Ulama Pendidik, Pendidik Ulama : Tiga Ulama Guru Bangsa (Bagian - TopicsExpress



          

Ulama Pendidik, Pendidik Ulama : Tiga Ulama Guru Bangsa (Bagian 3) T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru K.H. Muhammad Zainud­din Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan (NW), lahir di Desa Pancor, Lom­bok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1316 H, ber­tepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 M, dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid, yang termasyhur dengan pang­gilan “Guru Mukminah” atau “Guru Mi­nah”, dengan seorang wanita shalihah, Hj. Halimah As-Sa`diyah. Nama kecilnya adalah Muhammad Saggaf, nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik un­tuk dicermati. Yakni, tiga hari sebelum ia dilahirkan, ayahnya, T.G.H. Abdul Madjid, didatangi orang waliyullah dari Hadhra­maut dan Maghribi. Kedua waliyullah itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqaf”. Kedua waliyullah ter­sebut berpesan kepada T.G.H. Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama “Saqqaf”. Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecilnya tersebut diganti dengan “Muhammad Zainuddin”. Nama ini pun di­berikan oleh ayahnya sendiri yang diambil dari nama seorang ulama besar yang mengajar di Masjid Al-Haram. Akhlaq dan kepribadian ulama besar itu sangat me­narik hati sang ayah. Ulama besar itu ada­lah Syaikh Muhammad Zainuddin Se­rawak, dari Serawak, Malaysia. Sejak kecil T.G.K.H. Muhammad Zai­nuddin terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian isti­mewa dan menumpahkan kasih sa­yang begitu besar kepadanya. Ketika melawat ke Tanah Suci Mak­kah untuk melanjutkan studi, ayah-bun­danya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahnya yang mencarikan guru tem­pat ia belajar pertama kali di Masjidil Ha­ram dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim haji. Sedang­kan ibunya, Hj. Halimatus Sa’diyah, ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda ter­cin­tanya itu berpulang ke rahmatullah tiga se­tengah tahun kemudian dan dimakam­kan di Mu’alla, Makkah. Dengan demikian, tampak jelaslah be­tapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga ter­cermin dari sikap ibunya setiap kali ia berangkat untuk menuntut ilmu. Sambil mengulurkan tangannya untuk dicium sang putra tercinta, ibunya selalu men­doakan dengan ucapan, “Mudah-mudah­an engkau mendapat ilmu yang barakah.” Dan sang ibu terus memperhatikan ke­pergiannya sampai ia tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, Guru Zainuddin lupa pamit kepada ibunya. Ia sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang, baru sang ibu melihatnya dan kemudian me­manggilnya untuk kembali, “Gep, Gep, Gep (nama panggilan masa kecilnya).... Kok lupa bersalaman?” ucap sang ibunda dengan suara yang cukup keras. Akhirnya, ia pun kembali menemui ibu­nya sembari meminta maaf dan men­cium tangannya. Lalu sang ibu pun men­doakannya, “Mudah-mudahan anakku men­dapatkan ilmu yang barakah.” Sete­lah itu barulah ia berangkat ke sekolah. Ini merupakan pertanda, betapa be­sar kesadaran ibunya akan penting dan mustajabnya doa seorang ibu untuk sang anak, sebagaimana dituntunkan dan di­ajarkan oleh Rasulullah SAW. Pengembaraan T.G.K.H. Muhammad Zainuddin menuntut ilmu pengetahuan ber­awal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur’an) dan berbagai ilmu agama lain­nya, yang diajarkan langsung oleh ayah­nya, yang dimulai sejak ia berusia lima tahun. Setelah berusia sembilan tahun, ia memasuki pendidikan formal, yang di­sebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan for­malnya, ia diserahkan oleh ayahnya un­tuk menuntut ilmu agama yang lebih luas dari beberapa tuan guru termasyhur di dae­rahnya saat itu, antara lain T.G.H. Syarafudin dan T.G.H. Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari Desa Kelayu, Lombok Timur. Di samping didampingi kedua orang­tuanya, ketika belajar di Makkah Muham­mad Zainuddin remaja juga diantar ke­menakan dan beberapa anggota keluar­ga, termasuk T.G.H. Syarafuddin. Pada saat itu, yaitu menjelang musim haji tahun 1341 H/1923 M, ia berusia 15 tahun. Guru pertama yang ditemuinya di Makkah adalah Syaikh Marzuki, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjid Haram. Di samping itu ia juga bel­ajar ilmu sastra kepada ahli syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin Al-Kutbi. Ketika ayah T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pulang ke Lom­bok, ia berhenti belajar mengaji kepada Syaikh Marzuki, dan melanjutkan mencari guru yang lain. Namun, belum sempat ia men­dapatkan guru, sudah terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarif Husein dan golongan Wahabi. Dua tahun setelah terjadinya huru-hara tersebut, Muhammad Zainuddin muda berkenalan dengan Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia di­ajak masuk belajar di Madrasah Shau­latiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah. Madrasah Shaulatiyah adalah madra­sah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaung­nya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama besar dunia. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap santri yang hendak masuk di Madrasah Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi kemampuannya. Demikian pula dengan T.G.K.H. Muhammad Zainuddin, ia juga dites terlebih dahulu. Secara kebetulan ia diuji langsung oleh Direktur Shaula­tiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad Al-Masy­syath. Hasil tes menentukan, ia berada di kelas 3. Mendengar keputusan itu, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin minta diperkenan­kan masuk kelas 2, dengan alasan ingin men­dalami mata pelajaran ilmu nahwu dan sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar T.G.K.H. Muhammad Zainuddin ma­suk kelas 3, tetapi pada akhirnya beliau melunak dan mengabulkan permohonan itu. Dan sejak itu T.G.K.H. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi akademisnya sangat isti­mewa. Ia berhasil meraih peringkat per­tama dan juara umum. Dengan kecer­dasan yang luar biasa, T.G.K.H. Muham­mad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya enam tahun, padahal normalnya adalah sembilan tahun. Dari kelas 2, ia diloncatkan ke kelas 4, kemudian loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemudian pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8, dan 9. Setelah menyelesaikan studi di Madrasah Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H/27 Maret 1935 M, dengan predikat “mumtaz” (summa cum laude), ia tidak langsung pulang ke Lombok, melainkan bermukim lagi di Mak­kah selama dua tahun sambil me­nung­gu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu ia manfaatkan untuk belajar lagi, an­tara lain belajar ilmu fiqih kepada Syaikh Abdul Hamid Abdul­lah Al-Yamani. De­ngan demikian T.G.K.H. Muhammad Zainuddin menun­tut ilmu di Makkah se­lama 12 tahun dan ia telah menunaikan haji sebanyak 13 kali haji. Setelah selesai menuntut ilmu di Mak­kah dan kembali ke tanah air, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin lang­sung melaku­kan safari dakwah ke berbagai tempat di Pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya “Tuan Guru Bajang”. Semula, pada tahun 1934, ia mendiri­kan Pesantren Al-Mujahidin sebagai tem­pat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama. Selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhirah 1356 H/22 Agustus 1937 ia mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940 H/1941 M. Penghargaan kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi, Maulana Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, ia wujudkan dalam bentuk pendirian Pondok Pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Demikian pula penghargaan kepada mahaguru Maulana Syaikh Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi, diwujudkannya dalam ben­tuk pendirian Pondok Pesantren Amini­yah NW di Bonjeruk, Lombok Tengah. Kepemimpinan yang ia contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang memiliki ke­arifan dan kebijaksanaan. Demikian pula tentang pendekatan yang ia lakukan, selalu mengandung nilai-nilai pendidikan. Ia tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Ia selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama’ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan ke­mampuan mereka. Demikian juga halnya di kala ia memberikan fatwanya, selalu di­sesuaikan dengan kondisi dan jangkau­an alam pikiran murid dan santrinya. Pembawaan dan sikap hidupnya se­lalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuatnya selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya, de­ngan tidak berkurang kewibawaan dan kharismanya. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, di­dengar, dan dicarikan jalan penyelesai­annya dengan penuh kearifan dan kebi­jaksanaan, tanpa merugikan salah satu pihak. Untuk melanjutkan dan mengem­bang­kan perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, ia sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi, militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan ia sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bah­kan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang ia miliki. Demiki­an motivasi yang selalu ia kumandangkan supaya murid dan santrinya lebih tekun dan berpacu dalam menuntut ilmu penge­tahuan, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nah­dlatul Wathan, ia tidak pernah membe­dakan yang satu dan yang lain. Semua murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan diberi perhatian dan kasih sa­yang yang sama besarnya, bagaikan cin­ta dan kasih sayang seorang ayah ke­pada anak-anaknya. Untuk membina dan memonitor kua­litas kader-kader Nahdlatul Wathan, ia mengeluarkan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan dengan memuji-Nya, semoga keselamat­an tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya. Anak-anak yang setia dan murid-mu­ridku yang berakal, sesungguhnya se­mulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk per­juangan Nahdlatul Wathan, dan sejahat-jahat kamu di sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, kemudian ber­juanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan Allah SWT tergolong pejuang agama, orang sha­lih dan mukhlish, baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain. Semoga Allah membukakan pintu rah­mat untuk kami dan kamu, dan se­moga Dia menganugerahi kami dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul Wathan masuk surga dan nikmat tam­bahan yang tiada taranya, yaitu melihat Dzat-Nya dari dalam surga.” Pada tahun 1952, madrasah-madra­sah cabang NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah)-NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah) yang didirikan oleh para alumnus di berbagai daerah te­lah berjumlah 66 buah. Maka untuk meng­koordinir, membina, dan mengem­bangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhirah 1372 H/1 Maret 1953 M. Sampai dengan tahun 1997 lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi Nahdlatul Wathan telah ber­jumlah lebih dari 747 buah dari tingkat ta­man kanak-kanak sampai dengan per­guruan tinggi. Begitu juga lembaga sosial dan dakwah Islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB, melainkan juga di berbagai dae­rah di Indonesia, seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara, seperti Malaysia, Singa­pura, Brunei Darussalam. Pada zaman penjajahan, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bang­sa, yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madra­sah NWDI-NBDI membentuk suatu ge­rakan yang diberi nama “Gerakan Al-Mujahidin”. Gerakan Al-Mujahidin ini ber­gabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan ke­merdekaan dan keutuhan bangsa Indo­nesia. Pada tanggal 7 Juli 1946, T.G.H. Muhammad Faizal Abdul Majid, adik kandung T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, da­lam penyerbuan itu gugurlah T.G.H. Mu­hammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai syuhada. T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Ab­dul Madjid, sebagai ulama, pendidik, dan pemimpin umat, telah menorehkan ber­ba­gai jasa, antara laian mendirikan Pe­santren Al-Mujahidin (1934), mendirikan Madrasah NWDI (1937), mendirikan Madrasah NBDI (1943), menjadi pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok (1945), pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur (1946), menjadi amirul haj dari Negara Indonesia Timur (1947/1948), menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi (1948/1949), konsulat NU Sunda Kecil (1950), ketua Badan Penasihat Masyumi Daerah Lombok (1952), mendirikan Or­ga­nisasi Nahdlatul Wathan (1953), ketua umum PBNW Pertama (1953), merestui terbentuknya partai NU dan PSII di Lom­bok (1953), merestui terbentuknya Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) Cabang Lombok (1954), menjadi anggota Konsti­tuante RI hasil Pemilu I 1955 (1955), men­dirikan Akademi Pedagogik NW (1964), menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung (1964), mendiri­kan Ma’had Dar Al-Qur’an wa Al-Hadits Al-Majidiyah Asy-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan (1965), anggota MPR RI hasil pemilu II dan III 1972-1982, penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1971-1982), mendirikan Ma’had li Al-Banat (1974), ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mata­ram (1975-1997), mendirikan Universitas Hamzanwadi (1977), menjadi rektor Uni­versitas Hamzanwadi (1977), mendirikan Fakul­tas Tarbiyah Universitas Hamzan­wadi (1977), mendirikan STKIP Hamzan­wadi (1978), mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hamzanwadi (1978), men­dirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi (1982), mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram (1987), mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi (1987), mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Hamzanwadi (1990), mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri (1994), mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi (1996). Oleh karena jasa-jasanya itulah, pada tahun 1995 ia dianugerahi Piagam Peng­hargaan dan medali Pejuang Pemba­ngunan oleh pemerintah. Tarikh akhir 1997 menjadi masa ke­labu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M/20 Ju­madil Akhirah 1418 H, dalam usia 99 ta­hun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriyyah, ulama karis­matis, Tuan Guru Haji Muhammad Zai­nuddin Abdul Madjid, berpulang ke rah­matullah sekitar pukul 19.53 WITA di ke­diamannya di Desa Pancor, Lombok Ti­mur. Tiga warisan besar yang ia tinggal­kan adalah ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelem­bagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara. (Bersambung) Sumber majalah Al kisah
Posted on: Fri, 23 Aug 2013 01:29:26 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015