda dalam panjangnya usia kehidupan, mulai dari 20 ribu kalpa, 40 ribu kalpa, 60 ribu kalpa, hingga 80 ribu kalpa. 2. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (2) Meninggalkan Kampung Halaman Rasa cinta terhadap keluarga bagaikan air yang bergolak, Kebencian terhadap musuh seperti api yang berkobar, Kebodohan batin yang melupakan prinsip menerima dan menolak itu memiliki sifat kegelapan, Oleh sebab itu meninggalkan kampung halaman adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Di kala berada di kampung halaman, rasa cinta terhadap keluarga ibaratnya air atau ombak yang bergolak, menyebabkan batin kita bergejolak, sehingga pikiran dan emosi sulit menjadi tenang. Sedangkan kebencian terhadap musuh laksana bara api yang berkobar-kobar, membuat kita gelisah dan pikiran kalut. Dalam kondisi tidak tamak dan tidak membenci, serta tidak menerima pun tidak menolak, barulah akhirnya bisa menenangkan diri, namun kebodohan batin yang melupakan prinsip apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan ini juga memiliki sifat kegelapan. Dari sini dapat diketahui bahwa kita hendaknya meninggalkan kampung halaman yang mudah menyebabkan timbulnya tiga racun kekotoran batin, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Setelah memahami “bebas sempurna bermakna mulia”, demi melancarkan praktik pelatihan diri maka kita harus membuang segala hal yang bisa merusak terwujudnya tujuan pelatihan diri itu. Maka dari itu, penggubah syair ini selanjutnya menganjurkan kita untuk meninggalkan kampung halaman yang relatif sarat akan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, itulah yang disebut “meninggalkan kampung halaman”. Syair pujian ini diawali dengan penjelasan betapa berbahayanya kampung halaman terhadap praktik yang kita lakukan karena sangat mudah menimbulkan tiga racun kekotoran batin, yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Akhirnya, kesimpulan yang dibuat oleh penggubah syair adalah: “Oleh sebab itu meninggalkan kampung halaman adalah Praktik Bodhisattva.” Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Rasa cinta yang disebutkan dalam syair ini adalah salah satu bentuk keserakahan. 3. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (3) Berdiam di Tempat Sunyi Meninggalkan lingkungan yang buruk maka kekotoran batin berangsur-angsur berkurang, Tidak memiliki pikiran yang kacau maka perbuatan bajik akan bertambah dengan sendirinya, Kesadaran batin yang jernih di dalam Dharma membangkitkan pengertian benar yang tidak tergoyahkan, Oleh sebab itu berdiam di tempat sunyi adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Jikalau berdiam di tempat yang sunyi, oleh karena meninggalkan lingkungan yang buruk maka kekotoran batin juga akan berangsur-angsur berkurang. Jikalau berdiam di tempat yang sunyi, oleh karena tidak lagi memiliki pikiran yang kacau maka perbuatan bajik juga akan bertambah dengan sendirinya. Selain itu, oleh karena lingkungan dapat menjernihkan pikiran maka kesadaran batin juga akan berubah menjadi jernih. Oleh karena jernihnya kesadaran batin maka terhadap Dharma akan dengan mudah timbul pengertian benar. Oleh sebab itu, bisa diketahui bahwa berdiam di tempat sunyi memiliki beberapa manfaat seperti tersebut di atas, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Setelah “meninggalkan kampung halaman”, selanjutnya kita harus berusaha menuju tempat yang mendukung bagi terkikisnya kekotoran batin dan bertumbuhnya perbuatan bajik demi tercapainya tujuan “bebas sempurna bermakna mulia”. Sebab itu, selanjutnya penggubah syair menganjurkan kita untuk “berdiam di tempat sunyi”. Syair pujian ini menjelaskan manfaat yang diperoleh dari berdiam di tempat sunyi, dimulai dari penjelasan tentang manfaat “terkikisnya kekotoran batin”, “bertumbuhnya perbuatan bajik”, dan “jernihnya kesadaran batin”, kemudian melalui penalaran yang logis, akhirnya penggubah syair memberitahu kita: “Oleh sebab itu berdiam di tempat sunyi adalah Praktik Bodhisattva.” 4. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (4) Melepaskan Kehidupan Duniawi Saat Kini Keluarga dan teman yang demikian lama hidup berdampingan tetap harus berpisah, Harta yang dikumpulkan dengan rajin akhirnya ditinggalkan, Tamu kesadaran batin tetap harus meninggalkan rumah tubuh jasmani, Oleh sebab itu melepaskan kehidupan duniawi saat kini adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Sanak keluarga dan sahabat karib yang begitu lama hidup berdampingan pada akhirnya akan berpisah menempuh jalannya sendiri-sendiri. Pada saat itu, harta benda yang diperoleh dengan susah payah melalui tetesan keringat dan darah yang tak terhitung banyaknya, meskipun tidak rela, tetapi semua itu tetap harus ditinggalkan, lalu seorang diri berjalan pergi. Saat akhir kehidupan telah tiba, kesadaran batin yang merupakan tamu yang terombang-ambing dalam siklus kelahiran dan kematian, pada akhirnya bahkan tubuh jasmani yang merupakan rumah sementara ini juga harus ditinggalkannya tanpa kompromi. Dari sini dapat diketahui bahwa tamak mengejar kenikmatan kehidupan duniawi yang hanya sekejap ini benar-benar tidak ada artinya sama sekali, sebab itu, kita harus melepaskan kehidupan duniawi saat kini, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Meski dapat melaksanakan “berdiam di tempat sunyi”, tetapi jika tidak membuang pikiran tidak benar yang mencintai kehidupan saat kini, hati kita tetap saja tidak akan bisa tenang, inilah yang disebut “bermeditasi di gunung yang terpencil, tetapi percuma tiada hasil.” Oleh sebab itu, adalah sangat penting berdiam di tempat sunyi dengan pikiran yang melepaskan kehidupan duniawi saat kini, sedikit keinginan, dan tahu rasa puas. Maka itu, penggubah syair menasihati kita mulai dari pembicaraan tentang prinsip ketidakkekalan “yang bersatu pasti akan berpisah, yang berkumpul pasti akan tercerai berai, yang hidup pasti akan mati”, menganjurkan kita harus “melepaskan kehidupan duniawi saat kini”, lalu dengan sepenuh hati mewujudkan “bebas sempurna bermakna mulia”. 5. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (5) Meninggalkan Teman Buruk Jika berteman tetapi menyebabkan bertumbuhnya tiga racun, Pun merusak praktik mendengarkan, merenungkan, dan menerapkan, Teman buruk yang menyebabkan hilangnya cinta kasih dan welas asih ini, Putuskan untuk meninggalkannya adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Jika berteman dan bergaul dengan seseorang bisa menyebabkan bertumbuhnya tiga racun kekotoran batin dalam diri kita, pun bisa menyebabkan praktik mendengarkan, merenungkan, dan menerapkan Buddha Dharma menjadi merosot karenanya, jika demikian, saat ini juga kita harus secara tegas dan tidak ragu meninggalkan teman buruk yang dapat membuat kita kehilangan kebajikan cinta kasih dan welas asih itu, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Tiga racun adalah keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Disebut juga tiga akar kejahatan. 6. Dasar Landasan Menapak Jalan Dharma (6) Bergaul dengan Teman Bajik Jika bersandar pada orang lain dan membuat kesalahan berangsur-angsur lenyap, Kebajikan bertumbuh lebih baik bagaikan bulan muda yang membesar, Teman bajik ini hendaknya dikasihi dan dihormati, Jauh melebihi terhadap diri sendiri adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Jika bersandar pada seseorang bisa menyebabkan kesalahan kita berangsur-angsur berkurang hingga akhirnya menjadi lenyap, pun bisa menyebabkan kebajikan kita bagaikan bulan muda yang membesar dengan cepat. Terhadap teman bajik yang memiliki sifat luhur ini, kita hendaknya mengasihi dan menghormatinya jauh lebih daripada mengasihi diri kita sendiri, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Meskipun kita untuk sementara waktu mampu “melepaskan kehidupan duniawi saat kini”, untuk sementara waktu berdiam di dalam kondisi batin yang tidak tergoyahkan oleh delapan kondisi duniawi, tetapi tetap saja ada kemungkinan kekuatan pengaruh buruk yang besar masih bisa mengacaukan pikiran melepaskan kehidupan duniawi yang baru mulai tumbuh itu. Kekuatan buruk ini akan menarik batin murni kita kembali ke dunia yang ternoda sehingga untuk kesekian kalinya kembali terperosok ke dalam “delapan kondisi duniawi” yang menakutkan itu. Oleh sebab itu, penggubah syair dengan setulus hati menasihati kita harus bisa membedakan antara yang benar dan salah, pun mengerti kapan harus menerima dan kapan harus menolak, lalu meninggalkan teman buruk dan bergaul dengan teman bajik. Dengan demikian kita akan memperoleh kondisi pendukung yang dapat mewujudkan “bebas sempurna bermakna mulia”. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Delapan kondisi duniawi adalah: untung dan rugi, dicela dan dipuja, dihormati dan dihina, suka dan duka. 7. Memasuki Gerbang Agama Buddha Berlindung kepada Triratna Diri sendiri masih terbelenggu dalam penjara tumimbal lahir, Para dewa di alam tumimbal lahir dapat menyelamatkan siapa? Oleh sebab itu berlindung kepada yang sejati, Triratna yang mulia adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Diri sendiri masih terbelenggu dalam penjara tumimbal lahir, para dewa di alam tumimbal lahir juga mengalami hal yang sama, jadi siapa sesungguhnya yang bisa mereka selamatkan? Oleh sebab itu, tempat perlindungan yang tidak akan pernah mengelabui kita adalah Triratna yang langka dan mulia. Pergilah bernaung kepadaNya, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Yang Mulia Athisa berkata, “Perbedaan umat Buddha dan non-Buddha adalah terletak pada Trisarana.” Oleh sebab itu, meski telah melakukan beberapa kondisi seperti yang tercantum dalam 6 syair pujian sebelumnya, namun jika masih belum menerima Trisarana (berlindung kepada Triratna), maka juga tidak dapat dikatakan sebagai umat Buddha sejati. Oleh sebab itu, penggubah syair secara singkat membuktikan bahwa hanya Tiga Permata (Triratna) – Buddha, Dharma, Sangha – yang merupakan tempat perlindungan sejati. Lalu memberi kita petunjuk agar berlindung kepada Triratna, melangkah memasuki pintu gerbang Buddha Dharma dan melakukan pelatihan diri yang lebih mendalam. Berdasarkan pandangan Yang Mulia Athisa, ada atau tidak adanya Trisarana adalah parameter utama yang membedakan antara umat Buddha dan non-Buddha. Sebab itu, syair pujian ini dapat dikatakan adalah pintu gerbang memasuki agama Buddha. 8. Jalan Suciwan Tingkat Bawah Tidak Berbuat Jahat dan Mengembangkan Kebajikan Penderitaan yang sangat berat di alam sengsara, Sakyamuni mengatakan itu adalah buah perbuatan buruk, Oleh sebab itu meski menghadapi kondisi yang mengancam keselamatan jiwa, Selamanya tidak melakukan perbuatan buruk adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Penderitaan yang sangat berat di alam sengsara, Buddha Sakyamuni mengatakan itu adalah akibat yang muncul dari perbuatan buruk. Oleh sebab itu, kapan pun juga, jangan melakukan perbuatan buruk, meski untuk itu harus kehilangan nyawa, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Setelah memasuki pintu gerbang Buddhisme, kita harus belajar tentang dalil sebab akibat alam semesta, memahami prinsip sebab akibat “apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai, menanam semangka akan menuai semangka, menanam kacang akan menuai kacang”. Dengan pemahaman ini kita akan semakin yakin bahwa “penderitaan disebabkan oleh benih perbuatan jahat, kebahagiaan disebabkan oleh benih perbuatan bajik”. Maka dari itu, selanjutnya penggubah syair memberitahukan kepada kita cara agar tidak terperosok ke alam sengsara, yaitu dengan sepenuh tenaga menghindari perbuatan jahat dan berusaha menuai buah kebajikan di alam manusia dan dewa. Inilah inti sari dari ajaran Yang Mulia Atisha kepada para Bodhisattva mengenai bagaimana seharusnya berlatih “Jalan Suciwan Tingkat Bawah”. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia Jalan Suciwan Tingkat Bawah adalah praktik pelatihan diri yang menghantar pelaku praktisi menuju kehidupan di alam manusia dan alam dewa, terhindar dari kelahiran kembali di alam sengsara (hewan, hantu, neraka). Metode praktik yang dijalankan adalah menerima Trisarana, yakin akan hukum karma (hukum sebab akibat), menjalankan Lima Sila (tidak berbuat jahat), dan menerapkan Sepuluh Kebajikan (mengembangkan kebajikan). 9. Jalan Suciwan Tingkat Menengah Meninggalkan Kehidupan Tiga Alam Menuju Pembebasan Mutlak Kenikmatan Tiga Alam bagaikan embun di atas daun rumput, Adalah kondisi yang pasti akan musnah dalam sekejap, Oleh sebab itu terhadap buah pembebasan yang tidak pernah berubah, Sepenuh tenaga merealisasikannya adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Kenikmatan dalam kehidupan Tiga Alam, bagaikan butiran embun di atas daun rumput, kenikmatan itu bersifat sesaat. Oleh sebab itu, sepenuh tenaga merealisasikan buah pembebasan agung yang selamanya tak akan pernah berubah, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Di atas landasan “Jalan Suciwan Tingkat Bawah”, langkah selanjutnya adalah melakukan perenungan lebih mendalam mengenai ketidakkekalan dari segala sesuatu yang berkondisi. Oleh sebab itu, alam manusia dan alam dewa meski tampaknya menyenangkan, tetapi semua itu hanya berlangsung sekejap, pun mereka juga mempunyai Delapan Penderitaan seperti lahir, usia tua, sakit, dan mati. Juga terdapat Tiga Penderitaan: penderitaan derita (duhkha-duhkhata), penderitaan perubahan (viparinama duhkhata), dan penderitaan tumimbal lahir (samskara duhkhata). Demi membebaskan diri dari deraan penderitaan tumimbal lahir maka kita harus mempelajari “Empat Corak Dharma”, “Empat Kebenaran Suci”, dan “Dua Belas Hukum Sebab Musabab”. Kita harus berusaha keluar dari jeratan Tiga Alam, berjuang merealisasikan buah pembebasan agung yang yang selamanya tak akan pernah berubah yang telah dicapai oleh Suciwan Arhat dan Pratyeka Buddha. Inilah inti sari ajaran Yang Mulia Atisha kepada para Bodhisattva mengenai bagaimana seharusnya berlatih “Jalan Suciwan Tingkat Menengah”. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia 1. Jalan Suciwan Tingkat Menengah adalah praktik pelatihan yang melepaskan diri dari jeratan tumimbal lahir di Tiga Alam, menghantar pada pembebasan mutlak Nirvana merealisasikan kondisi kesucian yang dicapai oleh Arhat, Sravaka dan Pratyeka Buddha. Metode praktik yang dijalankan adalah membangkitkan pikiran tidak terseret oleh kenikmatan semu Tiga Alam, menjalankan Sila, berpraktik di dalam pemahaman “Empat Kebenaran Suci” dan “Dua Belas Hukum Sebab Musabab”. 2. Penderitaan Derita (duhkha-duhkhata) adalah ketidaknyamanan atau penderitaan yang dialami dan dirasakan oleh tubuh dan batin akibat berkontak dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Tubuh dan batin ini sebenarnya adalah sebuah penderitaan, lalu ditambah lagi dengan deraan eksternal seperti haus, lapar, penyakit, cuaca buruk, kepenatan tubuh, udara dingin, udara panas, peperangan, dan lain sebagainya, yang semakin menambah penderitaan itu. 3. Penderitaan Perubahan (viparinama-duhkhata) adalah ketidaknyamanan atau penderitaan yang dialami karena adanya perubahan atau ketidakkekalan. Kecintaan dan kesenangan terhadap benda atau orang akan berubah menjadi penderitaan akibat terjadinya perubahan kerusakan, kematian, atau kehilangan. Demikian juga tubuh jasmani yang merupakan perpaduan empat unsur (tanah, air, api, angin) ini selalu dalam proses perubahan. Dalam kondisi sehat atau muda kita merasa senang, tapi menderita ketika tubuh dalam keadaan sakit atau tua. 4. Penderitaan Tumimbal Lahir (samskara-duhkhata) adalah ketidaknyamanan atau penderitaan karena terseret arus gelombang kelahiran dan kematian yang berlangsung tiada henti. 10. Jalan Suciwan Tingkat Atas Memasuki Gerbang Mahayana — Mengembangkan Ikrar Bodhicitta (1) Dibabarkan dari Svarnadvipa Dari waktu yang tak berawal mereka yang mengasihi saya, Bagaikan ibu saya, jika mereka menderita untuk apa saya bahagia? Oleh sebab itu demi menyeberangkan makhluk hidup yang tak terbatas jumlahnya, Mengembangkan bodhicitta adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Dari waktu yang tak berawal, orang-orang yang mengasihi saya, mereka itu bagaikan ibu kandung yang budi jasanya sangat tak ternilai bagi saya. Jika mereka masih terbenam dalam penderitaan, lalu apa artinya kalau hanya saya seorang diri yang berbahagia? Oleh sebab itu, mengembangkan bodhicitta yang sangat luhur demi menolong makhluk hidup yang tak terbatas jumlahnya, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Di atas landasan “Jalan Suciwan Tingkat Menengah”, selanjutnya kita menapak selangkah lebih maju dimulai dari perilaku bakti, yaitu perilaku bakti terhadap “orang tua kita dan semua generasi tua di dunia ini”. Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup adalah “ibu kandung yang sangat berjasa kepada kita”. Selanjutnya kita mulai berlatih bagaimana mengenang budi jasa ibu, membalas budi jasa ibu, cinta kasih, welas asih, dan keinginan pendukung. Yang terakhir, dengan sendirinya akan muncul “ikrar bodhicitta”, ikon Mahayana (Kereta Besar) yang lurus, teratur, dan mengarah langsung pada tujuannya, menyelamatkan semua makhluk hidup, yang ibaratnya adalah ibu kandung kita sendiri, agar dapat menjadi Buddha. Di dalam Tradisi Buddhisme Tibet, ini adalah metode yang paling sering dipakai dalam mengembangkan ikrar bodhicitta, dibabarkan oleh Guru Dharmakirti dari Svarnadvipa, metode ini dinamakan sebagai “Tujuh Jenjang Sebab Akibat”. Berdasarkan pandangan Yang Mulia Atisha, ada tidaknya ikrar bodhicitta adalah pembeda utama antara umat Mahayana dan non-Mahayana. Oleh sebab itu, “ikrar bodhicitta” boleh dikatakan adalah jalan menuju Buddha Mahayana, juga bisa dibilang di antara Tiga Jalan Suciwan , “ikrar bodhicitta” adalah garis start memasuki Jalan Suciwan Tingkat Atas. Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia 1. Jalan Suciwan Tingkat Atas adalah praktik yang menghantar diri sendiri dan makhluk hidup lainnya mencapai pembebasan mutlak Nirvana merealisasikan kondisi Pencerahan Sempurna. Metode praktik yang dijalankan adalah berlandaskan praktik Jalan Suciwan Tingkat Bawah dan Menengah dengan disertai pengembangan “ikrar bodhicitta” dan praktik Enam Paramita. Singkatnya, Jalan Suciwan Tingkat Bawah ditempuh dengan menerima Trisarana, tidak berbuat jahat, serta menjalankan kebajikan; Jalan Suciwan Tingkat Menengah ditempuh dengan praktik Sila, Konsentrasi, dan Kebijaksanaan; sedangkan Jalan Suciwan Tingkat Atas ditempuh dengan Enam Paramita. 2. Bodhicitta adalah pikiran atau kehendak (citta) untuk mencapai Pencerahan Sempurna (bodhi). Praktisi Mahayana, sebagai praktisi Jalan Bodhisattva, harus mengembangkan ikrar bodhicitta, yaitu ikrar untuk mencapai KeBuddhaan, namun tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga memberikan bimbingan agar semua makhluk hidup dapat bersama-sama mencapai KeBuddhaan. Singkatnya, mengembangkan ikrar bodhicitta adalah bertekad menempuh Jalan Bodhisattva yang diwujudkan dengan menjadi manusia yang berperilaku (jasmani, ucapan, pikiran) benar dan senantiasa membahagiakan semua makhluk. Inilah jalan agung yang harus ditempuh oleh umat Buddha Mahayana. 3. Enam Paramita adalah enam praktik keluhuran atau kesempurnaan yang menyeberangkan praktisi dari samudra penderitaan menuju Pantai Seberang Nirvana. Enam Paramita (Sad Paramita) terdiri dari: 1. Berdana (Dana Paramita), dana dalam bentuk materi, organ tubuh, penghiburan, dan Dharma, bertujuan mengikis keakuan dan ketamakan, serta menumbuhkan cinta kasih dan welas asih. 2. Moralitas (Sila Paramita), bertujuan mengendalikan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran agar tidak melakukan perbuatan jahat yang menyakiti makhluk lain dan merugikan diri sendiri. 3. Kesabaran (Ksanti Paramita), bertujuan menumbuhkan kesabaran serta mengikis kemarahan, kebencian, dan kemelekatan. 4. Daya Upaya (Virya Paramita), bertujuan mengikis kemalasan, serta membangkitkan daya upaya dan keuletan menerapkan ajaran Buddha. 5. Konsentrasi (Dhyana Paramita), bertujuan melatih ketenangan pikiran dan keseimbangan batin agar tidak mudah terpengaruh oleh godaan eksternal. 6. Kebijaksanaan (Prajna Paramita), bertujuan memusnahkan kekotoran batin dan mencapai Pantai Seberang Nirvana, lalu dengan kebijaksanaan ini membimbing semua makhluk agar juga dapat bersama-sama mencapai Nirvana. 4. Tujuh Jenjang Sebab Akibat (ada juga yang menyebut Tujuh Jenis Sebab Akibat) adalah ajaran yang dibabarkan oleh Guru Dharmakirti dari Svarnadvipa, nama Pulau Sumatra di masa lalu, yang secara harfiah berarti Pulau Emas. Sebuah kehormatan bagi para umat Buddha tanah air bahwa di abad 7 di Kerajaan Sriwijaya pernah hidup seorang Guru Besar Buddhis Tradisi Yogacara. Tujuh Jenjang Sebab Akibat merupakan sebuah metode yang mengajarkan praktisi tentang cara bagaimana membangkitkan ikrar bodhicitta secara berjenjang. Ikrar bodhicitta harus dilandaskan pada pemahaman bahwa hakikat dari semua makhluk hidup itu adalah sama dan sederajat. Meskipun demikian, tidaklah mudah bagi praktisi pemula untuk menerapkan ikrar bodhicitta terhadap orang yang tidak disukai, tidak dikenal, maupun makhluk yang hidup di alam yang lebih rendah, antara lain makhluk hewan. Sebab itulah jenjang pertama yang diajarkan oleh Dharmakirti adalah “menyadari bahwa semua makhluk hidup adalah ibu kandung yang sangat berjasa kepada kita”. 1. Menyadari bahwa semua makhluk hidup adalah ibu kita Kita harus memahami bahwa selama mengarungi samudra tumimbal lahir yang tiada awal dan tiada akhir ini, semua makhluk hidup pernah menjadi ibu kandung kita, hanya saja dalam kehidupan saat kini kita tidak bisa mengingatnya. Berlandaskan pemahaman ini maka di dalam penerapan ikrar bodhicitta, kita tidak seharusnya terlalu membeda-bedakan antara orang yang kita cintai, benci, maupun yang tidak kita kenal. Dengan kata lain, pengembangan ikrar bodhicitta itu dilandaskan pada hati dan pikiran yang tidak membeda-bedakan. 2. Mengenang budi jasa Kita harus selalu mengenang dan mengingat budi jasa ibu yang melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidik kita. Dengan kata lain, kita harus mengenang dan mengingat budi jasa semua makhluk hidup yang pernah menjadi ibu kandung kita. 3. Membalas budi jasa Setelah mengetahui bahwa semua makhluk hidup pernah menjadi ibu kita, lalu mengenang budi jasa mereka, maka jenjang selanjutnya adalah berupaya membalas budi jasa mereka. 4. Cinta kasih Balas budi apa yang bisa kita berikan? Kita berharap dan berupaya agar mereka, para ibu yang pernah mengasihi kita, selalu berbahagia. Inilah cinta kasih yang harus diingat, dipancarkan dan dipraktikkan oleh para siswa Buddha, yaitu: semoga semua makhluk hidup berbahagia. 5. Welas asih Namun jika kebahagiaan yang dimiliki atau dinikmati oleh semua makhluk hidup itu adalah kebahagiaan duniawi dan surgawi, maka itu belumlah cukup, karena itu hanyalah kebahagiaan yang semu. Kita harus mengembangkan jiwa welas asih agar semua makhluk hidup dapat mendengarkan dan menerapkan Buddha Dharma sehingga mencapai kebahagiaan mutlak Nirvana. Inilah semangat welas asih atau belas kasih yang harus dipraktikkan oleh para siswa Buddha, yaitu semoga semua makhluk hidup mencapai kebahagiaan mutlak terbebas dari penderitaan lingkaran tumimbal lahir (samsara - kelahiran dan kematian yang tiada awal dan tiada akhir). 6. Keinginan pendukung Bisa mewujudkan lima jenjang sebab akibat di atas bukanlah hal yang mudah, namun bisa secara konsisten menerapkannya adalah lebih tidak mudah. Sebab itu, sangatlah penting untuk bisa menciptakan sebuah kondisi pendukung agar kita bisa secara konsisten menerapkan lima jenjang sebab akibat tersebut di atas. Tanggung jawab dan semangat, itulah kondisi pendukung yang perlu kita realisasikan, inilah yang dimaksud sebagai “keinginan pendukung”. Menyeberangkan semua makhluk mencapai Pantai Seberang adalah sebuah misi mulia yang sangat berat, di sinilah perlu dikembangkan rasa tanggung jawab untuk berani memikul beban yang berat itu, pun haruslah dibina semangat pantang menyerah untuk mentransformasikan rasa cinta kasih dan welas asih kita itu dalam wujud aksi nyata. Lebih lanjut lagi, keinginan pendukung ini juga berarti keikhlasan untuk menanggung beban penderitaan semua makhluk hidup atau ikhlas menanggung penderitaan demi kebahagiaan semua makhluk hidup, seperti halnya ikrar welas asih agung yang dikumandangkan oleh Bodhisattva Ksitigarbha: “Jika bukan saya yang masuk neraka, siapa yang bersedia masuk neraka?” dan “Setelah semua makhluk hidup terseberangkan, Saya baru akan mencapai KeBuddhaan. Jika neraka belum kosong, berikrar tidak menjadi Buddha.” 7. Bodhicitta Untuk dapat membimbing makhluk hidup mencapai pembebasan mutlak, enam jenjang sebab akibat di atas masih belumlah cukup. Jangankan semua makhluk, bahkan mungkin satu makhluk saja kita tidak akan mampu membimbing. Kita harus memiliki kebijaksanaan maha sempurna untuk dapat memutar roda Dharma yang menghantar semua makhluk ke Nirvana. Sebab itu, tak ada jalan lain, kita harus mengembangkan bodhicitta, bertekad mencapai Pencerahan Sempurna mencapai KeBudhaan. Karena dengan mencapai KeBuddhaan maka cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan kita akan mencapai kesempurnaan sehingga terbentuklah kekuatan maha perkasa yang dapat menyelamatkan semua makhluk hidup para ibu kita tercinta. Dari penjelasan Tujuh Jenjang Sebab Akibat ini bisa diketahui bahwa untuk dapat merampungkan tugas mulia diperlukan adanya rasa memiliki (semua makhluk hidup adalah ibu kita), rasa syukur dan terima kasih (mengenang dan membalas budi jasa dengan cinta kasih dan welas asih), lalu dari rasa memiliki dan terima kasih ini akan muncul rasa tanggung jawab (keinginan pendukung), yang pada akhirnya menghantar pada puncak kebijaksanaan (bodhicitta). Tetapi bukankah rasa memiliki itu adalah salah bentuk dari keakuan? Bukankah ini adalah salah satu hal yang harus kita lepaskan? Di sinilah Dharmakirti mengajarkan metode “racun melawan racun”, tepatnya, memakai obat racun “memiliki” yang bebas dari keinginan rendah untuk menaklukkan racun jahat “kekotoran batin”.    11. Jalan Suciwan Tingkat Atas Memasuki Gerbang Mahayana — Mengembangkan Ikrar Bodhicitta (2) Dibabarkan dari Shantideva Semua penderitaan berasal dari keserakahan membahagiakan diri sendiri, Buddha lahir dari pikiran ingin membahagiakan semua makhluk hidup, Oleh sebab itu kebahagiaan diri sendiri dan penderitaan makhluk lain, Setulus hati dipertukarkan adalah Praktik Bodhisattva. Bait Panjang Semua penderitaan berasal dari keinginan serakah yang mendambakan kebahagiaan diri sendiri, sedangkan Buddha Maha Tercerahkan yang telah mencapai Pencerahan Sempurna lahir dari pikiran/kehendak mulia yang ingin membahagiakan semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, setulus hati menukar kebahagiaan diri sendiri dengan penderitaan makhluk lain, inilah yang harus dipraktikkan oleh para Bodhisattva. Petunjuk Pembacaan Metode pengembangan ikrar yang disebutkan sebelumnya adalah berdasarkan pemahaman Buddhisme bahwa selama proses lingkaran kelahiran dan kematian yang berlangsung tak terhitung banyaknya itu, dengan sendirinya semua makhluk hidup pasti pernah berulang kali menjadi ibu kandung kita, hal ini menyadarkan kita bahwa semua makhluk hidup adalah ibu kandung kita dalam kehidupan masa lalu maupun saat kini. Selanjutnya kita menerapkan perilaku bakti yaitu mengenang dan membalas budi jasa, lalu mengembangkan ikrar “menjadi Buddha demi menyeberangkan semua makhluk hidup yang bagaikan ibu kandung sendiri”. Ini adalah metode pengembangan ikrar bodhicitta yang tergolong umum. Metode yang lain adalah sebuah metode pengembangan bodhicitta yang lebih menekankan pada kebijaksanaan, yaitu membandingkan antara diri sendiri dan semua makhluk hidup yang ternyata memiliki kesamaan dalam hal “tidak menyukai penderitaan” dan “menginginkan kebahagiaan”. Dari sini bisa dijabarkan bahwa pemikiran semua makhluk itu ternyata adalah sama, penjabaran ini lalu kita kembangkan menjadi sebuah pemahaman bahwa diri sendiri dan orang lain itu adalah sama, bahkan diri sendiri dan semua makhluk di enam alam adalah sama. Sebab itulah kemudian kita menerapkan metode “menukar diri sendiri dengan makhluk lain” dan mengembangkan ikrar bodhicitta “menjadi Buddha demi menyeberangkan semua makhluk hidup yang ibaratnya diri kita sendiri”. Ini adalah metode kedua yang sering dipakai di Buddhisme Tibet dalam mengembangkan ikrar bodhicitta, metode yang dibabarkan oleh Shantideva, disebut sebagai “Menukar Diri Sendiri dengan Makhluk Lain”. Ini juga adalah metode “Menukar Penderitaan dengan Kebahagiaan” yang sangat terkenal dari Sekte Kadam. Jika ingin belajar lebih detail mengenai metode ini, bisa dipelajari di “Bodhicharyavatara (Sastra Memasuki Praktik Bodhisattva), Bab VIII, Meditasi”. Kita bisa menjabarkan lebih jauh, oleh karena adanya “keakuan” maka muncullah pikiran sempit ingin membahagiakan diri sendiri, inilah satu-satunya penyebab terbentuknya kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Sedangkan Buddha yang damai dan bahagia, justru sebaliknya, membahagiakan semua makhluk hidup dengan melepaskan keakuan, sehingga berhasil mencapai Pencerahan Sempurna. Bertolak dari perbedaan yang bagaikan langit dan bumi ini, maka kita harus berikrar untuk mempertukarkan kebahagiaan diri sendiri dengan penderitaan semua makhluk hidup di enam alam dan melakukan praktik “mengasihi orang lain lebih daripada diri sendiri”. Dari waktu yang tak berawal, oleh karena dalam kurun waktu yang begitu lamanya tercemar oleh “keakuan”, kita hendaknya berusaha melenyapkan kebiasaan “keakuan” yang sudah mengakar sangat dalam melalui metode koreksi yang tampaknya sangat ekstrem itu. Namun, karena aku itu sendiri tidak ada, berarti orang lain itu juga tidak nyata? Sebab itu, jika diamati dari tingkatan terdalam, diri sendiri dan makhluk lain itu adalah sama dan sederajat, semuanya bagaikan bunga yang semu dan bayangan bulan di dalam kolam. Maka jelaslah, janganlah kita membuang penyakit lama “kemelekatan kepada keakuan”, namun kemudian mengidap penyakit baru “kemelekatan kepada makhluk hidup lain”. Haruslah diketahui bahwa kemelekatan itu adalah suatu hal yang tidak bermanfaat. Syair 11—12 bisa dipadukan dengan syair pertama dari “Delapan Syair Pujian Pemurnian Batin”: “Terhadap semua makhluk hidup, Saya menganggap mereka lebih berharga daripada permata pengabul harapan, Berikrar mewujudkan manfaat terbesar bagi mereka, Di dalam hati senantiasa mengasihi semua makhluk hidup.” Penjelasan Tambahan Penerjemah Bahasa Indonesia “Delapan Syair Pujian Pemurnian Batin”, mengajarkan tentang ikrar dan praktik bodhicitta, adalah karya Langri Thangpa (1054—1123), cucu murid Atisha dari Sekte Kadam. Ikrar agung Langri Thangpa adalah: “Dalam setiap kelahiran selalu menjadi bhiksu yang menyeberangkan semua makhluk hidup.”
Posted on: Wed, 14 Aug 2013 01:23:27 +0000

Trending Topics



v>
LOS HOMBRES DE NEGRO Desde los años 50, el fenómeno ovni esta
Shahrukh Khan in a Marathi song S R K set to make his musical
«Mia moglie si è ammalata. Era sempre nervosa a causa dei
1. Full name: Erika Lynn P*******(hate My Last Name) 2.

© 2015