Twilight Part 8 Jangan jadi pembaca gelap! (: Dan apa pun - TopicsExpress



          

Twilight Part 8 Jangan jadi pembaca gelap! (: Dan apa pun yang kaulakukan, jaga tanganmu, kataku mengingatkan. Aku masih sangat pusing. Aku merebahkan diri dengan posisi miring menempelkan pipi ke lapisan semen yang dingin dan lembab, memejamkan mata. Sepertinya ini agak membantu. Wow, kau pucat, Bella, kata Mike khawatir. Bella? suara yang berbeda memanggil dari jauh. Tidak! Tolong biarkan suara yang sangat kukenal itu hanya imajinasi. Apa yang terjadi—apakah dia sakit? Suaranya lebih dekat sekarang dan ia terdengar muram. Aku tidak sedang berkhayal. Aku terus memejamkan mata, berharap diriku mati. Atau setidaknya tidak muntah. Mike tampak sangat khawatir. Kurasa dia pingsan. Aku tak tahu apa yang terjadi, dia bahkan tidak menusuk jarinya.” Bella. Edward sudah di sebelahku sekarang lega. Kau bisa mendengarku? Tidak erangku. Pergilah. Ia tertawa. Aku sedang membawanya ke UKS, Mike menjelaskan dengan nada defensif, tapi dia tak bisa berjalan lebih jauh lagi. Aku akan mengantarnya, kata Edward. Aku masih bisa mendengar senyuman dalam kata-katanya. Kau bisa kembali ke kelas. Tidak, protes Mike. Aku yang seharusnya melakukannya. Tiba-tiba jalan setapak seolah lenyap dari bawahku. Kubuka mataku karena terkejut. Edward telah menggendongku, begitu mudahnya seolah beratku hanya lima kilo, bukannya 55. Turunkan aku! Kumohon, kumohon, jangan biarkan aku muntah di tubuhnya. Ia sudah berjalan sebelum aku selesai bicara. Hei! seru Mike, yang tertinggal jauh di belakang kami. Edward mengabaikannya. Kau tampak kacau, katanya padaku, nyengir. Turunkan aku, keluhku. Ayunan langkahnya tidak membuatku lebih baik. Ia membopongku dengan lembut, menaruh seluruh berat tubuhku pada lengannya—dan ini sepertinya tidak mengganggunya. “Jadi kau pingsan karena melihat darah? ia bertanya. Sepertinya ini menghiburnya. Aku tidak menyahut. Kupejamkan mataku lagi dan dengan segenap tenaga melawan mualku. Kukatupkan bibirku rapat-rapat. Bahkan dengan darahmu sendiri, lanjutnya, menikmat, perkataannya. Aku tidak tahu bagaimana ia membuka pintu sambil menggendongku, tapi tiba-tiba suasananya hangat, jadi aku tahu kami berada di dalam ruangan. Ya ampun, aku mendengar suara perempuan terkesiap. Dia pingsan di kelas Biologi, Edward menjelaskan. Kubuka mataku. Aku berada di kantor TU, dan Edward sedang berjalan melewati konter menuju ruang perawatan. Miss Cope, petugas TU yang berambut merah, berlari mendahului Edward dan membukakan pintu untuknya. Juru rawat keibuan itu seperti di novel-novel, terkagumkagum ketika Edward membawaku ke dalam ruangan dan meletakkanku hati-hati di atas kertas berkeresak yang menutupi kasur tipis dari vinil cokelat. Lalu ia pindah, berdiri rapat di dinding sejauh mungkin di ujung ruangan yang sempit itu. Matanya memancarkan kegembiraan. Dia hanya sedikit lemah, Edward meyakinkan si perawat yang kebingungan. Mereka sedang menggolongkan darah di kelas Biologi. Juru rawat itu mengangguk penuh pengertian. Pasti ada saja yang pingsan. Edward melontarkan ejekan pelan. “Berbaring saja sebentar, ya. Sayang; nanti juga sembuh “Aku tahu, desahku. Mualnya sudah hilang. “Apakah ini sering terjadi? perawat bertanya. Kadang-kadang aku mengakuinya. Edward terbatuk untuk menyamarkan tawanya lagi. Kau boleh kembali ke kelas sekarang, ia memberitahu Edward. Aku disuruh menemaninya. Ia mengatakannya dengan nada sangat meyakinkan—sehingga meskipun perawat mengerucutkan bibir—ia tidak membantah. Aku akan mengambil kompres untukmu, Sayang, perawat berkata padaku, lalu bergegas meninggalkan ruangan. Kau benar, erangku, membiarkan mataku terpejam. Biasanya memang begitu—tapi kali ini dalam hal apa, ya? Membolos adalah sesuatu yang menyehatkan. Aku mencoba bernapas teratur. Tadi kau sempat membuatku takut, akunya setelah beberapa saat. Nada suaranya membuatnya terdengar seperti sedang mengakui kelemahan yang memalukan. Kupikir Newton sedang menyeret mayatmu untuk dikubur di hutan. Ha ha. Mataku masih terpejam, tapi aku merasa semakin pulih. Sejujurnya—aku pernah melihat mayat dengan warna lebih baik. Aku khawatir aku mungkin harus membalas pembunuhmu. Kasihan Mike. Aku berani bertaruh dia pasti marah. Dia sangat membenciku, kata Edward senang. Kau tak mungkin tahu pasti hal itu. bantahku, tapi tibatiba aku membayangkan kemungkinan itu. “Aku lihat wajahnya—aku tahu. Bagaimana kau menemukanku? Kupikir kau membolos.” Aku nyaris pulih sekarang, meski rasa mual ini barangkali bakal hilang lebih cepat kalau aku makan sesuatu waktu makan siang. Tapi kalau dipikir- pikir, barangkali ada untungnya perutku kosong. Aku sedang di mobil, mendengarkan CD. Jawaban yang masuk akal—tapi mengejutkanku. Aku mendengar suara pintu terbuka, lalu membuka mata Perawat datang membawa kompres dingin. Ini dia, Sayang. Ia meletakkannya di dahiku. Kau ke lihatan lebih baik. tambahnya. Kurasa aku baik-baik saja, kataku sambil bangkit duduk Telingaku masih berdenging sedikit, tapi aku tak lagi pusing Dinding berwarna hijau mint di sekelilingku tidak berputar. putar lagi. Aku tahu ia akan menyuruhku berbaring lagi, tapi kemudian pintunya terbuka, dan Miss Cope menjulurkan kepala ke dalam. Kita punya korban lagi, katanya. Aku melompat turun supaya pasien berikutnya bisa menempati tempat tidur itu. Kuserahkan kompresnya kepada perawat. Ini, aku tidak memerlukannya. Lalu Mike berjalan terhuyung-huyung melewati pintu, ia memapah Lee Stephens, temanku dari kelas Biologi, yang tampak pucat. Edward dan aku merapat ke dinding supaya mereka bisa lewat. Oh tidak, gumam Edward. Keluar dari sini. Bella. Aku menatapnya, keheranan. Percayalah—ayo keluar. Aku berputar dan menangkap pintu sebelum tertutup lagi. bergegas keluar dari ruang perawatan. Bisa kurasakan Edward tepat di belakangku. “Kau benar-benar menuruti perkataanku. Ia terperangah. Aku mencium bau darah, kataku, mengerutkan hidung. Lee tidak sakit karena menyaksikan yang dilakukan orang lain, seperti aku. Manusia tidak bisa mencium darah,” bantahnya. Well aku bisa—itulah yang membuatku sakit. Baunya seperti karat... dan garam. Edward menatapku dalam-dalam. “Apa? tanyaku. Bukan apa-apa. Lalu Mike melangkah terhuyung-huyung melewati pintu, menatapku dan Edward bergantian. Tatapan yang dilontarkannya pada Edward memastikan kebenciannya. Mike ganti menatapku, matanya kelam. Kau kelihatan lebih baik, tuduhnya. Jangan ikut campur, aku mengingatkannya. Sudah tidak ada darah lagi, gumamnya. Apa kau akan kembali ke kelas? Kau bercanda? Aku pasti harus diangkut kemari lagi. Yeah, kurasa begitu... Jadi kau ikut akhir pekan ini? Ke pantai? Sambil bicara Mike melirik Edward yang bersandar di konter yang berantakan, tak bergerak bagai patung tatapannya kosong. Aku berusaha terdengar seramah mungkin. Tentu saja, kan sudah kubilang aku akan ikut. “Kita berkumpul di toko ayahku jam sepuluh. Matanya berkilat-kilat menatap Edward, bertanya-tanya apakah ia telah berbicara terlalu banyak. Bahasa tubuhnya cukup menjelaskan bahwa undangan itu tak berlaku untuk Edward. “Aku akan datang aku berjanji. “Kalau begitu, sampai ketemu di gimnasium, kata Mike berjalan gontai ke pintu. “Daaahh, balasku. Ia menatapku sekali lagi, wajahnya yang bulat cemberut sedikit, kemudian ketika ia berjalan melewati lewati pintu, bahunya merosot. Perasaan simpati menyeruak dalam diriku. Aku membayangkan melihat wajahnya yang kecewa lagi... di gimnasium. Gimnasium. erangku. Aku bisa mengaturnya. Aku tidak memerhatikan Edward pindah ke sisiku, tapi suaranya terdengar jelas sekarang. Duduklah dan perlihatkan wajah pucatmu, gumamnya. Itu sama sekali bukan tantangan, wajahku memang selalu pucat, dan pingsan yang baru saja kualami menyisakan selapis keringat di wajahku. Aku duduk di kursi lipat yang berderik dan menyandarkan kepalaku di dinding mata terpejam. Mantra pingsan selalu membuatku lemas. Aku mendengar Edward berbicara pelan pada seseorang di konter. Miss Cope? Ya? Aku tak mendengar ia sudah kembali ke mejanya. Setelah ini Bella ada pelajaran Olahraga, dan kurasa dia belum pulih benar. Sebenarnya aku berpikir akan mengantarnya pulang sekarang. Apakah Anda bisa memintakan izin untuknya? Suaranya semanis madu dan memabukkan. Bisa kubayangkan betapa memukau matanya. Apa kau juga perlu izin, Edward? tanya Miss Cope agak memprotes. Kenapa aku tak bisa melakukan itu? Tidak, Mrs. Goff takkan keberatan. Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa lebih baik, Bella? serunya. Aku mengangguk lemah, mencoba tampak selemah mungkin. Apa kau bisa berjalan, atau kau perlu kugendong lagi?” Karena sekarang ia memunggungi Miss Cope, ekspresinya kembali mengejek. Aku jalan saja. Aku berdiri hati-hati, dan aku baik-baik saja. Ia membukakan pintu untukku, senyumnya ramah tapi matanya mengejek. Aku berjalan menembus udara dingin dan kabur tebal yang baru saja mulai turun. Rasanya menyenangkan—pertama kalinya aku menikmati tetesan hujan yang turun dari langit—aku bisa membersihkan wajahku dari keringat yang lengket. Terima kasih, kataku ketika ia mengikutiku keluar. Asyik juga bisa membolos Olahraga. Sama-sama. Ia menatap lurus ke depan, menyipitkan mata menembus hujan. Jadi, kau pergi nggak? Maksudku, Sabtu ini? Aku berharap jawabannya ya, meskipun tampaknya mustahil. Aku tak bisa membayangkan ia berdesak-desakan di mobil bersama anak-anak lain; ia bukan tipe seperti itu. Tapi aku hanya berharap ia mungkin saja memberiku semangat yang mestinya kurasakan kalau pergi berpiknik. Sebenarnya kalian mau ke mana? Ia masih menatap ke depan, tanpa ekspresi. La Push, ke First Beach. Kuamati wajahnya, mencoba membacanya. Sepertinya mata Edward nyaris terpejam. Ia menunduk dan melirikku, tersenyum ironis. Seperanya aku benar-benar tidak diundang. Aku menghela napas. Aku baru saja mengundangmu.” Sudahlah, sebaiknya kau dan aku tidak mendesak Mike lagi minggu ini. Kita tidak ingin dia marah, kan? Sorot matanya menari-nari; ia menikmati gagasan ini lebih daripada seharusnya. Mike-schmike, gumamku, terpesona dengan caranya mengucapkan kau dan aku. Aku sangar menyukainya dari seharusnya. Sekarang kami sudah berada di dekat parkiran. Aku berbelok ke kiri menuju trukku. Sesuatu menarik jaketku hingga aku tertahan. Pikirmu kau mau ke mana? tanyanya, marah. Dicengkeramnya jaketku hanya dengan satu tangan. Aku bingung. Pulang. “Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu pulang dengan selamat? Pikirmu aku akan membiarkanmu mengemudi dalam kondisi seperti ini? Suaranya masih marah. Kondisi apa? Lalu trukku bagaimana? keluhku. Akan kusuruh Alice mengantarnya sepulang sekolah nanti. Sekarang ia menarikku ke mobilnya, lebih tepatnya menarik jaketku. Hanya itu yang bisa kulakukan agar tidak terjengkang ke belakang. Kalaupun aku jatuh, barangkali ia akan tetap menyeretku. Lepaskan! desakku. Ia mengabaikanku. Aku berjalan terseret-seret sepanjang jalan yang basah hingga kami sampai di tempat Volvo Edward diparkir. Lalu akhirnya ia melepaskanku—aku terhuyung ke pintu penumpang. Kau kasar sekali! gerutuku. Sudah terbuka, cuma itu reaksinya. Lalu ia masuk ke kursi pengemudi. “Aku sangat mampu menyetir sendiri sampai rumah! Aku berdiri di sisi mobil, marah. Hujan turun makin deras, dan aku tidak mengenakan tudung jaketku, jadi air menetesnetes ke punggungku. Ia menurunkan jendela otomatisnya dan mencondongkan tubuhnya ke kursi di seberangnya. Masuk, Bella. Aku tak menjawab. Dalam pikiranku aku menghitunghitung kesempatanku untuk mencapai trukku sebelum ia bisa menangkapku. Harus kuakui, tidak mungkin. Aku tinggal menyeretmu lagi, ancamnya, seolah bisa menebak apa yang kurencanakan. Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku seraya naik ke mobilnya. Usahaku tidak terlalu berhasil— aku tampak seperti kucing setengah kuyup dan sepatu botku berdecit-decit. Ini benar-benar tidak perlu, kataku. Ia tak menyahut. Ia menekan tombol kontrol, menyalakan pemanas dan menyetel musik. Ketika mobilnya meninggalkan parkiran, aku bersiap-siap menerornya dengan berdiam diri—wajahku sudah cemberut sepenuhnya—tapi lalu aku mengenali musik yang mengalun itu, dan rasa penasaranku mengalahkan niatku semula. Clair de Lune? tanyaku, terkejut. Kau tahu Debussy? Ia juga terdengar terkejut. Tidak terlalu, aku mengakui. Ibuku suka menyetel musik klasik di rumah kami—aku hanya tahu yang kusuka. Ini juga salah satu favoritku. Ia memandang menembus hujan, termenung. Aku mendengarkan musiknya, bersantai di jok kulit abuabu muda yang kududuki. Mustahil aku tak bereaksi terhadap melodi yang amat kukenal dan menenangkan ini. Hujan membuyarkan semua yang ada di luar jendela hingga menjadi hijau dan kelabu. Aku mulai menyadari mobil melaju cepat sekali; meski stabil dan tenang sehingga aku tidak merasakan kecepatannya. Hanya kelebatan kota di sisi kami yang menunjukkan betapa cepatnya kami. “Ibumu seperti apa? tiba-tiba ia bertanya. Aku memandangnya, mengamannya dengan tatapan penasaran. Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik, kataku. Alisnya terangkat, heran. Terlalu banyak Charlie dalam diriku Ibuku punya sifat lebih terbuka, dan lebih berani. Ia tak bertanggung jawab dan sedikit nyentrik, dan juru masak yang sangat payah. Dia teman baikku. Aku berhenti bicara. Membicarakan ibuku membuatku sedih. Berapa umurmu. Bella? Suaranya terdengar frustrasi karena alasan yang tak bisa kubayangkan. Ia menghentikan mobil, dan aku tersadar kami sudah tiba di rumah Charlie. Hujan turun sangat deras hingga aku nyaris tak bisa melihat rumah itu sama sekali. Seolah mobil Edwatd tenggelam di dalam sungai. Tujuh belas, jawabku, sedikit bingung. Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas. Nada suaranya mencela, membuatku tertawa. Kenapa? tanyanya, penasaran lagi. Ibuku selalu bilang aku berusia 35 tahun ketika dilahirkan dan umurku semakin mendekati paruh baya setiap tahun. Aku tertawa, lalu menghela napas. Well, harus ada yang menjadi orang dewasanya. Aku berhenti sebentar. Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA yang masih baru, kataku. Raut wajahnya berubah dan ia langsung mengganti topik pembicaraan. Jadi, kenapa ibumu menikah dengan Phil? Aku terkejut ia mengingat nama itu; aku baru menyebutnya sekali, itu pun hampir dua bulan yang lalu. Butuh beberapa saat untuk menjawabnya. Ibuku... sangat muda bagi umurnya. Kupikir Phil membuatnya merasa lebih muda lagi. Bagaimanapun juga, dia tergila-gila pada Phil. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ketertarikan Mom pada Phil merupakan misteri bagiku. Kau menyetujuinya? tanya Edward. Apakah itu penting? tantangku. Aku ingin dia bahagia... Phil laki-laki yang diinginkannya. Kau baik sekali... aku jadi berpikir, ujarnya kagum. Apa? Menurutmu, apa dia akan melakukan hal yang sama untukmu? Siapa pun pilihanmu? Tiba-tiba ia berubah serius, matanya mencari-cari jawaban di mataku. Ku-kurasa, ujarku terbata-bata. Tapi bagaimanapun, dialah sang orangtua. Jadi agak berbeda. Kalau begitu tak ada yang terlalu menyeramkan, godanya. Aku nyengir. Apa maksudmu menyeramkan? Macammacam tindikan di wajah dan tato-tato? Kurasa itu salah satunya. Menurutmu bagaimana? Tapi ia mengabaikan pertanyaanku dan menanyakan hal lain. Apakah pikirmu aku bisa menyeramkan? Satu alisnya terangkat dan secercah senyum membuat wajahnya tampak sedikit cerah. Sesaat aku berpikir mana yang sebaiknya kukatakan, kebenaran atau kebohongan. Kuputuskan untuk mengatakan yang sejujurnya. Hmmm... kupikir kau bisa, kalau mau. Apakah sekarang kau takut padaku? Senyumnya lenyap dan wajahnya yang indah sekonyong-konyong serius. Tidak. Tapi aku menjawab terlalu cepat. Ia kembali tersenyum. Jadi, apakah sekarang kau mau menceritakan tentang keluargamu? aku bertanya untuk mengalihkan perhatiannya. “Pasti ceritamu lebih bagus daripada aku. Ia langsung berhati-hati. Apa yang ingin kauketahui* Keluarga Cullen mengadopsimu. tanyaku. Ya. Beberapa saat aku jadi ragu. Apa yang terjadi dengan orang, tuamu? Mereka meninggal bertahun-tahun yang lalu. Suaranya datar. Maafkan aku, gumamku. Aku tak begitu ingat mereka. Sekarang Carlisle dan Esme sudah cukup lama menjadi orangtua bagiku. Dan kau menyayangi mereka. Itu bukan pertanyaan. Perasaan itu tampak jelas dari caranya membicarakan mereka. Ya Ia tersenyum. Aku tak pernah membayangkan dua orang lain yang lebih baik. Kau sangat beruntung. Aku tahu. Kakak dan adikmu? Ia melirik jam di dasbor. Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan sangat kecewa kalau mereka harus kehujanan menungguku. Oh, maaf, kurasa kau harus pergi. Aku tak ingin keluar dari mobil. Dan barangkali kau ingin trukmu kembali ke rumah sebelum Kepala Polisi Swan pulang, jadi kau tidak perlu memberitahunya tentang insiden di kelas Biologi. Ia tersenyum padaku. Aku yakin dia sudah mendengarnya. Tidak ada rahasia di Forks. Aku mendesah. Ia tertawa, ada kekhawatiran dalam tawanya. “Selamat bersenang-senang di pantai... cuacanya bagus untuk berjemur. Ia memandangi hujan yang masih turun. “Apa aku akan bertemu denganmu besok? Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih awal. Apa yang akan kalian lakukan? Seorang teman boleh menanyakan itu, kan? Kuharap suaraku tidak terdengar terlalu kecewa. Kami akan mendaki Goat Rocks Wilderness, di selatan Rainier. Aku ingat Charlie pernah bilang keluarga Cullen sering pergi kemping. Oh, Well, selamat bersenang-senang. Aku berusaha terdengar antusias. Kurasa aku tak berhasil membodohinya. Senyum tipis merekah di ujung bibirnya. Maukah kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan ini? Ia berbalik dan menatapku lekat-lekat, matanya yang keemasan menyala-nyala. Aku mengangguk putus asa. Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe orang yang dengan mudah menarik bahaya seperti magnet. Jadi... cobalah tidak jatuh ke lautan atau tertabrak atau semacamnya, oke? Ia tersenyum sangat lebar. Keputusasaan memudar ketika ia bicara. Aku memandangnya. Akan kuusahakan, ujarku marah ketika melompat menerobos hujan. Aku membanting pintu mobil sekuat tenaga. Ia masih tersenyum ketika berlalu dari pandanganku. Bersambung... +Add fb saya Carteer Freez +Follow juga twitter saya @carteer_styles._. wkwk -CF-
Posted on: Sun, 10 Nov 2013 09:16:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015