UPAYA MENCEGAH GOLPUT (MAKALAH DI TIM 26 AGS 2013 DENGAN KPU RI - TopicsExpress



          

UPAYA MENCEGAH GOLPUT (MAKALAH DI TIM 26 AGS 2013 DENGAN KPU RI DAN BAWASLU RI) By Ramdansyah Partisipasi pemilih dalam Pemilu/Pemilukada cenderung menurun dari tahun ke tahun. Potensi Golput dapat dikurangi apabila pemilih punya interest terhadap Pemiluk/Pemilukada itu sendiri. Bahkan kepentingan yang subyektif mengarah ke sentimen isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) berpotensi meningkatkan minat publik untuk pergi ke Tempat Pemilihan Suara (TPS). Pemilukada DKI Jakarta membuktikan bahwa sentimen isu tertentu dapat menurunkan tingkat golput, yakni dari 36,3% menjadi 33,2% atau partisipasi pemilih meningkat mencapai 3,1% pada putaran kedua. Banyak tulisan saya bercerita tentang Golput. Pada intinya Golput disebabkan 2 (dua) yakni Golput by Accident dan Golput karena tidak memiliki interest dalam Pemilu/Pemilukada (ideology). Golput karena tidak adanya minat terhadap Pemilu/Pemilukada dapat dikurangi dengan cara memperkuat basis isu. Pada pemilu rezim Orde Lama ketertarikan publik terhadap ideologi sebagai preferensi untuk memilih sangat besar hingga 91,41%. Pada Pemilu/Pemilukada rezim Orde Reformasi seharusnya ada penguatan isu/minat publik yang diharapkan dapat mendorong kehadiran masyarakat di TPS, termasuk isu SARA. Upaya mengurangi Golput by Accident tengah gencar-gencarnya dilakukan oleh KPU RI. Upaya untuk menghadirkan sistem input data online dan sosialisasi gencar Daftar Pemilih Sementara (DPS) sebelum menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) perlu diapresiasi oleh semua pihak. KPU memperlihatkan upaya memperbaiki keadaan. Sebenarnya beberapa kali pertemuan diskusi KPU RI periode sebelumnya yang sempat saya hadiri sudah merekomendasikan Sharing Data Agreement (SDA) atau penggunaan data bersama yang dapat diakses semua pihak. Data-data kependudukan berasal dari pemerintah dalam hal ini domain dari Dirjen Adminduk, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pusat Statistik (BPS) sedangkan penggunanya adalah semua instansi terkait, termasuk penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu RI. Penyelenggara Pemilu tidak dapat dibebankan untuk memutakhirkan data pemilih, tetapi sebagai pengguna akhir sehingga kesalahan terkait data jumlah pemilih dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah. Lembaga seperti Dirjen Pajak, Dirlantas, BKKBN sama halnya dengan KPU dan Bawaslu RI hanya memanfaatkan data yang sudah bersih, valid dan reliabel. Sayangnya upaya untuk mendapatkan data bersih, valid dan reliabel ini ternyata barang mewah di republik ini. Penelitian kesehatan terkait suatu penyakit yang berkembang di masyarakat tentunya dapat ditelusuri jauh kebelakang apabila pemerintah punya catatan kematian dari penduduk yang tercatat dalam Single Identity Number (SIN) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK). Demikian pula kalau pemerintah memiliki catatan yang sangat baik tentang data penduduk termasuk kedatangan, meninggal atau penduduk pindah. Sayangnya impian ini harus terkubur jelang Pemilu 2014. Upaya hari ini yang dapat dilakukan adalah melakukan persuasi (tidak bisa memaksa) agar masyarakat aktif untuk mempelototi daftar pemilih. Padahal upaya untuk mengecek daftar pemilih belum menjadi budaya di sini. Penulis melihat upaya untuk mengangkat isu tentang DPS/DPT yang kacau dapat membuat publik tergerak untuk mengecek DPS. Sosialisasi di jejaring sosial dan media televisi nasional diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Namun upaya menjadikan isu ini sebagai isu nasional dapat menjadi bumerang orang enggan pergi ke TPS. Citra Pemilu buruk dapat meningkatkan kecenderungan orang enggan pergi mencoblos/mencontreng. Kelas menengah yang cerdas pasti akan membuat penilaian negatif terhadap penyelenggara karena “bertindak tidak pasti dalam proses”. Partai politik peserta Pemilu terkadang ikut menggoreng ketidakberdayaan KPU untuk menciptakan data yang bersih, valid dan reliabel menjadi ajang kampanye gratis. Kalau sebelumnya harus membawa berkas ke Panwas dan kemudian Polisi, Jaksa (Sistem Peradilan Pidana) sekarang ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga ini seringkali menilai enteng bahwa penyelenggara tidak netral atau tidak professional yang kemudian dijadikan spekulasi partai untuk menggoreng suatu isu. Kalau ini dilakukan berlebihan, maka citra penyelenggaraan buruk memperbesar ruang Golput. Upaya menggoreng isu seperti dalam Pemilukada DKI terkait Daftar Pemilih ke 1. Panwaslu DKI, 2. Kepolisian, 3. Komnas HAM, 4. Pengadilan, 5. DKPP menurut saya dapat dikategorikan sebagai menggoreng isu. Tidak mungkin seseorang dihukum oleh banyak lembaga untuk satu kategori kesalahan yang sama (prinsif double jeopardy). Partai politik sebaiknya diajak tidak hanya memeriksa keluaran (output) data pemilih, tetapi juga proses (audit sistem) dalam proses pembuatan data dimaksud. Misalkan pada tanggal 20 Agustus 2013 lalu KPU baru mengeluarkan 87% data pemilih berjumlah 165 juta pemilih, maka partai politik perlu mengetahui jeroan Sistem Data Pemilih (Sidalih). Ini bertujuan agar acuan penilaian berasal dari perangkat dan sistem yang sama. Dengan demikian kritikan partai politik peserta Pemilu 2014 tentunya menggunakan acuan yang sama (reliabel). Hal ini menghindari persoalan data pemilih menjadi senjata untuk menghentikan penyelenggaraan Pemilu seperti nyaris terjadi pada Pemilu 2009. Kepercayaan publik terhadap Bawaslu RI sebagai lembaga yang mengawasi jalannya pelaksanaan sistem dan keluaran produk KPU RI juga perlu ditumbuhkan. Tentu saja Bawaslu RI harus punya perangkat yang sama ( ), evaluasi terhadap sistem dan keluaran produk KPU RI. Pada Pemilu Legislatif/Pilpres 2009 dan Pemilukada DKI 2012 penulis mencoba mengkombinasikan sejumlah data keluaran KPU,BPS dan Dukcapil selama 5 tahun terakhir untuk melihat persentase kenaikan jumlah pemilih. Laju pertumbuhan nasional penduduk 1,6% pertahun dapat menjadi parameter apakah laju pertumbuhanan pemilih di suatu daerah. Angka ini dapat menjadi ambang batas apakah laju pertumbuhan meningkat secara wajar atau kurang wajar. Penilaian ini dibutuhkan untuk menjadi pisau bedah dalam memeriksa apakah data itu adalah data sampah atau data bersih. Prinsif Garbage In Garbage Out (data sampah yang masuk, maka data sampah pula yang akan keluar) tentunya menjadi prinsif dasar evaluasi bagi pengawas Pemilu. Peran pengawas Pemilu tentunya harus dibedakan dengan peran pelaksana pemutakhiran (KPU). Jika Bawaslu/Panwaslu dapat menjaga wibawa dalam mengawasi pemutakhiran data pemilih diharapkan publik akan memberi penilaian positif terhadap penyelenggara. Hasil akhirnya tentunya jumlah pemilih akan meningkat. Data pemilih menjadi parameter menentukan kepercayaan publik. Publik melihat kecurangan ditentukan oleh ketidakpastian dalam proses, tetapi pasti dalam hasil (Pemilu/Pemilukada). Publik harus dibangun keyakinannya bahwa daftar pemilih sudah disetujui semua pihak baik penyelenggara dan partai politik peserta Pemilu 2014. Masyarakat awam tahunya kalau data awal buruk, maka penghitungan suara akan lebih buruk lagi. Kalau daftar pemilihnya sudah benar, maka potensi kecurangan dalam penghitungan suara dapat dikurangi. Harapan penulis bahwa peristiwa server down dalam penghitungan elektronik Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tidak terulang kembali. Kekacauan sistem penghitungan elektronik dan berhentinya server, maka akan membuat masyarakat kembali apatis terhadap penyelenggaraan Pemilu. Kepada Bawaslu RI penulis berharap ada kreatifitas dalam mengawasi proses penghitungan suara. Pengawas harus memiliki data pembanding yang berasal dari form C1 yang didapat dari petugas KPPS di TPS ketika penghitungan suara selesai. Pengawas yang berhasil menginput data C1 sendiri tentunya dapat melihat potensi kecurangan yang dapat terjadi disetiap tingkatan penghitungan suara. Bawaslu RI dan perangkatnya punya potensi untuk menaikan derajat kepercayaan public dengan melakukan pengawasan aktif penghitungan suara. Waktu yang sempit untuk melaporkan dan membawa kasus ke ranah pengadilan tentunya membutuhkan antisipasi input data pembanding C1. Jika pengawas hanya pasif, maka jangan harap dapat membawa kasus pencurian suara diberbagai tingkat penyelenggaraan dapat dibawa ke ranah pengadilan, karena ini termasuk kejahatan kerah putih (white collar crime). Last but not least sebaiknya masyarakat dilibatkan dalam melakukan pemantauan langsung di TPS. Lembaga formal pengawas dan pemantau Pemilu tentunya tidak dapat mengawasi keseluruhan TPS tanpa dukungan masyarakat luas. Kampus dan sekolah-sekolah didorong untuk memotret kertas plano C2 yang ditempel usai penghitungan suara di TPS. Dibutuhkan suatu lembaga independen yang dapat mengkonversikan hasil pemotretan dari masyarakat dalam bentuk angka. Smartphone yang sudah banyak dikonsumsi masyarakat tentunya dapat memudahkan proses pengiriman data di setiap TPS, sehingga hasil penghitungan dapat dikonsumsi dengan cepat berdasarkan data real count (bukan quick count). Pesan paling penting terkait keterlibatan masyarakat untuk memotret kertas plano C2 adalah masyarakat benar-benar dilibatkan di bilik suara. Mereka tidak hanya memilih calonnya saja, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga suaranya tidak hilang menguap seperti kapur barus (fenomena kapur barus yang padat akan menjadi kecil dan hilang setelah dibiarkan di lemari pakaian). Pesan lainnya adalah bangsa ini tentu saja harus mensiasati ongkos Pemilu yang mahal dengan tahapan e-counting (pemotretan dan penginputan riel time). Setelah berhasil dengan e-counting diharapkan pada pemilu 2019 atau 2023 sudah harus menggunakan evoting.
Posted on: Mon, 26 Aug 2013 06:42:24 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015